[✔] 5. 真実 [TRUTH] : The Prolog

By tx421cph

3.2M 443K 752K

The Prolog of J's Universe ❝Tentang cinta yang murni, keserakahan, hingga pertumpahan darah yang membawa peta... More

Pembukaan
Tokoh : Bagian 1
Tokoh : Bagian 2
Tokoh : Bagian 3
00
01. Para Giok Kerajaan
02. Nyanyian Naga Emas
03. Tangisan Hutan Neraka
04. Amarah Zamrud Hijau
05. Dewi Penjaga Lembah Surga
06. Kisah Kelam Anak Raja
07. Dongeng Sang Penyair
08. Punggung Putih Sang Peony
09. Pangeran Yang Diberkati
10. Sang Matahari Menaruh Hati Pada Peony
11. Bertanya Pada Roh
12. Dewi Kemalangan
13. Aku Mencintaimu
14. Payung Merah
15. Hati Sang Naga
16. Kasih Tak Sampai
17. Tangisan Para Adam
19. Aliansi
20. Pedang Bermata Dua
21. Perangkap
22. Pilar Yang Patah
23. Setetes Darah Di Telaga Surgawi
24. Yin
25. Kekalahan Yang
26. Bencana Surgawi
27. Istana Para Iblis
28. Naga Emas VS Yin
29. Ksatria Terbuang
30. Kisah Janji-Janji Lampau
31. Sekat Terkutuk
32. Serpihan Setangkai Bakung
33. Mimpi Buruk Putra Naga
34. Pedang Bermata Dua
35. Darah Di Ujung Pedang
36. Menyingsingnya Matahari
37. Awal Mula Kehancuran
38. Zamrud Beracun
39. Kubangan Berdarah
40. Tawanan Raja
41. Peony Berdarah
42. Pion-Pion Yang Patah
43. Sang Pembelot
44. Pion terakhir
45. Permata Tersembunyi
46. Pelarian Panjang
47. Aliansi Terdesak
48. Rubah Di Balik Jubah
49. Sebuah Janji
50. Keturunan Sang Naga
[Final - Bagian I] Pedang Dan Bunga
[Final - Bagian II] Tangisan Terakhir Merak Putih
[Final - Bagian III] Akhir Para Legenda
Son of The Dragon
The J's Universe
Mother of The Dragon

18. Terikatnya Benang Merah

53.2K 7K 20.9K
By tx421cph




Oh iya, pasti ada yang nonton moon lovers kan di sini? Nah, moon lovers sama truth sama sekali ga ada hubungannya ya temen-temen. Hae soo nggak ada di sini ya, udah beda cerita. Truth dan moon lovers sama-sama fiksinya, jadi nggak ada kaitannya sama sekali.


Note : chapter ini agak panjang ya, jadi... coba cari posisi yang nyaman dulu sebelum baca


Selamat membaca~


"Apa kau akan terus menangis seperti ini?"

Ah, lama-lama Wang Jae merasa telinganya agak sakit karena terus mendengarkan tangisan gadis yang tengah ia rengkuh itu. Ekspresinya tampak masam.

Son Je Ha yang baru tersadar, kemudian cepat-cepat melepaskan pelukannya. Mengusap jejak air mata di wajahnya dengan tergesa, membuat wajahnya semakin belepotan karena arang.

Wang Jae tertawa kecil.

"Maaf, maafkan saya," Son Je Ha membungkuk beberapa kali dengan sopan, agak canggung.

Sialan, dia terbawa suasana kan jadinya.

"Kenapa kau tiba-tiba menangis seperti ini?"

Diam Son Je Ha selama beberapa saat, memandangi Sang pria dengan sepasang mata sedihnya. "Hwangja-nim, saya men—"

"Ah lupakan," Wang Jae langsung mengibaskan tangan, "lebih kita pergi sekarang, aku akan mengajakmu ke suatu tempat."

Wang Jae pernah mendengar, katanya jika dia bertanya mengapa seorang gadis bersedih, mereka akan semakin menangis. Karena itu ketimbang Sang Pangeran kembali mendengarkan tangisan menyedihkan Son Je Ha, dia lebih baik tidak bertanya.

Masalahnya dia tidak tahu cara menenangkan orang yang menangis, yang benar saja?

"K-kemana?" Son Je Ha tampak ragu ketika pria itu mencoba menarik tangannya.

Wang Jae menoleh ke belakang. "Cukup ikut saja."

"T-tapi, tapi saya—"

"Aku tidak menerima penolakan, kau tahu."

"Hwangja-niiimmm..."

"Kau bahkan tahu aku adalah seorang Pangeran dan kau masih ingin menolak perintahku?" Wang Jae berbalik sepenuhnya, mengangkat sebelah alis.

Gadis itu langsung terdiam. Kemudian dia menghela napas pelan dan berjalan menghampiri Sang Pangeran.

"Anda sungguh menyalahgunakan kekuasaan," gumamnya samar.

"Hei, aku mendengarmu."

"Saya tidak mengatakan apapun."

Wang Jae hanya mendecih, "cepat naik," dia mengedikkan dagunya ke arah kuda hitam yang masih menunggu.

Je Ha diam, memandangi kuda tinggi itu lamat-lamat.

"Apa?" Ujar Wang Jae lagi, tidak sabaran.

Gadis gisaeng itu menoleh dengan wajah kebingungannya. "Bagaimana caranya untuk naik?"

Pangeran ke tujuh mendengus tidak percaya, "ya naik saja, ada pijakannya, kau tidak lihat?"

Je Ha masih bingung, "y-ya... saya lihat, tapi kuda ini sangat tinggi."

Hei, dia kan tidak pernah naik kuda sendiri. Walaupun memang ada pijakannya tapi kuda-kuda ini cukup tinggi, badannya kan kecil. Lagipula selama berkuda dengan Hwang Je No, pria itu selalu membantunya untuk naik—

Oh ya ampun, lagi-lagi Hwang Je No.

Son Je Ha menghela napas keras-keras.

"Sudahlah Yang Mulia," dia mengibaskan tangan, "saya akan kembali ke gyobang sekarang."

Wang Jae melotot, "hei tunggu!" Dia menarik rambut panjang Si gisaeng dengan cepat, membuat perempuan itu terhuyung ke belakang.

"Sakit!"

"Baiklah baiklah aku akan membantumu untuk naik!" Sungut Sang pria, "kau sangat manja."

Son Je Ha memandangi Wang Jae dengan sepasang mata memicing. Hari ini pria itu agak aneh. Wang Jae yang mengajak dan memaksa, kenapa dia yang dimarahi dan dikata-katai?

"Anda ini... kenapa sih," dengusnya.

"A-apa maksudmu yang kenapa?!" Nada Pangeran meninggi lagi, "diamlah dan cepat naik."

Dengan gestur yang agak canggung, Wang Jae segera membantu Son Je Ha naik ke atas kudanya. Ah, kuda hitam ini lumayan tinggi. Meski memang Yong-Gam sedikit lebih tinggi dan besar, tetap saja kuda ini terbilang sangat tinggi di antara kuda kerajaan yang lain.

Entah mereka akan kemana, kali ini Son Je Ha menurut saja ketimbang dia dicap tidak sopan terhadap Pangeran Goryeo.

Padahal dia masih memiliki beberapa selimut yang belum ia selesai rajut.

"Hwangja-nim, kita akan pergi kemana?" Tanyanya, ketika Wang Jae telah duduk di belakangnya.

"Entahlah."

"Haa?"

"Kau cukup cerewet hari ini."

Son Je Ha jengkel mendengarnya.

Oh, dia jarang merasa kesal pada orang, tapi kali ini Wang Jae benar-benar menjengkelkan. Sebenarnya pria ini kenapa?

Yah, pada akhirnya dia tak bertanya lagi, ketimbang Sang Pangeran mengomel lagi dan lagi.

Tapi ketika Wang Jae melingkarkan tangan kiri di pinggangnya yang ramping, Son Je Ha tersentak kecil, dia dengan refleks memegang tangan Wang Jae.

"Y-Yang Mulia... tidak— tidak perlu memegangi saya seperti ini," katanya agak lirih.

"Kau mau terjatuh?" Suara berat itu terdengar tepat di telinganya. "Kuda ini akan berlari dengan sangat cepat, diam dan jangan bergerak."

Pada akhirnya, gadis itu hanya bisa menurut. Dia terus diam seperti batu dengan tingkah canggung, membiarkan Wang Jae memeluk erat pinggangnya seolah benar-benar tak akan pernah dia lepaskan.

Entah apa yang terjadi hari ini. Son Je Ha hanya merasa sedikit tidak nyaman, ini tidak seperti ketika keduanya pergi untuk makan bersama ke kedai di desa sebelah.

Hari ini, ketika melihat Wang Jae, Je Ha merasa sangat tidak nyaman.

Tapi mungkin itu hanya efek kegelisahan hatinya karena terus memikirkan Hwang Je No.

Ah, Hwang Je No. Je Ha sangat merindukan pria dambaan hatinya, sedang apa pria itu sekarang?

Dia ingin... jalan-jalan malam dengan Sang Panglima Perang.

Kuda itu melesat dengan cepat menuju hutan. Wang Jae sendiri tidak tahu kemana mereka akan pergi kali ini. Dia hanya terus meminta kudanya melaju kencang tak tentu arah.

Sebenarnya dia sangat ingin membawa gadis ini ke danau belakang istana, tempat indah penuh dengan bunga aster yang dia rawat. Tapi tidak mungkin dirinya membawa gadis gisaeng ini masuk ke kerajaan.

Diam sepanjang perjalanan. Hanya derap langkah Si kuda hitam yang terdengar ke seluruh penjuru hutan.

Hati Sang Pangeran ke tujuh sangat kacau. Dia seharusnya menyatakan perasaannya pada gadis ini, bagaimana dia akan memulainya?


~~~


Kedua Pangeran itu tampak berlatih tarian pedang bersama di aula terbuka yang begitu besar dan mewah. Kain sutra merah dan bendera emas lambang kekaisaran menghias tiap tembok pembatas yang menjulang tinggi.

Seorang Pangeran rupawan mirip bangau di tengah salju, dan seorang Pangeran menawan mirip angsa di lembah surga.

Wang Han dan Wen Ren.

Mereka berdua menggunakan hanfu sutra yang panjangnya menyapu tanah. Han dengan warna merah, dan Ren dengan warna biru. Pedang panjang berukir naga dengan rumbai langka dari Dinasti Tang melambai dengan indah setiap keduanya mengayunkan senjata itu.

Oh, betapa indahnya kedua pangeran itu. Mereka terlihat seperti keturunan roh bulan yang diberkati.

"Sampai kapan Si brengsek itu akan berdiri di sana?" Han berbisik dengan wajah kesalnya.

Ren tersenyum masam mendengar kakak sulungnya dikatai 'brengsek' oleh teman dekatnya tersebut.

"Entahlah, tapi dage* terlihat tidak bermaksud untuk mengganggu kita."

*dage = kakak tertua (bahasa mandarin)

Sejak tadi keduanya terus berbisik-bisik seperti itu sembari melakukan tarian pedang.

Wen Fei Yu berdiri di sisi aula, sebenarnya dia hanya menonton, tapi karena wajahnya yang dingin dan gesturnya yang mengintimidasi, pria itu lebih terlihat seperti mengawasi Han dan Ren.

Wen Jun sebenarnya juga ada di sana tadi, tapi Pangeran Wen kedua sudah menyingkir karena merasa bosan.

"Aku tidak tahu kenapa kakakmu itu selalu muncul tiba-tiba, apa kau tidak merasa jika kita tidak pernah memiliki waktu pribadi untuk mengobrol berdua?" Han mulai mengomel.

Ren hanya kembali tertawa kecil dengan canggung. "Yah... ku rasa," dia menangkis ayunan pedang Han, kemudian tubuhnya berputar dengan anggun sembari mengangkat satu kakinya.

"Wen Fei Yu brengsek, di Goryeo dia juga selalu menggangguku," Pangeran ke lima itu terlihat penuh dendam.

"Mengganggu yang seperti apa?" Ren agak tidak percaya jika kakak sulungnya seperti itu, tapi ekspresi Wang Han benar-benar lucu.

Mengibaskan pedangnya ke belakang bersamaan dengan Ren, keduanya terus melakukan tarian dengan kompak.

"Mengganggu ini dan itu, kakakmu seperti maniak gila," Han tampak malas.

Wang Han, atas dasar apa kau berkata seperti itu...

Yah, tapi Wen Ren hanya mencoba untuk memercayainya saja. Dia tertawa kecil, meski Han menjelek-jelekkan kakaknya, dia hanya suka saat melihat teman dari Goryeo ini mengomel seperti gadis muda.

"Ku pikir dage akan terus berdiri di sana sampai kita selesai," ujar Ren.


Tranggg


Kedua pedang itu beradu, bertabrakan, kemudian menempel satu sama lain dengan gerakan menyilang. Wang Han dan Wen Ren melangkahkan kakinya, berputar dengan pelan sembari saling menatap dari jarak dekat.

"Karena itu kita hanya akan membicarakannya di sini," jawab Han.

"Em," Ren mengangguk tipis sekali.

Han, "jika memungkinkan, kita akan membicarakannya di kamarmu saat malam, semoga kakak brengsekmu itu tidak mengganggu lagi."

Ren, "jangan khawatir, ku dengar nanti malam ada pertemuan para petinggi kerajaan, dage juga pasti hadir di sana."

"Bagus."

Si bungsu Wen menatap Pangeran ke lima Goryeo lamat-lamat, sampai akhirnya bertanya. "Lalu... bagaimana aku harus membantumu tentang 'itu'?"


~~~


"Yang Mulia! Hujan!"

"Aku tahu!!"

"Apakah kita tidak perlu berteduh dulu! Hujannya cukup deras!"

"Sebentar!"

Ini gila. Hujan dengan tiba-tibanya dan tanpa permisi turun begitu saja.

Maksudnya... sebelumnya bahkan tidak mendung, tapi saat keduanya baru sampai di tengah hutan, guyuran air dengan sangat deras jatuh dari langit.

Sebenarnya sudah terlambat bagi mereka untuk berteduh, karena tubuh keduanya sudah basah kuyup saking derasnya hujan itu. Ah, Wang Jae jadi merasa bersalah telah mengajak gadis ini jalan-jalan.

Keduanya berhenti di sebuah pohon yang sangat besar, pohon yang rindang. Itu pohon oak.

"A-apakah kau baik-baik saja?" Wang Jae bertanya dengan khawatir setelah dia menurunkan gadis itu dari atas kuda.

Son Je Ha tampak menarik napas dalam-dalam, mengusap wajahnya yang basah dengan telapak tangan, membuat arang di wajahnya luntur.

Gadis itu agak linglung, napasnya agak sedikit memburu.

Je Ha membenci hujan. Dia tidak suka kehujanan, dan sekarang hujan turun dengan sangat deras ketika dirinya berada di tengah hutan. Sangat tidak lucu.

Melihat gadis di depannya tidak merespon, Wang Jae merasa khawatir, dia membungkukkan sedikit tubuhnya. "Hei," katanya pelan, "maafkan aku, aku tidak tahu hujan akan turun sederas ini."

Son Je Ha mengerjap cepat, kemudian menggeleng. "T-tidak apa-apa... b-bukan salah— salah anda karena hujan turun tiba-tiba..." jawabnya terbata.

Sungguh, Wang Jae tidak mau gadis ini takut dengannya. Dia tidak ingin.

"Aku... sungguh-sungguh minta maaf," katanya lagi dengan nada penuh penyesalan, "lain kali aku tidak akan memaksamu seperti tadi, maafkan aku," dia menunduk, malah terlihat seperti anak-anak yang baru saja dimarahi.

Je Ha mengambil napas, "tidak apa-apa, ini bukan salah anda, jangan seperti itu."

"Kau tidak suka terjebak hujan."

Diam Son Je Ha, mengiyakan kalimat itu dalam hatinya.

Suasana menghening, hanya deru hujan yang sangat deras sekaligus suara sekawanan burung di atas langit yang terdengar mencoba untuk menghindari hujan. Aroma khas tanah yang basah menyeruak, membuat Wang Jae merasa relaks. Suasana hatinya membaik kemudian.

Lalu ketika dia melihat gerakan kecil melalui ekor matanya, pria itu agak terkejut. Son Je Ha tampak kedinginan, dia memeluk tubuhnya sendiri yang basah kuyup. Tanpa menunggu lama, ia melepas jubah yang dikenakannya.

Meski sama basahnya, setidaknya bisa menghalau dinginnya angin.

Tanpa berkata apapun, Wang Jae menyelimutkan jubahnya di bahu gadis itu, memakaikan tudungnya menaungi kepala Son Je Ha.

"H-Hwangja-nim... tidak perlu—"

"Jangan menolak, kau sedang kedinginan."

"Saya... baik-baik saja."

Tapi Wang Jae tidak akan memercayainya.

Suasana kembali menghening. Wang Jae yang berdiri di depan gadis itu sebenarnya juga merasa sedikit kedinginan. Dia hanya terus menatap Son Je Ha yang sibuk memandang ke arah lain.

Wang Jae maju selangkah kemudian, Son Je Ha tersentak, dia mundur selangkah.

Wang Jae kembali maju selangkah, Son Je Ha mundur selangkah, kali ini punggungnya ia rasakan menyentuh batang pohon. "Hwangja-nim—"

"Kau..." suara berat Wang Jae terdengar. Dia memandangi gadis itu dengan sangat intens.

"Aku mencintaimu..."

"Aku mencintaimu dan aku ingin kau menjadi milikku."

Sial, itulah yang seharusnya dikatakan Wang Jae.

Tapi bahkan lidahnya terasa kelu sekarang.

"A-ada apa?" Gadis itu mendongakkan kepalanya.

Pangeran ke tujuh menggeleng cepat, kemudian mudur selangkah. "Apa kau kedinginan?"

"Tidak terlalu."

"Son Je Ha, kau—"

"Ya?"

"Ck, tidak ada, lupakan."

"??"

Heran gadis itu. Dia tidak mengerti kenapa pria di depannya itu terus bertingkah aneh.

"Anda ini kenapa?" Tanyanya.

"Tidak, aku hanya ingin bertanya padamu."

"Tentang apa itu?" Sepasang bulu mata Son Je Ha yang basah terlihat berkedip, membuat Wang Jae sempat terpukau.

"Apa kau mau..."

Pria itu menggantungkan kalimatnya.

Son Je Ha masih menunggu dengan penasaran.

"Maukah kau..."

"Apa?"

"Maukah kau menjadi pelangiku?"

Diam keduanya.

Son Je Ha mematung di tempatnya, Wang Jae sudah memerah wajahnya. Hujan masih turun dengan deras, memerciki keduanya dari sela-sela dedaunan oak.

Mereka berdua diam untuk beberapa saat ke depan setelah pertanyaan itu terlontar. Son Je Ha masih tak menjawab apapun sementara Wang Jae sudah menahan rasa malunya mati-matian.

"Sialan, kenapa aku mengatakan hal seperti itu?!" Batinnya.

"Hwangja-nim," Je Ha memanggil.

Wang Jae hanya mengedikkan alisnya, menatap Sang gadis.

"Bisakah anda berbicara dengan bahasa yang mudah dimengerti?" Gadis gisaeng itu memerosotkan bahunya, "saya ini tidak berpendidikan, saya tidak tahu apa yang anda bicarakan."

"Hah..."

Wang Jae nyaris depresi.

"Bagian mana... yang tidak kau mengerti?"

"Apa maksud dari 'menjadi pelangiku' ini? Bahasanya agak tinggi," gadis bodoh itu tampak berpikir.

Pangeran ke tujuh mencoba untuk bersabar. "Maksudku adalah—"

"Ah! Mungkinkah anda ingin aku menjadi teman anda?" Je Ha menjentikkan jarinya, tampak senang ketika dirasa dirinya mulai mengerti.

"Apa?" Wang Jae mengernyit.

"Pelangi itu memiliki banyak warna, bukankah melihatnya akan membuatmu merasa senang? Jadi... mungkinkah anda ingin aku menjadi teman anda yang bisa dijadikan tempat bercerita?" Jelasnya panjang lebar.

"Je Ha, itu—"

"Ya! Tentu saja saya tidak keberatan jika menjadi teman anda," gadis itu meringis, "apapun yang ingin anda ceritakan, maka ceritakan saja pada saya, saya bisa menjaga rahasia dengan baik!"

"Tapi..."

"Meski saya merasa agak takut karena berteman dengan seorang Pangeran, anda tidak akan mengatakan pada siapapun, kan?"

Kemudian, Wang Jae pasrah. "Yah, tentu. Terima kasih karena mau menjadi temanku."

"Eung," Je Ha mengangguk senang, ekspresinya tampak lebih cerah.

Melihatnya, Wang Jae menjadi lebih lega meski dia tidak menyangka jika semuanya di luar ekspektasi. Seharusnya sejak awal dia sadar jika gadis ini bodoh, tidak akan mudah.

Wang Jae tersenyum, mendaratkan telapak tangannya yang besar dan hangat di pucuk kepala Si gadis gisaeng. "Ya, mulai sekarang kita berteman."

Nanti. Nanti dia akan mengatakan yang sebenarnya, tidak untuk saat ini.


Jrashh!!


"Arghh!!"

"Hwangja-nim?!!"

Pria itu terkejut setengah mati hingga dia limbung ke depan.

Rasa sakit yang hebat menyerang kaki bagian kanannya, dan rupanya itu adalah anak panah. Son Je Ha menahan tubuh Wang Jae meski terasa begitu berat, dia masih tidak tahu jika Wang Jae baru saja diserang.

"Hwangja-nim ada apa?!" Serunya ketika dia merasakan tubuh pria itu gemetaran.

"Ughh... sial."

Wang Jae berbalik, berusaha menahan rasa sakit di kakinya.

"Ada seorang gadis juga di sini!" Seru seseorang.

Je Ha terkejut ketika melihat seseorang melompat turun dari pohon yang begitu tinggi. Seorang laki-laki berpakaian hitam dari atas hingga bawah, separuh wajahnya juga ditutupi oleh kain.

"Tetap di belakangku," desis Wang Jae padanya.

Gadis itu mengangguk cepat, dia mulai merasa takut. Sial, kenapa tiba-tiba ada sekelompok bandit di sini?

Kalian yang bodoh, ini adalah hutan, bahaya apapun bisa datang kapan saja.

Bandit itu terdiri dari tiga orang, mereka datang dari berbagai sisi.

"Apa kalian memburuku?" Tajam Pangeran ke tujuh, dia telah mencabut panah di kakinya sendiri, dan Je Ha cukup terkejut ketika menyaksikannya.

"Dia adalah Pangeran Yin-Yang," ujar pria yang membawa busur pada rekan-rekannya.

"Wang Jae?"

Sebenarnya, para bandit itu gentar ketika mengetahui bahwa seseorang yang mereka serang adalah seorang Pangeran, terlebih lagi Wang Jae.

"Dia tidak membawa pedangnya."

Benar, karena Wang Jae tidak membawa pedang, rasa takut mereka berkurang.

"Apa ini? Tiga lawan satu?" Wang Jae mendecih, "aku... dengan tangan kosongku? Apa kalian serius?"

Seseorang yang membawa pedang menjawab, "karena kau terlanjur melihat kami, maka kami akan menebas kepalamu."

"H-Hwangja-nim..." Son Je Ha sudah ketakutan di belakangnya. Dia mulai berpikiran yang tidak-tidak. Masalahnya mereka hanya berdua— dan dia sangat tidak berguna, apalagi Wang Jae sama sekali tak bersenjata.

"Ku bilang tetap di tempatmu," jawab Wang Jae pelan, "jangan takut, kau aman bersamaku."

Je Ha harap, semuanya benar-benar akan baik-baik saja.

"Lihatlah, perempuan di belakangnya begitu cantik," ujar salah satu dari mereka.

Kening Wang Jae mengernyit tajam, "jangan menyentuhnya, dia hanya seorang gisaeng, sama sekali tak ada hubungannya dengan kerajaan."

"Oh? Kalau begitu dia akan mahal jika ku jual ke pelelangan manusia hahaha!! Dia sangat cantik, dia akan laku keras!"

Mereka semua tertawa, Wang Jae semakin geram dibuatnya. Dia berlari dengan cepat, dan—


Buagkhh!!!


Dia hantamkan satu pukulan menyakitkan di rahang pria yang telah memanah kakinya tadi. Si bandit itu tersungkur, punggungnya menubruk pohon hingga menimbulkan bunyi yang sangat mengerikan, seolah tulang punggungnya retak.

"Beraninya kau mengatakan hal seperti itu di depanku," desisnya tajam.

"BRENGSEK!!"

Kedua teman pria itu berteriak tak terima, mereka berdua mengayunkan pedang bersamaan ke arah Wang Jae.

Namun meskipun tanpa pedang, Wang Jae tetap dapat mengatasi tiga orang ini dengan mudah. Bahkan dia tampak lebih leluasa dengan menggunakan sepasang tangan kosongnya.

Ia cengkeram tangan bandit-bandit itu, lalu membanting tubuh mereka.


Jrashh!!


"Arghh!!"

"Hwangja-nim!!"

Son Je Ha berteriak dengan refleks ketika punggung Pangeran ke tujuh tertebas, tapi pria itu tidak ambruk, dia hanya menggertakkan giginya sembari menahan rasa sakit.

"Kenapa kau marah saat aku berkata ingin menjualnya? Bukankah dia memang gisaeng dan untuk itu gunanya?" Bandit itu tertawa mengejek, "dia adalah pemuas nafsu para pria."

Kedua tangan Wang Jae bergetar, tatapannya menjadi semakin tajam.


BUAGKH!!

BUGKH!!

DUAKK DUAKK!!


Pertarungan itu tak terhindari. Seorang Pangeran dengan tangan kosong dan tiga orang bandit membawa senjatanya. Terdengar tidak adil, tapi apa yang dilihat Son Je Ha saat itu membuatnya nyaris tidak percaya hingga dia menutup mulutnya sendiri.

Wang Jae seperti dirasuki roh jahat, dia memukuli pria-pria itu benar-benar hanya dengan kepalan tangannya.

"Katakan sekali lagi," desisnya tajam."

"Arrghhh!!!"


DUAGKH!!


"Ku tuli? Ku bilang katakan sekali lagi."

"KAU BAJINGANN!!"

Mereka terlihat sangat kesakitan, seperti tulang-tulang mereka telah diretakkan dari dalam.

"Ayo cepat lebih baik kita pergi dari sini!!" Ujar salah satu dari mereka, memegangi lengannya yang sepertinya patah.

"Ya! Ayo pergi! Tak ada untungnya juga jika kita membunuhnya!!!"

Kedua bandit itu melemparkan pedangnya, mencoba untuk berlari meski agak susah payah dan kesakitan setengah mati. Namun seorang lagi yang masih tersungkur di tanah tak sanggup berbicara, hanya mengulurkan tangannya dan berusaha untuk berteriak. Kedua rekannya itu melupakannya karena ketakutan.

Wang Jae tersenyum miring.


DUGKH!!


Dia menginjak dada pria itu hingga memuntahkan darah. Pria ini adalah pria yang tadi mengatakan hal-hal tidak pantas untuk Son Je Ha.

Menghembuskan napas panjangnya, Wang Jae berjongkok, tangannya entah sejak kapan telah berada di leher Si bandit.

"Hei, apa kau tahu kau telah mengatakan yang tidak seharusnya?" Katanya dengan nada rendah, dia tampak santai, namun sungguh mengintimidasi.

"H-Hwangja-nim..." Son Je Ha masih dengan tubuh gemetaran mencoba memanggil, namun Wang Jae tak mendengarnya.

"Hahh, aku sangat membenci manusia bermulut busuk sepertimu," dia mulai mencengkeram leher itu. "Manusia-manusia sepertimu sungguh seperti iblis, hanya dengan mulutmu, kau bisa menyakiti orang lain."

"Erghh..." pria itu tampak kesulitan bernapas, wajahnya membiru.

"Alangkah lebih baiknya jika kau menjadi bisu."

Wang Jae benar-benar memperkuat cengkeramannya, hingga urat ototnya di tangannya bermunculan, hingga bandit itu mengejang.

Bunyi retakan dari leher itu terdengar jelas, kulit pria itu memerah, cengkeraman Wang Jae semakin menguat.

"Hwangja-nim!! Hwangja-nim berhenti!!" Son Je Ha berlari, dia yang tidak tahan melihat semua itu, menahan tangan Sang Pangeran.

Namun sayangannya pria itu tak mengindahkannya.

"Hwangja-nim hentikan!!" Gadis itu menangis, "jangan membunuhnya! Jangan membunuhnya dengan cara seperti ini!!"

Son Je Ha bukannya takut bandit ini mati, tapi dia hanya merasa... takut. Dia ketakutan melihat Wang Jae yang seperti ini.

Sayang sekali, sebelum Son Je Ha berhasil mencegah semuanya, bandit itu sudah meregang nyawa lebih dulu. Dengan wajah penuh kemarahan, Wang Jae mencekik dan meremukkan leher pria itu. Sungguh begitu mudah, seperti meremukkan seekor serangga.

"Hwangja-nim..." Je Ha menarik tangan itu sembari menangis, "ku mohon jangan seperti ini..."

"Dia menyakitimu," suara Wang Jae dengan datar, sorot matanya sungguh berbeda. Tidak seperti sebagaimana Pangeran Wang Jae biasanya. "Dia menghinamu, dia menginjak-injak harga dirimu di depanku, dan aku sangat membenci itu."

Dia tahu mungkin maksud Wang Jae baik, dan pria itu ingin melindunginya. Tapi sungguh— Je Ha lebih memilih dihina ketimbang dia harus melihat sisi Wang Jae yang seperti ini.

Gadis itu memegangi tangan Sang Pangeran erat-erat sembari menangis. "Jangan melakukan hal seperti ini lagi, ku mohon. Jangan kotori tangan anda seperti ini..."


-----oOo-----


"Yang Mulia, jangan begini, sebentar lagi akan ada orang yang datang kemari."

Wang Yeol yang memeluk dan berusaha mencium kekasihnya itu langsung menjauhkan wajahnya beberapa inci, ekspresi terkejutnya terlihat lucu. "Apa? Siapa?"

"Seseorang," Seong So merapikan beberapa helai rambut Yeol yang berantakan. "Anda perlu bertemu dengannya."

Putra Mahkota itu langsung memerosotkan bahunya, "apa-apaan ini? Ku pikir kau mengajakku bertemu karena merindukanku. Apa kau tidak tahu betapa aku sangat rindu padamu? Kita bertemu beberapa kali dan hanya sesaat saja, itu pun hanya mengurus para penyusup. Apa kau tidak kasihan padaku?"

"Yang Mulia—"

"Oh Seong So kau sungguh tidak berhati."

"Yeol!"

Pria itu berhenti mengomel ketika Seong So meninggikan nada suaranya.

"Ayolah, aku tidak mau membentak seorang Putra Mahkota," Seong So menghela pasrah.

Wang Yeol tertawa, mengusak pucuk kepala kekasihnya dengan gemas. "Bahkan aku akan dengan senang hati dimarahi jika itu adalah kau."

"Jangan seperti anak-anak, aku tidak mau bersikap tidak sopan padamu."

"Kau berlebihan, So-ya. Aku ini bukan Raja," Wang Yeol tampak malas.

"Kau calon Raja, Yang Mulia."

"Dan kau calon Permaisuriku," pria itu menyahutnya, tampak tersenyum-senyum.

Wang Yeol terlihat sangat manis. Dengan wajah tampan yang seperti orang bodoh itu, dia selalu tahu bagaimana cara meluluhkan hati Oh Seong So.

Pria ini memang agak menyebalkan sekaligus lucu, tapi saat mendengar jawaban barusan... Seong So merasa agak sedih— dia sangat sedih.

Dia harap... dia selalu bisa berada di sisi pria ini untuk terus mendampinginya. Meski itu tidak akan terjadi, meski itu sangat mustahil.

Entah apapun posisinya, meski dia tidak akan menjadi seorang Permaisuri, Seong So hanya ingin terus berada di sisi Wang Yeol.

"Apakah... kau sudah menemui Keluarga Hwan?"

Mendengar pertanyaan yang sangat tiba-tiba itu, Wang Yeol mendecak sembari melengos. "Kau membahas ini lagi."

Keluarga Hwan adalah bangsawan terpandang, sudah sejak lama Raja dan Ratu Daemok menginginkan Wang Yeol untuk menikahi putri satu-satunya dari keluarga bangsawan itu.

Tentu saja, mereka adalah dukungan yang kuat untuknya menaiki tahta nanti.

"Tidak bisakah kau hanya menurut?" Seong So menggenggam tangan Wang Yeol yang lebih besar darinya, namun pria itu masih berpaling, tak mau memandang, seolah benar-benar kesal dengan pembicaraan mereka kali ini. "Yeol—"

"Jangan paksa aku."

"Wang Yeol, kau harus tahu posisimu sedang terancam sekarang," perempuan itu menghela pasrah, "Yeol dengarkan aku," dia menangkup pipi Sang Putra Mahkota, meminta pria itu untuk memandangnya.

"Oh Seong So, ku bilang hentikan."

"Ini adalah tanggung jawabmu, menjadi Gyeongjong* adalah takdirmu," selanya cepat, tatapannya melembut, "dan kau tahu apa artinya? Kau memiliki tanggung jawab yang besar akan Goryeo. Kerajaanmu, rakyatmu. Pada akhirnya semua memang harus seperti ini, Yeol... kau tahu itu."

*Gyeongjong = Kaisar ke-5 Goryeo

"Tak bisakah... kau hanya ada di sisiku?"

Wang Yeol benar-benar terlihat sesedih itu. Dia menggenggam tangan putih Seong So yang berada di pipinya, mengambilnya, mencium tangan itu dengan penuh keteguhan.

Tangan yang selalu melindunginya, tangan yang selalu menghapus air matanya.

"Rakyatku mungkin membutuhkanku, tapi kau tahu... aku membutuhkanmu, kau tahu itu kan?" Nadanya memelan.

Ini menyakitkan. Jika diberi sebuah pilihan, Wang Yeol benar-benar tidak ingin menjadi seorang Raja atau bahkan dia tidak ingin menjadi anggota keluarga kerajaan.

Dia hanya ingin menjadi orang biasa. Dia ingin hidup dengan damai bersama wanita yang sangat dia cintai.

"Ku harap aku bisa terus berada di sisimu," perempuan itu tersenyum. "Tapi kita tetap harus tahu batasan, aku tidak mau ayahmu membencimu hanya karenaku, kau tidak boleh menghancurkan keluargamu hanya untukku, aku tidaklah seberharga itu."

Wang Yeol menarik napas panjang, memeluk wanitanya dengan sangat erat saat itu juga. Sebuah sentuhan yang sarat akan cinta dan keputusasaan. "Ku mohon jangan mengatakan hal seperti itu, aku sangat membencinya."

Suara itu gemetaran, pun tangannya sendiri. Wang Yeol sebenarnya adalah pria berhati lemah, kata-kata Oh Seong So barusan sangat menyakitinya, hingga kini dia menjatuhkan setetes demi setetes air mata.

"Kau sangat berharga untukku, kau adalah hal yang paling berharga di hidupku. Jadi ku mohon jangan pernah berkata seperti itu."

Oh Seong So hanya tersenyum, nampak pilu. Ia ulurkan tangannya, ia balas pelukan Sang terkasih. Meski dia tahu, semua hanya akan jadi memori, dan perjuangan mereka akan selalu tak berarti.

Tugasnya adalah mengantar Wang Yeol hingga berhasil menduduki singgasana Raja tanpa terluka, melindunginya dari siapapun yang mencoba untuk menyakiti pria itu.

Tugasnya adalah mencintai, bukan memiliki.

Pada akhirnya, Wang Yeol memang harus menempuh kehidupannya sendiri. Kehidupan dengan tanggung jawab besar yang akan dijalani tanpa dirinya.

"Jangan menangis," perempuan itu tertawa kecil, "kau bukan bayi, astaga." Dia mengusap-usap punggung Sang Putra Mahkota yang terlapisi jubah lusuh, jubah yang biasa digunakan Wang Yeol untuk menyusup ke luar istana.

"Oh Seong So aku mencintaimu," Yeol berbisik tanpa mau melepaskan pelukan itu.

"Aku tahu."

"Aku paling mencintaimu."

"Iya, aku tahu," wanita itu masih tersenyum.

"Kita akan terus bersama, aku akan memastikan bahwa kita akan tetap bersama bahkan sampai aku menjadi Raja nanti."

Sayangnya, Seong So sama sekali tidak yakin akan kalimat terakhir Wang Yeol.


***


"Kalau begitu, aku akan kembali ke kamarku sekarang, ge."

Wen Fei Yu berbalik, dengan sepasang tangan di belakang punggungnya, dia mengangguk mendengar adiknya yang ingin undur diri.

Wen Jun menautkan kepalan tangannya di depan dada, lantas membungkuk, memberikan penghormatan kepada kakak tertua.

"Apakah Ren sudah masuk ke kamarnya?" Tanyanya, sebelum Jun benar-benar sempat berbalik.

"Ya, jangan khawatir, dia sudah pergi tidur sejak setengah sichen lalu."

Wen tertua mengangkat sepasang alisnya, "baguslah, sekarang kau pergilah tidur."

Jun mengangguk, sembari menggenggam pedangnya, dia berbalik dan berjalan berlawanan arah dengan kakak tertua.

Begitulah Wen Fei Yu sehari-harinya. Sebagai kakak tertua, dia sangat memerhatikan kedua adiknya bahkan sampai hal-hal terkecil. Terutama Wen Ren, Fei Yu benar-benar sangat menjaga adik bungsunya. Dia harus memastikan jika Ren tidak berkeliaran di malam hari dan tidur tepat waktu.

Sekarang dia harus kembali ke kamarnya, meski belum mengantuk, tubuhnya terasa sangat lelah. Istana mulai sepi, hanya ada para pengawal yang berdiri di tiap sudut.

Kamarnya ada di sebuah paviliun yang paling besar, bersebelahan dengan paviliun Kaisar.

Fei Yu membuka pintu kamarnya. Bangunan Kekaisaran Song sangat berbeda dengan Goryeo. Bangunannya tinggi-tinggi, dan pintunya bisa setinggi 5 meter bahkan lebih, begitu banyak tiang penyangga yang mewah berlapis emas di setiap paviliun.

Lupakan tentang kemewahan Kekaisaran Song. Wen tertua itu masuk ke dalam kamar, meletakkan pedang goloknya di rak penyangga pedang dari batu giok. Kemudian dia melepas hanfu terluarnya yang berwarna keemasan.


Sring


Suara pedang yang ditarik keluar dari sarungnya terdengar. Fei Yu langsung terdiam kaku, karena belum sempat ia bergerak, sebuah pedang tajam sudah tertempel di lehernya.

Hanya dari mata pedang itu, Wen Fei Yu sudah tahu siapa pelakunya. Pedang yang tak terlalu panjang namun sangat tajam, dengan ukiran hanja 生與死齊頭並進*, dihias rumbai merah dan bulu merak putih.

*生與死齊頭並進 = Shēng Yǔ Sǐ Qítóubìngjìn (kehidupan dan kematian berjalan seiring)

"Apa ini?" Nada rendah Fei Yu menyeruak.

Pria itu masih tak bergerak hingga Wang Han muncul dari balik tirai sutra transparan dengan wajah datarnya. Ekspresi serius yang tak pernah ditampakkan Sang Pangeran ke lima selama ini.

Sayang sekali, Fei Yu meletakkan pedangnya barusan, kini dia tak bersenjata.

"Pergilah ke Goryeo bersamaku," tekan Wang Han tiba-tiba, suaranya terdengar mencekam.

Kening Wen Fei Yu mengernyit, "apa?"

"Nikahi adikku."

"Apa maksudmu?"

"Apakah aku masih kurang jelas? Nikahi adikku, Yeo Kyung."

Diam Sang Wen tertua, dia hanya melirik Wang Han dari ekor matanya. Setahunya, Pangeran Goryeo ini seharusnya sudah pergi tidur bersamaan dengan Ren. Siapa sangka Han mendadak muncul di kamarnya?

"Apa yang kau rencanakan?" Suara berat Yi Fan yang parau dan khas terdengar.


Whoosh!


Wang Han mengibaskan lengannya yang masih bebas, kibasan dari lengan bajunya yang lebar itu memadamkan nyala api lilin dalam kandil di atas meja. Penerangan kamar seketika menjadi temaram.

"Ku tanya, kau jauh-jauh datang kemari tentu bukan hanya untuk bertemu dengan adikku," ulang Fei Yu, "apa yang kau rencanakan?"

"Hanya sanggupi permintaanku," desis Wang Han.

"Jangan bermain-main denganku," sepasang alis Wen tertua tampak menukik.

"Kau pikir aku sedang bercanda?" Pangeran ke lima memajukan tubuhnya, dia semakin menekan mata pedangnya ke leher Wen Fei Yu, membuat sedikit darah terlihat merembes ke luar. "Aku bisa menebasmu sekarang juga, Putra Mahkota Wen."

Untuk sejenak, Wen Fei Yu menahan napasnya. Dia tahu Wang Han tidak bercanda, karenanya sejak tadi dirinya tidak bergerak. Jika tidak, pasti sudah ia bekap Pangeran Goryeo itu.

"Kau harus tahu, Putri Yeo Kyung tidak ingin menikah denganku, kau juga pernah mengatakannya sendiri jika dia mencintai pria lain."

"Jika ku katakan nikahi dia, maka kau haru menikah dengannya," Han terus bersikukuh. "Wen Fei Yu, aku tidak peduli jika harus membunuhmu sekarang juga, dan aku tidak peduli jika harus menjadi buronan Kaisar Taizu."

Untuk pertama kalinya, sisi lain dari Wang Han muncul. Pangeran yang biasanya selalu berteriak, mengeluh, menyumpahserapah dan nampak anggun kini tak ada. Hanya seorang pria membawa pedang tajamnya, mencoba mengancam Putra Mahkota Kekaisaran Song dengan sorot mata berapi-api.

"Tidak peduli apakah Yeo Kyung akan menolakmu, pergilah ke Goryeo dan temui Raja Gwangjong untuk menyanggupi pernikahan itu."

"Kau gila—"

"Jangan kacaukan rencanaku Wen Fei Yu, atau aku akan membunuhmu."


-----oOo-----


"Ye?"

"Benar, Kyung Soo sudah pergi ke istana sejak tadi pagi, apakah dia tidak memberitahumu?"

Son Je Ha tampak mematung di depan rumah Kyung Soo ketika mendengar jawaban dari Nyonya Bae. Perempuan itu menggeleng, "dia tidak mengatakan apapun padaku, bibi."

"Sungguh?" Nyonya Bae agak terkejut, "dia sudah pulang pergi ke istana sejak satu minggu ini."

Gadis gisaeng itu semakin terkejut, "eehhh?? Satu minggu?"

"Em, Kyung Soo akan kembali nanti malam nak, kau baru bisa bertemu dengannya nanti."

Je Ha memerosotkan bahunya. "Aih, dia sama sekali tidak mengatakan apapun padaku bibi, yahh... sebelumnya Kyung Soo memang bilang akan bergabung dengan pasukan kerajaan sih, tapi... ku pikir dia hanya bercanda."

Melihatnya, Nyonya Bae tersenyum menghela. "Dia akan selalu pulang ke rumah, jangan khawatir."

"Bibi, kenapa ya Kyung Soo tiba-tiba ingin bergabung dengan pasukan kerajaan?" Je Ha melempar pertanyaan lain, pertanyaan yang benar-benar sangat membuatnya ingin tahu. "Dia agak aneh."

Nyonya Bae menepuk pundaknya pelan, "tidak ada apapun, Son Je Ha. Dia hanya bergabung dengan pasukan kerajaan, itu saja, turut serta melindungi Goryeo."

Alasan itu agak klise. Meski memang iya, bergabung dengan pasukan kerajaan apalagi yang mereka lakukan jika bukan melindungi Goryeo?

Hanya saja... karena sudah terlalu lama mengenal Kyung Soo, Je Ha agak ragu.

"Eum, baiklah bibi, kalau begitu... aku akan kembali."

"Apa kau tidak mau masuk dulu? Bibi baru saja membuat kue bulan kesukaanmu."

Gadis itu menggeleng, terlihat agak lesu. "Aku akan datang lagi nanti untuk menemui Kyung Soo, aku baru teringat jika memiliki cucian, bibi."

"Ah baiklah jika begitu," Nyonya Bae hanya tersenyum, "bibi tunggu nanti malam jika kau memang akan kemari."

Son Je Ha tersenyum sembari mengulum bibirnya. Kemudian setelah membungkukkan tubuhnya dengan sopan, dia berbalik dan berjalan menjauh meninggalkan rumah Keluarga Bae. Tuan Bae Jung Soo tidak kelihatan, sepertinya dia sedang sibuk di tempat gerabahnya.

Berjalan-jalan sendirian, Son Je Ha agaknya merasa sedikit kesepian. Hari-harinya ia lalui dengan mencuci baju dan pergi ke pasar lalu memasak. Seperti itu berulang-ulang. Kyung Soo agak sulit untuk ditemui, Oh Seong So entah mengapa suka menghilang akhir-akhir ini, dan Tuan Seon Jae Hyun juga tidak datang mengunjunginya selama beberapa hari terakhir.

Yah, Je Ha merasa hidupnya agak damai sih, hanya saja... dia merasa agak bosan karena terlalu monoton.

Ah, dia harap Tuhan memberikan kejadian luar biasa di hidupnya agar dirinya tak seperti ini ini saja.


Dukk!!


"Oh!"

Gadis itu terkejut setengah mati, dia nyaris saja jatuh dan tersungkur ke depan ketika rasanya ada seseorang yang mendorong punggungnya dari belakang. Oh, tunggu! Itu bukan seseorang—

Son Je ha menoleh.

"Yong-Gam?!!"

Je Ha terkejut, dia sangat terkejut. Bagaimana mungkin tiba-tiba dia bertemu dengan kuda putih milik Panglima Perang ini? Tidak, dia tidak bertemu secara kebetulan, sudah jelas kuda inilah yang mendorongnya lebih dulu.

Kuda putih jantan itu tampak mendengus, meringkik, kemudian menjejakkan kaki depannya ke atas tanah dua kali.

Sepertinya Yong-Gam mencoba untuk bicara dengannya. Tapi sayang sekali, Je Ha tidak bisa bahasa kuda. Jangankan bahasa kuda, membaca huruf hanja saja dia tak bisa.

"Err... apa yang kau lakukan di sini?"

Son Je Ha bodoh kenapa kau malah bertanya pada kuda?

Gadis itu menggeleng cepat, "eiy, sepertinya kau kabur ya?" Katanya, ketika sadar bahwa di atas punggung Yong-Gam masih terpasang pelana yang terbuat dari kulit.

Je Ha mengulurkan tangannya, mengelus surai panjang dan putih milik Yong-Gam yang terasa halus. Oh, dia jadi ingin tahu, dengan apa Hwang Je No mencuci rambut Yong-Gam hingga sehalus ini.

Ah sungguh, kenapa dia malah ingin tahu tentang itu?

Namun mendapat elusan seperti itu, Yong-Gam sepertinya terlihat senang. Dia meringkik pelan sembari mendekati Sang gadis.

Tangan Son Je Ha sepertinya membuat Yong-Gam merasa nyaman.

"Dimana tuanmu? Kenapa kau berjalan sendirian di sini? Kau tidak mungkin tersesat kan?" Kata Je Ha lagi, menyisir surai Yong-Gam dengan jemarinya.

Jika Yong-Gam berada di sini... apakah itu berarti Hwang Je No juga sedang di sekitar sini?

Je Ha sangat merindukan Je No.

Dia ingin melihat pria itu lagi, tapi—

"Jangan pernah lagi berkata jika kau mencintaiku."

Kata-kata itu sangat menyakitkan. Sungguh menyakiti hatinya.

Apakah serendah itu dirinya? Apakah dia tidak berhak mencintai Hwang Je No? Karena dirinya seorang gisaeng?

Apakah Hwang Je No merasa terhina karena dicintai oleh gadis gisaeng rendahan sepertinya?

Dia menghela napas. Ah, Son Je Ha, nasib hidupmu sungguh buruk.

Kemudian dia memeluk leher Yong-Gam— meski tak terlalu sampai karena kuda itu begitu tinggi. Dia memeluk Yong-Gam sembari memejamkan mata, merasakan bulu halus kuda putih milik Hwang Je No yang begitu lembut.

"Aku mencintai dia, aku sungguh mencintai tuanmu," katanya pelan, "mengapa... mengapa aku tidak boleh mencintainya? Yong-Gam, apakah perasaanku ini memang tidak benar?"

Orang-orang akan mengira dia gila karena berbicara dengan seekor kuda. Tapi entah mengapa, Je Ha begitu yakin bahwa Yong-Gam memahami hatinya, mengerti perasaannya.

Tidak, Son Je Ha, kau harus berhenti.

Dia kembali menghembuskan napas lelahnya untuk yang kesekian kali, lantas melepaskan pelukannya pada Yong-Gam. Bulu mata kuda itu tampak lentik, sangat cantik saat dipandang dari jarak dekat.

"Aku senang kau adalah kudanya Panglima Hwang," Je Ha meringis geli, "kalian partner yang sangat cocok."

Tapi memang... Je Ha tidak pernah melihat kuda segagah ini selama dirinya hidup. Yong-Gam benar-benar seperti jelmaan kuda yang diturunkan dari surga, khusus untuk Hwang Je No.

"Ayo, aku akan mengantarmu, kau tidak seharusnya di sini."

Dia memegangi kuda itu, menuntunnya, dan syukurlah Yong-Gam menurut. Dia ikut berbalik ketika Je Ha mengajaknya berjalan bersama.

Son Je Ha sempat menjadi pusat perhatian oleh beberapa warga desa yang lewat, entah mereka heran karena melihat dirinya berjalan dengan kuda milik Panglima Perang, atau karena mereka terlalu takjub dengan keindahan Yong-Gam.

Namun sepertinya Tuhan memang sedang mempermainkannya.

Son Je Ha sama sekali tidak berharap untuk bertemu dengan Sang pemilik kuda, dia hanya berniat untuk mengantar kuda ini ke depan gerbang istana lalu meninggalkannya. Tapi bahkan seseorang yang mampu membuat jantungnya berdebar itu... telah berdiri di hadapannya.

Hwang Je No.

Pria itu baru saja berlari kecil sembari menggenggam seruling giok hitamnya. Lalu saat dia melihat Yong-Gam berjalan dengan seorang gadis berpenampilan sederhana, langkahnya melambat, dia berhenti.

Je No tertegun di tempatnya. Seperti benar-benar seterkejut itu saat melihat Son Je Ha.

Singkat cerita, dia sedang kebingungan karena Yong-Gam mendadak hilang. Padahal dia baru saja memasangkan pelana pada kudanya, meminta Yong-Gam untuk diam di halaman sementara dia masuk sebentar untuk mengambil pedang.

Lalu tahu-tahu Yong-Gam menghilang, itu membuat Je No sempat jengkel.

Tidak biasanya kuda itu membangkang perintahnya seperti ini.

Tapi sekarang, dia tidak tahu harus berkata apa. Niatnya yang ingin memarahi Yong-Gam langsung kandas.

Son Je Ha kemudian mengerjap, dia segera menjauhkan tangannya dari Yong-Gam. Kemudian gadis itu membungkukkan tubuhnya sesaat di depan Hwang Je No, memberi salam hormat dengan gestur yang kikuk.

Si gisaeng berbalik dengan cepat, lalu segera pergi dari hadapan Hwang Je No. Meninggalkan Yong-Gam dan tuannya, tanpa berkata apapun.

Sempat tercelos jauh di lubuk hati Sang Panglima. Ketika melihat gadis pujaan hatinya itu pergi begitu saja, diam-diam dia berharap gadis itu akan datang padanya lagi dan lagi, seperti waktu-waktu yang telah lalu. Menyapanya dengan wajah cerianya yang menawan, mengatakan sebuah pernyataan cinta sekali lagi.


***


Pria itu berjalan dengan langkah tergesa-gesa, raut wajahnya terlihat gelisah sejak dia mendapatkan sebuah pesan. Kian lama, kian cepat langkah kakinya hingga terlihat seperti berlari.

Ye Hwa memintanya untuk datang ke danau belakang istana.

Guan Yu berdebar sepanjang perjalanan. Tidak, bukan karena dia sedang berbunga-bunga, tapi karena dia merasa takut. Hatinya sama sekali tidak tenang jika itu menyangkut Sang Tuan Putri.

Gadis itu ada di sana. Seorang perempuan yang selalu terlihat anggun dan menyejukkan, mirip serpihan salju. Guan Yu menghentikan langkahnya, menatap Ye Hwa yang sedang melihat-lihat bunga aster milik Wang Jae.

Sang Eksekutor nampak ragu, namun dia beranikan dirinya lalu.

Dia mengambil napas beberapa kali, lantas berjalan mendekati.

"Yang Mulia," dia bungkukkan tubuh bongsornya, memberi salam hormat.

Ye Hwa menoleh, lantas dia tersenyum tipis melihat kedatangan Guan Yu.

Binar mata gadis itu tidak berbohong, sebuah pancaran yang sarat akan rasa rindu teruntuk Sang terkasih.

"Anda memanggil saya?" Guan Yu berlutut dengan satu kakinya, sepasang matanya masih menatap ke tanah, enggan untuk mendongak.

"Guan."

Panggilan itu membuat Sang pria termenung di tempatnya. Suara yang halus, yang lebih indah dari senar gayageum.

Ye Hwa selalu memanggilnya Tuan Guan Yu, tapi kali ini gadis itu hanya memanggilnya dengan satu nama kecilnya.

Guan Yu menengadah, hal pertama yang ia lihat adalah seorang perempuan berambut panjang dengan kecantikan bagai Dewi Purnama.

Keduanya saling menyelami isi pikiran masing-masing. Seolah berbicara melalui tatapan mata itu.

Guan Yu masih belum berdiri, hingga kemudian Ye Hwa menundukkan dirinya, duduk bersimpuh di depan Guan Yu, di atas rerumputan.

"Yang Mulia, jangan duduk di bawah—"

"Besok... aku akan berangkat ke Baekje."

Sejak Ye Hwa memanggilnya dengan nama kecil— tidak, sejak salah satu pengawal datang dan menyampaikan pesan bahwa Ye Hwa ingin bertemu dengannya, perasaan Guan Yu sudah tidak tenang.

Dan ya, inilah yang terjadi.

"Guan, maafkan aku," Ye Hwa bersuara lagi, "aku tidak bisa melakukan apapun."

Guan Yu menundukkan kepalanya, dia tak mampu untuk berkata-kata.

Keduanya saling mencintai. Guan Yu dan Ye Hwa. Meski tak pernah melantunkan sebuah verbal, tak pernah menyanjungkan kata cinta bermakna indah. Sejak dulu, keduanya selalu saling mencinta.

Tapi Guan Yu adalah seorang Eksekutor Kerajaan, dan Ye Hwa adalah seorang Putri Raja. Pria itu jelas tahu batasannya, dan dia masih sadar diri apa posisinya.

Bagaimana mungkin dirinya bisa memperjuangkan gadis yang dia cintai sementara kasta menjadi dinding pembatas yang begitu nyata?

Guan Yu tahu Ye Hwa mencintainya, dan Ye Hwa tahu Guan Yu mencintainya. Namun keduanya tak pernah melangkah lebih jauh, tak pernah memberanikan diri.

Saat tahu bahwa gadisnya akan menikah dengan pria lain, jelas... Guan Yu hancur setengah mati.

Dan hal yang membuatnya marah kepada dirinya sendiri, adalah karena ia yang tak bisa melakukan apapun.

"Apa semuanya... benar-benar akan menjadi seperti ini saja?" Pria itu menggertakkan giginya dalam diam, suaranya pelan sekali.

Dia rindu. Dia sangat rindu masa-masa kecilnya, saat pertama kalinya Raja menyuruhnya untuk menjaga Ye Hwa yang sedang bermain, menemani Ye Hwa kecil berkuda, mengajak Ye Hwa yang beranjak remaja berjalan-jalan di pasar.

Guan Yu tak hanya seorang Eksekutor, dia sudah seperti Pengawal pribadi untuk Ye Hwa karena Raja memercayakan tugas itu padanya.

Dan semuanya berakhir serumit ini, semuanya dihancurkan oleh campur tangan perasaan.

Guan Yu tahu seharusnya dia sadar diri sejak awal, tapi siapa yang bisa menghalau kapan cinta datang?

"Bisakah... kau memberiku satu pelukan untuk yang terakhir, Guan?"

Air mata pria itu tak dapat lagi terbendung ketika mendengar permintaan dari wanitanya. Air mata yang jatuh seperti hujan, air mata yang membuat pendiriannya runtuh seketika.

Dia mengangkat wajahnya, memeluk sosok yang selalu ingin ia rengkuh setiap waktu. Memeluknya dengan sangat erat seolah tak ingin ia lepaskan meski pada akhirnya harus.

"Yang Mulia, aku sangat mencintaimu," Guan Yu berbisik lirih, mencium pelipis Ye Hwa sembari memejamkan mata. "Aku sungguh mencintaimu..."

Ye Hwa mencoba untuk tidak menangis, meski hatinya terasa perih. Dia tersenyum dengan lemah dalam pelukan Guan Yu, melingkarkan tangannya di pinggang pria itu.

"Aku tidak akan pernah melupakanmu," balas gadis itu.

"Berjanjilah padaku, Yang Mulia." Guan Yu masih tak berhenti menangis dalam kediamannya, dia mengelus rambut legam gadis yang dia rengkuh. "Berjanjilah padaku untuk tetap baik-baik saja. Aku harus melepaskanmu, namun kau harus berjanji pada kau akan selalu baik-baik saja, dan jangan biarkan siapapun menyakitimu."

Ye Hwa tersenyum mengangguk. "Tentu, aku akan bahagia untukmu."


***


"AIH!! WANG HAN! ADIKKU TERSAYANG AKHIRNYA KAU PULANG!!"

Pangeran ke lima langsung merotasikan bola matanya dengan malas ketika musuh abadinya datang dengan heboh memasuki aula perjamuan. Dia melebarkan kipas sutranya, menutupi separuh wajah dan memandang ke arah lain.

"APA INI! KAU BERANGKAT TAK IJIN PADAKU, DAN SEKARANG TAHU-TAHU KAU SUDAH PULANG!?"

Jin heboh. Sangat heboh. Wang Hun di belakangnya mendorong punggungnya dengan keras karena kakak kedua menghalangi jalan.

Di dalam aula perjamuan itu sudah ada Wang Yeol yang duduk di ujung, Seon Jae Hyun, dan juga Wang Han yang baru tiba di Goryeo dua sichen lalu.

"Oh ya ampun, aku sungguh tidak ingin pulang kemari," Han mengipasi wajahnya.

"Eiyy!" Jin mengambil duduk tepat di samping adik ke lima, menyikutnya. "Jangan begitu, kau tahu kami semua sangat kesepian, adikku tersayang."

"Persetan," pria rupawan itu mendecak kesal.

Wang Yeol tiba-tiba tergelak, membuat Seon Jae Hyun di dekatnya agak terkejut. "Hahahaha!! Kakakmu berkata jujur, Han. Saudara-saudaramu sangat kesepian karena kau tak ada."

Hun menyahut dengan sinis, "apa maksudmu? Aku tidak. Justru aku tersiksa karena harus menggantikan Han menghadapi kegilaan Jin."

Jin mendengus, mengangkat botol arak dan menunjuk adiknya. "Kau sangat tidak sopan, sudah ku ingatkan berapa kali untuk menghormatiku yang lebih tua darimu."

"Tingkahmu tidak mencerminkan seorang kakak, dasar bodoh." Hun acuh.

"APA?!" Jin tidak terima.

"Apa?" Hun mengangkat dagu.

"Argh berhentilah kalian!!" Kali ini Han berteriak, suaranya sangat nyaring. "Goryeo benar-benar seperti neraka! Aku ingin kembali ke Bianjing!"

Suasana hati Jae Hyun sebelumnya sangat tak baik, namun sekarang dia tertawa kecil karena melihat tingkah laku para Pangeran yang saling mengolok, saling menyumpahserapah, saling melempar permen dan makanan kecil di atas meja.

"Eiyy, apa kau betah di sana karena ada Putra Mahkota Wen?" Jin lagi-lagi menggoda Han, menyikut bahu adiknya.


Dukk!!


"Apa sih, bodoh!"

Berakhir dengan pegangan kipas sutra dari kayu itu mendarat di kepala kakak kedua dengan cukup keras.

Saat para Pangeran itu sibuk bercanda— tidak, bertengkar sih, dan Jae Hyun mencoba menenangkan mereka, saat itulah kemudian Wang Jae datang dengan Guan Yu dan Hwang Je No yang mengawalnya di belakang.

Wang Yeol sempat terkejut karena tiga pria itu membawa hawa suram yang terasa mencekam, apalagi wajah mereka nampak seperti memiliki beban hidup 1000 tahun.

"Hyung-nim," Pangeran ke tujuh memberikan salam penghormatan.

"Wangseja-nim," Guan dan Je No juga melakukan hal serupa, membungkukan tubuhnya dengan penuh hormat.

Yeol hanya mengangguk, menyuruh mereka bertiga untuk duduk. Sang Putra Mahkota sempat melirik ke arah tuan cendekiawan, tampak jelas sekali jika Jae Hyun begitu canggung saat melihat kedatangan Je No, dia gelisah.

Hwang Je No sendiri tak mengedarkan pandangannya, dia terus menatap ke bawah. Saat duduk, dia terus menatap ke atas meja, pada hidangan di depannya. Seperti tak ingin berkontak mata dengan siapapun. Seburuk itu suasana hatinya.

Tidak, mereka semua sedang dalam suasana hati yang baik saat ini.

Istana yang terlihat damai dan hangat karena guyonan dan pertengkaran para Pangeran, namun sebenarnya semua terasa suram.

Masalah internal yang terjadi sebenarnya tidak hanya satu dua, dan sampai saat ini Hwang Je No terpikirkan oleh kata-kata Yoon Gi.

Apalagi Wang Yeol dan Oh Seong So membenarkannya.

Pengkhianat di dalam istana?

Hwang Je No mengangkat pandangannya. Sorot matanya menelusuri orang-orang di meja perjamuan itu satu persatu. Memandangi para Pangeran yang terlihat bercanda dan bertengkar.

Siapa? Siapa di antara orang-orang ini yang seorang pengkhianat?

Wang Jin?

Wang Hun?

Atau... mungkinkah Wang Han?

Apakah itu mungkin? Apakah bahkan memungkinkan salah satu dari orang-orang yang sangat dia kenal sejak kecil ini adalah seorang pengkhianat? Bukankah itu agak keterlaluan jika dia harus mencurigai salah satunya?

Tunggu.

Mungkinkah...

Hwang Je No mengernyit samar, sorot matanya terlihat begitu ragu. Kemudian dia menggeser oniks legamnya ke samping, tepat pada seseorang yang duduk di sampingnya.

Dia memerhatikan Wang Jae yang diam saja dengan ekspresi tenang seperti enggan untuk bergabung bersama candaan saudaranya yang lain.

Lantas Je No menggeleng dengan cepat.

Tidak, tidak mungkin Wang Jae. Itu sungguh tidak masu akal, Pangeran ke tujuh tidak akan melakukan hal seperti itu.

"...kau juga jangan terlalu mengagungkan Wang Jae, aku merasa kehadirannya bukanlah suatu pertanda baik."

Sial. Apa yang sebenarnya Yoon Gi coba sampaikan padanya?

Hwang Je No benar-benar tidak bisa mencurigai Wang Jae. Sebagai salah satu orang yang sangat dekat dengan Pangeran ke tujuh, akan tidak pantas jika dia berani menuduhnya sebagai pengkhianat yang akan merebut tahta kerajaan.

Je No harap, apa yang dia takutkan tidak akan pernah terjadi.


~~~


"Panglima Hwang."

Sang pemilik gelar terkejut setengah mati hingga di nyaris terlonjak. Apalagi saat melihat siapa yang mencegatnya, rasa terkejutnya menjadi dua kali lipat.

Seon Jae Hyun.

Je No berdeham. "Oh, T-tuan Seon. Y-ya? Ada... apakah?"

Dengan sorot mata sendu, Seon Jae Hyun memandangnya. "Biaskah kita bicara secara pribadi?"

Firasat Hwang Je No mulai tidak nyaman.

Dan di sinilah keduanya lalu. Seon Jae Hyun mengajaknya ke dalam paviliun perpustakaan, mengunci pintu, tidak ingin membiarkan siapapun masuk.

Hwang Je No sendiri sudah gelisah sejak Jae Hyun membawanya masuk. Hanya mereka berdua, benar-benar tak ada siapapun. Dia canggung selama beberapa saat, dan suasana seperti ini sangat menyiksa.

"Tuan Seon, apa yang—"

"Kau mencintai Son Je Ha?"

Itu adalah pertanyaan yang sama sekali tidak pernah Je No duga. Saking terkejutnya hingga dia nyaris tersedak.

"T-tuan Seon..."

"Jawab aku, Hwang Je No."

Seon Jae Hyun benar-benar serius, itu adalah ekspresi yang tak pernah Je No lihat sebelumnya. Ekspresi yang penuh akan keputusasaan, kecewa, marah, sedih. Semuanya bercampur dengan abstrak.

Hwang Je No benar-benar tidak bisa membiarkan ini. "Tuan Seon, aku tidak—"

"KU BILANG JAWAB AKU, HWANG JE NO!!"

Je No tertegun di tempatnya. Untuk pertama kalinya, Seon Jae Hyun berteriak di depan seseorang. Untuk pertama kalinya, Seon Jae Hyun yang lemah lembut kini berteriak marah.

Sang Panglima Perang menundukkan kepalanya. Bagaimanapun, dia tahu bahwa percuma menyembunyikan semuanya. Dia tak akan bisa berbohong di depan Jae Hyun.

Dengan sangat berat hati, Je No berkata. "Ya, aku mencintainya. Aku sangat... mencintai Son Je Ha."

Mengatakan hal itu, Je No merasa bahwa dirinya sangat mirip dengan bajingan.

Pria tu mengangkat kepalanya lagi, "tapi sekarang aku sudah berusaha melupakannya, Tuan Seon. Tolong jangan khawatir, perasaan in tentu hanya akan datang sesaat."

Dengan raut sedihnya, Jae Hyun menatap Je No. "Kejar dia."

"Apa?"

Hwang Je No mengernyit, mencoba memastikan bahwa dia tak salah dengar.

Ini sangat menyakitkan. Seon Jae Hyun merasa hatinya diremat, tapi dia bahkan terus mengatakan hal yang sangat bertolak belakang dengan hatinya. "Kejar dia dan katakan padanya, jika kau mencintainya, Hwang Je No."

Je No menggeleng cepat, "Tuan Seon, kau adalah gibu-nya, kau akan menikah dengannya—"

"Dia tidak mencintaiku, lalu mengapa aku harus menikahinya?"

Kalian tahu, ketika Seon Jae Hyun mengatakan itu, dia rasanya ingin mati. Saking saatnya sampai Jae Hyun ingin membunuh dirinya sendiri.

Hwang Je No kebingungan. Gundah dan gelisah. "Tuan Seon... ku mohon jangan seperti ini."

Ini tidak benar. Je No sudah memantapkan hatinya untuk melupakan Son Je Ha dan segala perasaannya yang tak terkendali, tapi tiba-tiba tuan cendekiawan datang padanya dan berkata seperti itu.

"Apa maksudmu yang seperti ini? Kau mau aku memaksa So Je Ha untuk menikah denganku ketika dia menginginkanmu? Kau mau dia hidup dalam keterpaksaan? Kau mau dia menjalani kehidupan seperti itu?"

Bukan itu maksud Hwang Je No.

Dia hanya memikirkan nasib kehidupan Son Je Ha yang kini masih berstatus gisaeng ke depannya. Bagaimanapun, dibandingkan dia, jelas Je Ha akan lebih aman hidupnya bersama dengan Sang Pengajar Kerajaan.

Pangkat Seon Jae Hyun masih lebih tinggi darinya, pria itu juga seorang bangsawan terpandang. Apalagi yang harusnya Je Ha pikirkan? Hidup gadis itu akan sangat terjamin setelah dibebaskan dari gyobang.

Sementara dengan Hwang Je No, apa yang bisa dia lakukan? Dia adalah seorang Panglima Perang yang hidupnya terikat dengan kerajaan sampai kapanpun. Dia mengabdi kepada Goryeo untuk hidup dan matinya.

"Ku mohon Tuan Seon..." Je No memejamkan mata sembari memijat pelipisnya, merasa agak pusing.

"Hwang Je No, dia sangat menginginkanmu. Dia menangis padaku dan berkata bahwa dia sangat mencintaimu." Sorot sendu Jae Hyun semakin membuat Je No sakit kepala. "Aku mencintainya, karena itu jangan pernah menyakiti perasaannya. Dia sudah memilihmu, dan kaulah pria itu, pria pilihan hatinya."

Bolehkah? Bolehkah Je No egois sekali ini saja? Bolehkah dia menyakiti perasaan pria sebaik Jae Hyun?

"Untuk terakhir kalinya, akan ku katakan ini padamu." Jae Hyun menarik napas, "maukah kau membahagiakan dan mencintainya? Jika kau tidak sanggup, maka kembalikan dia padaku."


***


Hwang Je No frustrasi.

Sejak tadi dia nyaris mengelilingi seisi desa bersama Yong-Gam. Dia bahkan masuk ke rumah bordil, dan memberanikan dirinya untuk pergi ke gyobang untuk mencari keberadaan Son Je Ha.

Namun gadis itu tak ada.

Je No tak berhasil menemukan Je Ha dimana pun.

Pria itu meremat rambuatnya dengan pasrah, "kemana... kemana dia pergi..."

Dia sudah mulai putus asa karena tak bisa menemukan gadis itu, sementara malam sudah semakin larut. Pergi kemana gadis itu? Mengapa di malam seperti ini dia malah tidak ada di gyobang?

Yong-Gam yang berada di sampingnya, lantas meringkik pelan, seperti mencoba mengatakan sesuatu, dan itu menarik perhatian Hwang Je No.

Pria itu terkejut, dia tercekat selama beberapa saat, saling pandang dengan kuda putihnya.

"Kau benar! Mungkinkah dia pergi ke sana?!"

Pria itu langsung menaiki kudanya, menarik tali kekang Yong-Gam tanpa menunggu lebih lama lagi.

"Ayo pergi, Yong-Gam!!"

Lembah surga.

Tujuan terakhir Hwang Je No.

Entah mengapa, dirinya sendiri sama sekali tidak terpikirkan tempat itu. Dia malah diingatkan oleh kudanya bahwa ada satu tempat yang belum ia datangi.

Son Je Ha tentu berada di sana.

Dengan isi pikiran yang berantakan, Hwang Je No menarik tali kekang Yong-Gam kuat-kuat. Kuda putih jantan itu tanpa diperintah pun telah mengerti, dia berlari sekencang angin, tapal di kakinya menimbulkan bunyi gemuruh hebat yang mengguncang tanah Songak.

Hwang Je No yang menunggangi Yong-Gam menuju lembah surga, terlihat jauh lebih gagah dan perkasa ketimbang saat di medan perang.

Tak ada rasa takut lagi ketika ia menerobos hutan neraka. Hutan gelap yang entah mengapa kian hari terlihat semakin mengerikan. Hutan kematian yang penuh lolongan tangisan kesepian.

Hanya ada Son Je Ha di pikirannya saat ini.

Jae Hyun benar, Je No tidak seharusnya membohongi perasaannya sendiri seperti ini.

Tapi saat itu... ketika dia melihat Son Je Ha berbalik menjauhinya, Je No merasa sangat sedih. Apakah sekarang gadis itu sungguh telah menyerah? Apakah dia sudah tidak ingin lagi mengejar Hwang Je No.

Tidak, Je No tidak mau. Je No tidak mau Je Ha melupakannya.

Pria itu langsung turun dari atas kudanya ketika berhasil melewati hutan neraka. Dia membiarkan Yong-Gam menunggu di bawah pohon, sementara dirinya berlari menuju lembah surga. Mencari-cari sosok Sang Dewi hati di antara pemandangan bagai lukisan tersebut.

"Son Je Ha!!"

Dia berlari, matanya menangkap beberapa helai kain berwarna putih yang diletakkan di atas batu.

"Son—??!!"

Je No langsung berhenti. Dia berhenti dengan sangat mendadak hingga nyaris terpeleset. Dia terkejut setengah mati ketika melihat sosok di dalam air sungai—

Benar, benar itu adalah gadis yang dia cari-cari.

Tapi rupanya Son Je Ha sedang mandi.

Gadis yang berendam dalam air sungai itu tersadar, dia sempat terkejut, dan lebih terkejut lagi saat tahu bahwa orang yang baru saja datang dan meneriakkan namanya adalah Hwang Je No.

Panglima Perang terlihat canggung, dia menutupi separuh wajahnya, kemudian berbalik—

"Hwang Yong-Geum tunggu!!" Je Ha meneriakinya.

Langkah Je No langsung tertahan.

"Jangan... jangan pergi lagi, ku mohon..." pinta gadis gisaeng.

Je No menundukkan kepalanya, mengambil napas sejenak. Mencoba menetralisir debaran jantung di dadanya yang semakin menjadi-jadi. Pria itu menatap Yong-Gam, dan kuda itu hanya meringkik pelan, kemudian berbalik dan berjalan meninggalkan lembah surga.

Yong-Gam sepertinya... berkata seperti ini. "Temui dia dan bicarakan semuanya dengan baik, aku akan menunggu di hutan."

Lantas, berbaliklah Sang Panglima. Oniks gelapnya yang mengalahkan kegelapan langit malam, beradu padu dengan manik bening berkilauan milik Sang Hawa. Tatapan memohon Son Je Ha yang membuat Hwang Je No melangkahkan kakinya untuk mendekat ke tepi sungai.

Itu adalah tatapan penuh kasih.

Hwang Je No berhenti di tepi sungai, mendaratkan satu lututnya ke atas tanah. Menatap gadis itu, gadis pujaan hatinya. Son Je Ha yang masih berendam dalam air.

Untuk beberapa saat, keduanya saling pandang.

Ketika Je Ha mengangkat tangannya, ketika gadis itu menyentuh wajah Je No, Sang pria memejamkan mata. Merasakan tangan dingin yang menyentuh pipinya dengan lembut.

"Aku... mencintaimu," bisik Je No.

Son Je Ha tersenyum. Dia nyaris menangis mendengar pengakuan itu.

Kemudian, ia rengkuh Sang Panglima. Ia daratkan sebuah ciuman lembut di bibir pria itu. Memeluk lehernya dengan erat, membawanya lebih dekat. Sebuah ciuman yang sarat akan cinta sekaligus kesakitan.

"Hwang Yong-Geum, aku selalu mencintaimu..." Son Je Ha berkata di sela-sela ciuman itu.

Pada akhirnya pendirian Hwang Je No runtuh. Ia membalas ciuman Si gadis gisaeng kali ini, jauh lebih lembut, tak lagi menghardiknya seperti waktu yang lalu.

Kian lama, ciuman antara Sang Panglima Perang dan Si gadis gisaeng itu semakin terasa memabukkan. Hwang Je No membungkukkan tubuhnya, Son Je Ha mendongakkan kepalanya. Suhu dingin dan hangat mulai beradu menjadi satu.

Simfoni alam di lembah surga semakin terdengar, membuat pikiran keduanya melayang entah kemana.

Dan entah sejak kapan pula, Hwang Je No mulai melepaskan pakaiannya satu persatu. Dari jubah panglimanya, jubah terluar dan jubah dalamnya yang berwarna merah. Bahkan tanpa melepaskan ciumannya barang sejenak.

Napas mereka mulai menjadi panas, hingga akhirnya Son Je Ha menarik pria itu, membawa Hwang Je No masuk ke dalam sungai. Dan kali ini, keduanya berpelukan lebih erat, dan saling mencium lebih dalam.

Malam itu, terasa begitu panjang namun indah. Air sungai di lembah surga tak lagi terasa dingin, angin malam tak lagi terasa menusuk tulang. Suara air terjun di seberang terdengar menenangkan, bersama dengan serangga malam dan burung hantu yang bersahutan.

Kedua anak manusia itu saling menyentuh satu sama lain. Saling menyalurkan selaksa rindu yang tak lagi dapat dibendung, seperti matahari yang terlalu lama berpisah dengan rembulan, seperti rembulan yang terlalu lama menahan kerinduan.

Adam dan Hawa yang dipertemukan kembali di lembah surga, seolah mendapatkan berkah dari Dewa Surya dan Dewi Purnama. Saling memadu kasih, bercinta seolah tak akan pernah ada hari esok.

Son Je Ha tak ingin memejamkan matanya. Dia ingin terus memandang Sang Panglima Perang yang terlihat luar biasa malam itu. Hwang Je No yang begitu berkilauan karena cahaya bulan, Hwang Je No yang terus berkata bahwa pria itu sangat mencintainya. Memeluknya, menjadi satu dengan dirinya.

Di malam yang panjang itu, seorang Panglima Perang Agung dan seorang gadis gisaeng baru saja mengikat benang merahnya.











Bersambung...











Wow... ini habis 9000 words :')

Jhsjsdja mmaf aku terlalu menghayati :'

Continue Reading

You'll Also Like

22.4K 4.4K 13
ᴛɪɢᴀ ᴘᴜʟᴜʜ ꜱᴇɴᴊᴀ ʏᴀɴɢ ʙᴇʀꜱᴜᴀʀᴀ ᴘᴇʀɪʜᴀʟ ʀᴀꜱᴀ ʏᴀɴɢ ᴛᴀᴋ ᴋᴜᴀꜱᴀ ʙᴇʀᴛᴀʜᴀɴ ʜɪɴɢɢᴀ ᴀᴋʜɪʀ ꜱᴀɴᴅɪᴡᴀʀᴀ. ❝ ˢᵉⁿʲᵃ ᵖᵉʳᵗᵃᵐᵃ ᵖᵉʳⁱʰᵃˡ ᵐᵉᵐᵖᵉʳᵗᵉᵐᵘᵏᵃⁿ, ˢᵉⁿʲᵃ ᵇᵉʳⁱᵏᵘᵗⁿʸᵃ ᵖ...
2.5K 577 42
Na Jaemin as Aksa Narendra Yeonhee as Sapphire Nayara "The soul becomes dyed with the color of its thoughts."-- Marcus Aurelius Semua warna mencermin...
952K 191K 45
[SUDAH TERBIT] TRILOGI BAGIAN 2 Bagi Davina, dia dan Jovanka adalah dua hal yang berbeda. Hidupnya terlalu rumit untuk dijelaskan, seperti terjebak d...
2.7M 431K 39
[SUDAH TERBIT] TRILOGI BAGIAN 1 Kadang Natta bertanya-tanya pada dirinya sendiri, kenapa dia masih bersedia pacaran sama Jeno Setyo Novanto yang jela...