Selamat Tinggal Terakhir

By sastrasatria

108 43 1

Maret 1946. Di Bandung Selatan, api menjalar liar. Membakar segala bangunan, kenangan, dan harapan. Para pend... More

Dari Bandung Selatan
Genangan Darah & Air Mata
Di Penghujung Tugas
Melati yang Pemberani
Darah Pemuda
Kita
Pulang
Kenangan & Harapan
Panggilan Tugas

Janji

5 4 0
By sastrasatria

Padalarang, 1 April 1946

Pukul 08:00


Aku pikir aku telah mati. Dan segala mimpi yang kulihat adalah alam akhirat. Tapi ternyata tidak. Aku masih hidup, dengan tubuh yang kaku tak bisa bergerak, di atas sebuah ranjang kayu dalam sebuah tenda yang pengap.

Ketika kucoba bangun dari tidur ini, rasa sakit di dadaku menyerang dengan cepat dan menggila. Tak pernah kurasakan rasa sakit seperti itu sebelumnya. Ku urungkan niatku dan kembali diam telentang lagi. Sebagai gantinya, kutolehkan kepalaku ke kanan dan ke kiri memeriksa dimana aku berada sekarang ini.

Seperti dugaanku, ini adalah tenda medis untuk prajurit-prajurit yang terluka. Rupanya aku tak mati. Peluru mungkin telah menembus tubuhku, tapi aku tak mati. Masih ditangguhkan rupanya umurku ini.

Di kanan kiriku tampak pasien-pasien lainnya dengan beragam macam luka. Ada yang putus kakinya, tangannya, ada yang tertembak pada berbagai bagian tubuhnya. Tenda yang pengap dikuasai oleh bau darah dan bau busuk. Sepertinya indra penciumanku sudah lebih baik dari sebelumnya.

"Sudah bangun kau rupanya Pak," suara seorang gadis tiba-tiba memecah keheningan jiwaku. Sekuat tenaga aku mencoba menoleh ke asal suara itu.

Tampaklah Purbasari membawa jolang air hangat seperti dulu, berjalan mendekat dan semakin dekat.

Aku mencoba tersenyum semampuku.

"Syukurlah bapak akhirnya selamat. Kalau tidak, nanti siapa yang akan menepati janji untuk membawaku pulang," hibur gadis itu. Membuatku mendadak malu seketika. Sebenarnya itu spontanitas saja, aku tak tahu apa yang sebenarnya kukatakan. Kan rasanya tak mungkin bila aku berjanji selamat dan menyelamatkan orang lain juga. Padahal perang tak pandang umur, tak pandang pria atau wanita.

Aku mencoba membuka suara. Tapi yang terdengar hanya desis dan nafasku yang kasar. Meski begitu tetap kucoba sekuat tenaga.

"Terimakasih telah menyelamatkanku," ucapku nyaris berbisik dan terputus-putus menahan sakit.

"Aku tak tahu siapa yang mengambil tubuhmu. Aku hanya menemukanmu dalam sebuah tenda, lalu merawatmu. Sesuai tugasku," jelas Purbasari.

"Bagaimana pertempuran?" sesuatu yang sangat ingin kuketahui di atas segala hal.

"Gencatan senjata Pak. Perdana Menteri Syahrir tak mengizinkan ada konflik. Katanya mereka sedang berusaha menggunakan politik untuk mempertahankan kemerdekaan. Dan kita butuh hubungan baik dengan Inggris."

"Tapi Inggris sudah menembakku dan menembak prajurit yang lainnya."

"Begitu juga kita Pak. Kita juga telah menembak mereka," Purbasari mulai membersihkan sekitar lukaku lagi. Kami tak punya stok perban yang cukup. Banyak luka hanya dibalut kain dari pakaian prajurit itu sendiri.

"Bagaimana dengan rekan-rekan yang lain, apakah kau tahu?"

Purbasari balas menatapku. Beberapa detik. Lalu ia menggeleng, dari raut wajahnya ada duka.

"Tidak tahu Pak. Aku tak pernah bertemu dengan siapapun lagi."

Aku tertegun sejenak mendengarnya. Teringat Endang dan Asep.

"Lalu bagaimana dengan Drajat?" tanyaku lagi. "Dia bersamaku hingga penyerbuan terakhir."

"Tidak tahu juga Pak. Bukan aku yang menemukanmu. Tapi jika dia masih hidup, seharusnya dia juga dimasukkan ke tenda yang sama atau tak jauh dari tenda ini."

"Bisakah kau mencarinya?"

"Aku sudah masuk ke semua tenda Pak. Tapi tak ada yang kukenal."

Purbasari mengangkat jolang air hangatnya dan berdiri.

"Istirahatlah dan sembuhlah sesegera mungkin Pak. Pasukan pasti masih membutuhkanmu," Purbasari mengakhiri. Lalu gadis itu berjalan ke arah pintu keluar.

"Purbasari," panggilku. Ia pun menoleh dengan mimik wajah bertanya. "Jangan memanggilku Bapak."

Gadis itu tersenyum dan mengangguk. Lalu ia pun pergi.

***

Padalarang, 17 April 1946

Pukul 09:00

Aku keluar tenda dengan penampilan yang lebih segar. Sudah kubersihkan seluruh tubuhku yang sudah tak pernah mandi sejak sebelum peperangan. Begitu juga aku telah mendapatkan pakaian yang baru, sebagai ganti pakaian lama yang telah sobek tertembus peluru. Sempat kuperhatikan dua lubang peluru pada perut dan dadaku. Sungguh suatu anugerah peluru itu tak menyentuh apapun yang penting.

Kuperhatikan selembar kertas di tanganku sekarang ini, perawat memberikannya padaku, tanda aku telah sembuh dan sekarang aku diminta untuk menyerahkan kertas ini kepada seorang perwira, tanda siap kembali ke medan tugas. Kulihat sekeliling, aku tak tahu harus kemana. Camp ini luas. Ada begitu banyak tenda. Begitu banyak orang sakit. Begitu banyak prajurit ataupun medis yang lalu lalang. Dan aku sendirian tanpa seorang pun teman.

"Permisi Bung," sapaku. Seorang pria yang sedang tidur dan menutup wajahnya dengan peci bangun dan jengkel. Aku tak peduli. "Kau tahu dimana bisa bertemu Letnan Ahmad?" sambil kuserahkan kertas itu agar dia bisa melihat lebih jelas.

Tapi bahkan tak mau ia menyentuh kertas ini. Ia langsung menggeleng dan mengatakan tidak tahu.

Sial. Desisku kecil.

Mungkin lebih baik bila kucari dulu Purbasari. Sudah lama aku tak berjumpa dengannya. Dan dia adalah satu-satunya orang yang kukenal disini.

Aku berjalan tak tentu arah, sekalian ingin lebih mengenal tempat ini. Setelah cukup lama berputar-putar, sebuah suara pun menegurku.

"Mau kemana kau prajurit?" seorang perwira tampak bertolak pinggang menegurku.

Agak kikuk aku mencoba menghampirinya dan menunjukkan kertas ditanganku dari jauh.

Tanpa banyak bertanya dia segera meletakkan rokok ke mulut dan menerima kertasku.

"Sudah sembuh kau?" tanyanya sambil terus membaca kertas itu.

"Sudah Pak."

"Baiklah tunggu sini. Duduk saja dulu. Cari kursi."

Sepertinya orang itu yang bernama Letnan Ahmad. Sudah capek aku menghafal nama-nama perwira yang kutemui sekali-sekali saja. Lalu sampai sekarang tak pernah bertemu lagi.

"Koperal Surya," suara baru muncul dengan nada bersemangat. Seorang perwira baru muncul dan langsung mengajakku berjabat tangan. "Senang Bung Surya selamat. Masihkah Bung ingat saya?"

Keningku berkerut mencoba mengakses memori yang entah dimana bersemayam. Sudah berminggu-minggu aku hanya tidur dan tidur. Tak bisa lagi aku ingat dimana pernah bertemu dengannya.

"Sepertinya Bung Surya sudah tak ingat lagi. Tapi saya masih ingat. Harusnya Bung bangga pada diri Bung sendiri. Meski begitu sepertinya wajar Bung tak ingat. Mungkin dulu saya pun tak sempat memperkenalkan diri. Saya Kapten Anwarsani dari Jakarta. Dulu Bung bertemu saya di Lembah Harimau, Purwakarta."

Seketika ekspresiku berubah. Ya aku ingat dia sekarang.

"Sekarang saya ingat Pak," kataku bersemangat juga.

"Syukurlah kalau Bung sudah ingat. Duduklah, kita berbincang-bincang dulu."

Aku pun duduk kembali, sementara Kapten Anwarsani mencari sebuah peti kosong untuk diduduki.

"Saya yang pegang tanggung jawab disini. Beberapa minggu lalu, ketika gencatan senjata dimulai dan kami semua mulai fokus mengobati yang terluka, saya mengunjungi satu persatu tenda dan memeriksa keadaan setiap orang. Sampai akhirnya saya lihat Bung Surya dalam kondisi terluka parah dengan dua tembakan. Sejak saat itu, saya pastikan Bung Surya dapat perawatan maksimal karena ketika saya melihat Bung dalam tenda itu, bagi saya Bung orang yang sangat berprestasi," jelas Kapten panjang lebar, seperti sebelumnya.

"Oh ya. Rokok Bung?" Kapten Anwarsani baru ingat dan mengeluarkan rokok dari sakunya. Aku agak bingung menerimanya karena sebenarnya jarang merokok. Tapi tak apalah.

Beberapa detik kemudian kami habiskan untuk menyalakan rokok masing-masing dan menghisapnya dalam-dalam. Nikmat juga, pikirku. Kini aku siap melanjutkan perbincangan ini lagi.

"Setelah diberikan tugas untuk mengumpulkan pasukan yang terpencar, rupanya Bung benar-benar ke Padalarang dan berjuang. Padahal bisa saja Bung melarikan diri. Disitulah saya kagum. Bahkan Bung akhirnya luka dengan dua peluru. Perjuangan Bung jelas ada buktinya sekarang ini. Luka ini jadi saksi Bung."

Aku hanya tersenyum malu sambil menikmati dalam-dalam rokokku. Sebab, masih teringat dalam memoriku ketika aku hampir menjadi desersi dan berkelahi dengan Endang.

"Bung ke Padalarang bersama berapa orang kalau boleh tahu?"

"Bersama dengan tujuh orang termasuk saya Pak."

"Termasuk kedua teman Bung?"

"Iya Pak. Kami hanya berhasil menemukan empat orang di sebuah desa. Tiga prajurit dan satu perawat."

"Luar biasa Bung. Itu sangat berarti," puji Kapten Anwarsani, lalu tiba-tiba ia mengeluarkan buku tulis kecil dan pensil. Lalu ia mencatat sesuatu. Aku tak tahu jika ternyata ini sebuah diskusi yang resmi. Pasti dia banyak tugas mengenai laporan. "Lalu rekan-rekan Bung sekarang dimana?"

Aku hisap dalam-dalam rokok itu. Lalu kujawab.

"Kami tiba di Padalarang pukul dua malam. Lalu kami langsung bergabung dengan kesatuan yang melakukan penyerangan malam itu. Di bawah Letnan Sugeng. Aku tak tahu dimana dia sekarang. Dan dalam sebuah serbuan banyak diantara kami yang tertembak. Aku sendiri tak melihat seorang rekanku pun yang tertembak. Tapi diakhir serbuan ketika kami berhasil memukul mundur pasukan Inggris, aku sudah tak bersama dengan siapapun lagi kecuali seorang yang bernama Drajat. Aku dan Drajat melanjutkan pertempuran sampai akhirnya aku tertembak beberapa jam kemudian."

Kapten Anwarsani mengangguk dan lalu menulis. Usai menulis ia tidak lagi mengajukan pertanyaan. Ia hanya memperhatikan tulisannya dengan dahi berkerut.

"Kalau begitu sekarang, mari masuk ke dalam," ajak Kapten ke dalam tendanya. Aku tebak, sepertinya aku akan dapat tugas baru. "Tugas baru selalu menanti orang berprestasi seperti Bung."

Benar saja!

Tanpa bisa menolak aku pun ikut masuk ke dalam. Dalam tenda itu ada Letnan Ahmad dan seorang juru tulis.

Kapten Anwarsani mengambil topinya yang tergeletak di atas meja, lalu membalik badannya dan berkata kepadaku.

"Tapi tugas baru Bung membutuhkan kenaikan pangkat terlebih dahulu," ucapnya sambil tersenyum.

Beberapa saat kemudian aku pun diangkat menjadi Sersan oleh Kapten Anwarsani. Ia menyerahkan pangkat Sersan kepadaku dan menyuruhku segera menjahitnya.

"Adapun tugas Bung saat ini. Bung mendapat cuti dua minggu. Silahkan jika Bung ingin pulang ke rumah dulu. Yang penting nanti kembali melaporkan diri tepat dua minggu dari hari ini, di Jakarta," berita ini membuatku hampir bersorak kegirangan. Tapi untungnya aku masih sadar diri.

Lalu Kapten Anwarsani menuliskan sesuatu di atas kertas.

"Ini alamat tempat Bung harus melaporkan diri. Semoga tidak lupa. Mungkin saja Bung bisa bertemu lagi dengan saya di Jakarta nanti. Ada pertanyaan?"

"Apakah tidak akan ada lagi pertempuran atau semacamnya di Bandung ini Pak?"

"Sekarang kita sedang gencatan senjata. Kita diminta untuk tidak anarkis dulu kepada Sekutu. Tapi distribusi pasukan sudah terlalu banyak di Bandung dan sekitarnya. Ini bisa berakibat tidak baik dengan gencatan senjata yang kita lakukan. Untuk itu, sebagian pasukan sudah ada yang dipindahkan, sebagian lagi diliburkan seperti Bung, dan diharapkan bertugas kembali di tempat yang berbeda. Bahkan di camp inipun pasukan yang sakit sudah semakin sedikit. Sudah banyak yang sembuh. Kita akan segera membongkar camp ini dan ditugaskan di tempat lain."

"Berarti para tim medis pun banyak yang dibebas tugaskan Pak?"

"Ya sebagian besar. Tapi itu bukan saya yang mengurusnya," Kapten Anwarsani berbalik badan, lalu meraih koran di atas mejanya. "Bung bisa baca koran ini agar dapat informasi lebih banyak tentang perkembangan kemerdekaan dan apa yang terjadi usai pertempuran ini di Bandung."

Aku menerima koran itu dengan senang hati. Setelahnya, aku langsung memberi hormat dan izin undur diri.

"Tunggu dulu," potong Kapten Anwarsani tiba-tiba. "Terimalah ini."

Sebuah amplop disodorkan kepadaku. Dapat kurasakan isinya apa.

"Untuk pulang dan ke Jakarta," tambahnya sambil tersenyum.

Aku keluar dari tenda Kapten Anwarsani dengan membawa pangkat baru, amplop, dan sebuah koran. Para jurnalis pasti panen berita belakangan ini. Semua orang pasti ingin baca koran.

Sepertinya sekarang aku harus ke para perawat untuk meminta alat jahit. Dan mencari Purbasari tentu saja. Mungkinkah dia dibebastugaskan?

"Permisi, apakah ada alat jahit?" tanyaku kepada seorang perawat yang berjaga di sebuah tenda.

"Ada pak. Tunggu sebentar ya," dia pun segera pergi untuk mengambilnya.

Sambil menunggu kuperhatikan lingkungan sekitar. Mungkin saja aku melihat Purbasari. Tapi tak ada.

"Ini Pak," perawat itu menyerahkan benang dan jarum jahit.

"Terimakasih. Ngomong-ngomong, apakah nona kenal seorang perawat yang bernama Purbasari?" tanyaku penasaran.

"Purbasari di tenda sebelah sana Pak," tunjuk perawat itu segera. "Dia sedang berkemas sepertinya."

"Berkemas?" perawat itu hanya membalas dengan anggukan kepala.

Aku pun segera berlari menuju tenda yang dimaksud. Sesampainya di depan tenda, tanpa merasa malu aku masuk ke dalamnya. Aku harap tidak penuh dengan gadis-gadis paramedis. Dan harapanku dikabulkan. Isinya benar-benar kosong. Tak ada seorangpun. Tidak juga Purbasari. Aku pun keluar lagi.

Ku tengok kanan dan kiri dengan cepat. Kucari dia. Aku sudah berjanji akan mengantarnya pulang kepada bapaknya. Dan kini kesempatan itu terbuka di depan mata. Aku tidak boleh kehilangan momentum ini.

"Purbasari? Ada yang lihat Purbasari?" tanyaku ke beberapa perawat yang sedang duduk-duduk. Mereka semua menggeleng.

Aku berlari lagi. Ketika bertemu dengan sekumpulan perawat lagi, aku kembali bertanya.

"Ada yang lihat Purbasari?" lagi-lagi semuanya menggeleng.

Sial! Desisku.

"Kemana kita kalau mau keluar dari camp ini?"

Para perawat itu menunjuk suatu arah. Dan tanpa berterimakasih, aku segera berlari ke arah yang dimaksud.

Terlihat kepadatan di depan, yang sepertinya merupakan pintu utama camp. Ada banyak pasukan berbaris, ada banyak truk mengangkut pasukan satu persatu. Apakah aku terlambat? Apakah Purbasari sudah terlanjur pergi?

Sesampainya di depan pintu masuk camp, aku segera mencari ke segala arah dan memandang ke segala penjuru. Penuh oleh manusia, itu saja yang kulihat.

"Purbasariii!!!" teriakku. Orang-orang segera menoleh kepadaku dan aku tidak peduli.

"Purbasariii!!!" teriakku lagi. Semakin banyak orang-orang yang memperhatikanku.

Aku berlari ke sudut lain. Dan kembali berteriak.


"Purbasariii!!!"

Tiba-tiba seorang perawat menghampiriku.

"Purbasari sudah pulang mas," jawab suaranya yang medok.

"Kemana pulangnya?!" tanyaku lagi dengan panik.

"Maaf saya tidak tahu."

"Ke arah mana?"

Gadis Jawa itu menunjuk suatu arah.

"Dengan apa dia pulang dan sudah berapa lama?"

"Sado. Belum lama."

Aku segera berlari lagi. Dan tetap tanpa berterimakasih.

Segera kucari sado, tapi tak ada. Sial. Tapi akhirnya aku melihat sebuah truk mengangkut satu regu prajurit untuk diantar ke tempat lain. Arah truk itu sepertinya sesuai dengan arah pulang Purbasari. Karena memang hanya ada dua jalan untuk keluar dari camp ini. Satu arah ke Bandung dan satu lagi ke Purwakarta. Purbasari pasti ke arah Purwakarta.

Tanpa izin aku segera loncat ke belakang truk dan menumpang. Para prajurit dalam truk itu tampak ramah-ramah saja dan membiarkanku bergelayutan.

Lama terasa waktu berlalu. Truk ini terus membelah jalan tanah yang berdebu. Kanan kiri jalan ini hanya hutan ataupun perkebunan. Sesekali tampak satu atau dua warung di pinggir jalan. Sebuah warung kecil, yang sekarang bahkan tampak sudah buka lagi. Itu adalah warung siluman. Begitulah kami menyebutnya. Warung-warung yang muncul dan tetap buka setiap waktu selama perang itu akhirnya disebut warung siluman. Padahal mereka dengan sukarela membagikan makanan gratis kepada para pengungsi ataupun pejuang. Tak ada yang mau dibayar. Sungguh mulia mereka. Mengambil bentuk perjuangan sesuai dengan porsi masing-masing.

Tiba-tiba truk membunyikan klaksonnya berkali-kali. Mencoba menggeser sesuatu yang menghambat lajunya. Usai sedikit berbelok, truk itu tancap gas lagi dan melewati sebuah sado dengan satu penumpang di dalamnya.

Itu dia!

"Purbasariii!!!" panggilku keras dengan masih bergelayutan di atas truk. Gadis dalam sado itu tampak terkejut. Begitu juga para prajurit di depanku.

Aku pun loncat turun dan menghampiri sado yang perlahan dihentikan oleh penumpangnya.

Dengan senyum penuh dan kebahagiaan membuncah, kuhampiri sado yang berhenti itu. Kulihat ia tersenyum melihatku dan begitu juga aku kepadanya.

Tiba-tiba siulan dan sorak sorai terdengar dari para prajurit di atas truk yang belum jauh itu. Kulihat mereka dan tertawa. Sepertinya mereka baru tahu bahwa aku sedang mengejar seorang wanita. Dasar para perjaka! Aku terus tertawa dihatiku dan menyiapkan senyuman terbaikku untuk Purbasari.

"Aku masih ingat janjiku," kataku kepadanya yang tersenyum dan tertawa melihatku loncat dari atas truk dan menghampirinya disini.

"Naiklah," ajak Purbasari dengan sangat ramah.

Aku pun naik dan duduk di hadapannya. Aku malu membuka suara terlebih dahulu. Tapi jelas harus aku yang memulainya.

"Untuk sementara TRI sedang tidak membutuhkanku. Dalam masa-masa damai, tak banyak orang yang terluka," kata Purbasari lebih dulu dengan tenang tapi berat. Aku tahu dia kecewa. Dia pasti ingin tetap aktif tapi apalah daya. "Kau juga begitu? Kudengar banyak juga yang sudah terluka dipulangkan karena sedang tidak butuh banyak tentara aktif."

"Oh tidak. Aku dapat jatah cuti dua minggu dan diminta untuk melapor kembali ke Jakarta. Sepertinya aku tidak akan bertugas di Bandung dan sekitarnya lagi."

"Wah menarik ya, bisa ke Jakarta. Sejak kecil aku ingin tapi Bapakku terlalu protektif. Aneh. Padahal aku sangat mirip dengan dirinya sendiri, tapi dia tidak bisa berkaca sama sekali."

Semakin dekat, semakin kukenal Purbasari. Dia adalah seorang wanita yang kuat, tegas, dan bahkan mungkin, keras. Dari cara duduknya yang melipat kaki dengan rapat dan tegak, terasa karakter yang kuat memancar dari dalam dirinya. Ia adalah anak kepala desa. Seorang penduduk yang secara turun temurun dituakan. Pasti memang memiliki karakter kepemimpinan yang kuat. Sementara aku hanya seorang anak petani. Jelas kontras sekali masa lalu kami di balik pergulatan dengan peperangan ini.

"Ya, tapi aku belum pernah ke Jakarta. Belum tahu tempat tujuanku dimana dan harus naik apa kesana."

Purbasari mengangguk paham.

"Memang dimana rumahmu?"

"Karawang."

"Itu masih sangat jauh dari sini."

"Ya. Tapi itu soal gampang. Yang terpenting kau selamat dan aku menepati janjiku dulu."

Purbasari pun tertawa lagi. Di atas segala kekuatan karakternya, ia adalah seorang gadis yang ramah.

Kami pun banyak bercerita. Terutama tentang pertempuran yang kami alami. Tentang orang-orang yang ia tolong dan tentang aku juga.

"Apa yang ada dalam pikiranmu ketika akan menyerbu untuk terakhir kalinya itu?"

Aku menerawang jauh. Mengingat segala detail tentang momen yang kusangka akhir hidupku itu.

"Segala hal melintas dalam kepalaku. Segala memori tentang masa-masa yang telah lalu, dan segala harapan yang akan datang. Kupikir itu benar-benar momen terakhirku di dunia ini," jelasku dengan sangat dalam. "Sudah ku gantungkan segala mimpi dan harapan. Kuserahkan semuanya. Ku ikhlaskan jika memang tak akan pernah terwujud. Kututup semua lembaran rindu, kepada ibuku, bapakku, saudara-saudaraku. Aku ingat kembali semua rekan-rekanku dan perjalananku hingga sampai di titik itu. Dan aku juga ingat kau."

Aku menggelengkan kepala, seolah-olah masih tak percaya semua itu telah terjadi.

"Kau hebat Sur. Aku bangga bisa mengenalmu dan dikenang olehmu pada saat itu," puji Purbasari yang membuatku tersipu seketika. Aku pun menunduk dan tak tahu harus berkata apa.

"Terimakasih," ucapku malu-malu. "Aku juga bangga bisa mengenal wanita pemberani dan berpikiran maju sepertimu."

Purbasari pun tersenyum dan begitu pula aku. Kami saling pandang sesaat dan bersamaan dengan rasa malu yang muncul belakangan, kami melirik sesuatu yang lain. Lalu lama kami tak saling buka suara.

Dalam kebisuan itu, kukeluarkan pangkatku dan alat jahit. Baru sempat aku menjahit sekarang ini.

"Ternyata kau juga dipromosikan?" Purbasari tertarik dan mendekat.

"Iya, tanpa sengaja tentunya. Atas jasa mencari pasukan yang terpencar dan membawa mereka semua ke Padalarang."

"Oh ya itu sebuah prestasi. Karena kau juga telah membawaku ke Padalarang juga kan," canda Purbasari sambil tertawa. "Sini biar aku yang jahit. Sementara kau mungkin bisa membacakan beberapa berita dari koran itu."

Purbasari segera mengambil pangkat dan alat jahit di tanganku. Sementara aku bingung harus melakukan apa, karena jelas aku tidak bisa membaca kalau begini. Purbasari pasti belum tahu harus dijahit dimana pangkat itu.

"Dijahit dimana ini?" tanya Purbasari kemudian.

"Dikerah baju, jawabku."

"Oh," Purbasari bingung tapi ia tidak bisa mundur. Sekarang ini hanya ada dua kemungkinan. Kulepaskan bajuku atau ia menjahit langsung di kerahku. Dan keduanya pilihan yang sulit. "Kalau begitu aku pindah ke sampingmu ya."

Dan aku tak pernah membayangkan ini semua akan terjadi. Aku menengadah, sementara Purbasari sibuk menjahit pangkat di kerah bajuku. Dengan perlahan-lahan dan penuh rasa malu tentunya.

Dalam suasana seperti itu, keringat dinginku mengalir deras. Sambil menengadah aku melirik ke Purbasari yang tampak tekun menjahit. Dan dari keningnya bisa kulihat, peluh bermunculan disana. Padahal angin sepoi-sepoi menderu menyapu kami yang duduk di atas sado yang melaju kencang ini.

Di kejauhan, jauh di depan. Tiba-tiba terdengar lantunan merdu suara lagu.

Selamat jalan, selamat berjuang

Bandung selatan jangan dilupakan

Keindahan lagu itu menambah romansa yang entah muncul dari mana. Tapi aku tak berdaya. Bagai hewan yang dimangsa seekor singa. Leherku tertawan oleh jarum yang dipegang jemari lentik gadis ini.

Suara musik dan kemerduan lagu itu semakin terdengar seiring dengan tambah melajunya sado ini.

Diiringi kata nan merdu mesra

Terimakasihku janganlah lupa

Air mataku berlinang

Sapu tanganmu kusimpan

Ujung jarimu kucium

Serta do'a kuucapkan

Aku yakin Purbasari juga mendengar semuanya.

Selamat jalan, selamat berjuang

Bandung selatan jangan dilupakan

Sebuah warung yang cukup besar dipenuhi oleh pasukan yang sedang makan dan minum. Warung siluman itu bagus sekali. Mereka juga punya pemutar musik.

Tiba-tiba kehebohan terjadi lagi. Para perjaka itu rupanya melihat kami yang sedang beradegan seperti ini.

Purbasari yang lekas sadar segera melepas jahitannya dan membuang wajahnya dengan malu. Begitu juga aku yang hanya bisa tersenyum melihat para perjaka itu bersorak-sorai dan memegangi benang agar tak lepas dan kusut.

Rasanya senang sekali melihat orang-orang itu iri kepadaku. Tiba-tiba segalanya mendadak menjadi indah. Tak ada hari yang seindah ini sebelumnya. Hari yang tak pernah terbayangkan olehku akan terjadi. Angin terasa semilir menyejukkan, cahaya matahari terasa lembut, pepohonan menyaksikan kami memberi dukungan. Dan aku tak pernah sadar lagi bahwa ada kusir sado disana. Aku tak sadar lagi tentang diriku juga. Yang kusadari hanya keberadaan Purbasari saja.

"Maaf," kata Purbasari setelah sadar aku sedang kesulitan memegangi pangkat di kerah baju yang baru setengah dijahit. Tapi aku tidak merasa kesulitan sebenarnya. Aku hanya merasa bahagia saja.

Purbasari pun melanjutkan. Hingga tanpa terasa, selesai sudah. Dia pun pindah posisi lagi tanpa mengatakan apapun. Aku malu dan dia pun malu. Entah apa yang membuat kami jadi begini.

Dalam kebisuan itu, kini kubuka koran dan mulai membaca. Dan di halaman depan, tertulis dengan huruf besar.

Bandung Lautan Api.

"Bandung Lautan Api. Begitu kita menyebutnya sekarang," kataku sambil terus membaca berita pada koran itu.

Purbasari segera tertarik mendengarkan.

"Terus? Ada berita apa lagi disana?"

"Semuanya tentang peristiwa kemarin. Bangga sekali bisa ambil bagian dalam peristiwa besar itu."

"Apa lagi?" tekan Purbasari sangat penasaran.

"Lagu Halo-Halo Bandung jadi slogan dan sering dinyanyikan para pejuang. Seperti apa lagunya?"

"Oh aku tahu. Kau mungkin belum tahu karena baru sembuh dari lukamu. Lagu itu mengingatkan kita semua untuk segera merebut Bandung kembali. Gencatan senjata ini membuat Inggris semakin tenang menduduki Bandung, entah sampai kapan."

"Seperti apa lagunya?"

Dan dengan suara merdunya Purbasari menyanyikan lagu tersebut.

Halo-Halo Bandung

Ibu kota Priangan

Halo-halo Bandung

Kota kenang-kenangan

Sudah lama beta

Tidak berjumpa dengan kau

Sekarang telah menjadi lautan api

Mari bung rebut kembali

Aku mendengarkan suara merdu itu menyanyikan lagu yang secara tepat menyentuh memori dan nuraniku.

Ya, tak ada lagi sekarang di kota Bandung kecuali tinggal kenangan. Aku ingat Darman dan keluarganya seketika. Tak ada lagi yang tersisa bagi mereka. Kecuali sebuah kisah tentang lautan api. Rumah-rumah masa lalu yang menyimpan kenangan tentang masa kecil mereka. Tentang kisah cinta mereka. Tapi sekarang telah menjadi lautan api. Lalu telah menjadi debu-debu yang beterbangan. Untuk mereka, bagiku hanya satu kata. Rebut kembali!!

"Kau baik-baik saja?" tanya Purbasari yang heran denganku yang tiba-tiba diam dan terenyuh.

Aku pun menatapnya setelah ditanya. Dengan tatapan kosong dan masih menerawang jauh ke dalam memori.

Aku menggeleng.

"Tidak apa-apa. Hanya ingat tentang seorang rekan," usai mengatakan itu aku segera memeriksa seluruh kantong celanaku. Aku baru ingat tentang Darman dan cincin yang ia titipkan.

Ketika kucapai saku bagian belakang, alhamdulillah ternyata masih ada. Betapa lalainya diriku jika cincin ini sampai hilang.

"Ada apa?" Purbasari bertambah heran.

"Seorang pahlawan menitipkan ini padaku," ujarku sambil berusaha mengeluarkan cincin itu. "Agar aku bisa menyerahkan ini kepada istrinya yang mengungsi ke selatan."

Cincin itupun kini berada diujung jariku. Baru kali ini kutatap lekat-lekat.

"Kau sudah tahu dimana istrinya sekarang ini?"

Aku menggeleng.

"Aku bahkan tidak tahu bagaimana harus mencarinya. Dia bisa ada dimana saja. Entah mereka hanya mengungsi ke Pangalengan atau malah ke Garut. Atau terus ke selatan," pikiranku terus menerawang sementara mata terus memandang cincin diujung jariku itu.

"Kau akan segera pergi mencari mereka setelah dari rumahku?"

Kutatap Purbasari kemudian.

"Sepertinya tidak. Aku akan pulang lalu aku harus ke Jakarta. Tapi suatu saat aku akan tetap mengantarkan cincin ini. Itu sudah janjiku juga kepada pahlawan itu. Kalau tidak dengan pengorbanannya, pasti misi kami sudah gagal."

"Kau punya banyak janji yang perlu ditepati. Itu sebabnya Allah masih mengizinkanmu hidup."

Aku tersenyum.

"Aku sangat senang bisa menepati janjiku ke bapakmu. Aku sangat senang kau selamat," ucapku dengan senyum yang sangat tulus.

"Terimakasih Sersan!" ucap Purbasari dengan lantang dan memberi hormat, sambil bercanda. Dan ia pun tertawa.

Aku juga tertawa. Dan gemas luar biasa menjalar di aliran darahku.

Perjalanan itu membuat kami saling mengenal. Semakin dekat dan jauh lebih dekat dari pada sebelumnya. Kedekatan yang bukan lagi sebagai rekan, bukan lagi sebagai teman, bukan pula sebagai dua pejuang seperjuangan. Tapi hanyalah kedekatan seorang Surya dengan Purbasari. Pemuda dan pemudi, yang mungkin saling mencintai.

Sado terus membelah jalan. Semilir angin meniup rambut Purbasari, menambah manis setiap senyuman. Berjalanlah lebih pelan Pak kusir. Aku tak peduli jika kami harus menempuh perjalanan berhari-hari atau berminggu-minggu. Asalkan dengan Purbasari aku sanggup menjalaninya.

***

Purwakarta, 17 April 1946

Pukul 15:00

Sado memasuki desa dari arah yang sama saat aku memasukinya pertama kali. Dan seperti saat itu juga, orang-orang desa keluar rumah melihat siapa yang datang. Tapi kali ini mereka tidak menatap dan diam. Mereka berteriak. Nama Purbasari disebut-sebut dan anak-anak berlarian mendahului sado menuju rumah Pak Lurah. Dalam benakku aku berdo'a semoga bapak tak marah padaku.

Di kejauhan nampak pendopo tempat dulu kusinggah. Tempat pertama kali aku melihat Purbasari membawa jolang berisi air hangat. Seorang gadis cantik yang cekatan dan bermental pejuang. Kurang apa lagi? Sekarang dia di hadapanku dalam sado ini. Masih sebagai teman.

Kulihat Purbasari dan ia tersenyum kepadaku. Kami telah sampai. Alhamdulillah. Akhirnya.

Anak-anak yang tiba lebih dulu itu dengan mudah berhasil memanggil keluar Pak Lurah. Kini dia melihat dari teras pendopo anaknya yang berada dalam sado ini. Tak jelas seperti apa raut wajahnya. Tapi dari sikap tubuhnya, sepertinya ia tak marah.

Ketika sado pada akhirnya berhenti. Aku turun lebih dulu, lalu kuberikan tanganku, kubantu Purbasari turun. Penduduk desa saling tatap dan saling berbisik setelah melihat adegan ini. Aku tahu ini sensitif. Tapi aku seperti tak punya pilihan.

Pak Lurah tetap diam tak bergeming di teras pendopo. Kini kulihat wajahnya yang datar. Sepertinya aku dalam masalah.

Aku dan Purbasari jalan berdampingan. Hati telah kukuatkan untuk menerima segala apapun yang akan terjadi, sekalipun itu berarti aku diusir mentah-mentah.

Langkah kami kian mendekat dan sekarang, kami persis dihadapannya.

Aku tak tahu harus berbuat atau berkata apa. Tapi Purbasari langsung sujud mencium kaki bapaknya. Sementara aku, seorang bintara ini, hanya berdiri diam dan tegak. Tapi entah dorongan dari mana tiba-tiba aku membuka suara.

"Aku hanya ingin menepati janji. Semoga Bapak memaafkan segala kesalahanku."

Pak Lurah dengan tatapannya yang datar itu, perlahan-lahan berubah. Kini ia memandang ke bawah kepada anaknya yang tengah bersimpuh memohon ampun darinya. Mungkin ia masih tidak bisa melupakan ketika kudanya ditembak oleh anaknya sendiri hingga ia jatuh tersungkur. Bagaimana pula nasib kuda itu, yang meringkik kesakitan ketika kami pergi.

Dan akhirnya, Pak Lurah meraih bahu Purbasari yang bergetar oleh tangis di atas kaki bapaknya.

"Bapak ampuni segala kesalahanmu. Dan bapak pun sudah ikhlas dengan jalan yang kau pilih. Maafkanlah bapak juga jika bapak terlalu mengekangmu," ucap sang kepala desa di hadapan para warga yang menyaksikan peristiwa itu.

Darah yang semula tersendat pada kepala dan leherku, kini seolah mengalir lancar ke seluruh tubuh. Hangat. Ketegangan ini hilang seketika. Alhamdulillah...

Kini Purbasari dan bapaknya saling berpelukan dalam posisi duduk. Lalu ibunya pun menghambur ke dalam pelukan bersama.

Lagi-lagi aku, seorang perwira, hanya bisa diam menatap. Haru mengikis air mataku yang berjuang kupertahankan agar tak mengalir. Aku biar bagaimanapun adalah seorang yang sudah menyaksikan bagaimana pertengkaran antara bapak dan anak itu terjadi malam itu. Hingga melibatkan senapan dan adegan penembakan. Tapi alhamdulillah sekarang semua berakhir indah. Tapi meski begitu, aku masih belum tahu seperti apa nasibku yang sebenarnya. Pelepasan rindu ini belum selesai, jelas pasti butuh beberapa waktu.

Setelah tangis yang cukup lama di antara mereka bertiga dan warga desa, terutama nenek-nenek, ikut berceloteh mengiba, mendo'a, dan ikut menangis juga; akhirnya Pak Lurah mengakhiri pelukannya. Ia seka air matanya yang membasahi seluruh wajahnya. Dan ia mengajak putri dan istrinya untuk bangkit berdiri.

Perang telah usai. Purbasari selamat setelah bisa bermanfaat. Sudah seharusnya segala dimaafkan dan segala luka dilupakan. Aku masih berdiri tegak menunggu nasib. Belum diputuskan hukuman seperti apa yang perlu kuderita.

Setelah air mata berhasil Pak Lurah keringkan, ia beralih menatapku yang masih berdiri bertanya-tanya.

"Mari masuk Pak," dan ternyata keramahannya masih tetap sama. Membuatku luluh seketika. Dan tanpa kuasa aku melepaskan senyuman yang sama harunya dengan segala tangisan tadi.

Aku diajaknya masuk ke dalam rumah, bukan di pendopo seperti sebelumnya.

Di dalam rumahnya para pembantu sudah menyiapkan tikar, buah-buahan, dan minuman. Pak Lurah segera mengajak kami semua untuk duduk disana. Sementara warga desa pun tak diam. Mereka tetap menonton dari pintu dan dari jendela. Seolah tak ada rahasia di desa ini. Tapi memang begitulah seharusnya.

Kami semua duduk. Pak Lurah masih menyeka lagi matanya sebelum ia berbicara.

"Saya berterimakasih yang sebesar-besarnya, Pak Surya sudah membawa kembali Purbasari dengan selamat. Sebab saya tidak tahu kalau seandainya-" dan tiba-tiba Pak Lurah menangis lagi. Kurasa dia tak sanggup bila harus mengatakan seandainya Purbasari tak selamat. Betapa bapak yang benar-benar menyayangi putrinya.

Pak Lurah berjuang mengendalikan emosinya dan sekali lagi ia menyeka kedua matanya yang basah.

"Begitulah," sambungnya. Masih berjuang mengendalikan emosi. "Sekali lagi saya berterimakasih yang sebesar-besarnya."

"Jangan berterimakasih kepada saya Pak. Saya tak melakukan apapun agar Purbasari selamat. Purbasari berjuang secara mandiri dan dengan ketangkasannya dan pertolongan Allah saja dia tetap selamat," kataku yang merasa tak enak dengan segala terimakasih Pak Lurah yang berlebihan. "Justru, Purbasari lah yang menyelamatkan hidup saya."

Mendengar kalimat terakhirku, Pak Lurah tampak penasaran, dengan mimik wajahnya dia bertanya.

"Betul pak. Saya tertembak dua peluru di bagian dada dan perut. Purbasari lah yang merawat saya sehari-hari hingga benar-benar sembuh," jelasku.

Pak Lurah memandang Purbasari dengan penuh tanya. Dan Purbasari hanya menunduk malu.

"Purbasari benar-benar seorang wanita yang tangkas, berani, dan kuat. Tak ada yang perlu Bapak khawatirkan tentangnya. Dia jauh lebih hebat daripada saya Pak."

"Benar. Setelah kepergiannya kemarin, saya pun lekas sadar. Bahwa saya sudah berlebihan dalam menjaganya. Sekarang, saya yakin dan percaya bahwa dia benar-benar sudah bisa mandiri."

Dan kami pun terus berbincang. Canda dan tawa pun dengan mudah mengalir keluar dari Pak Lurah yang ramah. Para warga yang menonton dari jendela dan pintu pun tanpa sungkan ikut nimbrung berbicara dan bercanda. Semuanya seperti keluarga besar saja.

Hingga tanpa terasa, hari telah semakin sore. Pak Lurah pun bangkit, mengajakku langsung ke sisi lain rumahnya yang luas, tempat aku diizinkan untuk menginap.

"Silahkan bersih-bersih, istirahat, dan sholat dulu Jang. Nanti kami panggil lagi kalau makan malamnya sudah siap."

"Terimakasih Bapak. Saya merasa tidak enak mendapatkan semua layanan ini."

"Ah tak apa. Jangan sungkan. Jangan merasa tak enak. Kehormatan bagi saya bisa menjamu pendekar sepertimu."

"Sekali lagi terimakasih pak."

Dan kini aku pun masuk ke kamar tersebut. Kamar yang memang sudah dipersiapkan selama kami berbincang-bincang. Kasur sudah ada, pakaian bersih sudah tersedia, sarung dan sajadah untuk sholat pun sudah siap dikenakan, bahkan kamar itu pun dilengkapi dengan ruang kecil untuk kamar mandi dengan bejana air yang telah terisi penuh. Sepertinya ini memang kamar tamu. Bagiku luar biasa. Semua pelayanan ini sangat istimewa. Dan apalagi sudah lama aku tidak pernah merasakan semua pelayanan seperti ini. Bahkan di rumahku pun tidak seperti ini.[]

Continue Reading

You'll Also Like

5M 920K 50
was #1 in angst [part 22-end privated] ❝masih berpikir jaemin vakum karena cedera? you are totally wrong.❞▫not an au Started on August 19th 2017 #4 1...
1.2M 57.2K 67
Follow ig author: @wp.gulajawa TikTok author :Gula Jawa . Budidayakan vote dan komen Ziva Atau Aziva Shani Zulfan adalah gadis kecil berusia 16 tah...
13.4M 1.1M 81
♠ 𝘼 𝙈𝘼𝙁𝙄𝘼 𝙍𝙊𝙈𝘼𝙉𝘾𝙀 ♠ "You have two options. 'Be mine', or 'I'll be yours'." Ace Javarius Dieter, bos mafia yang abusive, manipulative, ps...
6.9M 341K 74
"Baju lo kebuka banget. Nggak sekalian jual diri?" "Udah. Papi lo pelanggannya. HAHAHA." "Anjing!" "Nanti lo pura-pura kaget aja kalau besok gue...