The Same Feelings

By fauky_

183K 9.2K 545

Kisah Alvaro Gavriel dan Revita Pradipta yang baru saja dimulai... --Sekuel The Same Things-- More

The Same Feelings
Prolog - Revita
1. Alvaro - We're Back
2. Revita - Reunion Party
3. Alvaro - Pasar Malam
4. Revita - The Heartstrings and The Heartbreak
5. Alvaro - Jealous
6. Revita - Nightmares Begin
7. Alvaro - The Accident
8. Revita - This Feelings
9. Alvaro - I Think I'm in Love with You
10. Revita - Him
11. Alvaro - Beautiful in White
12. Revita - Shock
13. Alvaro - Afraid
14. Revita - A Day With Him
15. Alvaro - Protect Her
16. Revita - Everything Has Changed
17. Alvaro - Bad Dream
18. Revita - Walk Around In The Dark Night
19. Alvaro - My Princess
20. Revita - Beetwen Alvaro Gavriel and Jovan Ryandi
21. Alvaro - The Psychopath
23. Alvaro - Awake
-Sebuah Pesan-
24. Another Point of View
25. Alvaro - Happy Ending?
26. Revita - Epilog
GOOD NEWS!!!
Ready To Come Back

22. Revita - The Truth

6.1K 339 32
By fauky_

Hai semuaaa, maap kalo lama apdetnya. Lagi sibuk soalnya. Part ini part terpanjang yang pernah aku ketik-_-

Habis ini apdetnya agak lamaan yaa.-.

Makasih udah mau setia nungguin cerita abal punya Alvaro-Revita;3

Maap kalo part ini feelnya kurang yak, setidaknya diriku pernah berjuang;"

Dan selamat buat kalian yang berhasil nebak siapa pelaku yang nyulik Revita yak hahaha

Btw, aku juga suka Revaro yang dibuat salah satu readers yang aku lupa usernya wkwkwk. Maapin yak;3

#PeaceUp

---------------------------------------

“Hoy, bangun lo!” Sebuah teriakan yang sukses memekakan telinga mampir di indera pendengaranku. Aku juga merasakan ada seseorang yang mengguncang-guncangkan tubuhku dengan kasar. Dengan kepala yang sedikit pusing, akhirnya aku memaksa kedua mataku untuk terbuka. Susah payah aku membiasakan fokus pandanganku.

Bingung. Itulah yang aku rasakan ketika melihat pria bertubuh besar menggunakan topeng kupluk berwarna hitam guna menutupi wajahnya. Aku berusaha mengingat kembali apa yang sudah terjadi padaku. Seingatku, tadi pagi aku melepas kepergian Alvaro dengan galau luar biasa, lalu memutuskan untuk mengurung diri di kamar, tapi mendadak ada orang yang mengetuk pintu dengan tidak sabaran, dan saat membuka pintu tiba-tiba saja aku diserang oleh seseorang hingga semuanya menjadi gelap. Dan sekarang, aku tidak tahu sedang berada di mana. Oh! Jangan-jangan aku sudah diculik oleh orang-orang tidak bertanggung jawab itu.

Kurasakan kedua tanganku terikan ke belakang. Membuat nyeri di beberapa persendianku. Orang bertopeng itu menarik lenganku dengan kasar untuk mengikuti langkahnya. Aku meronta-ronta untuk dilepaskan, tetapi karna tenaganya yang memang lebih besar dari padaku, akhirnya aku hanya bisa mengalah dengan pasrah. Bahkan ia sempat melayangkan sebuah tamparan di pipi dengan teganya. Membuat pipiku terasa perih dan berdenyut kesakitan. Coba saja kalau dulu aku ikut Yuuta karate, mungkin akan lain lagi ceritanya.

Orang itu membawaku menuju ke sebuah pintu. Aku masih belum tahu sekarang sedang berada di mana. Tapi yang aku yakini, pasti tempat ini sudah lama sekali terbengkalai dan jarang dimasuki oleh orang. Terlihat jelas bagaimana joroknya tempat ini. Debu dimana-mana, sarang laba-laba juga tidak kalah banyaknya. Membuatku begidik ngeri. Orang gila bertopeng ini pun mendorong tubuhku masuk ke sebuah ruangan yang tak kalah kumuhnya dari yang di luar sampai aku jatuh tersungkur, lalu ia pun mengunci pintu tersebut dari luar.

“Aduh!” Rintihku ketika jatuh tersungkur. Karna aku sedang menggunakan celana tigaperempat, sudah pasti sekarang lututku lecet.

DUAGH!

Dengan susah payah, aku mencoba untuk berdiri. Lalu menendang pintu yang sudah terkunci itu sekuat tenaga. “Biasa aja bisa kali!” Teriakku pada siapapun orang yang ada di luar sana.

“DIEM!! JANGAN BERISIK, ATAU GUE HABISIN NYAWA LO, SEKARANG!!!” Balas sebuah suara berat yang membuat nyaliku langsung menciut. Masalahnya ia sudah mengancam seperti itu. Siapa juga yang akan berani melawannya? Sungguh sial! Memangnya apa sih dosa yang sudah aku perbuat sampai harus terjebak dalam situasi seperti ini?!

Tak berselang lama, aku mendengar suara rintihan yang berada tidak jauh dariku. Bulu kudukku langsung meremang seketika. Untuk ukuran bangunan yang sudah terbengkalai lama sekali, pasti ada saja makhluk gaib yang menghuni tempat ini, kan? Duh, kenapa mereka keluar di saat yang tidak tepat sih?

Berbekal keberanian yang seadanya, aku membalikan tubuh, dan mulai menajamkan pandanganku. Masalahnya tempat ini gelap sekali. Sudah kotor, gelap, kurang apa lagi? Cocok sekali untuk tempat berkumpulnya para setan. Tapi bukannya makhluk halus yang aku lihat, justru aku melihat seseorang yang sudah sangat aku kenal sekali. Ia meringkuk di lantai yang kotor dan dingin dengan tangan dan kaki yang terikat, serta mulut yang disumpal dengan kain—yang ngomong-ngomong, ewh menjijikan!

Aku segera mendekatinya. Membantunya untuk duduk, meskipun sebenarnya agak susah juga. Aku juga berusaha untuk melepas ikatan kain yang ada di mulutnya dengan posisi membelakanginya. Mengingat tanganku yang sedang terikat ke belakang, cukup susah juga. Tapi akhirnya aku bisa melakukannya dengan baik.

“Lo kok bisa ada di sini, Nai?” Tanyaku setalah melihat Naira yang mulai tenang. Penampilannya berantakan, rambut acak-acakan, bahkan matanya juga memerah. Aku yakin sekali kalau ia sempat menangis.

“Gue juga nggak tau. Yang gue inget, tadi pagi gue mau ke pasar gara-gara nyokap nyuruh gue belanja. Tapi waktu gue baru aja keluar rumah, ada orang yang nyerang gue sampe akhirnya gue nggak sadar. Bangun-bangun gue udah ada di tempat ini.” Jelas Naira panjang lebar. Ceritanya hampir sama sepertiku. Baru saja membuka pintu, lalu diserang orang tak dikenal sampai pada akhirnya hilang kesadaran. “Lo sendiri, kenapa bisa ada di sini, Rev?”

“Kurang lebih sama kayak lo.” Jawabku sekenanya. Aku masih bingung dengan semua ini. Sebenarnya siapa yang tega menculik kami berdua? Bahkan seingatku Naira tidak pernah bercerita kalau ia juga mengalami teror yang tiada henti sepertiku sebelumnya. Kenapa Naira juga ikut terlibat begini?

“Tapi Rev, gue serem deh liat cewek yang ada di sana.” Bisik Naira tepat di telingaku sembari menunjuk ke salah satu sudut ruangan dengan dagunya. Karena penasaran, aku pun mengalihkan perhatianku pada arah yang ditunjuk Naira. Betapa kagetnya aku ketika mengetahui bahwa ternyata masih ada orang lain selain aku dan Naira di sini. Masalahnya, aura keberadaannya itu tidak terasa sama sekali. Atau hanya aku saja yang kurang peka dengan keadaan sekitar?

Seorang perempuan yang umurnya kira-kira tidak jauh dariku. Penampilannya jauh lebih berantakan dari Naira. Rambutnya berantakan dan kusut seperti tidak disisir berhari-hari. Rupa dan pakaiannya juga dekil. Tapi aku merasa kasihan padanya ketika menyadari kalau ada lebam di beberapa bagian wajahnya. Bahkan dari keningnya juga ada darah mengalir yang sudah mulai kering dan menghitam.Lebih kasihan lagi, ia duduk di sebuah kursi kayu dengan kaki dan tangan yang terikat kencang.

Perempuan itu sedikit demi sedikit mendongakan kepalanya. Matanya yang sejak tadi terpejam pun mulai terbuka. Aku benar-benar terkejut saat tahu siapa perempuan itu. Meskipun aku bertemu dengannya baru sekali, tapi aku tidak akan melupakan wajahnya. Saat pertama kali bertemu dengannya, ia terlihat begitu ceria. Tapi sekarang, sepertinya keceriaannya sudah direnggut dengan paksa. Tahu Dementor dalam seri ke tiga Harry Potter? Ya, kira-kira seperti itu lah kondisinya. Kebahagiaannya direnggut dengan paksa. Siapa orang gila yang tega menyakitinya seperti ini?!

“Je-nar?” Bahkan tenggoranku sampai tercekat ketika menyebutkan namanya. Dari sorot matanya, aku tahu kalau ia bingung. “Lo Jenar kan? Jenar pacarnya Naoki?”

“Nao..ki?” Ujarnya lirih. Aku bisa merasakan rasa rindu yang luar biasa ketika Jenar menyebut nama kekasihnya. Ia pun menganggukan kepala pelan. “Lo... sia..pa?” Tanyanya dengan terpatah-patah.

“Gue Revita, temennya Naoki. Kita dulu pernah ketemu di Golden Crown.” Jawabku. Sekali lagi ia menggukan kepala. Aku memandangnya dengan nanar. Bagaimana bisa ia ada di tempat ini? “Jen, lo udah dari kapan ada di tempat ini?”

Jenar hanya menggelengkan kepala pelan. Mungkin maksudnya ia tidak ingat. “Mungkin dua minggu lebih. Gue sendiri nggak bisa pastiin, karna lebih sering dikunci di tempat kayak gini. Apalagi, gue sempet beberapa kali dibawa pindah.” Katanya, kali ini sudah sedikit lancar meskipun masih dengan suara yang sangat lirih.

“Dua minggu lebih, lo bilang?!” Pekikku tak percaya. “Naoki udah gila kali ya?! Kurang-lebih dua minggu lalu gue juga ketemu Naoki, gue tanya kabar lo ke dia, tapi dia bilang lo lagi liburan bareng keluarga lo! Astaga, Jenar!”

Perempuan itu terkekeh pelan walau dari ekspresinya ia seperti kesakitan. “Dia bilang begitu karna sebenernya dia pengen hibur dirinya sendiri dan coba buat mikir kalo semuanya baik-baik aja.”

“Tapi Jen, kenapa lo bisa ada di sini selama itu?” Tanyaku penasaran juga prihatin.

“Ceritanya panjang, Revita.” Jawabnya seraya tersenyum samar.

Aku termenung cukup lama. Memikirkan berbagai macam kemungkinan bagaimana bisa Jenar bisa disekap selama itu. Dan lagi, bagaimana mungkin keluarga serta Naoki bisa santai-santai saja ketika sudah jelas kalau Jenar menghilang. Apa Naoki tidak pernah mencoba mencari Jenar?

“Naoki pasti udah berusaha buat nemuin gue. Tapi sayang orang gila itu nggak mungkin segampang itu biarin Naoki gitu aja. Makanya gue sering pindah-pindah lokasi.” Celetuk Jenar tiba-tiba. Aku takjub melihat Jenar yang sepertinya bisa membaca pikiranku. Tapi aku juga pensaran dengan orang gila yang dimaksud oleh Jenar. Tampaknya ia sudah pernah bertemu dengan dalang dari penculikan tidak bertanggung-jawab ini. “Gue nggak punya kemampuan buat baca pikiran lo. Gue bisa lihat jelas dari ekspresi lo, Rev.”

Sekali lagi aku dibuat takjub oleh seorang Jenar. Bahkan tanpa sadar aku sudah menggeleng tak percaya. Sebenarnya memang Jenar yang hebat membaca ekspresi orang atau memang akunya yang terlalu gampang sekali dibaca?

“Rev, gimana kita bisa keluar dari sini?” Tanya Naira dengan suara lirih dan agak bergetar. Tampaknya ia akan menangis lagi. “Gue takut.” Tambahnya lagi.

“Gue nggak tau, Nai. Tapi biar gue coba pikirin jalan keluarnya.” Kataku mencoba untuk menenangkan Naira. Tapi sepertinya tidak mempan sama sekali. Buktinya, sekarang Naira sudah menangis sesenggukan. Oke, jadi sekarang, tinggal aku saja yang masih bisa berpikir jernih.

Naira sudah terlalu kalut dan panik untuk sekedar memikirkan jalan keluar. Sementara Jenar, dengan kondisinya yang seperti sekarang ini, tidak mungkin juga dia membantu untuk berpikir. Lalu, bagaimana aku bisa menemukan jalan keluar dari tempat terkutuk ini? Tiba-tiba saja aku teringat Alvaro. Apa ia sadar kalau aku tidak ada di rumah? Apa ia masih marah padaku? Kalau ia sudah tahu aku menghilang, apa ia akan mencariku, mengingat bagaimana sikap dinginnya ketika terakhir bertemu tadi pagi? Mengingatnya justru membuatku ingin mengangis juga. Tapi tidak! Aku tidak boleh menangis! Aku harus bisa mengeluarkan mereka dengan selamat. Tapi bagaimana?! Oke, sekarang aku positif terkena serangan stres berat!

Tidak pernah aku membayangkan akan terjebak dalam situasi seperti ini. Disekap dalam sebuah ruangan di dalam bangunan yang sudah lama sekali terbengkalai. Bersama Naira juga Jenar. Entah sudah berapa jam waktu berlalu sejak aku mulai memikirkan bagaimana cara mengeluarkan kami bertiga dari tempat ini. Dari tadi aku berpikir keras, tapi sayangnya hanya jalan buntu yang aku dapatkan. Dan lagi, aku merasa kalau aku melupakan sesuatu yang sangat penting, entah apa.

Kuhela napas panjang karena terlalu capek memaksakan otakku berpikir. Kualihkan perhatianku pada dua orang lain yang bersamaku sekarang ini. Naira akhirnya jatuh tertidur, mungkin karena terlalu capek menangis sesenggukan sejak tadi. Sedangkan Jenar, ia hanya memandang lurus ke depan dengan tatapan kosong. Aku prihatin melihat mereka berdua. Entah kenapa, aku merasa kalau sebenarnya, orang gila yang sudah menyekap kami ini sebenarnya hanya mengincar diriku. Tapi kenapa mereka berdua juga ikut kena getahnya.

Tak selang beberapa lama, terdengar suara kunci pintu yang dibuka. Pintu kayu yang tadinya terkunci itu pun terbuka lebar. Muncullah seseorang yang sudah aku kenal sekali. Seperti diriku tadi, tangannya diikat ke belakang, lalu tubuhnya di dorong dengan kasar hingga ia jatuh tersungkur menimpaku.

“Tuh, gue bawa sahabat lo!” Seru seseorang yang baru saja mendorong tubuh seorang gadis.

“Aduh!” Rintih kami berdua secara bersamaan. Masalahnya kepalanya yang keras itu sukses menghantam tulang pipiku. Rasanya sakit dan berdenyut nyeri. Gila, kepalanya terbuat dari apa sih?!

“Sakit woy!” Bentakku dengan kesal. Ia menjauhkan tubuhnya dariku dengan sedikit kesusahan.

“Lo pikir gue nggak kesakitan?!” Balasnya membentak tidak kalah keras dari suaraku. Ia menatapku dengan sengit.

Naira dan Jenar yang sepertinya terganggu dengan keributan mendadak ini langsung memandangku. Jenar juga sempat menanyakan bagaimana keadaanku yang langsung kujawab kalau aku tidak apa-apa.

“Jadi, semua udah kumpul di sini?” Sebuah suara sinis menyapa indera pendengaranku. Semua mata jadi tertuju ke sumber suara. Laki-laki yang tadi sempat mendorong korban penculikan lainnya, sekarang berganti dengan sosok seorang gadis yang terlihat angkuh dan dingin. Aku terkejut melihat siapa yang sedang berdiri dengan seringaian menakutkan di depan pintu yang terbuka lebar itu. Jadi, selama ini ia yang menjadi dalangnya? Semua ini pasti bohong!

“Udah puas kan lo?” Tanya Jenar tak kalah sinisnya. Ia memicingkan matanya menatap seseorang yang masih mempertahankan seringaian di bibirnya. Aku tidak percaya kalau selama ini ia yang melakukan penculikan tidak bertanggung-jawab seperti sekarang. Bukan hanya aku yang tidak percaya, Naira pun begitu. Bahkan Naira sekarang membelalakan mata dan melongo tak percaya.

Ia mendengus, “Puas? Gue nggak akan pernah puas kalo kalian semua belum gue habisin!” Desisnya.

“Kenapa sih lo lakuin ini ke gue? Ke kita semua?” Jerit Naira histeris.

“Dan lagi, ngapain juga gue dibawa-bawa segala?!” Sahut Farah yang sudah duduk di sebelahku dengan amarah yang luar biasa. Iya, orang yang baru saja jatuh tersungkur sampai menindihku tadi itu adalah Farah Anastasia, pacarnya Jovan.

“Apa salah gue? Bukannya kita sahabat, Valeria?” Tanyaku lirih. Aku masih terkejut. Bagaimana mungkin orang yang selama ini tega menyekapku dan yang lain di tempat seperti ini adalah sahabatku sendiri? Sahabat yang paling aku percaya? Kenapa harus Valeria?

“APA?! SAHABAT? GUE UDAH MUAK PURA-PURA JADI SAHABAT LO!!” Bentaknya berapi-api. Lagi-lagi aku dibuat terkejut olehnya. Jadi, selama ini ia hanya berpura-pura menjadi sahabatku? Tapi kenapa? Ia melangkah mendekatiku dan menarik daguku dengan kasar. Aku memandang gadis cantik di depanku ini dengan nanar. Sementara ia membalas dengan tatapan penuh dendam dan kebencian.

“Tapi kenapa, Val?” Kuberanikan diriku untuk bertanya padanya. Aku penasaran, sebenarnya apa salahku sampai Valeria seperti menyimpan dendam kesumat padaku. Padahal, seingatku aku tidak pernah mempunyai masalah yang begitu berarti dengannya. Aku sudah menganggap sahabatku satu ini seperti saudara perempuanku sendiri.

“Lo emang nggak tau atau pura-pura nggak tau, ha?!” Valeria menghentakan daguku begitu saja. Lalu mendengus kasar. Ia kembali menatapku dengan penuh amarah. “Nggak usah pura-pura bego deh, Rev!”

“Lo gila, hah?! Emang dia punya salah apa ke elo, sampe lo tega berbuat sejauh ini?!” Sahut Farah dengan kesal.

“Asal lo semua tau aja ya. Terutama lo, Revita!” Kata Valeria yang kemudian menudingkan telunjuknya tepat di depan wajahku. “Kalian berempat udah ngerebut semua yang gue punya!”

“Sori aja, tapi gue nggak pernah ngerebut apa-apa dari lo!” Bentak Naira. Sementara aku masih berpikir keras. Mengingat kembali, apa yang sudah aku rebut dari Valeria sampai ia semarah dan sedendam ini padaku. Sungguh, aku tidak bisa berkata apa-apa lagi. Hanya dengan mengerahui kalau Valeria sangat tega padaku dan yang lainnya saja sudah membuatku shock berat.

“Dulu, waktu gue baru masuk SMA, gue jatuh cinta sama seseorang. Gue berusaha keras buat dapet perhatian dia, tapi dia nggak pernah ngelihat gue! Nggak lama kemudian, gue baru tau kalo dia tertarik sama satu cewek dan gue nggak pernah nyangka kalo mereka akhirnya jadian. Gue marah! Bener-bener marah! Kenapa cewek biasa-biasa aja kayak dia bisa dapetin perhatian cowok yang selama ini gue incer!” Valeria mulai bercerita dengan panjang lebar. Meskipun ketika ia bercerita masih diselingi amarah. “Hebatnya lagi, waktu kelas sebelas, gue bisa sekelas sama ceweknya. Waktu itulah gue berencana buat ngerebut cowok itu lagi dengan pura-pura jadi sahabatnya! Dan cewek itu elo, Revita Pradipta!”

Tanpa sadar aku sudah menahan napas saat mendengar cerita dari Valeria. Aku sudah bisa menebak, kalau cowok yang dimaksud Valeria itu tak lain dan tak bukan adalah Jovan. Bukan hanya aku saja yang tidak percaya, Farah pun juga memberikan reaksi yang tak beda jauh dariku. Ia membelalakan mata. Banyak sekali fakta yang baru saja terungkap dan sukses membuat kami semua terkejut.

Tiba-tiba saja Valeria melemparkan tatapan sengitnya pada Farah. Sementara Farah juga tak mau kalah dan balik menatap Valeria dengan tak kalah sengit, “Tapi tiba-tiba aja ada cewek sialan yang dateng dan ngerusak semua rencana gue! Seharusnya yang ngerebut Jovan dari Revi itu gue! Bukan lo, Farah!”

Farah mendengus, “Lo ngatain gue nusuk Revi dari belakang, sementara lo sendiri udah punya rencana buat nusuk sahabat lo dari jauh-jauh hari? What a brilliant ideas it is!” Sindir Farah. Valeria tertawa. Tawa yang terdengar sumbang dan menyeramkan. Bahkan aku sampai begidik ngeri mendengarnya.

“Tapi gue udah nggak peduli lagi sama Jovan. Makan tuh, Jovan!” Seru Valeria tepat di depan wajah Farah. “Akhirnya gue nemuin pengganti yang lebih baik dari dia. Dan seorang Alvaro Gavriel adalah cowok paling cocok buat gue.” Katanya dengan seriangaian di bibirnya.

Hatiku berdenyut nyeri ketika Valeria menyebut nama Alvaro sebagai pengganti Jovan. Kenapa harus Alvaro? Kenapa tidak laki-laki lain saja? Entah kenapa rasanya hatiku tidak rela kalau Valeria menjadikan Alvaro sebagai target selanjutnya.

“Oh ya Nai, lo tau nggak sih, kalo lo itu bego banget?” Sekarang Valeria sudah memandang remeh Naira. “Lo bego udah ninggalin Alvaro cuman buat cowok idiot macam Kevin. Dan gue yang akan bantu Alvaro buat bales sakit hatinya dia ke elo!” Ancam Valeria. Naira hanya bisa memandang Valeria dengan tatapan terluka.

“Lo nggak berhak ngelakuin itu!” Pekik Jenar penuh amarah. “Emangnya lo siapa, seenaknya aja bales dendam ke orang, ha?!”

“Diem deh lo!” Bentak Valeria. “Gara-gara lo, gue jadi kehilangan sepupu yang paling deket sama gue!”

“Val, lo jangan gila! Lo ngelakuin semua ini cuman gara-gara cowok?” Aku sudah tidak tahan dengan semua alasan yang membuat Valeria berbuat nekat seperti sekarang. Hanya masalah laki-laki dan sakit hati ia bisa berbuat sejauh ini. Sebenarnya apa yang ada di dalam otak jeniusnya itu?

“Oh, lo salah besar, Revi.” Sahutnya cepat. “Semua ini gue lakuin bukan cuman karena perkara cowok. Gue udah capek liat lo hidup di dunia ini! Gara-gara lo nyokap sama bokap gue suka beda-bedain gue sama lo! Mereka kelihatan lebih seneng punya anak macem lo dari pada gue yang notabenenya adalah anak kandung mereka! Bayangin gimana sakitnya jadi gue?!”

Aku tertegun. Semua kalimat yang sudah terpikir olehku untuk membalas Valeria tiba-tiba saja menguap entah kemana. Sekarang aku paham dengan maksudnya tentang kehilangan segalanya. Ia kehilangan sosok orangtua yang seharusnya menyayangi dan mendukung apapun yang dilakukan anaknya, bukan anak orang lain. Ia kehilangan saudara sepupu yang paling dekat dengannya, yang tidak lain dan tidak bukan adalah Naoki. Fakta satu itu sempat membuatku terkejut setengah mati. Pantas saja Naoki mati-matian melarangku untuk keluar rumah seorang diri. Ia pasti sudah tahu kalau semua insiden buruk yang menimpaku itu ulah saudaranya sendiri. Naoki tidak bisa memperingatkanku secara terang-terangan karena Jenar yang menjadi taruhannya. Aku paham sekarang. Bahkan Valeria juga kehilangan seorang laki-laki yang sudah membuat hatinya bergetar.

“Val, lo nggak perlu lakuin ini semua. Lo bisa bilang ke gue, lo cerita ke gue, siapa tau gue bisa bantu.” Ujarku penuh pegertian.

“Nggak usah sok peduli deh!” Sentak Valeria dengan geram.

“Gue bukannya sok peduli! Tapi gue emang bener-bener peduli sama lo, Valeria!” Selaku cepat. “Lo sahabat gue!”

“Ah, udah lah! Gue males ngomong sama kalian semua!” Kata Valeria. Ia pun melangkahkan kakinya mendekat ke arah pintu. “Buang-buang waktu gue aja!”

Setelah berkata seperti itu, Valeria langsung ke luar ruangan dan mengunci pintu itu dari luar. Aku menghela napas berat. Kenapa semuanya menjadi seperti ini? Aku masih tidak percaya kalau ternyata sahabat terdekatku, orang yang paling aku percaya, ternyata berbuat jahat padaku. Mengingatnya membuat hatiku semakin nyeri dan ingin menumpahkannya dalam bentuk air mata saja.

Selepas kepergian Valeria, tidak ada yang membuka mulut satu pun di dalam ruangan ini. Semua larut dalam pikiran masing-masing. Aku capek! Baik hati maupun fisik! Kenapa semua ini terjadi padaku?

Aku mendengar helaan napas dari sebelahku. Aku melirik Farah yang sekarang sudah bersandar pada dinding dengan kedua mata yang terpejam. “Gue mau buat pengakuan.” Kata Farah lirih.

Bukan hanya aku saja, Naira dan Jenar pun menoleh pada Farah. Memandangnya dengan penuh tanya. Penasaran juga dengan maksud Farah yang ingin membuat pengakuan. Dan pengakuan itu untuk siapa.

“Jovan putusin gue sehari setelah kita ketemu di Golden Crown.” Celetuk Farah yang membuat dahiku berkerut karena bingung. “Awalnya gue nggak terima, gue mati-matian suruh Jovan buat narik kata-katanya. Tapi, gue bisa lihat kalo dia serius. Dan akhirnya gue nggak bisa ngelakuin apa-apa lagi. Gue juga cuman bisa lihat Jovan dari jauh. Beberapa kali gue ikutin Jovan, termasuk waktu dia pergi sama lo ke bazar dulu.”

“Far, gue..” Belum sempat aku melanjutkan kalimatku, Farah sudah menyela terlebih dahulu.

“Gue pengen benci ke lo, Rev. Tapi gue nggak bisa.” Kata Farah. “Lo terlalu baik buat gue benci. Bahkan, lo masih aja bersikap baik ke sahabat yang usah nusuk lo dari belakang macem Valeria.”

“Maafin gue, Far.” Ujarku lirih. Sungguh, aku merasa bersalah padanya. Dari dulu aku tidak pernah menyangka kalau Farah juga akan menjadi pihak yang tersakiti. Dari dulu, aku hanya berpikir kalau aku lah yang menjadi korban dalam drama tidak jelas ini. Dari dulu, aku merasa kalau Farahlah yang sudah jahat padaku karna sudah merebut Jovan tanpa perasaan. Tapi ternyata aku salah. Benar-benar salah.

“Jangan bodoh!” Hardik Farah tiba-tiba. “Kenapa jadi lo yang minta maaf? Harusnya gue! Gue yang dulu udah ngerebut Jovan tanpa mikirin gimana perasaan lo saat itu. Dan sekarang, gue kena karmanya.”

“Tapi Far—“

“Gue minta maaf, Rev.” Sahut Farah dengan tulus. Aku bisa merasa kalau ia benar-benar menyesal. Akhirnya aku hanya bisa tersenyum kecil tanda bahwa semua baik-baik saja. Aku suah tidak terlalu memikirkan kejadian di masa lalu. Entah kenapa, sekarang sebagian kecil di dalam hatiku merasa lega luar biasa.

“Kalo gitu gue juga mau bikin pengakuan ke lo, Rev.” Celetuk Naira. Sekarang perhatianku ganti tertuju padanya. Naira menatapku dengan serius sebelum berkata, “Gue cinta Alvaro, Rev.”

“Eh?” Kedua kelopak mataku mengerjap seketika setelah mendengar pengakuan dari Naira. Jadi, selama ini Naira mencintai Alvaro? Lalu kenapa ia malah jadian dengan Kevin? Kenapa juga hatiku merasa nyeri saat mendengarnya?

“Gue cinta Alvaro...” Ulang Naira lagi. “...Tapi dulu.”

“Dulu?” Sahutku membeo. Naira menganggukan kepala dengan mantap.

“Iya, dulu. Karna cintanya gue sama Alvaro, sampe-sampe gue ngerasa iri ke lo, Rev. Gue sempet berpikir, kalo seharusnya yang ada di posisi lo saat ini itu gue. Seharusnya gue yang dikasih perhatian lebih dari Alvaro, bukan lo. Seharusnya tangan gue yang selalu digenggam erat sama Alvaro, bukan lo. Seharusnya gue yang bikin Alvaro selalu merasa khawatir akan keadaan gue, bukan lo. Karna gue tau, Alvaro cinta banget ke gue.” Jelas Naira panjang lebar.

Tanpa sadar, sudah ada bendungan di pelupuk mataku. Karena Naira yang menyinggung soal Alvaro, aku jadi semakin kepikiran. Aku juga tidak tahu kenapa, tapi sejak tadi yang ada di pikiranku hanya Alvaro. Bagaimana keadaan Alvaro sekarang? Apakah ia masih marah padaku? Aku tidak tahan untuk membayangkan Naira yang seharusnya berada di posisiku saat ini. Rasanya benar-benar menyakitkan.

“Tapi semuanya cuman bisa berakhir seharusnya, Rev.” Lanjut Naira kemudian. “Karna pada kenyataannya, lo yang dikasih perhatian lebih sama Alvaro. Tangan lo yang selalu digenggam erat sama Alvaro. Dan cuman elo, yang bisa bikin Alvaro kalang kabut karna dia selalu merasa khawatir akan keadaan lo. Bukan gue.”

“Nai, kalo lo emang secinta itu sama Alvaro, trus kenapa lo lebih milih Kevin?” Tanyaku lirih. Naira tersenyum samar.

“Karna Alvaro udah nggak ada perasaan apa-apa lagi ke gue, Revi.” Jawab Naira. “Di hatinya udah nggak ada nama gue lagi. Dia juga udah nemuin seseorang yang sukses bikin dia jatuh cinta setengah mati tanpa bisa ngelirik cewek lain. Dan lagi, gue udah bilang kan, kalo gue cinta Alvaro, tapi itu dulu. Kalo sekarang sih, cuman ada Kevin di hati gue.” Naira pun terkekeh, entah karena apa.

Kuhembuskan napas lega ketika mendengar kalimat terakhir Naira yang mengatakan kalau sekarang yang ia cintai itu Kevin, bukan Alvaro. Aku terlampau lega dan senang sampai melewatkan fakta kalau Alvaro sudah menemukan pengganti Naira, seperti yang dikatakan gadis itu barusan. Naira tertawa entar karna apa, padahal sejak tadi ia menangis sesenggukan. Lalu, Farah pun juga ikut tertawa dan menatap Naira denga penuh arti. Mereka berdua seperti sedang menertawakanku dan saling berbicara hanya dengan kontak mata saja.

“Setelah denger cerita kalian bertiga, gue jadi pengen cepet-cepet keluar dari tempat terkutuk ini dan langsung ketemu Naoki.” Ujar Jenar lirih. Naira dan Farah tertawa karna celetukan Jenar yang terlihat benar-benar kangen berat dengan kekasihnya itu. Sementara aku hanya tersenyum samar, sembari memikirkan bagaimana cara keluar dari tempat ini. Bukan hanya Jenar saja yang ingin segera keluar, tapi aku juga. Pasti Naira dan Farah juga merasa seperti itu.

Tapi, tunggu! Aku baru saja teringat sesuatu yang sangat penting! Bagaimana bisa aku melupakannya?! Revita, kenapa lo mendadak lemot sih!

“Naoki!” Seruku tiba-tiba.

“Mana?” Sahut Jenar sembari celingukan ke kanan dan ke kiri. Siapa tahu ia bisa menemukan sosok Naoki yang sedang bersembunyi dan berusaha untuk menyelamatkan kami berempat. Tapi tentu saja itu tidak mungkin terjadi, kalau aku tidak mengingat hal penting satu itu.

“Di rumahnya.” Ujarku sekenanya. Jenar memutar kedua bola mata dengan kesal karna merasa dipermainkan. “Tapi gue janji, dia akan nemuin kita dan cepet-cepet ke sini.” Tambahku cepat.

“Caranya?” Tanya Farah dengan defensif. Ia sepertinya masih meragukan perkataanku.

Tanpa mengindahkan pertanyaan dari Farah, aku berusaha untuk sedikit melonggarkan ikatan di pergelangan tanganku. Aku merasakan perih di sekitar sana, pasti kulitku tergores tali tambang. Benar-benar menyusahkan. Baik Farah, Naira maupun Jenar, mereka tidak ada habisnya bertanya apa yang sedang aku lakukan dan apa yang akan aku perbuat untuk memberi tahu Naoki keberadaan kami berempat sekarang.

Sedikit lagi, jari telunjukku bisa mencapai ke permukaan tombol pengatur jarum jam di arloji yang sedang kugunakan. Benda yang sejak pertama kali dipakaikan padaku yang tidak pernah aku lepaskan sama sekali. Jam tangan dari Naoki, semoga saja bisa bekerja sebagaimana mestinya. Aku tidak tahu sekarang sudah jam berapa, tapi aku rasa di luar sana langit sudah mulai gelap.

Akhirnya, dengan susah payah aku menekan tiga kali tombol pengatur jarum jam tersebut. Sesuai dengan perintah Naoki, kalau aku sedang dalam bahaya aku harus menekan tombol itu sebanyak tiga kali. Nanti, setelah itu jam tangan milik Naoki akan menerima sinyal tanda bahaya dariku dan segera melacak keberadaanku lewat GPS yang selalu aktif dan sudah terpasang di dalam jam tangan yang melingkar di tanganku.

“Sekarang, kita cuman bisa berdoa semoga alat dari Naoki bener-bener fungsi dan dia bisa nemuin kita secepetnya.”

Entah sudah berapa lama aku dan yang lain menunggu tanda-tanda kedatangan Naoki. Tapi, sampai berjam-jam kemudian, tidak terjadi apa-apa sama sekali. Aku jadi takut sendiri, bagaimana kalau ternyata jam tangan dari Naoki ini tidak bisa berfungsi sebagaimana mestinya? Dengan cara apa lagi aku bisa mengeluarkan teman-temanku dari tempat ini?

Tiba-tiba saja aku mendengar suara gaduh di luar sana. Beberapa langkah kaki terdengar mondar-mandir di depan pintu. Sepertinya mereka sedang kebingungan dan panik. Apa yang sedang terjadi di luar?

“Lapor Bos! sepertinya sudah ada yang mengetahui tempat persembunyian kita.” Seru suara laki-laki di luar sana. Aku semakin menajamkan pendengaranku.

“Apa?! Kalian bodoh! Bagaimana bisa kita sampai ketahuan!?” Kali ini terdengar suara Valeria yang begitu marah akan kecerobohan anak buahnya. Sudut bibirku tertarik ke atas, sepertinya itu Naoki yang datang untuk menyelamatkanku dan yang lain. “Ah, sudahlah!”

“Sekarang bagaimana, Bos? Apa kita harus pindah tempat seperti yang sudah-sudah?” Tanya anak buah Valeria dengan takut-takut.

“Nggak perlu.” Sahut Valeria cepat. Aku bisa membayangkan seriangaian menakutkan Valeria sekarang ini. “Lebih baik kita kasih mereka sambutan aja.”

“Sambutan?”

“Sekarang bawa tawanan keluar dan iket mereka di tiang!” Perintah Valeria tanpa bisa diganggu gugat.

Tak lama kemudian, pintu yang sejak tadi terkunci terbuka lebar. Terlihat empat orang laki-laki dengan badan besar yang mulai mendekati kami berempat. Keempat laki-laki itu manarik kami dengan paksa. Hanya Jenar yang terlihat pasrah karna sudah tidak memiliki tenaga lagi. Atau mungkin lebih parahnya syaraf Jenar sudah mati rasa karna terlalu lama dalam posisi duduk dan terikat.

Laki-laki bertubuh besar itu mengikatku di sebuah tiang. Oh, bukan hanya aku saja. Hal yang sama terjadi pada Naira, Farah juga Jenar. Aku sudah capek meronta, akhirnya aku hanya bisa menundukan kepala dengan pasrah. Berharap akan ada seseorang yang datang untuk menyelamatkanku. Tidak perlu pangeran berkuda putih, aku hanya berharap Alvaro yang datang meskipun hal itu mustahil sekali.

Krieeet...

Terdengar suara pintu yang di dorong. Entah dibuka atau ditutup. Aku masih menundukan kepala. Tapi entah kenapa, aku merasa harus mengangkat kepala. Akhirnya, aku mendongakan kepala dengan perlahan. Aku ingat, aku pernah merasa seperti ini sebelumnya. Dulu, saat aku merasa sakit hati karna Jovan dan kebetulan badanku sedang dalam kondisi kurang sehat, aku nekat untuk mengelilingi sekolah untuk mencari Stranger, yang tidak lain dan tidak bukan adalah Alvaro. Saat itu kepalaku pusing sampai mendongakan kepala pun rasanya tidak kuat. Tapi entah mendapat dorongan dari mana, aku pun mengangkat kepala. Dan saat itulah aku melihat Alvaro tepat di hadapanku.

Seperti sekarang ini. Aku melihat Alvaro dengan tatapan khawatirnya yang ia tujukan padaku. Di dekatnya juga ada beberapa orang lagi. Bahkan ada Naoki, Kevin dan juga.... Jovan? Apa aku tidak salah melihat Jovan di sini? Kedua manik mata Alvaro masih menatapku dan aku membalasnya dengan tersenyum samar. Aku sama sekali tidak menyangka kalau doaku terkabul. Alvaro ada di sini.

“Well well well, sang pahlawan super sudah datang menyelamatkan para tuan putri, eh?” Tiba-tiba saja Valeria muncul dengan nada meremehkannya. Ia berjalan ke tengah-tengah ruangan dengan langkah yang terlihat angkuh. Diikuti oleh beberapa anak buahnya yang setia mengekori. Aku ingat! Mereka adalah orang-orang yang ingin menangkapku kalau saja tidak ada Naoki yang membantuku untuk bersembunyi.

“Elo?!”

“Ini semua bohong kan?!”

“Nggak mungkin!”

Berbagai macam respon diberikan oleh Alvaro dan yang lainnya. Mereka terlihat benar-benar tidak percaya dengan seseorang yang ada di depannya. Oh, kecuali satu orang. siapa lagi kalau bukan Naoki? Ia tampak menahan amarah, terlihat jelas dari wajahnya yang memerah. Mungkin ia marah melihat Jenar yang tampak kacau sekali.

“Val, lepasin Jenar. Sekarang!” Perintah Naoki dengan nada penuh ancaman.

“Oh hai, Lovely Cousin.” Alih-alih melakukan perintah Naoki, Valeria justru menyapa laki-laki yang sedang menahan amarah tersebut. “Tenang aja, gue akan lepasin cewek lo kalo dia udah mati.”

“Jangan macem-macem lo, Valeria!” Bentak Naoki. Seorang laki-laki sudah berdiri di belakang Jenar dan menodongkan pisau di leher gadis itu. “JENAR!” Teriak Naoki panik.

“Val, kita bisa bicara baik-baik, mending sekarng lo lepas mereka semua.” Sahut Alvaro dengan dingin. “Terutama Revita.”

“Sori aja, tapi nggak segampang itu.” Ujar Valeria.

Di saat semua sedang bersitegang menghadapi Valeria dan anak buahnya, ada satu orang yang diam-diam menyelinap semakin mendekatiku. Ia bergerak dengan hati-hati dan sebisa mungkin tidak membuat suara gaduh. Dan akhirnya, ia berhasil sampai tepat di belakangku dengan selamat dan tidak ada yang menyadarinya.

Daijoubu ka?—Kamu baik-baik aja, kan?” Tanya Yuuta sembari melepaskan ikatan yang melilit tubuhku. Aku hanya menganggukan kepala pelan. Akhirnya, dengan mudah Yuuta sudah berhasil membebaskanku. Sekarang aku dan Yuuta melepaskan ikatan di tubuh Naira dan Farah. Kami masih belum bisa menolong Jenar, karna masih ada yang menjaganya.

Suara berisik terdengar ketika Yuuta tak sengaja menyenggol sebuah tumpukan kayu dan membuatnya roboh. Semua pasang mata yang ada di ruangan ini tertuju pada kami berempat yang sudah bersiap kabur.

“TANGKAP MEREKA SEMUA! KALAU PERLU HABISI DI TEMPAT!” Perintah Naira dengan berteriak.

Dan detik itu terjadilah baku hantam. Yuuta sudah mulai melayangkan kaki dan bogemannya pada anak buah Valeria yang tidak terhitung jumlahnya itu. Ketika aku melihat laki-laki yang menjaga Jenar pergi, aku langsung mendekatinya dan melepaskan ikatannya. Aku mengajak Jenar, Naira dan Farah untuk kabur dari tempat ini. Tapi ada saja anak buah Valeria yang menghadang kami. Tapi tanpa disangka, Farah bisa membanting mereka dengan mudahnya.

“Nggak usah kaget gitu, gue pernah ikut aikido dulu.” Celetuknya saat menyadari tatapan takjub dariku dan yang lain. Tak lama kemudian, datanglah beberapa orang lagi yang ingin menangkap kami berempat. “Kalian lari aja, biar gue yang urus mereka.” Suruh Farah tegas.

Sebenarnya aku tidak mau membiarkan Farah menghajar mereka sendiri, tapi masalahnya aku juga tidak bisa bela diri apa-apa. Dari pada aku mengganggu Farah, lebih baik aku menuruti saja perintahnya.

“Thanks, Far!” Seruku sembari manarik Naira dan Farah pergi dari tempat itu. Farah hanya menganggukan kepalanya.

Aku berlari diikuti oleh Jenar dan Naira di belakangku. Aku sempat melihat Yuuta yang dikepung oleh empat orang sekaligus. Kak Dafa dan Lucas yang saling memunggungi juga dikelilingi lebih dari lima orang. Kevin, Billy, dan Daniel saling adu bogem dengan beberapa orang yang badannya lebih besar dari mereka. Jovan sibuk melumpuhkan lawannya dengan busur dan panahnya yang entah sejak kapan dibawanya. Sementara Naoki, ia terlihat seperti sedang mengejar seseorang. Saat aku mengedarkan pandangan lagi, ternyata dalang dari semua kejadian inilah yang kabur. Pasti Naoki sedang mengejarnya. Tidak bisa dibiarkan! Sekalipun Valeria adalah sahabatku, tapi ia tetap harus mempertanggung-jawabkan perbuatannya. Apalagi mengingat kondisi Jenar.

“Kalian pergi aja duluan, jangan pernah noleh ke belakang!” Suruhku pada Naira dan Jenar.

“Lo sendiri gimana, Rev?” Tanya Naira.

“Gue masih ada urusan.” Jawabku. “Udah sana, cepet pergi!”

Akhirnya Naira dan Jenar pun pergi menyelamarkan diri mereka sendiri. Aku pun segera menyusul Naoki yang sedang mengejar Valeria. Jarak antara aku dan Naoki sudah cukup dekat, aku hendak menepuk pundak Naoki, sampai pada akhirnya ada tangan yang menarik lenganku dari belakang. Tiba-tiba saja aku sudah berada dalam dekapan seseorang. Dari wangi musknya yang aku kenal betul, aku tahu kalau yang sedang memelukku adalah Alvaro. Ia menenggelamkan wajahnya pada lekukan leherku dan membelai rambutku.

“Aku seneng kamu nggak kenapa-kenapa.” Ujar Alvaro lirih. Hampir saja aku meneteskan air mata, kalau saja tidak mengingat tujuanku tadi sebelum bertemu dengan Alvaro ini untuk mengejar Naoki dan Valeria. Aku menguraikan pelukan Alvaro dengan perlahan.

“Kayaknya kita ngobrolnya entaran aja deh, masih ada yang harus aku kejar.” Kataku memberikan pengertian tapi Alvaro hanya memandangku dengan bingung. Aku pun melanjutkan langkahku untuk mengikuti Naoki. Dan tidak pernah kusangka kalau ternyata Alvaro mengekoriku juga.

Ciiit!

Suara decitan mobil terdengar. Sebuah mobil Honda City berwarna hitam melaju dengan kencang melewatiku. Sial, Valeria sudah kabur membawa mobilnya!

“Brengsek!” Umpat Naoki kesal yang sudah berada di dekatku. “Dia berhasil kabur.”

Aku menatap Naoki dengan penuh makna, “Valeria nggak akan pernah bisa kabur selama masih ada gue.” Ujarku.

Tak lama kemudian, muncullah Lucas secara tiba-tiba. Ia melemparkan sesuatu padaku yang aku tangkap dengan baik. Sebuah kunci. Aku kembali menatap Lucas. Dari sorot matanya, ia seperti mengatakan, cepet-pergi-sebelum-dia-makin-jauh. Entah, ia tahu dari mana, tapi aku langsung mengucapkan terimakasih tanpa suara. Ia membalas dengan tersenyum samar.Aku pun mencari mobil dengan kunci yang ada di tanganku. Aku melongo tak percaya saat melihat Pajero tak jauh dari tempatku di sekap tadi.

“Yang bener aja! Masa pake mobil beginian? Gede banget?!” Umpatku kesal. Benar-benar kesal dengan Lucas yang ternyata memberiku kunci mobil Pajero bukannya Lancer Evolution miliknya. “Ah, yaudahlah!”

Aku pun duduk di belakang kemudi, memasang sabuk pengaman, lalu mulai melajukan Pajero tersebut. Saat melihat Naoki yang masih berdiri dengan gamang, aku menghentikan mobil ini tepat di sebelahnya.

“Naoki, ayo masuk!” Suruhku pada Naoki. Tapi justru Alvarolah yang sadar terlebih dahulu dan duduk tepat di kursi sebelahku. Disusul Naoki kemudian.

Dengan kecepatan yang lumayan, aku mengemudikan Pajero di jalanan yang cukup lengang. Sama sekali tidak pernah terbersit dalam benakku, kalau aku akan kembali ngebut-ngebutan di jalanan. Padahal sejak kecelakaan itu aku sudah kapok untuk menginjak pedal gas dalam-dalam. Alvaro sedari tadi juga tidak bisa diam menyuruhku untuk mengungangi kecepatan. Tapi, please, bagaimana bisa aku mengejar Valeria yang sudah jauh di depan sana tanpa menambah kecepatan. Akhirnya aku hanya bisa menulikan telinga dan tetap fokus ke jalanan.

Beberapa menit kemudian, aku bisa melihat Honda City yang tadi dikendarai Valeria. Dengan mudah aku bisa menyusul Valeria. Sekarang Pajero yang aku kendarai sudah berada tepat berada di belakang Valeria pas. Sebenarnya ia sudah menyadari kalau aku mengikutinya, ia pun semakin menambah kecepatannya. Mobil sebesar ini memang terkadang susah untuk dikendalikan. Karna sebenarnya aku juga lebih senang mengendarai mobil yang lebih kecil. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya kalau jalanan sedang ramai dan banyak sekali kendaraan.

“Kita harus bikin dia berhenti.” Celetuk Naoki. “Lo bisa nggak, sejajarin mobil ini sama Valeria?”

Aku menggeleng kepala dengan cepat, “Susah kalo pake Pajero. Coba aja pake mobilnya Luke, mungkin gue masih bisa.”

Naoki mendesah pelan. Aku kembali fokus ke jalanan. Sempat kulirik Alvaro yang sedari tadi terdiam. Ia sepertinya sedang memikirkan sesuatu dengan pandangan yang tidak lepas dari Honda City yang sedang dikendarai oleh Valeria.

“Kita bisa buat dia berhenti.” Kata Alvaro tiba-tiba.

“Gimana caranya?” Tanya Naoki dengan tidak sabar.

“Pecahin ban mobilnya.” Jawab Alvaro dengan mantap.

“Hah?” Naoki melongo tidak mengerti. Bukan hanya Naoki yang tidak mengerti, aku pun juga tidak mengerti dengan rencana Alvaro.

“Ta, kamu coba agak deketin lagi.” Pinta Alvaro. Meskipun aku masih bingung, tapi aku menuruti saja apa kata Alvaro. Kuhapus jarak antara Pajero yang aku kendarai dengan City milik Valeria. Lalu Alvaro mengambil sesuatu dari dalam dashboard. Aku terkejut saat melihatnya.

“Var, lo punya barang begituan dari mana?” Tanya Naoki yang tidak menutupi rasa terkejutnya sama sekali. masalahnya, Alvaro mengeluarkan sebuah Walter PPK berwarna hitam. Asal tahu saja, Walter PPK itu merupakan jenis pistol dengan delapan butir peluru di dalamnya.

“Lo percaya aja sama gue.” Kata Alvaro. Apapun yang akan dilakukan Alvaro, aku pasti akan mempercayainya.

Setelah itu, Alvaro membuka jendela dan mengeluarkan setengah badannya. Aksi yang cukup bahaya sebenarnya, tapi mau bagaimana lagi? Mungkin, sekarang ini hanya itulah jalan satu-satunya. Alvaro mulai membidik target yang akan ditembaknya. Sepertinya ia harus berkonsentrasi penuh untuk membidik targetnya karna ia dan target sedang dalam keadaan bergerak.

DOOORR!!

Terdengar suara tembakan yang dilepaskan oleh Alvaro. Sayang sekali, tembakan itu meleset dan hanya bisa menggores sisi kiri mobil. Alvaro kembali mencoba untuk membidik dan ketika ia melepaskan tembakan keduanya, ternyata ia berhasil mengenai roda mobil Valeria. Bahkan sempat terdengar suara letusannya setelah suara tembakan dari Alvaro.

Honda City Valeria langsung kehilangan kendali. Mobil itu bergerak ke kanan dan ke kiri. Sedetik kemudian, Mobil itu menabrak pohon. Dengan mendadak, aku langsung mengerem laju mobil. Aku, Alvaro dan Naoki langsung turun dari mobil dan melihat keadaan Valeria di dalam sana. Mobil Valeria keluar asap yang mengepul.

Pintu sisi kemudi mobil Valeria terbuka ketika aku mendekatinya. Syukurlah, Valeria tidak kenapa-kenapa. Ia terjatuh di atas aspal yang keras. Aku langsung mendekat padanya dan membantunya untuk berdiri karena ia sendiri kesusahan berdiri sendiri. Bukannya berterimakasih, Valeria justru mendorong tubuhku menjauh, sehingga aku yang saat itu tidak siap hampir saja terjatuh. Untung saja Alvaro dengan sigap langsung menangkapku.

“Mau lari kemana lagi lo, ha?” Tanya Naoki yang langsung menghadang Valeria yang berniat untuk kabur lagi.

“Mending lo minggir deh, Ki!” Perintah Valeria.

“Nggak! Lo harus ikut gue ke kantor polisi!” Sekarang Naoki sudah mulai menarik tangan Valeria dengan paksa. Tapi Valeria meronta-ronta untuk dilepaskan. Memang ya, bukan rahasia lagi kalau tenaga laki-laki itu lebih besar dari pada perempuan. Jadi, tidak mungkin Valeria bisa lari dari Naoki dengan mudah.

“Val, udah. Jangan berbuat nekat lagi.” Kataku dengan lembut sembari menepuk bahunya pelan. Ia memandangku tanpa berkedip. Aku semakin mendekat padanya. Tatapannya yang tadinya dingin berubah melunak dan matanya pun memerah.

“Gue nggak mau masuk penjara, Rev.” Cicitnya. Setetes air mata jatuh di pipi mulusnya. Aku pun membawanya ke dalam pelukanku. Menepuk punggungnya pelan dan membisikan kata kalau semuanya baik-baik saja.

“Tenang aja, gue nggak akan biarin lo masuk penjara gitu aja.” Kataku mencoba untuk menenangkan Valeria. Tetapi ia masih saja sesenggukan. Pundaknya bergetar hebat. Mungkin ia terlalu shock dengan semua ini.

Sedetik kemudian, aku merasakan sesuatu yang dingin menembus kulit bagian perutku. Di balik punggung Valeria aku meringis kesakitan. Setelah benda dingin itu didiamkan cukup lama dalam perutku, Valeria pun mencabutnya secara perlahan. Sengaja untuk membuatku semakin kesakitan. Pundaknya yang tadinya aku pikir bergetar karena tangi sesenggukan, ternyata bergertar karena tertawa. Tawa yang terdengar menyeramkan. Ia menatapku prihatin dan langsung mendorong tubuhku dengan kasar ke belakang.

Ketika tubuhku menjauh dari Valeria, aku melihat sebuah pisau lipat kecil tajam sudah berlumuran darah berada di genggaman Valeria. Aku pun mengalihkan pandangan ke perutku. Pakaianku sudah berlumuran darah segar. Lagi-lagi Alvaro menangkap tubuhku yang kehilangan keseimbangan dan meletakan kepalaku di lekukan sikunya. Aku berusaha mati-matian menekan luka yang masih terus mengeluarkan darah. Alvaro menatapku dengan nanar. Naoki pun tak kalah terkejutnya melihatku yang sudah berlumuran darah.

“Vi-ta?” Aku bisa mendengar jelas suara Alvaro yang tercekat ketika menyebutkan namaku. Kedua mataku berkunang-kunang. Aku tidak bisa melihat Alvaro dengan jelas.

“Beraninya lo, Val!” Umpat Naoki. Ia pun langsung mendekat ke arah Valeria dan melangkan bogem mentahnya ke wajah cantik Valeria. Seketika itu juga Valeria yang tadinya tertawa puas langsung kehilangan kesadaran.

Tiba-tiba saja, aku merasa mengantuk sekali. Kedua mataku ingin terpejam. Tapi entah kenapa aku tidak ingin tidur. “Alva, aku ngantuk.” Tuturku pelan.

“Nggak! Kamu nggak boleh tidur! Aku bakal bawa kamu ke rumah sakit, Ta. Jadi kamu bertahan, jangan tidur.” Sahut Alvaro dengan panik. Entah panik karna apa. sesaat kemudian, aku merasa tubuhku melayang. Sepertinya Alvaro menggendongku. Sebelum aku benar-benar menutup mataku, aku sempat melihat kedua mata Alvaro yang ternyata sedang mengeluarkan air mata.

Senyum samar terukir di bibirku. Sekarang, aku sudah tahu apa yang terjadi pada hatiku. Semua keanehan dan hal-hal yang berubah selama ini. Detak jantung yang berirama cepat. Aku sudah tahu jawabannya.

Dari awal, aku tidak pernah mengharapkan pangeran berkuda putih yang datang menyelamatkan nyawaku. Aku hanya berharap, bahwa Alvaro yang datang dan berkata aku sudah aman dan semua baik-baik saja.

Hanya itu.

Continue Reading

You'll Also Like

ALZELVIN By Diazepam

Teen Fiction

5.8M 323K 36
"Sekalipun hamil anak gue, lo pikir gue bakal peduli?" Ucapan terakhir sebelum cowok brengsek itu pergi. Gadis sebatang kara itu pun akhirnya berj...
30.4M 1.7M 65
SUDAH TERSEDIA DI GRAMEDIA - (Penerbitan oleh Grasindo)- DIJADIKAN SERIES DI APLIKASI VIDIO ! My Nerd Girl Season 3 SUDAH TAYANG di VIDIO! https:...
13.3M 1M 74
Dijodohkan dengan Most Wanted yang notabenenya ketua geng motor disekolah? - Jadilah pembaca yang bijak. Hargai karya penulis dengan Follow semua sos...
6.3M 484K 57
Menceritakan tentang gadis SMA yang dijodohkan dengan CEO muda, dia adalah Queenza Xiarra Narvadez dan Erlan Davilan Lergan. Bagaimana jadinya jika...