He's Dangerous

Galing kay wanodyakirana

9.9K 2.1K 7.1K

[Mature Content] "Jung, kau memang berbahaya." Nyatanya, Jeon Jungkook memang sinting. Lebih dari apa pun, Le... Higit pa

1. Comfort
2. Treason
3. Risk
4. The Plans That Failed
5. Circulation Of Money
6. Jungkook is Back
7. The Quandary
8. Who is He?
9. Hiraeth
10. Craftiness
11. Tacenda
12. Bamboozle
13. Strange
14. Peace Agreement
15. Decero: Start From Zero
16. Bae Soora's Death
17. Hidden Facts
18. Leira Becomes A Suspect
19. He's Dangerous
20. Traitor's Neighbor
21. The Right Hand
22. Feeling Relieved
23. The Last Wedding Gift
24. Now It's All Over

25. Wherever I May Go

320 34 160
Galing kay wanodyakirana

Ini adalah bab terakhir.
Bacanya santai aja.
Selamat menikmati.

Setelah ditinggal Leira selama 4 bulan, bahkan wanita itu sudah sah menjadi istri Jimin, Jung merasa hidupnya hampa. Kehilangan sosok wanita yang sangat ia cintai mati-matian. Jung merindukan sosok Leira yang dulu setiap pagi meyambutnya dengan ucapan selamat pagi, merindukan segelas susu vanila yang sudah siap di atas meja makan, merindukan masakannya juga. Intinya—semua yang berkaitan dengan Leira, Leira, dan Jeon Leira—ah, ralat, Park Leira.

Secinta itu memang dengan wanita bernama lengkap Park Leira.

Jung tersenyum pedih kala itu menghadiri pernikahan Jimin dan Leira tepat setelah berpisah 1 bulan. Mereka berdiri di altar dengan raut bahagia, Jimin dengan senyum tampannya, begitu juga Leira dengan senyum cantiknya. Jangan lupakan perut wanita itu yang sudah membucit, kandungannya mulai membesar. Sampai saat ini pun, baik dari Jimin, Jung, maupun Leira belum ada yang tahu siapa ayah dari anak itu. Rencananya setelah lahir akan dilakukan tes DNA.

Meskipun hari-hari Jung terasa hampa, tetapi ia tetap menjalani sebagaimana mestinya. Tetap bekerja di bar yang ia dirikan usai kantornya beralih menjadi milik Jimin.

Siang yang tidak terlalu terik. Langitnya tidak terlalu cerah juga. Syukur karena bulan ini bukan musim hujan. Setelah musim dingin, sekarang berpindah menjadi musim semi. Banyak bunga bermekaran, suasana jadi lebih segar. Udara juga tidak terlalu dingin menusuk kulit. Itu yang Jung rasakan.

Ia sedang menunggu bus berhenti di halte tempatnya duduk. Dua pepohonan yang lumayan lebat berdiri di kanan-kiri halte, menambah sejuknya angin menerpa. Yang biasanya pagi burung berkicau di dekat rumah barunya, sekarang kicauannya terdengar nyaring di telinga Jung. Masih jam 11, pertengahan pagi dan siang. Rupanya, para burung itu berpindah sarang.

Bus ternyata datang lebih lambat 7 menit. Jung duduk paling belakang, sudah kebiasaan. Karena bosan hanya melihat orang berlalu-lalang, ia mengambil ponsel yang baru kemarin dibelinya. Untuk ponsel sebelumnya, sengaja Jung buang, mengganti nomor demi tidak mau lagi berurusan dengan masa lalunya. Meski mereka masih hidup di satu kota yang sama, setidaknya Jung berusaha untuk menghindar.

Kecuali Seo Dalmi. Ternyata rumah wanita itu malah berhadapan dengan rumah baru Jung. Satu komplek lagi. Mau pindah lagi juga tidak mungkin, Jung sudah terlanjur membeli rumah itu tanpa tau kalau Seo Dalmi tinggal di tempat yang sama.

Tidak apa-apa, sih. Lagi pula Dalmi adalah tetangga yang baik, tidak seperti mantan suaminya yang sering merecoki urusan orang lain. Wanita itu pindah ke sini karena memiliki alasan yang sama, ingin menghindari Taehyung yang masih berharap padanya, ternyata.

Jung jadi tertawa sendiri saat mengingat saran Taehyung dulu. Pria iba itu tidak menerapkan ucapannya sendiri, buktinya Dalmi sering bercerita jika Taehyung ingin rujuk lagi. Sialan sekali Kim Taehyung ini. Percaya atau tidak, Jung dan Dalmi akhir-akhir ini lebih dekat.

Blue Night—bar minimalis yang baru berdiri hampir 4 bulan itu dikelola sangat baik oleh Jung. Meski pendapatannya tidak sebesar dulu, setidaknya cukup untuk kebutuhan sehari-harinya.

Kalau sore menjelang malam, banyak pelanggannya. Dari wanita, pria, hingga sepasang kekasih yang ingin pulang dalam keadaan mabuk. Tidak sia-sia Jung dulu pernah belajar meracik alkohol dari Leira, alkohol racikannya sudah bisa dibilang memuaskan.

"Jika aku memesan alkohol andalan di sini, apa bisa diracik sekarang tanpa menunggu malam?"

Jung sedang mengelap beberapa gelas, pun berbalik badan dan melihat siapa yang datang. Padahal, di pintu sudah jelas tertera tulisan closed.

"Bisa. Tapi, harganya kunaikkan tiga kali lipat." Jung malah terkekeh kecil, niatnya hanya bercanda memang.

"Baiklah, diterima. Karena aku baru pertama kali ke bar milikmu, jadi mencicipi minuman sedikit mahal juga tidak apa-apa." Dalmi yang datang. Dia sudah memberitahu Jung kalau ke sini nanti malam. Tidak sampai malam, ternyata Dalmi datang lebih awal.

"Siang-siang begini, enaknya berada di pantai dan berjemur. Kurasa terik matahari pantai akan cocok dengan racikan cocktail-ku yang satu ini." Jung mengambil gelas ukur sekaligus high ball glass. Lalu, menaruh tiga buah es batu lebih dulu. Menuangkan vodka di gelas ukur, dan menuangkannya ke gelas yang sudah berisi es. Disusul sedikit peach schnapps, orange juice, dan sisanya cranberry juice. Terakhir, gelasnya dihias dengan diberi payung kecil, dan potongan jeruk di pinggirannya.

"Sex on the beach, special cocktail for you, Seo Dalmi."

Dalmi menatap minat dengan racikan alkohol Jung. "Wow, namanya unik sekali. Ada filosofinya?"

Jung mengendikkan bahu. "Entahlah, kebanyakan orang Amerika selalu meminum cocktail ini sebelum melakukan seks di pantai. Mungkin dari situ namanya menjadi sex on the beach."

"Untuk minuman ini, harus kubayar dengan harga berapa, Jung?"

Jung berpikir sejenak, lalu menarik senyumnya. "Dua puluh ribu won sebenarnya, tapi kali ini gratis untukmu."

Dalmi meminumnya lagi. Rasanya segar sekali, seperti diterpa ombak pantai. Sungguh, rasa seenak ini hanya diberi harga dua puluh ribu won oleh Jung? Murah sekali—begitu pikir Dalmi.

Sambil menikmati, Dalmi juga mengamati sekeliling. Bar ini lumayan luas. Karena baru pertama kali masuk ke dalam bar Jung, Dalmi penasaran dengan ruangan yang tertutup tirai hitam paling pojok. "Omong-omong, kalau boleh tahu, di balik tirai itu ada ruangan?"

"Ada. Tempat untuk berganti baju, toilet, dan gudang. Selain itu, ada dua kamar khusus untuk pelangganku yang ingin melakukan seks dengan kekasihnya," jawab Jung, ia melirik sekilas ke arah tirai hitam.

Mata Dalmi membola. Dia menghela napas atas penjelasan Jung. Niat sekali pria ini dalam menyediakan fasilitas. "Apa tidak menganggu yang lain?" tanyanya lagi. Dalmi penasaran akan hal itu.

"Apanya? Desahan mereka? Kurasa tidak, karena ruangannya sudah kulapisi peredam suara." Jung menjawab santai sambil mengelap gelas. "Kalau kau mau mencoba dengan kekasih barumu juga boleh," godanya dan tertawa.

Dalmi tersenyum hambar. "Masih belum berniat mencari yang baru, dan masih ingin sendiri dulu." Dia mendengkus pelan. "Ah, kau bekerja seorang diri?"

"Ada dua karyawan, pria dan wanita."

Dalmi mengangguk. Lalu, bertanya lagi. "Omong-omong, kau sekarang terlihat lebih santai dari sebelumnya, seperti beban terberat sudah terlepas dari hidupmu. Kau sudah bahagia, Jung?"

Jujur, belum. Hati Jung masih berat untuk melupakan mantan istrinya. "Sudah, jika aku bisa melupakan Leira selamanya, baru aku sudah bahagia."

***

Jam 7 sore. Matahari akan tenggelam sepuluh menit lagi. Jung baru keluar dari minimarket terdekat untuk membeli makanan. Semangkuk mie dan kaleng soda. Ia tidak berniat kembali ke bar dalam waktu cepat, lagi pula sudah ada karyawannya yang menjaga.

Duduk santai di depan minimarket, memakan ramen, hingga menyaksikan terbenamnya matahari menyentuh garis cakrawala—adalah kenikmatan tersendiri bagi seorang Jeon Jungkook. Biasanya, sore-sore begini, ia dan Leira selalu berada di balkon sambil menikmati coklat panas hanya sekedar melihat perubahan langit menjadi malam.

Entalah, rasanya sulit sekali melupakan wanita yang sudah lima tahun menemaninya. Leira itu tidak akan pernah tergantikan. Mau memilikinya lagi juga tak bisa. Ibarat kertas yang diremat, meskipun dirapikan lagi akan tetap menunjukkan lipatannya—itulah hati Leira semenjak setahun belakangan ini. Meskipun sudah memaafkan Jung, tapi hatinya tidak akan kembali utuh seperti semula atas perilaku Jung selama ini.

Makanya Leira memilih pergi dengan Jimin ketimbang bertahan dengan Jung. Miris juga, sih. Tetapi, Tuhan memang tidak menakdirkan mereka untuk tetap bersama.

Kalau boleh jujur—bar yang didirikan Jung, sengaja untuk mengenang kembali masa-masa pertama kali bertemu dengan Leira. Jung jadi tertawa samar ketika ingatannya mengajak untuk bernostalgia ke masa lalu. Agaknya, kenangan manis itu akan sayang sekali jika harus dilupakan.

Baru saja mengenang Leira di dalam hati, ternyata wanita itu muncul di seberang jalan sambil menggenggam ponsel. Perut buncitnya sangat besar, kira-kira sudah delapan bulan.

Jung tersenyum melihat Leira dari kejauhan. Mantan istrinya bertambah cantik setelah 4 bulan Jung tidak melihatnya. Meskipun ingin menghampiri Leira di seberang jalan, Jung tidak punya keberanian—takut jika Leira malah pergi dan menghindar. Jadi, setelah Leira nanti menyeberang, mungkin ia akan menyapanya seolah mereka tak sengaja bertemu.

Berpura-pura memang jauh lebih baik.

Lampu merah menunjukkan bahwa pejalan kaki harus segera menyeberang jalan. Leira melirik sampingnya sekilas, tidak ada pejalan kaki selain dirinya saja. Ia juga baru sadar jika lampu sudah berwarna merah, karena tadi ia sibuk mengabari Jimin untuk menjemputnya di daerah Itaewon.

Meski sedang berjalan, seharusnya Leira tidak fokus dengan ponselnya. Jung menoleh ke samping kanan, sebuah mobil silver berkecepatan lumayan tinggi menerobos lampu merah dan menabrak Leira. Mobil itu tidak berhenti, malah melaju secepat mungkin. Kejadian yang sama seperti Bae Soora dulu. Untung saja, Jung sudah hafal plat nomornya.

Lantas semua orang yang berada di dalam mobil, baik orang yang berjalan di trotoar langsung berhamburan untuk menolong Leira. Jung berlari sambil menghubungi ambulans. Ia memecah kerumunan, lalu memangku kepala Leira setelah menjelaskan bahwa ia adalah suaminya kepada orang-orang.

Jung ingin menangis. Ia tidak tega dengan kondisi Leira yang hidungnya banyak mengeluarkan darah. Wanita itu mimisan, tangannya memegangi perut—agaknya perut Leira terasa amat nyeri. Ia takut jika bayinya tidak bisa diselamatkan, karena pahanya mengeluarkan banyak darah.

"Jung ...," lirihnya pelan. Leira meneteskan air mata. Kenapa harus Jung yang datang di saat-saat sulit begini? Kenapa bukan Jimin yang menolongnya di saat dirinya dalam keadaan sekarat? Kenapa harus Jung dan bukan Jimin?

Jung memegangi tangan Leira erat. "Iya, sebentar lagi ambulans datang. Kau pasti bisa menahannya." Ia tidak boleh panik untuk menenangkan Leira yang mulai menangis. "Bayinya pasti selamat. Aku yakin."

Sebuah perasaan campur aduk yang saat ini Jung tahan mati-matian. Ia begitu panik dengan kondisi saat ini. Leira perlahan menutup matanya, sebisa mungkin Jung mencoba mengajak Leira mengobrol agar wanita itu tidak hilang kesadaran. Sampai akhirnya, napas Jung terembus lega begitu ambulans datang dan mengangkut Leira.

***

Mondar-mandir di depan ruang IGD sambil meremas tangan kuat, Jung tidak bisa berbuat apa pun selain berdoa kepada Tuhan agar Leira dan bayinya selamat dari maut. Jimin baru bisa dihubungi setelah Leira berada di dalam selama satu jam.

Jung sempat uring-uringan ketika ponsel Jimin mati. Padahal, situasinya amat genting dan Leira pasti membutuhkan Jimin ketimbang dirinya.

Menghempaskan tubuh di atas kursi—duduk dengan posisi kaki terjulur lurus ke depan, lantas Jung menghela napas panjang sekaligus menarik rambutnya frustrasi. Ia mengambil ponsel milik Leira dari saku jaket. Sepuluh panggilan dari Jimin tidak terjawab. Dan ini panggilan ke sebelas. Karena kepalang kesal dengan Jimin, Jung malah menaruh ponsel Leira lagi ke dalam saku.

Ponsel di saku lain bergetar. Ternyata panggilan dari Dalmi. Entah itu penting atau tidak, Jung harus mengangkatnya. "Ada apa, Dalmi?"

"Jung ...," Dalmi menjeda sejenak untuk mengambil napas. "A-aku dengar Leira mengalami kecelakaan, kah?"

Jung mengigit bibir bawahnya tipis. "Iya. Kau tahu dari mana? Atau kau melihat sendiri kejadiannya?"

"A-aku t-tahu dari polisi. Aku sangat ingin meminta maaf padamu dan Leira atas nama Taehyung."

"Maksudmu? Aku tidak paham apa yang kau katakan." Jung menoleh bertepatan dengan kehadiran Jimin yang mulai mendekat. Ia memberi kode kepada Jimin untuk diam dulu sampai ia selesai bicara dengan Dalmi.

"Sebenarnya, yang menabrak Leira itu ... Taehyung. Aku baru saja dihubungi pihak kepolisian jika Taehyung berada di penjara akibat melakukan tabrak lari. Dia baru ditangkap karena ada yang melaporkan plat mobilnya ke polisi. Kebetulan juga, kasusnya ditangani oleh Jay yang menangani kasusmu dulu," jelas Dalmi.

"Aku yang melaporkannya, selagi plat mobilnya masih kuingat dengan jelas." Tidak diberitahu Dalmi pun, Jung juga tahu jika tadi adalah mobil Taehyung yang melaju. Untuk kali ini, Jung tidak akan membiarkan kejahatan Taehyung terulang kembali—apalagi sampai menyangkut Leira.

"Aku minta maaf sekaligus berterima kasih padamu—karena sudah menjebloskan Taehyung ke penjara atas kejahatan yang tidak bisa ditoleransi lagi." Dan sambungan terputus setelah Jung berkata iya.

Jimin merosot lemah. Matanya terpejam, lalu mengusap wajahnya agak kasar ketika mengetahui Taehyung pelakunya. Jimin tidak habis pikir, kenapa yang jadi sasaran harus Leira? Sedangkan mereka sudah tidak pernah bertemu cukup lama.

"Jim, sebelumnya maaf, aku harus mengambil tindakan lebih dulu karena kau belum datang. Aku sudah menyetujui dan menandatangani jika Leira harus dioperasi, karena mau tidak mau bayinya harus lahir prematur atau nyawa keduanya tidak akan selamat."

Suasana masih hening. Jimin tak langsung memberi responsnya. Dia masih membiarkan dirinya untuk tenang lebih dulu.

Tetapi, Jimin semakin tidak bisa menjernihkan pikirannya. "Seandainya aku menjemputnya lebih awal, kecelakaan ini tidak akan terjadi, kan? Leira pasti masih berada di sampingku."

"Seandainya kau menjemputnya lebih awal atau seandainya aku tadi menghampiri Leira ke seberang jalan, kita pasti bisa mencegah kecelakaan ini. Dan kau, duduklah di atas, Jim."

Jimin enggan bergerak. Pikirannya terlalu berkecamuk. "Kalau seandainya Leira—"

"Dia dan bayinya pasti selamat. Aku yakin. Hilangkan pikiran burukmu itu. Jangan membuatku ikutan khawatir juga!" sela Jung cepat. Sejujurnya, ia juga berpikiran yang sama seperti Jimin.

Atensi mereka teralihkan begitu mendengar suara pintu terbuka. Seorang dokter wanita yang lengkap dengan alat perlindungan dirinya, pun membuka masker dan melepas sarung tangan lateks. Ekspresinya sulit sekali diartikan.

"Maaf, dengan keluarga Nyonya Park Leira?"

"Kami keluarganya," jawab mereka kompak.

"Ada dua kabar yang ingin saya sampaikan. Pertama, kabar baiknya, operasi berjalan lancar dan bayinya selamat. Namun, berat badannya terlalu rendah karena kehamilannya kurang dari tiga puluh tujuh minggu. Jenis kelaminnya laki-laki."

"Untuk kabar selanjutnya, Dok?" Jimin menyela.

"Kabar buruknya, karena pendarahan Nyonya Leira terlalu banyak—mohon maaf, kami tidak bisa menyelamatkan nyawanya. Kami sudah memberi kejut listrik berkali-kali ketika Nyonya Leira mengalami henti jantung. Namun, tetap saja detak jantungnya tidak terselamatkan."

Jung dan Jimin rapuh. Hatinya lemah. Sedangkan pendengarannya belum bisa mendengar kabar pahit ini. Mereka tidak bisa terima kenyataan bahwa Leira sudah tiada. Lalu, Jimin menerobos ke dalam setelah dokter mengizinkan.

"Dok, saya ingin meminta tolong," Jung mengembuskan napas panjang. "tolong lakukanlah tes DNA terhadap bayi Leira."

Jung masuk ke dalam usai berbincang dengan dokter wanita tadi. Ia mengusap bahu Jimin pelan, pun merasakan sakit yang sama ketika melihat tubuh pucat itu terbaring kaku di atas brankar

"Kita sama-sama merasa kehilangan. Biar bagaimanapun, kita harus melepas Leira secara ikhlas. Aku mohon, kuatkan dirimu. Aku juga akan melakukan hal yang sama, Jim." Jimin mengangguk samar dalam tangisnya. Semenjak di depan, Jung sudah menguatkan hatinya dan bersikap tegar ketika nanti melihat jasad Leira.

***

Jung dan Jimin berdiri di samping kiri-kanan boks berisi bayi laki-laki yang baru dilahirkan Leira. Dia tampan, persis seperti ayahnya. Kedua matanya terpejam, sedang tertidur pulas. Sesekali tangan mungil itu bergerak pelan.

Mereka sama-sama meneteskan air mata ketika memperhatikan bayi mungil itu dari luar boks. Ada perasaan sesak di dalam dada. Karena kejadian yang dinanti, hanya bisa menyelamatkan satu nyawa saja.

Jimin mengembuskan napas, dia menyeka air matanya. "Kita adalah dua orang yang saling bersikap menyebalkan, bukan? Kau cukup bersikap menyebalkan kepadaku saja, jika kepada anakmu—sebaiknya jangan." Jimin terkekeh pelan guna mencairkan suasana kalut ini.

"Aku bahagia, Jim."

"Aku juga bahagia jika itu memang anakmu. Tetapi, aku juga sedih jika itu bukan anakku. Keinginanmu sekarang terkabulkan, untuk mempunyai anak dari Leira," cetus Jimin tersenyum tipis. Dia melihat bayi itu lagi. "jaga dia dengan baik, sayangilah sepenuh hati, buatlah anakmu bahagia, Jung."

"Pasti. Aku pasti akan menyayangi Jeon Zean setulus hatiku." Jung beralih menatap Jimin, senyumnya mengembang lebar.

"Awas saja kalau kau sakiti Jeon Zean, aku akan mengambilnya darimu, dan menjadikannya anakku saja!" ancam Jimin. Lalu, keduanya tertawa kecil. Rasanya, sudah lama sekali mereka tidak terlihat akur begini.

Jung menggendong anaknya setelah mendapat izin dari perawat. Ia mengusap pucuk kepalanya lembut, lalu menciumnya dengan sangat hati-hati. Jung mengusap lembut jari-jari mungil Zean—sekon berikutnya, ia mencoba membuat jari telunjuknya untuk digenggam oleh si bayi. Jeon Zean menerima telunjuk Jung tanpa keberatan.

"Selamat datang di dunia, Nak. Ayah menyayangimu layaknya menyayangi ibumu."

Percaya atau tidak, bayi itu tersenyum di dalam gendongan Jungkook.











[ THE END]

Finally! Akhirnya cerita ini tamat juga, di tanggal 1 September 2021.

Anyway, gimana endingnya?

Puas atau enggak? Atau kurang srek sama endingnya? Atau kebanyakan paragraf? Atau ... isi sendiri deh.

Niatku sih, mau bikin happy ending gara-gara votes kemarin banyak yang milih happy ending. Tapi, setelah dipikir-pikir, kayaknya lebih cocok ke sad ending. Biar semua orang dapet karmanya masing-masing. Leira dapet karma dengan cara meninggal, Jung dan Jimin karmanya kehilangan Leira.

To be honest, aku gak nyangka aja bisa namatin cerita ini yang aku publish tahun 2020. Yang awalnya tulisanku acak-acakan banget. But, aku berusaha memperbaiki tulisanku. Maaf ya, kalau feelnya belum dapet di kalian. Aku juga sudah berusaha yang terbaik kok.

Aku juga mau ngucapin terima kasih banyak untuk kalian yang sudah mau membaca bab awal sampai bab akhir, nungguin updatenya yang bisa dibilang agak lama juga. Intinya, rasa terima kasihku kepada kalian sangat banyak sekali. Ceritaku gak mungkin juga bisa dibaca sampai ribuan kalau bukan karena kalian.

Dah, gak bisa berkata-kata banyak. Luv u, fruen🥺💜💜💜

Ini foto Jungkook sama Zean kalau sudah agak gede, terus mereka jalan-jalan bareng deh. Jungkook vibesnya emang cocok jadi bapak-bapak😳🙌🏻

Ipagpatuloy ang Pagbabasa

Magugustuhan mo rin

8.7K 1K 5
Di tengah gejolak panas dunia bisnis, Hasa yang dianggap sasaran empuk, suatu hari membawa seorang pria berpakaian serba hitam yang diperkenalkan seb...
1.2K 248 10
[๐ฃ๐ž๐จ๐ง ๐ฃ๐ฎ๐ง๐ ๐ค๐จ๐จ๐ค] Berkencan dan memiliki hubungan asmara adalah satu-satunya hal yang teramat dibenci oleh Song Jia. Berawal dari rasa trau...
5.4K 497 8
Cerita pendek kedua-ku๐Ÿ˜ pemerannya yaitu Taehyung dan So Hyun. Untuk tau cerita lengkapnya, baca aja yuk ceritanya๐Ÿ˜‰๐Ÿ˜‰ Jangan lupa buat Vote dan Com...
390K 19.8K 15
[DIBUKUKAN] [SEBAGIAN PART DI HAPUS!] [E-BOOK BISA DIBELI KAPAN SAJA] Menentang aturan, hukum alam. Bertolak belakang, melawan arus, mengabaikan kons...