[✔] 5. 真実 [TRUTH] : The Prolog

By tx421cph

3.2M 443K 752K

The Prolog of J's Universe ❝Tentang cinta yang murni, keserakahan, hingga pertumpahan darah yang membawa peta... More

Pembukaan
Tokoh : Bagian 1
Tokoh : Bagian 2
Tokoh : Bagian 3
00
01. Para Giok Kerajaan
02. Nyanyian Naga Emas
03. Tangisan Hutan Neraka
04. Amarah Zamrud Hijau
05. Dewi Penjaga Lembah Surga
06. Kisah Kelam Anak Raja
07. Dongeng Sang Penyair
08. Punggung Putih Sang Peony
09. Pangeran Yang Diberkati
10. Sang Matahari Menaruh Hati Pada Peony
11. Bertanya Pada Roh
12. Dewi Kemalangan
13. Aku Mencintaimu
14. Payung Merah
15. Hati Sang Naga
16. Kasih Tak Sampai
17. Tangisan Para Adam
18. Terikatnya Benang Merah
19. Aliansi
20. Pedang Bermata Dua
22. Pilar Yang Patah
23. Setetes Darah Di Telaga Surgawi
24. Yin
25. Kekalahan Yang
26. Bencana Surgawi
27. Istana Para Iblis
28. Naga Emas VS Yin
29. Ksatria Terbuang
30. Kisah Janji-Janji Lampau
31. Sekat Terkutuk
32. Serpihan Setangkai Bakung
33. Mimpi Buruk Putra Naga
34. Pedang Bermata Dua
35. Darah Di Ujung Pedang
36. Menyingsingnya Matahari
37. Awal Mula Kehancuran
38. Zamrud Beracun
39. Kubangan Berdarah
40. Tawanan Raja
41. Peony Berdarah
42. Pion-Pion Yang Patah
43. Sang Pembelot
44. Pion terakhir
45. Permata Tersembunyi
46. Pelarian Panjang
47. Aliansi Terdesak
48. Rubah Di Balik Jubah
49. Sebuah Janji
50. Keturunan Sang Naga
[Final - Bagian I] Pedang Dan Bunga
[Final - Bagian II] Tangisan Terakhir Merak Putih
[Final - Bagian III] Akhir Para Legenda
Son of The Dragon
The J's Universe
Mother of The Dragon

21. Perangkap

38.5K 6.1K 14.9K
By tx421cph

haloo, udah sebulanan gak apdet :'(((

apaka kalian udah lupa jalan ceritanya hiksrot

betewe beteweee ada sebuah saran dari readers waktu itu pengen liat visualisasi pedang kembarnya Wang Jae alias Yin dan Yang.

jadiii ini dia gambaran roh pedang Yin-Yang

Yin : The baddest one, sexiest, gak pernah senyum, emosian, tapi penurut ke Yang, auranya negatif banget kayak neraka

Yang : The softest one, menawan paripurna, satu-satunya yang bisa mengendalikan kegilaan Yin, adeemmm banget bawaannya, aroma-aroma surga gitu lah

Nih si kembar meresahkan banget deh helpp 😭

Yong-Gam stan apa kabar? apakah kalian sudah berpaling ke Yin / Yang atau tetep tim Yong-Gam 😳


Selamat Membaca





Satu hari sebelumnya.


"GONG JUN TANGANMU TERLALU RENDAH!!"


DUKK!!


Wanita itu berteriak, memukul tangan laki-laki yang dia panggil Gong Jun barusan dengan pedang kayu, memukulnya ke atas.

Yang lain tampak menatap miris, sementara Gong Jun terlihat gemetaran. Ah, dia anak baru, sepertinya di memang belum terbiasa dengan ajaran Sang Pemimpin.

"Nyonya Na, ku pikir anda terlalu keras padanya." Yoon Gi yang baru saja mendekat, berbisik pelan. Berdiri menjajarinya pemimpinnya.

Wanita cantik itu, Na Yoon. Dia hanya merotasikan netranya dengan malas, tangan kanannya memegang pedang kayu, sementara tangan kirinya memegang cambuk.

"Jika dia tak segera diajari, bagaimana dia bisa cepat beradaptasi? Gong Jun sepertinya memiliki trauma setelah melarikan diri dari desanya, aku harus membantunya segera lepas dari trauma itu."

Yoon Gi berdeham pelan, "yah... anda benar, tapi saya takut dia syok lalu demam."

"Dia tidak akan," sahut Na Yoon cepat.

Kemudian, Yoon Gi memilih untuk diam, tidak mau mendebat pemimpinnya atau itu akan berakhir dia yang dihukum. Na Yoon adalah seorang wanita yang sangat tegas dan keras, sekali perintah keluar dari bibirnya maka tidak ada yang boleh melanggar itu.

Sejujurnya, mereka bukanlah sekawanan bandit. Entahlah, julukan itu tercipta begitu saja dari seluruh rakyat Goryeo.

Na Yoon adalah seorang pendekar wanita pada awalnya. Sejak dia masih muda, sejak dia... belum memiliki hubungan dengan Wang So dan melahirkan Wang Jae.

Wanita itu melarikan diri kemudian, bersembunyi dari dunia dan membuat sebuah perguruan bela diri di gunung Gwanak. Mengajar anak-anak yang tak memiliki keluarga, memberikan tempat perlindungan untuk mereka yang kehilangan rumahnya.

Kelompok Gwanaksan bukanlah perkumpulan bandit jahat yang suka membantai, tapi Na Yoon tetap diam selama ini meski sering mendapatkan makian dari orang-orang desa.

Pagi itu, seperti biasanya, dia memantau seluruh muridnya yang sedang berlatih di halaman utama.

Agak aneh. Tempat tinggal kelompok Gwanaksan sangat besar dan luas, tapi tak ada satu pun orang-orang yang bisa menemukan markas itu. Entah Dewa membantu mereka untuk bersembunyi, atau karena Na Yoon memang sehebat itu.

"Ah, Yoon Gi, tentang perempuan yang kau ceritakan semalam... apakah kau yakin dia dekat dengan anakku?"

Atensi Sang wakil pemimpin teralihkan ketika Na Yoon membuka perbincangan baru. "Maksud anda... Son Je Ha?"

"Ya, perempuan gisaeng itu."

Yoon Gi tampak berpikir sejenak, "yah begitulah, saya beberapa kali kedapatan melihatnya dengan Pangeran Wang Jae. Karena itu saya yakin mereka dekat atau memang berteman."

Na Yoon tertawa kecil, "aku agak terkejut, Wang Jae-ku bukanlah anak seperti itu."

"Sejujurnya saya juga tidak menyangka," Yoon Gi menggaruk tengkuknya, "tapi setelah mengetahui bahwa Son Je Ha adalah gadis yang tidak kenal takut, saya pikir bukan tidak mungkin dia bisa membuat Pangeran Wang Jae luluh."

Selagi mendengarkan, Na Yoon memerhatikan Yoon Gi yang menjelaskan sembari membuang pandangan ke depan. Kemudian dia tergelak, "kau juga begitu, kan?"

Pria itu menoleh dengan cepat, memandang pemimpinnya dengan kening mengernyit. "Tidak."

"Eiy," Na Yoon menyikut lengan Yoon Gi.

"Nyonya Na," pria itu menghela.

Si wanita tertawa lagi, "aku jadi penasaran dengan anak itu, dia bahkan bisa membuat kucing liarku berkata seperti ini. Mengaku saja, kau sebenarnya tidak membicarakan Wang Jae, tapi dirimu sendiri."

Pria yang matanya memang mirip kucing liar itu menghela napas panjang. Lagi. "Anda ini—"

"Hahaha, ayo kita temui anak itu besok, aku sungguh penasaran."


~~~


Son Je Ha baru saja terbangun dari tidurnya. Sebenarnya dia masih sangat mengantuk, tapi dekapan seseorang dari belakang membuatnya langsung membuka saat itu juga. Dia terkejut, lantas menunduk untuk melihat tangan kekar yang melingkari tubuh polosnya.

Perempuan itu langsung berbalik. Benar saja, sosok pria tampan dengan rambut tergerai tampak sangat pulas dalam tidurnya. Lihat, Hwang Je No bahkan tersenyum dalam tidurnya, seolah tidurnya kala itu benar-benar nyenyak.

"P-Panglima Hwang! Panglima Hwang!" Je Ha berbisik, mengguncang lengan Sang pria yang penuh bekas cakaran...nya.

Ah, sekarang Son Je Ha tidak terlalu ingat mengapa Hwang Je No malah bermalam di kamarnya.

"Hwang Yong-Geum, bangun! Mengapa anda tidak kembali ke istana?!"

Agak kesal, perempuan itu menepuk pipi Sang Panglima, membuat Hwang Je No mengernyit, menggumam dengan nada rendah.

Emm, ini bukan pertama kali, tapi— tetap saja Son Je Ha tidak bisa menyembunyikan wajah tersipunya setiap dia berada dalam satu futon dengan Sang terkasih.

Tak berapa lama, Panglima Perang itu membuka mata, meski dengan berat hati. Wajah cantik gadis gisaeng di depannya, membuatnya langsung mengulas sebuah senyum.

"Hai."

Je Ha mengernyit tidak percaya. Hai... katanya?

Perempuan itu langsung terduduk, memegangi selimut yang ia kenakan untuk menutupi tubuhnya. "Saya bertanya mengapa anda tidak langsung kembali? Bagaimana bisa anda tidur di sini?!" Protesnya.

Mendengar keluhan itu, Hwang Je No malah tertawa kecil. Dia mengulurkan tangan untuk memeluk pinggang Son Je Ha dari balik selimut.

"Semalam kau pingsan, jadi aku tidak bisa kembali begitu saja."

Son Je Ha terkejut, semburat kemerahan semakin kentara di wajah putihnya. "P-pingsan?"

"Eng, kau tidak ingat? Aku sudah sangat khawatir dan takut hal buruk terjadi, tapi ternyata kau kelelahan, Je Ha-ya. Sebenarnya aku ingin segera kembali setelah memeriksa kondisimu, tapi aku mengantuk, lalu aku ketiduran."

Mengenai dirinya kelelahan hingga jatuh pingsan, Je Ha memercayainya. Tapi yang membuatnya tak bisa percaya adalah bagaimana bisa Hwang Je No mengatakan itu semua dengan wajah tanpa dosa?

Melihat wajah Son Je Ha memerah hingga ke telinganya, muncul sebuah ide jahil di benak Hwang Je No. Pria itu tersenyum tipis.

"Ah, kau tidak biasanya seperti ini, pingsan saat di tengah-tengah kita melakukannya. Ada apa? Apakah mungkin aku terlalu—"

Kalimat Je No langsung berhenti ketika Je Ha membekap mulutnya dengan telapak tangan. Wajah perempuan itu semakin memerah, mirip buah persik.

"Bisakah... anda tidak mengatakannya dengan ekspresi seperti itu, Hwang Yong-Geum?" Lirihnya, menahan malu.

Hwang Je No semakin tersenyum, kemudian dia dengan berani menjilat tangan Son Je Ha yang masih membekap mulutnya.

"?!!"

Si gadis gisaeng terkejut, dia langsung menarik tangannya menjauh. Namun Hwang Je No yang memiliki refleks luar biasa, menangkap tangan kurus itu dengan cepat.

Son Je Ha sebenarnya bisa menghindar, tapi karena dia lebih memilih untuk menyelamatkan selimutnya yang nyaris melorot, dia pun pasrah.

Masih dengan sebuah senyuman penuh arti, Je No membawa tangan itu ke wajahnya, menciumi tiap jengkal jemari dan telapak tangan Son Je Ha sembari memandangi Sang empunya lekat-lekat.

Je Ha berusaha untuk membuang pandangan. "Hentikan," ujarnya, dengan suara pelan.

Sungguh. Akhir-akhir ini, Hwang Je No agak aneh. Pria itu menjadi lebih lengket padanya dan sikapnya menjadi lebih manja. Bahkan, Je No suka menggoda dan memancingnya lebih dulu.

Je Ha jadi ragu, apakah benar pria ini adalah Hwang Yong-Geum, Sang pria agung yang disegani seluruh rakyat Goryeo.

Panglima Perang yang menjaga setiap tutur kata dan perilakunya, kini terlihat seperti pria hidung belang yang suka menggoda di rumah bordil.

"Hwang Yong-Geum, anda mirip pria tua mesum yang pernah ku lihat di rumah bordil."

Mendengarnya, Je No terkejut, mata bulan sabitnya itu segera melebar, mirip kelinci kecil yang polos. "Bisa-bisanya kau mengataiku seperti itu? Aku ini—"

"—Panglima Perang Agung, aku tidak akan melakukan tindakan tidak senonoh." —Je No, Je Ha.

Hwang Je No langsung terdiam ketika Son Je Ha menyambar kalimatnya bersamaan, bahkan benar-benar sama persis.

Perempuan itu mendengus pelan, "sejak awal bertemu anda selalu berkata seperti itu, tapi lihat apa yang anda lakukan sekarang, Hwang Yong-Geum? Mencium dan menjilati tanganku seperti anak anjing."

Sang pria sempat melebarkan matanya karena terkejut, namun kemudian dia malah tertawa lagi. "Eiy, bagaimana bisa kau menyamakanku dengan anak anjing. Itu karena kau sangat lucu, Je Ha-ya, aku tidak bisa menahan diri."


Bugh!


"Berhentilah mengatakan hal yang ambigu!" Je Ha akhirnya memukul bahu Je No meski tak terlalu keras.

Lalu, Hwang Je No akan tertawa lagi, sedikit lebih keras, dan Je Ha akan memukulnya sekali lagi karena menimbulkan suara berisik dan takut terdengar oleh seseorang.

Hwang Je No... tidak pernah merasa sebahagia ini dalam hidupnya. Dia tidak pernah sebahagia ini ketika menggenggam tangan seseorang, tak pernah senyaman ini ketika berbincang dengan seseorang, tak pernah... tertawa seolah tak memiliki beban hidup yang harus ia bawa sendirian.

Dia merasa... bahwa Son Je Ha benar-benar seseorang yang telah ditakdirkan untuknya.

"Je No-ya."

"Em."

"Kita telah melakukannya beberapa kali, jika... emm, apa yang harus ku lakukan jika aku hamil?"

Mendengar pertanyaan itu, Hwang Je No terdiam. "Mengapa kau harus menanyakan hal seperti itu?"

"Aku—"

"Maka kandunglah anakku, dan lahirkanlah dia. Kau tahu, aku benar-benar akan menjadi seorang ayah yang paling bahagia di dunia saat hari itu terjadi." Pria itu mengulas sebuah senyum, mencium tangan Sang terkasih yang begitu enggan untuk ia lepaskan.

Hanya sebuah kejujuran yang bisa Son Je Ha lihat kala itu. Hwang Je No dengan segala tutur katanya yang lembut dan tulus.

"Jika kau berpikir aku akan meninggalkanmu, kau salah besar. Suatu saat nanti, hari itu akan datang, hari dimana aku harus memilih antara gelarku dan dirimu. Son Je Ha, aku, Hwang Je No, tanpa ragu tak akan lagi mengabdikan diriku untuk Goryeo, tapi aku akan mengabdikan seluruh hidupku untukmu."


——-oOo——-


"Ibu... P-Pangeran Wang... J-Jae?"

Malam itu, Son Je Ha sangat terkejut seolah jantungnya ingin melompat keluar. Perempuan itu berbicara dengan terbata, sepasang matanya sulit untuk berkedip. Dia bahkan tidak memikirkan bagaimana perempuan yang mengaku sebagai ibu Pangeran Wang Jae itu bisa bersama dengan Yoon Gi.

Untuk sejenak, Son Je Ha hanya terus memerhatikan wanita bernama Na Yoon itu adalah keterkejutannya.

"Ya, kau... Son Je Ha, bukan?" Perempuan itu tersenyum. Meski senyumannya tidak begitu lembut seperti seorang ibu, dia tetap terlihat sangat menawan tanpa cela.

Tunggu, bagaimana wanita ini bisa mengetahui—

"Maaf menemuimu tiba-tiba, aku tidak tahu kau akan seterkejut ini," Nyonya Na Yoon tergelak pelan, "aku mendengar tentangmu dari Yoon Gi, kalian berteman, kan?"

Seketika, Yoon Gi menyela dengn keki. "Saya bilang kami tidak berteman, anda ini." Dengusnya.

"A— t-tunggu dulu...! Anda... sungguh ibunya Pangeran ke tujuh? Benarkah?" Je Ha mundur selangkah.

"Ya, ini sungguhan," Yoon Gi menjawab dengan datar, "dan Nyonya Na adalah pemimpin kelompok Gwanaksan yang sebenarnya."

Kali ini, kejutan lain datang. Oh Dewa, Son Je Ha merasa dirinya seperti tersambar guntur dari langit.

Ibunya Wang Jae adalah pemimpin kelompok Gwanaksan? Jadi selama ini... bukan Yoon Gi?!

Sial, Je Ha terlalu pusing untuk memahami semuanya.

Bukankah ibu Pangeran ke tujuh telah lama meninggal dunia?

Tidak— sebenarnya... itu hanya rumor yang terkenal di kalangan rakyat desa.

"Maaf, sepertinya aku sangat mengejutkanmu." Wanita itu kemudian tersenyum, merasa bersalah. Selangkah mendekat ke arah Son Je Ha, lalu memegang tangan Si wanita muda.

"M-maafkan saya," Je Ha membungkuk kecil beberapa kali, "ini sangat tidak terduga, jadi... apa yang bisa saya bantu untuk anda, Nyonya?" Ujarnya, dengan sedikit kaku.

Dia sedang menunggu Hwang Je No sekarang, jadi Son Je Ha khawatir jika pria itu melihat Na Yoon di sini— meski Sang Panglima memang tidak akan mengenalinya.

Perasaannya... entah mengapa menjadi tidak nyaman.

Na Yoon memang memang memancarkan aura positif, sama sekali tak terasa energi jahat dari wanita ini meski dia adalah pemimpin kelompok bandit yang paling berbahaya. Dia wanita yang terlihat begitu lembut dan secantik Dewi, tapi...

Son Je Ha hanya merasa tidak nyaman saat melihatnya.

Impresi ini persis saat dimana dia pertama kali bertemu dengan Wang Jae.

"Aku ingin menemui putraku, Wang Jae," Na Yoon memulai kata-katanya. "Tapi sangat sulit karena orang-orang kerajaan yang akan mengenaliku, dan juga... Wang Jae tentu tidak akan langsung mengenaliku, mengaku secara tiba-tiba sebagai ibunya tentu bukan rencana yang bagus."

Ah, sepertinya... Je Ha mulai tahu kemana arah pembicaraan ini.

"Nyonya Na ingin kau memberitahu Pangeran Wang Jae dan menceritakan tentang kami, hanya itu."

Rupanya benar.

"Akan terjadi kekacauan di istana, karena itu aku ingin segera membawa Wang Jae keluar dari sana sebelum dia dimanfaatkan. Kau tahu... tentang nasib anakku selama ini yang tak bagus, bukan?"

Son Je Ha diam dengan wajah murung. Mengingat kisah menyedihkan Pangeran Wang Jae yang selama ini diceritakan padanya, membuatnya sedih.

"Saya mengerti, secepatnya... saya akan membawa Yang Mulia Pangeran menemui anda."

Meski perasaannya sangat tidak nyaman, meski berkali-kali Son Je Ha secara tidak sadar berpikir dengan sendirinya bahwa kekacauan di istana nanti malah akan berbalik dari yang orang-orang pikirkan.


——-oOo——-


"Menikahlah dengan Keluarga Hwan."

"Eommoni—"

"Ibu tahu kau adalah Putra Mahkota sekarang, tapi apakah hanya karena itu kau bisa bersantai-santai dengan tenang sekarang? Aku lega bahwa Yeo Kyung bersedia menikah dengan calon Kaisar Song, tapi aku masih tidak bisa tenang sampai sekarang karenamu, Yeol!"

Pria itu hanya menurunkan pandangannya sejak tadi. Dia sebenarnya enggan untuk menemui ibunya, tapi karena dia ibunya adalah seorang Ratu, Wang Yeol tak bisa menolaknya.

"Sungguh, apa... yang sebenarnya ibu khawatirkan?" Katanya, agak parau. "Perebutan tahta? Apakah ibu pikir adik-adikku akan melakukan itu?" Di tersenyum tipis.

Namun matanya sama sekali tak bisa berbohong. Mata itu, mata yang menyimpan kesedihan luar biasa.

Wang Yeol sudah tahu semuanya. Dia tak bisa menyalahkan ibunya yang terus mendesaknya seperti ini— ah... mungkin inilah yang dinamakan firasat seorang ibu yang mengerikan.

"Yeol, Keluarga Hwan benar-benar bisa menjadi perisaimu. Jika kau mengikat hubungan dengan mereka, maka saudara-saudaramu tidak akan bisa berkutik untuk menyentuhmu." Nada serius ibunya hanya didengarkan dalam diam oleh Wang Yeol.

Kemudian, pria itu berbisik lirih. "Tak bisakah... aku yang menentukan masa depanku sendiri?"

"Tidak bisa!" Namun ibunya yang mendengar itu kemudian membentak, "untuk duduk di tahta Raja tak hanya bisa mengandalkan garis keturunan langsung! Yeol, kau beruntung menjadi putra pertama Raja, tapi selanjutnya... untuk naik ke atas tahta, kau harus mengerahkan kemampuanmu sendiri."

Ya, tentu saja Wang Yeol tahu itu.

"Karena Keluarga Seon yang menyandang sebagai Bangsawan tertinggi tidak memiliki anak perempuan, ibu harus segera menikahkanmu dengan anak Keluarga Hwan yang memiliki posisi tertinggi kedua setelah Keluarga Seon. Kekuatan mereka tidak kalah berpengaruh, jadi ibu harap kau tidak meremehkan itu."


...


"Yang Mulia."

Wang Yeol yang baru saja keluar dari paviliun Ratu segera mengangkat kepalanya ketik mendengar seseorang memanggil. Sebelum mengedarkan oniksnya, dia bahkan sudah tahu siapa itu.

"Saya dengar Yang Mulia Ratu memanggil anda, karena itu saya datang kemari," Jae Hyun membungkukkan punggungnya sembari memberikan salam penghormatan.

"Ah, yahh..." Yeol hanya tertawa kecil sembari mengangkat bahu, "wejangan seorang ibu seperti biasa."

Seon Jae Hyun diam, memerhatikan raut wajah penuh kebohongan Pangerannya.

Kemudian Sang Pengajar Kerajaan berdeham dan mengulas senyum. "Mari kalau begitu, adik-adik anda sedang menunggu, bukankah kalian pergi berburu hari ini?"

"Em, benar."

Lalu, keduanya berjalan beriringan. Wang Yeol tidak pernah mengizinkan Jae Hyun untuk berjalan di belakangnya, mereka selalu berdampingan. Yeol benar-benar menganggap Jae Hyun sebagai sahabat dan saudaranya sendiri.

"Kau tahu, Jae Hyun," suara berat Putra Mahkota memecah keheningan.

"Ya, Yang Mulia?"

"Aku ingin memeluk Seong So sekarang juga."

Itu menggelikan, tapi entah mengapa terdengar begitu sedih di telinga Seon Jae Hyun. Namun karena tak ingin menghancurkan suasana, tuan cendekiawan tertawa kecil.

"Tolong tahan diri anda, Yang Mulia. Anda tidak bisa menemui Nona Oh sekarang."

"Kalau begitu sebagai gantinya bolehkah aku memelukmu?" Wang Yeol menoleh sembari melengkungkan bibirnya ke bawah. Mirip anak kecil yang sedang ingin dimanja ibunya.

Alis Jae Hyun berkedut. "Hentikan, Yeol! Kau menjengkelkan!" Karena kelepasan, ia dorong wajah Sang Putra Mahkota menjauh.


***


Yeo Kyung benar-benar berakhir di sini.

Istana Kekaisaran Song.

Dia menikah dengan Wen Fei Yu.

Seluruh penolakannya gagal, gadis itu benar-benar tak bisa menghindari pernikahan ini. Bahkan... kekasihnya sama sekali tak mengatakan apapun lagi sejak hari itu.

Padahal... dia berharap Yeo Woon akan berubah pikiran, dan membawanya pergi sebelum upacara pernikahan itu berlangsung.

Sayang sekali, kenyataan tak seindah bayangannya. Dia sudah pasrah sekarang.

"Kakak ipar, kakak ipar?"

"Ah, ya."

Pikiran Sang Putri bungsu kembali ke kenyataan saat seseorang dengan suara yang lembut dan halus datang menyapa.

Seorang pria— Yeo Kyung sempat terkejut ketika melihat rupa Wen Ren yang datang dengan hanfu berwarna biru laut. Dengan Zhongyi* putih bersih dirangkap dua lapis Zhaoshan* biru terang dan transparan. Ikat pinggang dan aksesorinya penuh sentuhan makhluk dalam mitologi, naga. Indah dan menawan.


*Zhongyi = lapisan pertama pakaian yang merupakan pakaian dalam, mirip kaos jika dalam busana barat.

*Zhaoshan = jubah atau mantel yang biasanya tidak ditutup / diikatkan di bagian depan.


Karena saat Wen bersaudara datang ke Goryeo Yeo Kyung hampir tidak pernah menemuinya, jadi sekarang dia agak pangling saat melihat Wen Ren.

Yeo Kyung pikir kakaknya, Han, adalah pria paling tampan dan menawan yang pernah ia temui. Namun rupanya Wen Ren berada di atas kakaknya. Si bungsu Wen tampak sangat sempurna dengan air muka lebih lembut dan senyum yang sangat ramah, tutur katanya sangat terjaga.

Tidak seperti kakak kelimanya yang suaranya bisa meruntuhkan bangunan.

Yeo Kyung pun merasa... Wen Ren bahkan lebih cantik darinya. Untuk sesaat, gadis itu memanas wajahnya saat sadar jika dia baru saja menilai seseorang habis-habisan.

"Apakah kau lapar? Mari bergabung bersama kami di perjamuan," Ren tersenyum.

Sang Tuan putri memaksakan sebuah senyum pula, dia menggeleng. "Maaf, tapi... sepertinya aku agak kelelahan, aku akan pergi ke kamar lebih dulu."

Wen Ren menyadari sesuatu, namun kemudian dia hanya tersenyum menghela. "Mari, akan ku antar ke kamarmu."

Yeo Kyung malas untuk bersama siapapun saat ini, tapi Wen Ren benar-benar memiliki niat baik, jadi dia tak sampai hati.

Berjalan bersama di sepenghujung istana yang begitu besar, perempuan itu merasa sangat lelah karena harus membalas senyuman setiap anggota Kekaisaran Song yang berjumpa dengannya di tengah jalan.

Awalnya tak ada perbincangan apapun di antara ia dan Ren, dan entah mengapa Yeo Kyung merasa perjalanannya terasa sangat jauh.

"Aku tahu kau tidak nyaman berada di sini, kakak ipar."

Yeo Kyung mengedikkan alisnya ketika Wen Ren membuka pembicaraan.

"Tapi... tolong bertahanlah di sini, bertahanlah sampai kau merasa nyaman dan bisa menerima semuanya. Aku tak bisa menolongmu, dan pernikahanmu dengan dage pun sudah terjadi, kau tidak bisa mundur."

Putri bungsu menurunkan pandangannya, nampak murung. "Aku tahu."

"Tapi aku akan melindungimu di sini, jadi... kau tidak perlu khawatir. Kau tidak bisa bersama dengan kekasihmu, dan ini demi kebaikan semua orang." Ren tersenyum, kalimatnya membuat Yeo Kyung terkejut. "Dage adalah orang yang sangat baik, aku yakin dia akan bisa membuatmu untuk melupakan kekasihmu itu," lalu pria itu tertawa kecil.

"Kau—"

"Nah, kita sudah sampai."

Ren memotong kalimat Yeo Kyung saat gadis itu baru saja ingin bertanya darimana Ren tahu perihal Yeo Woon. Si bungsu Wen berhenti di depan sebuah pintu yang tinggi menjulang, kemudian menghadap ke arah Yeo Kyung.

"Aku akan menjagamu, seperti yang diminta oleh kakakmu, Tuan putri. Akan ku pastikan kau aman berada di Bianjing bersama kami."

"Ren—"

"Selamat beristirahat, aku akan mengatakan pada dage jika kau sedang tidak ingin diganggu."

Kemudian, pria rupawan itu undur diri setelah menundukkan kepala dengan sopan dan memberikan salam formal. Dia berbalik, keliman hanfunya yang mirip ombak lautan itu berkibar seiring dengan surai legamnya yang jatuh menjuntai.

Ada terlalu banyak pertanyaan di benak Yeo Kyung. Tapi untuk saat ini perempuan itu lebih memilih untuk memijat pelipisnya yang berdenyut dan masuk ke dalam ruangan.

Ah, ruangan yang sangat besar dan mewah. Interior kekaisaran Song sangat berbeda dengan kerajaan Goryeo yang memiliki langit-langit rendah.

Gadis cantik itu menarik selendang merah yang melingkar di bahu dan lengannya sejak tadi, melipatnya dengan rapi dan menaruhnya di atas kasur.

"Kau belum makan sejak semalam, mengapa tak bergabung ke perjamuan?"

Si Putri bungsu membalikkan tubuhnya dengan cepat, alisnya tertaut sempurna, dan keningnya bergerak tidak nyaman.

Dia memicing ketika mendapati Putra Mahkota Kekaisaran masuk tiba-tiba. "Bukankah Ren mengatakan padamu untuk tidak menggangguku saat ini?"

"Aku hanya mengatakan jika kau belum makan sejak semalam, dan sekarang mari kita ke perjamuan," jawab Wen Fei Yu, rendah dan datar.

Yeo Kyung berbalik, "aku tidak berselera."

"Siapa yang peduli dengan itu?"

Gadis itu mendengus tidak percaya, "apanya pria yang baik? Ren kau bercanda," gumamnya.

"Aku bisa mendengarmu," sahut Fei Yu.

"Siapa yang peduli dengan itu?"

"Kau istriku sekarang."

"Lalu apa masalahnya?"

"Kau istriku, maka kau harus mendengarkan dan menuruti seluruh kata-kataku," suara Fei Yu masih datar, di kemudian berjalan ke samping untuk meletakkan pedang goloknya di rak penyangga pedang.

"Jadi aku adalah istri atau dayang?" Yeo Kyung sarkas.

"Hanya ikut dan makan denganku sekarang, jangan membuat perdebatan yang tidak berguna."

Suara Wen Fei Yu sebenarnya cukup tenang, namun bagi Yeo Kyung terdengar sangat menyebalkan.

"Aku tidak mencintaimu," desis Yeo Kyung.

"Aku juga tidak mencintaimu," balas Wen Fei Yu.

Kemudian, gadis itu mengepalkan tangannya erat-erat. "Jadi apa alasanmu menikahiku? Kau bukan tipikal pria yang akan menikahi gadis dari kerajaan lain untuk memperkuat relasi—"

"Memang, bukankah sebelumnya aku sudah berkata bahwa aku melakukan ini demi kakakmu?"

Yeo Kyung mendecih, "kau yakin hanya karena itu? Hanya karena permintaan kakakku? Dan kakak siapa yang kau maksud—!"

"Wang Han."


***


"HEI BRENGSEK ITU KELINCIKU!!" Wang Han melempar kakak keduanya dengan batu— meskipun tidak kena.

"Apa maksudmu?! Aku yang menangkapnya lebih dulu kok!" Jin protes tidak terima.

"Aku sudah menargetkannya bodoh!!" Han yang memegang panah tampak kesal setengah mati.

"Hei! Jangan melukainya!" Wang Jae mulai panik saat menyadari kedua kakaknya berniat menggunakan senjata untuk menangkap kelinci-kelinci liar di hutannya.

"Eiy, bagaimana mungkin jangan melukainya? Kan pada akhirnya dia juga akan dimakan," Jin sudah menggendong dua kelinci di kedua lengannya.

Wang Jae melotot kaget, dia merebut kelinci-kelinci itu dengan cepat. "J-jangan dimakan! Tidak boleh dimakan!"

"Hei!" Jin mencoba untuk merebutnya kembali, tapi Wang Jae sudah mundur lebih dulu dan menabrak Wang Yeol yang berada di belakangnya. "H-hyung—!"

"Kita baru mulai berburu dan kalian sudah bertengkar," Sang tertua mendengus, "hati-hati, jangan sampai kau diculik roh jahat di hutan ini."

"Bicara yang tidak-tidak," Han tampak malas.

"Hahahaha, sudah hentikan kalau begitu, kita harus menikmati perburuan ini."

"Hyung-nim, Jin hyung akan memakan kelinci-kelinci ini," Wang Jae panik, "t-tolong larang dia!"

Jin mendelik, "memang itu kan tujuan kita berburu!"

"J-jangan kelinci! Makan saja harimau sana!" Wang Jae balas berteriak.

Yeol, Han, dan Jae Hyun sampai terkejut. Karena memang tidak biasanya Wang Jae mau berdebat sampai bersuara keras seperti ini, apalagi dengan Jin.

"Sebelum memakan harimaunya aku yang akan dimakan duluan! Kau sudah gila Jae!" Jin mulai kesal.

"K-kalau begitu rusa saja! Atau... atau cari ikan di sungai!"

"Ah, seriusan kenapa kalian sangat bodoh," Han mengusap keningnya, kembali mengantongi anak panah ke belakang punggung.

"Kau kenapa sih?!" —Jin.

"Kau yang kenapa hyung!" —Jae.

"Berikan kelinciku!" —Jin.

"Ku bilang jangan memakannya!" —Jae.

"Daging kelinci enak tahu!" —Jin.

"Kau sangat kejam! Kau bukan manusia!"

"Yang Mulia, anda tidak mau menghentikan mereka?" Seon Jae Hyun memerosotkan bahu.

Tapi Wang Yeol mana mungkin pernah melerai adik-adiknya yang bertengkar, dia malah tertawa dan menikmatinya. "Mereka lucu, kapan lagi kau akan melihat Jin dan Jae bertengkar perkara kelinci?"

"Yang Mulia..."

"Tapi Wang Jae sepertinya memang berhati lembut, huh? Aku tidak menyangka dia rupanya sangat menyukai kelinci sampai seperti itu." Sang sulung tersenyum menghela.

"SUDAHLAH HENTIKAN KALIAN BERDUA! ATAU KU JEJALKAN BATU INI KE MULUT KALIAN!" Han berteriak marah, dia menarik rambut Wang Jae hingga membuat adiknya itu terhuyung, kemudian menendang tulang kering Wang Jin.

"Arghh!!" Jin, Jae.

"Kelinci, rusa, harimau! Terserah hewan apapun itu kita harus mendapatkannya di perburuan ini!! Mau memakannya atau tidak terserah!! Kalian sangat menjengkelkan seperti bocah gila!!" Han mulai mengomel seperti biasanya, mirip ibu-ibu.

Wang Jae hanya mendengus samar sembari mengusap kepala belakangnya, dia mundur beberapa langkah untuk menjauh dari Jin.

"Kau juga hyung!" Han menoleh ke arah Yeol, "kakak sulungnya aku atau kau?! Kenapa harus aku yang melerai pertengkaran dua bocah biadab ini?! Kau juga Jae Hyun! Kau pengasuh mereka!"

Wang Yeol yang ikut diomeli hanya melebarkan matanya dengan tampang tanpa dosa.

Sementara Jae Hyun tampak tertekan, "ha... haha... Hwangja-nim apakah anda benar-benar menganggap saya sebagai pengasuh?"

Pangeran kelima memalingkan wajahnya hingga rambutnya itu terkibas, "kalian boleh menangkap kelinci, tapi jangan memakannya! Tangkap hewan apapun yang kalian inginkan!"

"Eeehhh!! Tapi aku mau makan daging kelinci!" Jin protes lagi.

Wang Jae lega, dia membawa dua kelinci yang ia gendong dan memasukkannya ke dalam keranjang.

"Diam atau aku yang akan memakanmu," ancam Wang Han.

Jin langsung melengos, "kau sangat tidak asik, jika ada Hun, dia pasti sudah setuju denganku."

"Ah, benar. Dimana Wang Hun?" Tanya Yeol sembari mengedarkan pandangan ketika menyadari adiknya yang satu itu tidak ada.

"Pangeran Hun bilang dia akan segera menyusul—"

"Aku di sini, apakah kalian sudah mendapatkan tangkapan?"

Dari belakang, seseorang menimpali. Mereka menoleh, sosok pria tampan yang menunggangi kuda berwarna coklat tampak turun dari atasnya kemudian. Dia sudah siap dengan perlengkapan panah dan sebilah pedang di pinggang.

"Kau darimana, Hun?" Tanya Yeol.

Hun berjalan mendekati kakaknya, "em, aku menemui Raja."

"Raja? Ada apa?"

"Ah, itu... tidak ada yang penting. Yah, hanya mengenai masalah pembangunan benteng di teritori timur."

"Em... begitu."

"Ya."

"HUUUNNN!!"


Brugkh!!


"Aku mendapatkan dua kelinci! Tapi Wang Jae mengambilnya dariku dan melarangku untuk memakannya! Kau setuju denganku kan?! Kau mau makan daging kelinci juga kan?!"

Hun tampak tidak nyaman ketika Wang Jin tiba-tiba datang dan menubruknya dengan tubuh bongsor itu. Dia segera menghempaskan rangkulan Jin sembari mendecak.

"Aku tidak makan daging kelinci!"

Jin langsung kecewa. "Eiy!! Kenapa tidak!!"

"Kelinci hewan yang lucu, apa kau benar-benar tidak punya hati?"

Mata Wang Jae tampak berbinar ketika mendengar jawaban Wang Hun, dia mengangguk kukuh beberapa kali.

Selagi Hun menyiapkan anak panahnya sembari mengabaikan Jin yang mengomel dan merengek, Sang Pangeran keempat kemudian mengedarkan pandangan, sadar bahwa dia merasa diperhatikan.

Sepasang mata coklatnya kemudian bertemu dengan mata hitam Wang Han.

"Apa?" Tanyanya.

Han diam sebentar. "Tidak," kemudian dia berbalik dan berjalan sendirian semakin ke dalam hutan.

Anak-anak Raja itu cukup jarang melakukan perburuan bersama, hanya khusus untuk para Pangeran dan orang-orangnya, tanpa pengawal atau prajurit. Ah, biasanya Hwang Je No dan Guan Yu ikut, tapi hari ini keduanya memiliki urusan masing-masing yang cukup penting, sepertinya.

Jika ada kedua rival abadi itu, suasana akan jadi semakin menegangkan karena perdebatan dan perkelahian tanpa henti.

"Jadi, hewan apa yang ingin Pangeran sekalian tangkap?" Tanya Seon Jae Hyun, dia tampak lebih menawan dengan rambutnya yang diikat tinggi tanpa ikat kepala seperti biasanya.

"Aku masih ingin memburu kelinci," —Jin.

"Hyung!" —Jae.

"Aku tidak akan memakannya kok!?"

"Tidak, kau pasti akan memakannya diam-diam!"

"Aku apa saja, jika nanti harimau lewat maka akan ku tangkap," Hun mengangkat bahu.

Jae Hyun tertawa canggung, "sepertinya tidak mungkin ada harimau lewat di hutan terbuka seperti ini, Yang Mulia."

"Hm, aku ingin makan hati rusa," sahut Wang Han.

"Ah, jika Yeo Kyung dan Ye Hwa masih bersama kita, mereka pasti juga ingin dibawakan hati rusa."

Celetukan Wang Yeol barusan membuat beberapa orang di sana terdiam. Pria itu tersenyum, namun tampak sedikit sedih. Sementara Jae Hyun membungkam, dan Han melirik kakak tertuanya.

"Jangan khawatirkan mereka, Hwa dan Kyung bahkan makan makanan yang lebih enak dari hati rusa sekarang," kemudian Wang Han melewati tubuh kakaknya dan menarik anak panah.

Wang Yeol tersenyum menghela, "ya, aku hanya... sedih karena ingin melihat kedua adikku lebih lama lagi."

Seon Jae Hyun tak bisa menahan reaksinya, "Yang Mulia..."

Hingga beberapa saat kemudian, para Pangeran terpisah. Sebenarnya hanya Wang Jae saja yang agak menjauh dari saudara-saudaranya, Yeol, Han, dan Jae Hyun sedang sibuk memburu rusa, sementara Jin dan Hun sepertinya benar-benar mengincar harimau.

Wang Jae sebenarnya tidak terlalu berminat untuk berburu hewan buas apalagi memakannya. Jadi saat ini dia mencoba mengejar beberapa kelinci yang terus saja berlarian saat melihatnya.

Dia tidak membawa busur dan panah seperti saudara-saudaranya, hanya Pedang Yang, sementara Yin ia tinggalkan di dalam kamar.

Tidak baik menurutnya membawa Yin keluar dari istana terlalu sering.

"H-hei... kemarilah, aku... tidak akan memakanmu kok," katanya agak pelan sembari mengulurkan tangan pada beberapa kelinci bermata merah, "aku tidak seperti hyung-ku."

Tapi tetap saja, kelinci-kelinci itu berlarian saat dia mendekat.

Wang Jae mulai lelah, dia menegakkan punggungnya. "Ah sungguh."

"Hup!"

"??"

Seseorang kemudian muncul dari balik pohon, Wang Jae mengangkat kepalanya, dia terkejut saat melihat kelinci yang melarikan diri darinya berhasil tertangkap.

Tidak, bukan tertangkap, tapi kelinci itu memang lari ke pelukan seseorang yang baru saja menampakkan diri.

"Apakah anda menyukai kelinci?"

"Kau??"

"Mengapa anda seterkejut itu saat melihatku? Seperti aku ini hantu saja."

Pangeran ke tujuh menggelengkan kepala beberapa kali, dia benar-benar tak salah lihat bahwa perempuan itu adalah Son Je Ha.

Yah, harusnya Wang Jae tak perlu terkejut lagi jika dia bisa menemui Son Je Ha kapan saja di area hutan.

"Ini," Si gisaeng meringis, memberikan kelinci di tangannya ke lengan Wang Jae.

"Kenapa kau di sini?"

"Aku biasa lewat hutan ini, kok. Sedang cuci baju, hehe."

"Apakah memang sekebetulan ini?" Wang Jae menghela.

"Apa?"

"Tidak."

"Aku memang melihat anda dan para Pangeran lain berburu tadi saat di depan hutan," ujar perempuan itu.

"Jadi benar kau sekarang sengaja muncul di depanku," sela Wang Jae.

"Tidak— iya sih... yah, sebenarnya ada hal yang harus ku katakan pada anda, dan ini penting."

Atensi Wang Jae teralihkan sepenuhnya. Dia mengedikkan alis dan mendapat raut wajah Son Je Ha tampak berubah serius, itu membuat Wang Jae malah berdebar.

"A-ada apa?"

"Karena ini penting, jadi... sepertinya aku tidak bisa mengatakannya begitu saja di sini, agak... berbahaya juga." Dia sedikit berbisik, membuat Wang Jae terkejut.

"H-hei apa maksudmu?"

"Hwangja-nim, bagaimana jika nanti malam kita bertemu di sungai belakang gyobang? Apakah anda keberatan? Ini benar-benar... tidak bisa dibicarakan begitu saja di tengah hutan seperti ini."


***


"Oh, Tuan Seon!"

Ah, untuk beberapa waktu akhirnya Seon Jae Hyun kembali menginjakkan kakinya di gyobang. Pria itu berdiri di ambang pintu kamar Son Je Ha, tersenyum tipis seperti kebiasaannya selama ini.

Hanya saja... ada yang berbeda dari senyum itu. Senyum yang tak lagi sama di kala lalu.

Si gadis gisaeng tampak tersenyum lebar, seolah dia bahagia melihat kedatangan Seon Jae Hyun. Perempuan yang sedang melipat selimut itu kemudian beranjak.

"Anda akhirnya datang!" Je Ha sumringah.

Memandangi wanita muda yang jauh lebih pendek darinya selama beberapa saat, Jae Hyun kemudian meletakkan telapak tangannya di atas pucuk kepala Si gisaeng dengan sangat lembut. "Apakah... kau menungguku?"

Jae Hyun berharap... Je Ha mengatakan 'ya, ya dan sangat... merindukanmu.'

"Eum! Mengapa anda selalu menitipkan emas pada Nyonya Yoon tapi tidak pernah menemui saya?" Je Ha mendongakkan kepalanya.

"Ah, itu... aku hanya sedang sangat sibuk akhir-akhir ini, jadi aku tidak sempat untuk menemuimu. Maafkan aku."

"Tidak tidak, anda tidak perlu meminta maaf." Perempuan itu menggeleng cepat, "terima kasih sudah datang malam ini, apa tuanku ingin minum teh?"

Son Je Ha tidak tahu mengapa dia menawari Seon Jae Hyun untuk masuk dan minum teh, padahal dia yakin Pangeran Wang Jae sepertinya sudah berada di sungai belakang gyobang.

"Tidak, aku akan kembali sekarang," Jae Hyun menolaknya dengan halus.

"Eh?"

"Aku ada tugas penting di sekitar sini, karena itu saat ini aku sedang mampir."

Kemudian, Son Je Ha terdiam. Dia kadang bertanya-tanya mengapa tuan cendekiawan kini berubah. Pria itu memang tetaplah Seon Jae Hyun yang hangat dan baik hati, tapi Jae Hyun seperti mencoba untuk menjaga jarak darinya.

"Em, baiklah... Tuan Seon."

"Panggil aku orabeoni."

"Y-ye?"

Dengan sepasang mata teduhnya, pria itu menatap perempuan yang dia cintai. "Bukankah aku sudah mengatakan padamu, anggap aku sebagai kakakmu, Son Je Ha. Kau pun pernah berkata... ingin memiliki seorang kakak, bukan?"

Ah, Je Ha takut merasa lancang, tapi dia memang akan sangat bersyukur jika memiliki seorang kakak seperti Seon Jae Hyun.

"Tuan Seon—"

"Apa kau tidak mau menjadi adikku?"

Si wanita muda terkejut, dia menggeleng dengan cepat. "B-bukan itu maksud saya! Hanya... anda adalah seorang... em, Pengajar Kerajaan, anda bahkan juga seorang bangsawan—"

"Apakah itu penting sekarang?" Senyum Jae Hyun melembut, "ini hanya antara kau dan aku, mengapa kau mengikutsertakan kasta dan kedudukan?"

Senyuman yang sangat menawan. Bahkan dengan suaranya yang begitu menenangkan aliran air, Seon Jae Hyun dan seluruh tutur katanya yang halus selalu bisa membuat hati Son Je Ha merasa sejuk.

"Orabeoni..." kemudian dia bersuara tanpa sadar.

"Ya, bukankah... itu terdengar lebih baik?"

Setelah mengatakan itu sembari mengusap pelan pucuk kepalanya, Seon Jae Hyun berbalik. Pria itu memilih untuk pergi tanpa mengucapkan kalimat apapun, meninggalkan Son Je Ha yang masih tercenung di ambang pintu, memerhatikan punggung tegap tuan cendekiawan yang semakin jauh darinya.

Tuan Seon terlihat aneh.

"Oh!"

Tersadar, pikirannya segera kembali ke kenyataan. Son Je Ha langsung keluar dari kamarnya dan menutup pintu, berlari kecil melewati lorong hingga keluar menuju halaman belakang.

Sungguh, Je Ha khawatir Pangeran Wang Jae akan marah karena dirinya yang terlambat. Pria itu terlihat seperti orang disiplin yang tidak mau mentolerir kesalahan.

Perempuan itu masih berlari kecil, dia tergesa, menuju ke sungai yang tampak begitu tenang, berkilauan karena pantulan rembulan.

Benar, Wang Jae ada di sana.

Pria itu memunggunginya, terlihat duduk sembari memainkan air. Karena pakaiannya serba hitam, Wang Jae nyaris tidak terlihat.

"H-Hwangja-nim!" Serunya pelan.

Yang dipanggil menoleh, air muka Wang Jae langsung berubah ketika melihat kedatangan Son Je Ha. Dia berdiri, menepuk-nepuk pakaian.

"Kau datang," pria itu tersenyum.

Je Ha yang baru sampai, terheran. Dia mengernyit sembari memandangi Sang Pangeran yang terlihat senang saat itu.

Apa ini? Kenapa dia tidak marah? Pikirnya.

"Mm... maaf, anda pasti sudah menunggu lama," sesalnya.

"Tidak masalah," Wang Jae masih tersenyum.

Serius, pria ini benar-benar tidak marah.

Padahal dia bertampang sangar, dan Wang Jae memang orang yang cukup sensi kan?

"Hei? Kenapa kau malah melamun?"

Je Ha mengerjap, "Ah, m-maaf..."

Wang Jae melipat sepasang tangannya, memerhatikan Si gadis gisaeng dari ujung kepala hingga ujung kakinya.

"Jadi? Hal sepenting apa yang ingin kau bicarakan?"

Ditanyai seperti itu, Je Ha agak bingung. Sungguh, dia bahkan bingung harus memulainya darimana.

"Sebelum itu... saya harap anda mendengarkan dengan tenang, dan tolong untuk tetap mengendalikan diri bahkan setelah saya selesai memberitahu anda semuanya."

Mendengar kalimat pembuka yang seperti itu, Wang Jae langsung was-was dan perasaannya tidak nyaman.

"Apa... maksudmu? Sebenarnya apa yang ingin kau bicarakan?"

Sial, ini bukan hal yang buruk kan?

Son Je Ha menarik napas panjang, "ini mengenai ibu anda, Yang Mulia. Beliau baru saja menemui saya tempo hari."


-----oOo-----


Jika dihitung dengan benar, seharusnya hari ini adalah hari penyerangan itu tiba.

Wang Han sejak pagi sangat waspada. Dia terus memerhatikan sekelilingnya dan tak bisa tenang. Pasukan kerajaan diam-diam juga telah siap di tempat masing-masing.

Namun... bahkan hingga siang hampir terlewat, sama sekali tak ada keanehan yang terjadi.

Sekarang, semuanya sedang minum arak bersama di ruang perjamuan. Suasana tetap seperti biasanya, tenang namun juga ribut karena pertengkaran beberapa Pangeran.

Han terus melirik saudara-saudaranya yang ramai seperti biasa. Jin bahkan sesekali mencari gara-gara dengannya, membuatnya kesal setengah mati.

Hanya Wang Yeol dan Wang Jae tak ada di sana. Dia kini sedang minum bersama Wang Jin, Wang Hun, Seon Jae Hyun, dan Hwang Je No. Entah kemana dua saudaranya itu.

Tapi meski tak ada hal aneh yang terjadi sepanjang hari ini, Wang Han benar-benar merasa tidak tenang. Dia merasa... sesuatu yang buruk sungguh akan terjadi.

Beberapa saat, Pangeran kelima itu saling lirik dengan Seon Jae Hyun diam-diam. Hingga—


Drap drap drap!!!

BRAKK!!!


"Uhuk!!" Hun tersedak araknya ketika seseorang dengan derap langkah bagai gemuruh datang dan membanting pintu aula perjamuan.

"A-ada apa?!"

Seorang prajurit istana datang menerobos masuk. Semuanya terkejut setengah mati dengan cara kedatangan Si prajurit yang tak biasa.

Jika Han tidak salah ingat... prajurit yang baru saja datang ini namanya Baek Kyung Soo.

"M-maafkan saya karena bersikap lancang!" Kyung Soo membungkuk dalam-dalam, dia tampak sangat panik. "Tuan Seon—!"

"A-ada apa? Apa yang terjadi?!"

Dengan tangan gemetar dan raut ketakutan, kalimat Kyung Soo menampar telak orang-orang di dalam sana. "Yang Mulia Raja... Yang Mulia Gwangjong memerintahkan Guan Silhaengja untuk menghukum Putra Mahkota!"

"Apa?!!"

Semuanya berdiri. Yang jauh lebih terkejut adalah Wang Han.

"K-kenapa?! Apa yang sudah dilakukan hyung-nim?!" Seru Jin.

"Hei! Jika kau bermain-main dengan ini kau akan dihukum mati!" Teriak Wang Hun marah.

J-Je No ikut panik, dia menatap Jae Hyun. "Tuan Seon, kita harus memeriksanya sekarang!"

Wang Han yang tak bersuara sedikitpun, dia mengepalkan tangannya kuat-kuat dan berlari keluar dari aula. Berusaha menahan umpatan mati-matian, Han berlari hingga pakaiannya berkibar.

"Yeo Woon kau bajingan brengsekk!!! Beraninya kau berbohong padaku!!!"

Kyung Soo tidak berbohong. Han juga tahu jika Kyung Soo adalah orang kepercayaan Wang Yeol, dan pria itu benar-benar serius.

Wang Yeol ada di sana, di atas tempat eksekusi, berlutut dengan kepala tertunduk, bertelanjang dada, dengan rambut panjang tergerai ke depan. Di belakangnya, Guan Yu berdiri—

—memegang cambuk panjang dari besi.

Gwangjong berdiri dari balkon paviliun, raut wajahnya sangat mengerikan, seperti menahan sebuah amarah besar tak terkendali.

Han gemetaran, dia tidak tahu apakah bagus untuk meneriaki ayahnya sekarang. Tapi... apakah Guan Yu benar-benar akan mencambuk Wang Yeol?!

"Hyung-nim!!!" Jin berteriak, "Guan Yu mengapa kau akan mencambuk hyung-nim?!!" Marahnya, matanya sudah basah karena ingin menangis.

Guan Yu sendiri hanya berdiri dengan kaku di tempatnya. Dari ekspresi wajahnya, sangat terlihat bahwa dia cukup tertekan. Tangannya yang memegang cambuk itu bergetar, dia tidak sanggup.

"Yang Mulia..." bisiknya.

Wang Yeol menatap kosong ke lantai kayu di bawahnya, "lakukan... Guan Yu."

"HYUNG-NIM!!!" Jin dan Hun terus berteriak.

"Guan Yu kau harus turun!! Apa kau gila akan mencambuk Putra Mahkota?!!"

"DIAM KALIAN SEMUA!!"

Teriakan Raja Gwangjong yang menggelegar, mengejutkan para Pangeran.

"Jangan ada yang berani mengganggu atau ku perintahkan Guan Yu untuk membunuh kalian semua!!"

Jin dan Hun langsung diam. Mereka tampak ketakutan, Jae Hyun pun tak bisa berbuat apapun. Dia melirik ayahnya yang berdiri di belakang Raja, dan sayangnya... Sang ayah pun hanya menggelengkan kepala.

"Apa yang sebenarnya telah terjadi..."

"Putra Mahkota lebih memilih untuk menentang perintahku," suara Raja Gwangjong memenuhi area eksekusi, "sebagai seorang Raja aku tidak bisa mengabaikan seseorang yang lebih memilih untuk berkhianat tidak peduli dia adalah anakku sendiri!"

"A-apa maksud Raja... berkhianat...?"

"Guan Yu, cambuk dia sebanyak 500 kali dan buang dia ke jurang!!!"

Perintah itu, mengejutkan semua orang.

"Pyeha!!"

"Wang Yeol dilengserkan dari kedudukan Putra Mahkota! Dan dia bukan lagi anggota keluarga kerajaan!!!"





To be continued...


.

.

.





hayolo, jadi sebenernya ini ulah siapa

Continue Reading

You'll Also Like

124K 19.1K 47
END Yogyakarta dan kamu, dua hal yang membuatku terkesan akan skenario yang telah Tuhan lukiskan. Aku hanya bisa terus berdoa, agar kisah kita selalu...
646K 126K 56
SUDAH TERBIT/DIBUKUKAN 📖 - part masih lengkap cinta masa SMA? bodoh ©anyanunim
2.9M 35.3K 11
Estefania Aretta seorang perempuan yang menginjak umur 25 tahun ini. Bekerja sebagai salah satu pemilik tokoh bunga di kota Las Vegas. Semua nya berj...
Extra Love Story By Roaila

Historical Fiction

2M 186K 55
Transmigrasi series ~ 2 •••••• Zea Andara Alexander, putri bungsu keluarga Alexander yang tidak pernah di anggap. Zea berpura-pura lemah di depan kel...