Livin with Caratto✅

By datieznph

2.9K 469 8K

Baca Bismillah dulu biar berkah! Welcome to Caratto Family🌹 Hanya sebuah cerita dari bangunan bertingkat dua... More

Prolog
1. Kamar 1- Garis-Davin(Garda)
1. Kamar 2 - Tasya-Habib(Tabib)
1. Kamar 3 -Sarra-Andre(Saran)
1. Kamar 4 - Nadya-Galang (Naga)
1. Kamar 5 - Adel-Ida(Ada)
1. Kamar 6 - Patia-Patima(Papa)
1. Kamar 7 - Wulan-Juni(Wuni)
1. Kamar 8 - Sanas-Fira(Safir)
1. Kamar 9 - Nabila-Ufi(Nafi)
1. Kamar 10 - Puspita-Lifia(Tali)
1. Kamar 11 - Dwi-Evelyn(Dev)
1. Kamar 12 - Risa-Maria(Samar)
1. Kamar 13 - Angel-Ria(Jeri)
2. Kamar 1. Garis-Davin(Garda)
2. Kamar 2. Tasa-Habib(Tabib)
2. Kamar 4. Nadya-Galang (Naga)
2. Kamar 5. Adel-Ida (Ada)
2. Kamar 6. Patia-Patima(Papa)
2. Kamar 7. Wulan-Juni(Wuni)
2. Kamar 8. Sanaz-Fira (Safir)
2. Kamar 9. Nabila-Ufi(Nafi)
2. Kamar 10. Puspita-Lifia(Tali)
2. Kamar 11. Dwi-Evelyn(Dev)
2. Kamar 12. Elgina-Meilia(Name)
2. Kamar 13. Angel-Ria(Ari)
Epilog
Secretto Story (Reywon)

2. Kamar 3. Sarra-Andre(Saran)

49 12 191
By datieznph

Bismillah dulu ya!

💎💎💎

Aku terjatuh dan tak bisa bangkit lagi
Aku tenggelam karena tak bisa berenang

"Eh salah dugong! Harusnya aku tenggelam dalam larutan cuka garam,"

"Cuka garam pala lo. Kita tenggelam kan karena gak bisa berenang, coba kalau bisa pasti gak tenggelam."

Gue sebenarnya ke aula depan pagi-pagi banget karena mau beli sayur, sekalian mau minta maaf sama Argia. Menurut gue, siapapun yang salah tetap kita harus baikan karena kita saling membutuhkan. Tapi karena liat Ria sama Adel lagi karaokean pake layar screen milik Nadya, gue berhenti sebentar buat liat tingkah mereka.

"Ya tapi lagunya gak gitu,"

Dan mereka sedang bertengkar pasal lirik lagu yang salah, kebetulan mungkin mereka mengidap penyakit buta mendadak karena begonya gak liat layar lebar didepannya udah sediain lirik karaokenya.

"Udah, udah! Ulang." Ria mengambil alih microfon dari tangan Adel.

Aku terjatuh dan tak bisa bangkit lagi
Aku tenggelam dalam lautan luka dalam
Aku tersesat karena belum download google maps.

"Bego!"

Aku tanpamu, butiran pasir.

"Ria bego ih. Gak gitu,"

"Serah gue ih, kan ini milik gue."

"Hh, tau ah. Ngambek gue."

Gue geleng-geleng pasrah. Mereka umur berapa sih? Tengkar soal gituan juga, gue yang malu.

"Tumben mbak ikutan?"

Gue disapa Patia yang berjalan sambil nyedot susu kotak didepan gue. Keknya nih anak mau berangkat ke sekolah.

"Kagak, gue nungguin tukang sayur."

"Oh, eh mbak liat Juni gak? Gue di tinggalin masa,"

"Lu kalau kesekolah gak usah pake dandan. Lama, Juni berangkat jam 6 tadi."

"Make up kebutuhan cewek mbak," Sahutnya sambil membuang kotak susu yang sudah kosong ke tempat sampah ujung aula, "Patia berangkat mbak, dah!" teriaknya berlari keluar gerbang.

Gue cuman ngangguk doang dan atensi gue kembali ke arah dua orang yang sedang mempertahankan ego masing-masing.

"Gue kok gak diajak karaokean?"

Sarra tiba-tiba datang membawa gayung, gue tebak sih dia baru aja nyiram tanaman depan kamarnya. Fikiran gue kembali melayang, apa anak itu baik-baik saja? Udah terhitung hampir seminggu Andre gak keliatan diarea kost yang itu berarti Andre gak pernah balik ke sini. Apa permasalahannya masih itu? Apa baik Sarra ataupun Andre gak ada yang mau mengalah?

"Ya udah, gue break dulu." Ria memberikan mic nya ke Sarra.

"Ok thanks."

Mama, oh mama
Aku ingin pulang
Kurindu kepadamu
Dia yang kucinta telah berdusta
Kini tinggalkan diriku.

"Del, gue lapar." senggol Ria

"Sama, ke kamar 11 yuk. Dwi keknya buka warung,"

"Ya kan emang buka warung kan sejak jaman purba?"

"Jangan banyak bacot. Yuk ah,"

Gue natap kosong kearah mereka berdua yang tadi bertengkar kini malah saling merangkul dan berjalan menjauhi area aula menuju tangga yang menghubungkan lantai satu dengan lantai dua.

Mereka meninggalkan Sarra yang sedang khusyu menyanyi dengan gayung yang digoyang-goyangkan.

Cincin emas melingkar
Ia berikan dulu
Untuk apa kalau ia tak cinta?
Gaun bersulam sutra
Ia berikan dulu
Untuk apa kalau ia tak rindu?
Keringlah sudah air mataku
Mama, aku ingin pulang.

Hh, bener-bener rumit ya rumah tangga mereka. Padahal Andre sudah bilang dia gak selingkuh, tapi kok kesannya Sarra kek masih percaya gossip itu?

But, don't believe what you see. Gak semua apa yang lo lihat dan dengar itu benar. Mungkin ada sesuatu yang disembunyikan Sarra dalam diamnya, entah itu fakta yang sebenarnya atau suatu penyesalan yang masih kasat mata.

Bentar! Kok malah gue sih yang menilai? Emang gue siapa?

"Gak seru ah,"

Sarra mematikan tombol on off mic dan menyimpannya kedekat sound speaker yang masih menyala.

"Gak seru tapi lo menghayati banget tadi, kek liriknya tuh ngena banget gitu lo," komentar gue saat Sarra memilih berjalan dan duduk didekat gue.

"Nyanyi tuh emang paling enak kalau dinikmati mbak."

"Bagaimana perasaan lo?"

"Hm?"

"Perasaan lo yang sekarang?"

Gak ada jawaban, hanya senyuman segaris sempat terlihat dibibirnya, matanya tertuju kearah gayung bergambar hello kitty yang dimainkan jarinya.

"Kalian belum baikan?" please lah Wi, napa sih lo seberani ini? Napa sih suka banget tau urusan orang? Diri lo aja belum benar, sok-sok an mau nambah beban.

Sarra cuman menggeleng,"Keknya cuman sampai disini deh mbak," tuturnya.

Hah?

"Maksud lo apa Sar?"

"Gue gak nyangka hubungan yang susah payah gue pertahankan akan selesai seperti ini."

Ngawur nih anak. Gak jelas banget sumpah.

"Lo udah ketemu sama Andre lagi? Udah bicara baik-baik kan?"

"Ingat gak mbak kemarin waktu gue datang pagi-pagi?" ya iyalah ingat, orang itu baru kemarin kan? But, gue cuman ngangguk sebagai jawaban.

"Gue habis ke klinik kak Andre, sengaja datang pagi niatnya mau anterin makanan sekalian mau minta maaf lagi. Mau baikan dan gue memilih mengalah, tapi gue liat hal yang seharusnya gak gue liat. Kepercayaan gue kembali di runtuhkan mbak."

"Maksud lo?"

"Kak Andre lagi berduaan dengan mbak Jeje di dalam klinik."

Ini intinya?

"Jangan salah paham dulu Sar, siapa tau Jeje ada perlu kesana?"

Sarra tersenyum kecut, "Memeriksa hewan peliharaan? Bukannya mbak Jeje gak punya hewan peliharaan?"

Benar sih, tapi masa sih cuman soalan itu Sarra udah mikir macam-macam?

"Lo udah dengerin penjelasan mereka belum? Mereka liat lo kan?"

"Buat apa sih mbak? Buat menertawakan diri sendiri? Hadir ditengah percakapan hangat mereka, lucu tau gak?"

"Sar, dia suami lo,"

"Justru karena dia suami gue mbak, seharusnya dia tidak membawa gadis lain ke ruangannya disaat klinik sepi. Seharusnya dia ngejar gue dan berusaha memberi penjelasan agar gue gak salah paham. Lalu apa? Bahkan chat room kita terakhir terlihat seminggu yang lalu. Gue sekarang harus berharap apa mbak?"

Ini sulit. Gue gak tau harus merespon bagaimana. Tapi jika itu berhubungan dengan Jeje, mengapa anak itu semalam biasa saja? Bahkan tingkah Sarra tidak mencurigakan semalam? Jadi gue harus bagaimana?

"Sar, gue cuman mau berpesan. Gak semua yang lo liat itu fakta, coba deh cari kebenaran sesungguhnya. Gue ngomong gini biar lo terhindar dari penyesalan nantinya. Intinya sih, lo berfikir lagi sebelum memutuskan finalnya." karena menyesal kemudian sama saja menyakiti diri sendiri.

"Gue lelah mbak,"

"Istirahat."

Karena memaksa pun akan percuma. Sesuatu yang dipaksakan gak akan berakhir baik.

"LO GILA TAU GAK?"

Gue kaget setengah mati saat mendengar suara teriakan dari arah kamar 1. Garis kok teriak gitu?

"Bunda kenapa tuh mbak?"

Gue cuman menggeleng kearah Sarra yang bertanya tadi. Tak butuh waktu lama kami berdua mendekat untuk melihat apa yang terjadi hingga Garis bisa berteriak seperti tadi.

"Bilang aja sepuasnya."

"Lo mau jadi pelakor dirumah tangga gue?"

"Gue gak berniat sama sekali menjadi pelakor kalau mbak mau tau,"

"Terus apa namanya kalau lo mau ngambil suami orang? Maling? Iya?"

"Gue gak pernah bilang mau ngambil bang Davin dari mbak,"

"Gak pernah? Hahaha, terus tadi yang  minta dinikahin siapa?"

Astagaaa, nih ada apa sih? Kok bisa-bisanya Risa adu mulut bareng Garis. Mereka berdua kan terkenal kalem, hancur sudah persepsi gue.

"Mbak gak tau istilah berbagi?"

"Hahaha, Shit! Lo bilang berbagi? Lo gak pernah sekolah ya? Gak pernah diajar sopan santun?"

"Bunda, Udah dong," Davin buru-buru memeluk istrinya untuk menenangkan tapi sayang, sepertinya Garis udah terpengaruh lebih dengan omongan Risa.

"Kenapa? Ayah mau belain dia?"

"Gak gitu, tapi—"

"Ya udah nikah sana sama dia. Siapa tau bisa dapat anak!"

"Garis!"

Brak!

Ngeri, Garis nutup pintu kamar yang bikin gue mau mengumpat. Kalau ada apa-apa dengan pintu kan gue lagi yang harus perbaiki. Tapi kalau orang emosi emang suka gitu, ya udahlah ya. Selama gedung kost gue masih berdiri kokoh, its okay.

"Garis! Buka pintunya, kita bisa bicara baik-baik."

"Bang,"

"Apa? Lo napa sih Sa? Lo kok tega liat gue tengkar lagi sama bini gue? Lo tau kan gue udah punya istri? Bisa-bisanya lo suka."

"Jatuh cinta gak bisa di prediksi bang,"

"Tapi gak sama yang udah punya tuan dong. Emang lo senang jadi perusak rumah tangga orang?"

"Bang, bisa gak liat Risa juga? Disini Risa juga terluka karena perasaan ini,"

Terluka atau tidak, tetap saja menyukai milik orang tuh salah. Gue ikutan emosi liat tingkah Risa. Bisa-bisanya dia ngaku jatuh cinta sama Dapin didepan Garis.

"Gue gak pernah suruh lo jatuh cinta sama gue. Satu lagi, gue gak akan pernah menduakan Garis sekeras apapun usaha lo." ancam Davin

"Meski gue bilang ini darurat? Ini tentang abang gue yang mencekik gue lagi bang. Dia ngancem gue bakal dijual ke temannya. Tolongin Risa,"

Mata gue membulat mendengar penuturan Risa yang memohon didepan Davin. Apa tadi? Di jual? Sama abang sendiri? Kok tega?

"Risa,"

"Stt! Jangan ikut campur Sar," gue buru-buru menarik Sarra yang ingin mendekati Risa. Ini bukan hal baik untuk ikut campur dalam keadaan memanas seperti ini.

"Itu gak ada hubungannya sama gue, cukup masalah gue sama Garis yang gak ada habisnya. Tolong jangan libatin gue dengan masalah lo, karena kita kenal hanya sebatas teman kost. Ingat Sa, gue bukan orang baik yang bisa nampung masalah lo disaat masalah gue lebih penting. Jadi tolong berhenti sampai disini." emosi Davin dan beranjak pergi meninggalkan pekarangan kost.

"BANG, CUMAN LO YANG BISA NOLONGIN GUE!" teriak Risa yang membuat semua penghuni kost memunculkan kepala dibalik pintu.

Gue cuman penonton tapi gue yang malu. Dimana tata letak harga diri perempuan yang memohon dinikahi didepan laki-laki yang beristri? Tolongin gue malu sebagai perempuan.

Sarra mendekati Risa yang berjongkok menangis sesenggukan. Dia menenagkan anak itu dengan terus mengucapkan kata sabar sembari menepuk-nepuk punggungnya pelan. Gue? Masih bingung sih. Dia emang salah, tapi yang namanya jatuh cinta itu emang gak bisa di prediksi akan jatuh kemana. Jadi, gue gak memihak siapapun biar aman.

"Semua orang memang berhak bahagia, tapi bukan dengan cara mengambil kebahagiaan milik orang lain. Lo bisa suka sama dia sebanyak yang lo mau, tapi jangan coba mengambil dia dari wanitanya. Lo kudu nempatin diri, kalau lo jadi wanitanya emang lo bahagia milik lo direbut? Gak kan? Makanya pendidikan itu penting agar lo bisa berfikir lebih luas. Itu aja dari gue."

Gue gak nyangka mbak Wulan nyimak pertengkaran tadi dari lantai atas. Bahkan sekarang memberikan wejangan dengan wajah datarnya.

Gue kadang heran sih, mengapa orang yang belum menikah lebih luas pandangannya dibanding orang yang sudah nikah? Padahal merasakan pertengkaran dengan pasangan aja belum pernah. Anehnya lagi, orang yang sudah menikah suka minta solusi sama kita yang belum pernah mencicipi dunia rumah tangga. Ada yang sama pemikiran gak?

Sekali lagi gue tanya, apa seperti ini dunia pernikahan? Kalau gue lihat pertengkaran-pertengkaran mereka, gue bisa saja berpendapat untuk lebih baik tidak mencicipi dunia itu. Menurut pandangan gue itu mengerikan, mungkin lebih baik hidup sendiri.

💎💎💎

Andre

Menikah itu bukan cuman perkara berbagi kasih dan tinggal bersama. Menikah berarti kita udah siap akan resiko kedepannya. Menikah berarti kita udah menerima segala kekurangan dan kelebihan pasangan kita. Termasuk dari bahagianya, marahnya, cemburunya, kata-kata kasarnya dan lainnya.

Menikah dengan Sarra adalah hal yang paling gue syukuri sejak dulu, karena cuman dia yang bisa membuat ibu dan bapak gue nyaman sejak pertama kali bertemu. Ibu bilang, Sarra memang manja tapi pada tempatnya. Bapak bilang Sarra tipe orang yang harus gue lindungi karena sangat berharga. Iya, dia sangat berharga bagi keluarganya karena merupakan anak tunggal dan suatu kehormatan karena gue diberi kesempatan untuk memilikinya.

Orangtua Sarra sangat terbuka dan tidak pernah memandang kasta. Buktinya kasta kita berbeda, sempat bikin gue insecure tapi kata Sarra dia gak liat harta melainkan cinta. Orangtuanya hanya berpesan, jangan menyakiti anaknya. Boleh membuatnya menangis hanya saja dengan alasan tertentu. Gue pernah janji didepan orangtuanya kalau gue gak akan pernah membuat wanita gue menangis karena tingkah gue yang keterlaluan tapi nyatanya itu semua hanya janji. Janji yang sewaktu-waktu bisa dilanggar.
Buktinya hari ini gue buat dia menangis dan parahnya gue ninggalin dia sendiri di kost.

Sifat manusia yang sering mengingkari janji meskipun terus menghindar tapi seiring berjalannya waktu, sebuah janji pun akan terlupakan jika jiwanya menganggap janji itu hanya sebuah kata. Setelah ini, gue gak tau harus bilang apa ke orangtua Sarra. Kemungkinan besarnya kita sudah tak bisa melanjutkan hubungan yang entah kemana arahnya. Sesimple itu pemikiran gue, pandangan salah dengan masalah sepele.

"Sarra gak ikut?"

Hal yang pertama lo dengar saat pulang kerumah sendirian setelah menikah itu ya gini, ditanyain kemana pasangannya. Kok pulang sendiri? Dan gue sudah menduga semuanya.

"Kalian bertengkar?"

Pertanyaan selanjutnya ya praduga mereka. Kenapa pasangannya gak ikut kerumah? Jawabannya kalau gak sibuk pasti ada masalah yang terjadi diantara keduanya.

"Cuman mau nenangin diri Bu," jawab gue seadanya.

"Jangan lama-lama, kasihan nanti istri kamu sendirian di kost."

Itu petuah dari Bapak.

"Masalah besar ya? Kamu gak pernah nekat pulang sendiri seperti ini."

Seerat apapun lo sembunyiin, yang namanya Ibu pasti bisa merasakan keanehannya. Ibu gue paham bahkan sudah khatam tentang gue yang gak akan mudah pergi dari masalah jika itu masih bisa diperbaiki.

"Entah itu kesalahan total dari Andre ataupun hanya rasa kecewa akibat perlakuan Sarra, Andre hanya ingin istirahat sendiri Bu, Andre butuh ketenangan untuk berfikir jernih lagi."

"Ibu tidak pernah menghakimi kamu. Itu masalahmu dan Ibu gak mau ikut campur, hanya saja ingat, kamu itu kepala keluarga dan kamu punya tanggung jawab penuh atas anak yang sudah kamu minta susah payah dari orangtuanya. Jangan mudah melepaskan karena hal sepele. Berfikir tenang ok?"

Ini hal yang paling gue sukai dari Ibu, makanya jika ada masalah gue memilih untuk pulang kerumah asal hanya untuk mendapat pencerahan dari orang yang paling gue sayangi di dunia. Kadang juga gue butuh kemarahan bapak biar gue sadar, tapi sepertinya kali ini bapak gue lebih milih bungkam seakan lepas tangan karena ini sudah termasuk dalam masalah yang seharusnya diselesaikan antara kami berdua saja.

Niatnya gue cuman mau pergi selama dua hari, paling tidak dua hari sudah cukup untuk memikirkan kelanjutan dari masalah dan solusi ini. Hanya saja, mendadak gue ada panggilan kerja diluar daerah, jadinya gue tunda lagi hari kepulangan gue ke kost. Selama tiga hari di daerah seberang, gue gak ada niatan sekalipun untuk sekedar menanyakan kabar Sarra di kost. Naasnya, ponsel gue sengaja gue non aktifkan saat bepergian.

Saat pulang dari kerja diluar daerah, Ibu datang bawa kabar kalau Sarra datang kerumah kemarin. Kata Ibu, Sarra nyariin dan tidak membahas masalahnya. Kalau sudah begini, sepertinya memang hanya perlu kita berdua yang saling bicara untuk menyelesaikan masalah.

'Maafin Sarra, kata Ibu kak Andre lagi keluar daerah. Sarra nginap semalam karena Ibu yang minta. Mami dan papi tidak tau masalah ini karena Sarra gak berani bilang. Sarra kangen kak Andre, pulang ke kost ya kak. Sarra janji akan jadi istri yang baik seperti Ibu.'

Sebuah tulisan tangan diselembar kertas yang tergeletak diatas meja belajar membuat gue terenyuh membacanya. Sekarang apa sih yang membuat gue bingung? Apa rasa kecewa gue sedalam itu hingga berani pergi hampir seminggu?

Gue gak tau kenapa gue sekecewa ini, tapi mengingat kembali suara-suara Sarra menuduh gue saat itu membuat rasa marah kembali mencuat. Padahal wajar sih kalau dia curiga karena gue juga akhir-akhir ini gak perhatian sama dia gegara sibuk di klinik. Tapi harus ya cemburunya kelewat batas seperti ini? Perasaan gue saat ini benar-benar dilema.

"Andre,"

"Eh, Ibu."

"Boleh masuk kan?"

Kenapa harus nanya sih? Padahal kakinya udah melangkah masuk dan sedang bersiap duduk dipinggiran ranjang.

"Kapan balik ke kost?"

Gue nyelipin kertas tadi kedalam buku yang gue ambil asal diatas meja, "Mungkin besok bu," jawab gue segera.

"Kok mungkin?"

Gue gak ngejawab lagi, lebih memilih menarik kursi meja belajar dan duduk disana menghadap Ibu gue yang udah menerawang jauh dinding atas depannya.

"Masih ragu?"

Gak tau, gue rasa gue belum bisa menjawab pertanyaan itu disaat hati dan fikiran gue memiliki kemauan yang berbeda. Ragu? Ragu kenapa? Apa yang lo inginkan Andre?

"Coba deh, ingat-ingat lagi gimana wajah bahagia kamu ngenalin Sarra ke bapak dan Ibu. Bagaimana antusias kamu menceritakan ingin melamarnya sesegera mungkin. Juga jangan lupa perjuangan kamu meyakinkan orangtuanga disaat finansial kita jadi sorotannya,"

Setiap kata yang dilontarkan Ibu membawa kilas balik perjuangan gue mendapatkan Sarra serta restu orangtuanya yang terbilang rumit meski jadi juga. Dulu, gue bahkan ingat sempat menangis di depan Ibu karena ingin menyerah.

"Kamu udah berjuang, kalian bahkan tidak pernah sedikitpun menunjukkan kata ingin menyerah. Lalu sekarang kamu kenapa nak? Kenapa kamu ingin melepaskan hanya karena dicoba dengan gelombang yang kuat?"

Bukan ingin melepaskan, hanya saja masih ada rasa kecewa didalam hati. Tapi bukankah hal ini yang buat gue ingin menyerah?

"Bu, Andre hanya kecewa sama Sarra. Dia udah nuduh Andre selingkuh, padahal Andre udah menjelaskannya secara detail. Hati Andre sakit karena ternyata selama ini Sarra hilang percaya pada Andre," jelas gue agar tidak ada kesalah pahaman antara gue dan Ibu.

"Andre, dengarkan Ibu. Sebenarnya Sarra udah cerita sama Ibu kemarin hanya saja dia ingin Ibu merahasiakannya. Ibu gak bisa memihak siapapun karena dari semua sisi kalian berdua sama-sama salah. Tapi Andre, sekali lagi Ibu bilang kalau kamu itu kepala keluarga. Gak sepantasnya kamu lari dari tanggung jawab seperti ini. Seberat apapun masalah kalian, kamu harus bisa menyelesaikannya karena kalau bukan kamu siapa lagi? Gak mungkin kan Ibu dan Bapak yang harus turun tangan? Ini keluargamu loh,"

"Tapi Bu—"

"Apa kamu tau perasaan istrimu saat kamu kabur seperti ini? Dia takut nak, apa kamu tidak memikirkan gimana perasaannya ditinggal tanpa kejelasan seperti ini? Tau gak? Masalah kalian itu hanya masalah kecil, kamunya yang kekanakan. Hatimu yang belum kuat,"

"Bu,"

"Dia hanya cemburu, dia cemburu juga karena sayang. Apa kamu tidak peka? Kalau Ibu yang ada diposisinya juga bakal merespon seperti dia. Bahkan akan lebih parah, Emang istri mana yang tidak sakit hatinya saat tau suaminya jalan dengan cewek lain meskipun dalam tanda kutip jalannya karena alasan pekerjaan. Emang istri mana yang kuat saat hubungan rumah tangganya jadi gossip?" Ibu benar-benar meluapkan emosinya didepan gue, meski ini tergolong emosi tingkat rendah karena suaranya yang lembut.

"Sekarang Ibu tanya kamu, kamu tau apa tentang perasaan istrimu? Memang kamu sudah menempatkan perasaanmu jika berada di posisinya? Tolong Andre, kamu udah dewasa. Jangan melulu mengedepankan rasa kecewa, kamu punya tanggungan lain, kamu punya hati lain yang harus kamu jaga selain hatimu sendiri. Dia istrimu, bukan pacar tapi istri. Orang yang selalu ada disisimu, rumah yang benar-benar tempat untuk melepaskan lelah. Jangan menganggapnya rumah singgah yang seenaknya kamu tinggalkan jika sudah tidak perlu."

Hh, gue cuman menghela nafas sambil menetralkan perasaan yang udah campur aduk. Ibu benar-benar melepaskan petuahnya lagi hanya untuk menyadarkan otak gue yang udah penuh dengan kekecewaan sesaat.

"Maafin Andre bu," ini spontan karena mata ini sudah tidak sanggup melihat malaikat tanpa sayap itu sudah menunduk menyeka air matanya.

"Ibu takut Sarra merasakan hal yang sama seperti yang Ibu rasakan saat bapakmu melakukan hal yang sama. Hati Ibu sakit, lumrah jika hati perempuan itu lemah. Ibu gak mau liat kamu seperti ini nak, jangan mudah jatuh dengan masalah sesaat."

Gue buru-buru menghampirinya dan berjongkok didepannya, "Maaf, Andre akan temui Sarra besok. Ibu jangan nangis ya?" gak suka. Beneran gue gak suka liat air mata Ibu, hati gue ikutan tersayat.

"Jangan sakiti dia jika tidak mau melihat Ibu seperti ini. Menyakitinya sama saja dengan kamu menyakiti perasaan Ibu. Hargai wanitamu."

Gue mengangguk lalu berusaha tersenyum agar Ibu bisa melihat kalau gue baik-baik saja dan bakal berusaha yang terbaik untuk besok.
Bu, jangan nangis lagi. Andre janji akan membuat Sarra bahagia. Terima kasih karena terus berada disisi Andre disaat Andre butuh tempat untuk berkeluh kesah dan mencari jawaban atas keraguan yang menyergap.

💎💎💎

Sebenarnya gue keluar klinik pagi-pagi tuh buat nyari udara segar aja. Jalan kesana kemari biar otak gue segar dan juga me time sih, butuh waktu sendiri yang benar-benar sendiri meski ditengah keramaian.

Hari ini setelah berfikir semalaman apa lagi udah dikasih pencerahan sama Ibu, gue mutusin buat balik ke kost nanti sore setelah semua urusan di klinik selesai. Gue sebenarnya kangen sama istri gue, tapi gue tahan aja biar kek dikira cowok keren jaga image. Asli sih, padahal mata gue udah pengen banget liat wajahnya itu.

Namanya rencana tetap ada yang terlaksana ada juga yang tidak kan? Gue gak tau pasti, yang jelas hari ini berasa hari yang benar-benar melelahkan padahal gue gak ngapa-ngapain. Semua tugas di klinik ini gue abaikan karena fikiran gue masih stuck disatu kejadian tadi pagi.

Gue kan niatnya cuman menghibur Angel yang lagi sedih karena ketemu papanya. Ya meskipun tergolong salah sih karena gue ngajaknya keruangan gue dan berdua didalam, meski niat gue ngajakin ke ruangan karena kalau diluar ruangan bakalan berisik dengan banyak orang yang berkunjung. Sarra keknya salah paham lagi, gue berasa diciduk untuk kedua kalinya. Padahal dari dulu gue beneran gak pernah ada niatan buat duain Sarra. Satu aja udah cukup rumit untuk dimengerti apalagi dua?

Gue masih berdiam diri sambil natap bekalan yang di taruh Angel tadi, katanya dari Sarra. Kalau kalian nanya kenapa gue gak ngejar Sarra dan berusaha buat ngejelasin tentang apa yang diliatnya, maka gue akan menjawab kalau itu hal yang salah untuk dilakukan. Kenapa? Karena gue tau, jika gue kejar Sarra dan berusaha menjelaskannya itu akan berakhir saat itu juga. Belajar dari pengalaman, gue gak mau bicara sama Sarra disaat emosi kita gak stabil. Karena kata-kata yang mempunyai makna menyakitkan akan keluar begitu saja disaat emosi kita gak stabil. Maka dari itu gue milih diam dan biarkan dia tenang dulu.

Sialnya, gue yang ngundur-ngundur waktu malah keteteran. Waktu berganti begitu cepat, malam tiba-tiba datang disaat gue masih bergelut dengan keadaan. Bahkan hari berganti dan gue masih ada didalam keadaan yang sama, berdiam diri tanpa tau harus berbuat apa.

"Belum pulang?"

Ah, lupa kalau Ibu selalu memantau. Gue beresin semua map-map yang berisi data-data penting kedalam tas kerja lalu berusaha bersikap tenang sebelum menghadap kearah Ibu yang kini menatap datar didepan pintu kamar.

"Habis ini, Ada sosialisai dadakan dari dinas kesehatan hewan. Andre—"

"Ada masalah baru?"

Dan dari mana Ibu tau? Apa Sarra yang mengadu?

"Bukan Sarra yang memberitahu Ibu, tapi gelagatmu yang sudah Ibu pahami. Sekarang apa lagi?" todongnya dengan wajah yang benar-benar menyiratkan kekesalan.

"Hal yang sama, Sarra salah paham lagi."

"Kamu ketahuan bersama wanita lain?"

Gue cuman ngangguk membenarkan, kenapa Ibu selalu benar? Apa cuman Ibu gue yang seperti ini? Apa Ibu kalian seperti ini juga?

"Andre!"

"Bu, ini cuman salah paham. Sarra terlalu cepat mengambil kesimpulan, lagi pula tidak ada yang harus disalahkan. Andre dan Angel hanya sebatas teman kost. Andre yakin Sarra mengerti,"

"Andre coba kamu bayangkan kalau Sarra berduaan dengan laki-laki lain meski itu hanya teman. Coba kamu posisikan diri kamu disaat melihat hal itu dan Sarra tidak memberikan penjelasan lalu kamu terus salah paham? Bagaimana rasanya?"

Sakit, tentu saja.

"Sakit kan? Begitulah gambaran perasaan Sarra sekarang. Ibu capek menghadapimu, Ibu kira kamu sudah dewasa karena berani meminta anak orang dari orangtuanya, ternyata sama saja. Masih ada sifat egois dan kekanakan yang melekat. Jangan salahkan siapapun kalau kamu kehilangan Sarra."

"Maaf bu, Andre yang salah. Nanti Andre temui Sarra tapi gak sekarang. Maaf melanggar janji yang kemarin." buru-buru gue minta maaf karena sadar lagi, emang gue yang salah.

"Jangan berjanji sama Ibu. Berjanji sama diri sendiri."

"Iya."

Jadi, seberapa besar rasa sakit yang gue torehkan ke hati istri gue? Semoga saja Sarra tidak berfikir yang tidak-tidak dengan akhir hubungan ini.

Setelah mendapat ocehan dari Ibu, gue berjanji untuk menemui Sarra sore ini. Benar-benar berjanji sama diri sendiri. Bodohnya gue, sebodoh-bodohnya seorang suami. Getaran di ponsel menampakkan notifikasi pesan dari keluarga Sarra.

'Kalian bisa pulang kerumah gak? Malam ini kita rayakan dirumah Papi ya. Mami katanya mau masak banyak. Ponsel Sarra gak aktif.'

Tau gak? Gue baru sadar kalau hari ini istri gue ulang tahun. Gue suami brengsek ya, lupa dengan hari spesial istri sendiri. Buru-buru gue telfon Sarra setelah satu minggu puasa ngabarin dia. Alhasil, ponselnya gak aktif.

Gue inisiatif pulang ke kost siang ini juga. Gue minta izin meski harus memberikan berbagai macam alasan agar di izinkan. Sebelum benar-benar pulang ke kost, gue singgah ke toko kue beli kue untuk Sarra dan mampir ke toko bunga sebagai hadiah. Sialnya saat perjalanan ke kost, macet karena ada perbaikan jalanan. Alhasil gue sampai kost saat hari sudah sore.

"Andre?"

Sapaan pertama dari pemilik kost, mungkin dia kaget liat gue bopong buket bunga dan jinjing kotak kue.

"Selamat sore mbak,"

"Sore."

"Andre duluan ya mbak, ada kepentingan mendesak."

Gue gak nunggu lama untuk mendegar responnya, kaki gue terus melangkah ke kamar nomor 3 yang tertutup tapi gak dikunci.

"Sarra,"

Gue naruh buket beserta kotak kue di kursi dekat pintu. Buru-buru gue menyusuri kamar kost tapi bener-bener gak nemuin tanda-tanda Sarra disini. Gak mungkin pergi jauh kan disaat rumah gak dikunci? Gue buru-buru lagi keluar kamar dan bertemu pemilik kost yang lagi anteng nonton spongebob di aula depan.

"Mbak liat Sarra gak?"

"Gak,"

Jawaban singkatnya cukup buat gue kesal tapi masih sadar posisi gue saat ini.

"Eh Andre?"

"Mbak Garis liat Sarra gak?"

Kebetulan mbak Garis datang dari arah gerbang sambil menenteng kantong kresek warna hitam.

"Oh, tadi sih sama-sama ke warung depan tapi pas perjalanan pulang dia singgah di pinggir lapangan yang jalan ke utara itu loh. Katanya mau beli tahu crispy dulu,"

Alhamdulillah, beneran gak pergi jauh, "Thanks mbak. Andre permisi dulu," pamit gue dengan buru-buru tanpa mau repot melihat responnya.

Benar saja, saat gue lari kearah lapangan depan gang, disana ada seorang wanita yang sedang menenteng kantongan beda warna. Tangan satunya sibuk mengemut ice cream yang sudah hampir habis. Istri gue kan itu? Imut.

Gue gak berani mendekat, gue cuman ikuti jalannya yang kembali ke kost dari jauh. Gue keknya seperti penguntit, bukan tanpa alasan gue lakuin ini. Ingin melihatnya dari jauh saja sambil berfikir tentang apa yang membuat wanita gue itu merenung sepanjang jalan.

"Kapan dia balik?"

"Hari ulang tahun yang menyedihkan."

"Apa ini akan berakhir?"

"Hh, gue capek."

Gue kaget saat dia berbicara sendiri sambil menunduk, ingin sekali bilang kalau gue sekarang berada dibelakangnya dan berharap dia kan menarik kata-katanya tadi.

"Sial! Kenapa tahu crispy ini pedas? Padahal gue tadi pesan bumbunya dicampur."

Daya tarik dari seorang Sarra yaitu manjanya, bahkan gue tau tahu crispy yang dimakannya tidak sepedas yang  di bayangkannya.

"Pedas,"

Bentar, kok suaranya bergetar?

"Hiks, kenapa hati gue sakit? Kenapa gue sekangen itu? Tahu crispy sialan! Pedas banget, hiks."

Kaget dong gue pas dia berhenti berjalan dan memilih jongkok dipinggir jalan sambil nangis. Buru-buru gue mendekat.

"Dek,"

"Kak Andre?"

"Jangan nangis."

"Hiks, tahunya pedas. Hiks, jahat."

Gue meluk dia, asli sih gue gak paham lagi ini posisinya benar-benar aneh karena gue meluk dia dipinggir jalan, untung gang menuju kost selalu sepi.

"Sarra minta bumbunya dicampur, kenapa masih pedas? Hiks,"

"Kakak ada disini, jangan nangis ok?"

"Kangen,"

"Maaf,"

"Jangan pergi lagi."

"Iya, gak akan."

Maaf karena membuatmu menunggu.
Maaf karena membuatmu merasakan sakit.
Maaf untuk maaf yang tertunda.

"Happy birthday sayang."

💎💎💎

.Habis ini bakal hiatus beneran.

Jangan lupa like, komen, and share.

Masukkkan ke perpustakaan agar kalian dapat notif setiap updatenya.

#datieznph

Gowa, 20-03-21

Continue Reading

You'll Also Like

498K 18.4K 30
[KAWASAN BUCIN TINGKAT TINGGI 🚫] "Lo cuma milik gue." Reagan Kanziro Adler seorang ketua dari komplotan geng besar yang menjunjung tinggi kekuasaan...
Cafuné By REDUYERM

General Fiction

58.1K 5.9K 27
(n.) running your fingers through the hair of someone you love Ayyara pernah memiliki harapan besar pada Arkavian. Laki-laki yang ia pilih untuk menj...
537K 47.3K 51
Hidupnya terasa berubah dalam semalam. Ishvara terbangun dari tidurnya dan mendapati dirinya tengah berada di tubuh Ishvara Berenice. Yaitu tokoh uta...
79.5K 151 12
hai gays cerita ini khusus menceritakan sex ya, jadi mohon yang pembaca belom cukup umur skip saja☺️🗿, sekumpulan cerita dewasa 18++