[✔] 5. 真実 [TRUTH] : The Prolog

By tx421cph

3.3M 444K 752K

The Prolog of J's Universe ❝Tentang cinta yang murni, keserakahan, hingga pertumpahan darah yang membawa peta... More

Pembukaan
Tokoh : Bagian 1
Tokoh : Bagian 2
Tokoh : Bagian 3
00
01. Para Giok Kerajaan
02. Nyanyian Naga Emas
03. Tangisan Hutan Neraka
04. Amarah Zamrud Hijau
05. Dewi Penjaga Lembah Surga
06. Kisah Kelam Anak Raja
07. Dongeng Sang Penyair
08. Punggung Putih Sang Peony
09. Pangeran Yang Diberkati
10. Sang Matahari Menaruh Hati Pada Peony
11. Bertanya Pada Roh
12. Dewi Kemalangan
13. Aku Mencintaimu
14. Payung Merah
15. Hati Sang Naga
16. Kasih Tak Sampai
18. Terikatnya Benang Merah
19. Aliansi
20. Pedang Bermata Dua
21. Perangkap
22. Pilar Yang Patah
23. Setetes Darah Di Telaga Surgawi
24. Yin
25. Kekalahan Yang
26. Bencana Surgawi
27. Istana Para Iblis
28. Naga Emas VS Yin
29. Ksatria Terbuang
30. Kisah Janji-Janji Lampau
31. Sekat Terkutuk
32. Serpihan Setangkai Bakung
33. Mimpi Buruk Putra Naga
34. Pedang Bermata Dua
35. Darah Di Ujung Pedang
36. Menyingsingnya Matahari
37. Awal Mula Kehancuran
38. Zamrud Beracun
39. Kubangan Berdarah
40. Tawanan Raja
41. Peony Berdarah
42. Pion-Pion Yang Patah
43. Sang Pembelot
44. Pion terakhir
45. Permata Tersembunyi
46. Pelarian Panjang
47. Aliansi Terdesak
48. Rubah Di Balik Jubah
49. Sebuah Janji
50. Keturunan Sang Naga
[Final - Bagian I] Pedang Dan Bunga
[Final - Bagian II] Tangisan Terakhir Merak Putih
[Final - Bagian III] Akhir Para Legenda
Son of The Dragon
The J's Universe
Mother of The Dragon

17. Tangisan Para Adam

43.4K 7.1K 19.2K
By tx421cph


"Bisakah kau mendengar hatiku yang menangis? Hatiku yang tak benar-benar bisa merelakanmu untuk pergi."


Selamat Membaca~


Seon Jae Hyun mungkin sudah sedikit gila. Dia seharusnya tidak menyentuh gadis ini lebih dulu, dia seharusnya bisa menahan diri, dia seharusnya berkata bahwa betapa dirinya mencintai Sang gadis, betapa dirinya ingin membawanya ke luar dari dunia menyakitkan ini. 

Dia rasakan sepasang lengan kurus Son Je Ha mengalungi lehernya, membalas ciumannya meski agak terasa kaku. 

Suara hujan di luar juga begitu mendominasi ruangan kamar Son Je Ha kala itu. Sore hari yang terasa dingin, namun hangat. 

Tuan cendekiawan hanya melepaskan separuh dari pakaian perempuan di bawahnya. Sementara dirinya masih berpakaian lengkap— entahlah, dia...  

Seon Jae Hyun menjadi ragu seketika. 

Son Je Ha terlihat aneh hari ini. Sebenarnya sejak pertama kali dia membuka pintu, sejak pertama kali dia melihat wajah cantik itu beberapa saat yang lalu. Jae Hyun menyadari bahwa mata lelah itu bukan karena sekadar kurang istirahat. 

Dia juga merasakan... tangan Son Je Ha yang memeluknya terasa sedikit gemetar. 

Jae Hyun menjauhkan wajahnya, mengakhiri ciuman mereka. Dan betapa terkejut ia ketika melihat bahwa gadis di bawahnya menangis dalam diam dengan mata dan hidung yang memerah. 

"S-Son Je Ha..." 

Gadis itu benar-benar menangis tanpa mengeluarkan suara sedikit pun. Air matanya meleleh begitu saja, dan suhu tubuhnya mendadak naik. 

"Son Je Ha ada apa?!" Jae Hyun bertanya dengan panik, menangkup pipi gadis itu, "a-apakah aku menyakitimu? Apakah tidak nyaman dengan ini? Aku... aku minta maaf! Maafkan aku!" 

Keduanya terduduk, kemudian Son Je Ha sembari membenarkan chima-nya yang melonggar, menggeleng perlahan. 

"Apa yang terjadi? Katakan padaku," Jae Hyun masih berusaha mendesaknya. 

Untuk yang pertama kali dalam hidupnya, Sang Pengajar Kerajaan menjadi sepanik ini. 

Son Je Ha juga tidak mengerti kenapa dia mendadak menumpahkan air matanya. Hanya saja, banyak sekali emosi yang bercampur dengan abstrak di hatinya, dan itu membuatnya gila. 

Bagaimana pun, gadis itu mencoba untuk membayangkan Son Jae Hyun ketika dia memejamkan mata. Namun Demi Tuhan, sosok Hwang Je No yang selalu muncul dalam benaknya tanpa diperintah, dan itu membuatnya sangat frustrasi sampai akhirnya menangis. 

Je Ha tidak ingin lagi memikirkan Sang Panglima, namun pria itu dengan tidak tahu dirinya terus masuk dalam bayang-bayang pikirannya. 

Gadis itu diam, kini terisak pelan, membuat Seon Jae Hyun semakin khawatir. 

"Son Je Ha, ada apa? Ku mohon katakan padaku." 

"Maafkan... saya..." 

Hanya itu yang terlontar. 

Jae Hyun menghela napas, "apa? Apa yang membuatmu meminta maaf? Kau tidak melakukan kesalahan apapun padaku." 

Ya. Ya, mungkin Son Je Ha memang tidak melakukan kesalahan apapun hingga harus membuatnya meminta maaf terhadap tuan cendekiawan. Tapi... 

"...Maka dengan kau melakukan ini... bukankah sama saja kau tak menghargainya? Bagaimana mungkin kau bisa mencintai pria lain?" 

Suara Hwang Je No yang meninggi di hadapannya, terus berdengung di telinga. 

"Hei, Son Je Ha." Jae Hyun berkata dengan lembut, memegang wajah itu dengan sepasang tangannya. Dia tatap manik bening gadisnya dengan penuh keteguhan. "Apa yang salah? Mengapa kau menangis? Apakah aku telah melakukan kesalahan?"

Saking lembutnya suara itu, Son Je Ha mengalirkan air matanya lagi. 

Mungkin benar bahwa Seon Jae Hyun adalah pria baik dan sempurna yang tak akan pernah lagi kau jumpai dimana pun, tapi— 

"Tuan Seon, rasanya sakit... ini sangat menyakitkan... hati saya, terasa sangat sakit..." dia kembali terisak, lelehan air mata di pipinya membasahi telapak tangan Jae Hyun. 

"Kenapa? Apa yang membuatmu seperti itu? Apakah aku—"

"Tuan Seon, saya mencintai Panglima Hwang, namun dia tidak mencintai saya..." 

Raut khawatir di wajah tuan cendekiawan langsung memudar. Seperti ada belati tajam yang menghunus jantungnya kala itu, seperti ada anak panah yang menusuk telinganya dengan kejam. 

Sebuah kalimat yang tak akan pernah Jae Hyun sangka. 

Untuk beberapa saat, Seon Jae Hyun diam saja. Pandangannya terlihat agak kosong, menatap ke arah gadis gisaeng yang masih menangis dengan segala keputusasaannya. 

Apa yang sebenarnya telah terjadi? Hal seperti apa yang telah terjadi di belakangnya selama ini? 

Son Je Ha mencintai Hwang Je No. 

Dan gadis itu juga baru saja mengatakan jika Hwang Je No tidak mencintainya. 

"Ini menyakitkan," terdengarlah rintihan Sang gadis sekali lagi, "rasanya sangat sakit ketika melihatnya pergi seperti itu, ketika melihat punggungnya berjalan menjauh..." 

Kalian tahu apa yang dirasakan Seon Jae Hyun saat ini? 

Hatinya sangat hancur. 

Hatinya hancur berkeping-keping, saking sakitnya bahkan Jae Hyun tak tahu apa yang harus dia katakan, seperti apa dia harus menanggapi keluh kesah Son Je Ha atas Hwang Je No. 

Gadis yang sangat dia cintai, gadis yang ingin segera dia nikahi... rupanya mencintai pria lain, dan itu adalah orang terdekatnya. 

Mengambil napas sedalam mungkin, tuan cendekiawan memejamkan matanya sejenak. 

Lantas ia mengulas sebuah senyum, senyuman paling tulus. Ia usap jejak air mata di wajah gadisnya— gadis itu, kemudian berucap. "Jangan menangis, ku pikir... Panglima Hwang juga mencintaimu." 

Son Je Ha menggeleng. "Dia tidak, dia mengatakan jika dia tidak mencintai saya," jawabnya lirih, "Hwang Yong-Geum pergi begitu saja." 

Untuk kesekian kali, Seon Jae Hyun melepaskan napas beratnya. "Hei, Son Je Ha lihat aku," dia mengangkat sedikit wajah itu, membuat pandangan mereka bertemu. 

Sepasang netra itu beradu padu. Obsidian yang sedalam lautan, dengan berlian sebening telaga. 

Wajah Son Je Ha yang begitu putih menjadi kemerahan, di bagian ujung hidung hingga alisnya, bak terbakar. 

"Apakah kau sangat mencintainya? Hwang Je No?" 

"Em," Je Ha mengangguk pelan. 

Son Jae Hyun tergelak kecil. "Jika begitu teruslah mencintainya, entah dia mencintaimu atau tidak, tetaplah mencintainya. Dia adalah pria pilihan hatimu," dia mengusak pelan pucuk kepala Si gadis, "Son Je Ha, kau mencintai pria yang tepat." 

Ya, itu benar. Son Je Ha sendiri juga merasa bahwa Hwang Je No adalah pria yang dia cari. Hwang Je No adalah satu-satunya pria yang bisa membuatnya tak bisa tidur dengan nyenyak, dan bisa membuat dadanya menjadi sangat sesak. 

Tapi... Son Je Ha merasa bahwa kini dia harus menyerah. 


***


Ah, dia sangat bersyukur jika hujan masih belum berhenti. Dia sangat bersyukur jika hujan turun sederas ini hingga menimbulkan suara yang berisik. 

Hwang Je No duduk di atas ranjangnya, bersandar pada dinding. Pintu dan jendela kamarnya di tutup rapat, penerangan hanya bersumber dari lilin kecil di atas meja. 

Sudah sejak 1 sichen yang lalu pria itu menangis. 

Terkadang dia menangis dalam diam, terkadang dia terisak hingga bahunya naik turun sembari mencengkeram botol arak di tangannya dengan kuat seolah dia ingin meremukkan botol itu. 

Dia tak bisa berhenti memikirkan Son Je Ha yang dia hardik kala itu. Dia tak bisa menahan betapa perih hatinya melihat gadis itu menangis, dan ia meninggalkannya sekali lagi. 

"Maafkan aku... maafkan aku..." 

Hanya itu yang terus ia katakan sembari menangis. 

Hwang Je No menangis hingga dadanya terasa sakit, dia terus menangis hingga air matanya nyaris kering, hingga dia merasa kesulitan bernapas. 

"Aku mencintaimu..." 

Kalimat itu sangat lirih, nyaris tak terdengar karena tersamarkan suara hujan di luar. Dia menengadah, menyandarkan kepalanya ke dinding, membentur-benturkan kepalanya beberapa kali, berharap rasa sakit dadanya berkurang. 

Tapi semakin dia teringat oleh Son Je Ha, semakin Hwang Je No tersiksa. 

"Berhentilah menangis, Hwang Je No..." gumamnya teruntuk diri sendiri, "ku mohon berhentilah demi kebahagiaannya, dia ditakdirkan untuk Seon Jae Hyun, bukan untukmu..." 

Je No mencengkeram pakaian di dadanya, memukul-mukul dadanya, dan lagi-lagi menangis dengan hebat hingga suaranya tak terdengar. 

Ini adalah pertama kalinya dia menjadi sekacau ini, dan Je No sama sekali tidak tahu apa yang harus dia lakukan. Dirinya bukan pria yang mudah menangis— tidak, itu mana mungkin. Dia adalah seorang Panglima Perang yang tidak akan pernah menangis, tapi... 

Sekarang dia menangis sehebat ini di dalam kamar seorang diri. 

Menangis seolah-olah sakit yang ia rasakan sungguh sedalam itu. 

Dan ini adalah kali pertamanya dia merasa sakit hati. Hwang Je No bahkan tidak ingat, kapan terakhir kali dia menangis. 

"Ku mohon berhentilah... ayo berhenti, Hwang Je No. Kau harus melupakannya, kau tidak boleh mencintainya..." dia terus memukul-mukul dadanya, berpikir bahwa mungkin saja rasa sakit di hatinya bisa mereda. 

Baginya, Son Je Ha tidak seharusnya bersama dengannya. Dia hanya pria bodoh dan sama sekali tak bisa dibandingkan dengan Seon Jae Hyun yang bersih dan agung. Seon Jae Hyun yang sempurna tanpa celah, pria baik dari kalangan bangsawan Seon, dan tentu... 

Tuhan juga lebih tahu siapa yang lebih pantas untuk mencintai Son Je Ha di antara keduanya. 


-----oOo-----


Pria itu berdiri dekat danau. Tempat yang akan selalu ia datangi ketika ingin menyendiri dan merenung. Kali ini dia tidak menyirami bunga seperti biasanya, hanya memandang air danau yang tampak begitu tenang tanpa riaknya. 

Ini danau yang sangat cantik, danau yang selalu menjadi tempatnya bermain sejak kecil bersama Hwang Je No, Guan Yu, dan saudara-saudaranya. 

Lalu... entah mengapa Wang Jae tiba-tiba terpikirkan untuk membawa Son Je Ha ke danau ini. Mengajaknya naik perahu kayu, menikmati sore menuju senja— 

Pangeran ke tujuh menghembuskan napas penatnya. Dia memijat pangkal hidung, berpikir untuk beberapa saat. 

Apakah benar dia mencintai gadis gisaeng itu? Yang benar saja? 

Tidak, masalahnya Wang Jae tidak pernah tertarik pada wanita sebelumnya, tapi sekarang dia dibuat kepikiran oleh gadis bodoh dari gyobang hingga pusing tujuh keliling. Memikirkannya siang dan malam seperti orang sinting. 

Jangan-jangan dia memang sudah sinting? 

"Ck," Wang Jae mendecak. 

Oh ayolah, Son Je Ha adalah seorang gadis terbodoh dan buta huruf yang pernah Wang Jae temui seumur hidupnya. Gadis itu aneh— meski... sangat cantik. 

Tapi... gadis itu sangat lucu dan polos. 

Tiba-tiba, Wang Jae tersenyum-senyum. 

Jika Guan Yu melihat pangerannya seperti ini, dia pasti sudah mencibir habis-habisan, dan Hwang Je No akan menertawakannya selama tiga jam. 

"Ku pikir... aku harus menemuinya, haruskah aku mengajaknya ke kedai itu lagi?" Sang Pangeran menggumam sendiri, sembari tersenyum tipis. 

Benar juga, di kedai itu kan Son Je Ha berstatus sebagai istrinya. 

Wajah pria itu memerah kemudian saat mengingatnya, lalu dia akan menutupi matanya dengan telapak tangan sembari menggeleng-gelengkan kepala. 

Ah, Wang Jae. Kau benar-benar telah jatuh cinta, sungguh.  

Ketika sibuk memikirkan gadis gisaeng yang entah sedang apa sekarang, seseorang datang menghampiri, menjajarinya. Wang Jae pikir itu adalah Guan Yu atau mungkin Hwang Je No— yang sampai sekarang masih belum menampakkan wajah di hadapannya, namun ternyata bukan. 

Wang Jae sangat terkejut ketika melihat seorang pria matang dengan jubah keliman emasnya. Seseorang yang menautkan sepasang tangannya di belakang punggung, ikut menatap ke arah bentangan air danau yang menyejukkan. 

"Pyeha," pangeran ke tujuh memberi salam, membungkukkan badannya dengan santun. 

Raja Gwangjong hanya tersenyum tipis tanpa menoleh. "Sepertinya kau benar-benar menyukai tempat ini, apakah kau masih suka berkebun?" 

Wang Jae meneguk ludahnya sekali, lantas berdeham pelan sembari menegakkan punggung. Ah, rasanya agak canggung. "Ya, Wang Jae menanam bunga aster." 

Wang So sempat diam ketika mendengarnya. Dia lantas tersenyum, tampak lemah sekali. "Rupanya sama." 

Sang Pangeran yang tak bisa mendengarnya dengan jelas, mengangkat sepasang alisnya, "ye?"

Raja Gwangjong menggeleng, menghela napas, "ah, sebentar lagi hyung tertuamu akan menikah, bolehkah aku meminta tolong padamu?" 

Mendengar penuturan itu, Wang Jae terkejut. Dia tidak terfokus pada kalimat terakhir Raja yang ingin meminta bantuannya, namun pada kalimat pertama. 

Hyung tertua? Menikah? Wang Yeol? 

Wang Jae ingin bertanya mengapa dia tidak pernah mendengar ini sebelumnya dan dengan perempuan mana hyung-nya akan menikah. Wang Yeol juga tidak pernah membahas mengenai ini ketika mereka semua berkumpul. 

"Apa yang bisa Wang Jae lakukan?" 

"Antarkan surat kepada Keluarga Hwan besok pagi, aku memercayakannya padamu." 

Entahlah tapi... hari ini nada bicara ayahnya terdengar lebih hangat. Tidak seperti hari-hari biasanya yang tegas dan penuh penekanan seolah menunjukkan bahwa dia adalah seorang pemimpin yang harus dihormati. 

"Tentu, Pyeha." 

"Kau bisa meminta Hwang Je No untuk menemanimu," lanjut Raja. 

Wang Jae langsung menggeleng, "tidak perlu, Wang Jae bisa melakukannya sendiri. Panglima Hwang baru kembali dari berperang, Wang Jae juga mendengar jika dia memiliki beberapa luka." 

Seperti tidak mengetahui tentang itu, Sang Raja langsung menoleh, "sungguh? Apakah sudah dipanggilkan tabib untuknya?" 

"Wang Jae rasa Seon Jae Hyun sudah melakukannya," pria itu mengangguk. 

Gwangjong menghela, "ah, Hwang Je No memang selalu kembali dengan selamat, tapi dia juga selalu mendapatkan luka." 

Kali ini, Wang Jae tidak menanggapi kalimat ayahnya.

Tanpa diduga, Wang So melanjutkan kalimatnya. "Sejak kecil dia selalu bergelut dengan peperangan, dan pada akhirnya dia menjadi pria setangguh ini."

Wang Jae masih diam, ikut memandangi perairan danau. 

"Hwang Je No benar-benar mirip dengan ayahnya. Setelah ayahnya meninggal, sekarang dia yang menjadi pelindungku, pelindung Goryeo. 

Wang Jae tahu semua itu, dia membenarkan seluruh kalimat ayahnya. 

Yah, Hwang Je No memang pria sesempurna itu. Tak ada satu pun orang yang membencinya, seluruh anggota kerajaan hingga rakyat Goryeo bahkan mencintai dan mengagungkan Hwang Je No. 

"Apa kau masih ingat?" Tanya ayahnya lagi, "saat kecil kau dan Hwang Je No sering mandi bersama di sungai bersama Guan Yu."

Entah mengapa, sepertinya suasana hati Wang So sedang baik, dia tertawa kecil. 

Wang Jae tersenyum tipis. "Ya, mereka berdua menyebalkan, Wang Jae lebih seperti menjadi pengasuh untuk Guan dan Je No." 

"Hahaha... sepertinya sampai sekarang mereka berdua masih suka berkelahi?" 

"Tempo lalu lebih parah, mereka nyaris saling membunuh." 

Sang Raja mendengus geli, "sehebat apaupn perkelahian mereka, Guan dan Je No tidak akan sampai saling membunuh, mereka tumbuh bersama sejak kecil, denganmu juga." 

Sebenarnya Wang Jae terkadang juga tidak paham pertikaian macam yang terjadi di antara Guan Yu dan Hwang Je No. Mereka seperti kucing dan anjing yang menjengkelkan, terkadang seperti anak usia 5 tahunan yang berebut permen, tapi terkadang keduanya terlihat benar-benar sangat membenci satu sama lain sampai ingin saling bunuh dalam artian sesungguhnya. 

"Hahh..." Sang Raja menghela napas panjang sekali lagi, seperti helaan napas lelah. Kemudian dia mendudukkan dirinya di atas rerumputan. 

Wang Jae agak terkejut karena mendapati ayahnya duduk di bawah dengan tiba-tiba. "Pyeha—" 

"Kemari, kau duduklah di sini," Wang So hanya tergelak pelan sembari menepuk tempat di sebelahnya. 

Pangeran ke tujuh awalnya ragu, namun juga karena ini adalah perintah Raja, dia memilih untuk menurut. Duduk di samping Sang ayah, sembari memeluk kedua lututnya. 

"Akhirnya aku memiliki kesempatan untuk berbicara denganmu seperti ini," ujar Wang So. 

Wang Jae hanya menatap Sang Raja Goryeo yang tampak begitu berwibawa dari samping. 

"Apa kau tahu jika selama ini aku selalu bertanya-tanya, mengapa kau terlalu jauh dariku di antara saudara-saudaramu yang lain?" Raja Gwangjong masih menatap ke depan. 

Dan— oh, mereka memiliki cara duduk yang sama. 

Ini adalah pertanyaan aneh, Wang Jae kehabisan kata-kata untuk menjawabnya. 

Lalu pada akhirnya dia tidak menjawab, hanya menurunkan pandangan. 

 Apakah iya? Ah, bukankah itu memang karena kepribadian Wang Jae saja? Sama sekali tidak ada alasan khusus. 

"Abeoji," panggil Sang putra dengan nada rendah.

"Hm?"

"Kenapa... kau memilih untuk menjadi seorang Raja?" 

Wang So tampak tak terkejut, namun pertanyaan barusan cukup tak terduga. Pandangannya sedikit berubah, agak kosong, seperti menyelami air danau di depannya. 

"Untuk mendapatkan wanita yang ku cintai," Wang So menjawab tanpa ragu. 

Mendengar jawaban itu, Wang Jae menoleh, menatap ayahnya. Melihat sebuah senyum pedih yang terulas, dia merasa—

"Apakah wanita itu... ibuku?" Dia bertanya ragu-ragu. 

"Ya." 

Diam kemudian. Suasana agak menghening. 

Wang Jae selalu ingin tahu mengenai ibunya, tentang sosok yang melahirkannya, tentang seorang wanita yang sampai saat ini tak pernah ia ketahui identitasnya sedikit pun. 

Tapi ayahnya sepertinya tidak berbohong. Dari tatapannya... suasana hati Sang Raja seperti mendadak tak baik. 

"Apakah dengan menjadi seorang Raja... kau memang bisa mendapatkan apapun yang kau mau? Bahkan cinta?" Pertanyaan itu terlontar begitu saja. 

"Anakku, cinta memang harus selalu didasari dari hati, tapi..." sesaat, Raja Gwangjong menggantung jawabannya. "Untuk menggenggam wanita yang kau cintai, kau butuh tahta dan kekuasaan."


***


Ini aneh, semua orang tiba-tiba menghilang. Guan Yu tak mendapati Wang Jae sejak kemarin, Seon Jae Hyun menghilang tiba-tiba, dan Hwang Je No sama sekali tak menunjukkan dirinya—

Terakhir dia melihat Panglima itu saat di depan rumah bordil dengan seorang gisaeng yang menangis. 

Seorang gisaeng... 

Itu adalah perempuan yang entah mengapa sering Guan Yu lihat. 

Guan Yu hanya melihat Pangeran ke dua dan ke empat tadi, alias Jin dan Hun. Entah apa yang mereka lakukan, dia melihat kedua orang itu memasuki aula pedang. Sepertinya akan berlatih bela diri. 

Pangeran ke lima, Wang Han, masih tidak kelihatan sampai sekarang. Guan Yu tahu Han pergi ke Bianjing, entah kapan pria itu kembali. 

Meneruskan perjalanannya, Guan Yu berhenti ketika dia sampai di halaman belakang dan melihat sosok yang sangat dia cari-cari.

"Hwangja-nim," dia membungkukkan badan ketika Wang Jae berkontak mata dengannya. 

Sang Pangeran hanya berhenti sebentar, kemudian mengangguk. Dengan sepasang tangan di belakang punggungnya, dia kembali berjalan melewati tubuh Si Algojo.

Guan Yu meluruskan punggung, menjajari Wang Jae dan berjalan bersama. "Anda dari danau?" 

"Mn." 

"Mengapa tidak mengajakku?" Nadanya sudah terdengar tidak enak. "Apa anda dengan Hwang Je No? Dimana bajingan itu sekarang?"

Wang Jae tampak malas mendengarnya. Guan Yu mulai lagi. "Aku bersama dengan Raja."

Pria yang lebih bongsor tampak terkejut. Namun wajah terkejutnya terlihat kaku dan aneh. "Yang Mulia Gwangjong? Sungguh?" Guan Yu sempat menoleh ke belakang, takut tahu-tahu Sang Raja berjalan menyusul. 

"Mn." 

"Mengapa? Apakah terjadi sesuatu?"

Ah, sungguh. Guan Yu jadi sangat banyak bicara hari ini. Wang Jae menghela napas malas. "Tidak ada apapun, hanya membicarakan hal-hal yang ringan. Bukan... hal yang serius." 

"Em, begitu." 

Diam keduanya kemudian. Guan Yu tidak lagi terdengar memberi pertanyaan, seperti hal-hal ringan apakah yang dibicarakan ayah dan anak tersebut. Meski dia agak tidak menyangka, Raja dan Pangeran ke tujuh menghabiskan waktu berdua di danau belakang istana. 

Mereka berdua masih berjalan beriringan, entah menuju kemana, Guan Yu hanya mengikuti langkah Pangerannya. 

"Apa kau melihat Je No, Guan?" 

Pertanyaan tiba-tiba Wang Jae membuat Sang Eksekutor tersinggung. "Mengapa anda mencari brengsek itu." 

Itu bukan pertanyaan, tapi tuntutan. 

Wang Jae gemas sekali ingin meninju wajah pria ini sekarang. 

Tapi karena Wang Jae masih tergolong pria yang sabar, dia hanya menghela napas samar. "Dia tidak kelihatan sejak pulang dari peperangan di barat. Yeol hyung dan yang lain baik-baik saja, aku ingin tahu keadaan Je No." 

"Apa yang anda khawatirkan darinya?" Guan Yu tampak malas.

Di balik jawaban itu, Wang Jae tahu jika Guan Yu percaya bahwa Hwang Je No memang setangguh itu hingga dia akan selalu baik-baik saja. 

"Ku dengar dia mendapatkan banyak luka, Guan." 

"Bukankah itu hal yang wajar? Dia tidak akan mati, itu hanya luka-luka gores yang akan sembuh dalam semalam." 

Yah, baiklah. Terserah. Wang Jae tidak akan bicara lebih dari ini. Dia memang sabar, tapi kesabarannya tidak seperti Seon Jae Hyun. 

Guan Yu adalah satu-satunya orang yang bisa memancing darah tingginya. 

"Hwangja-nim," Si Algojo memanggil lagi. 

Kalian tentu sadar, jika tak ada Hwang Je No, Guan Yu akan menjadi seorang pria yang sedikit cerewet di depan Wang Jae. Menanyai ini dan itu, menginterogasi ini dan itu sampai membuat Sang Pangeran sakit kepala. 

Mirip anak-anak yang tidak mau ditinggal ibunya pergi ke pasar. 

"Gadis yang sering bersama anda itu..." 

Meski pertanyaan Guan Yu digantung, Wang Jae bisa langsung tahu apa yang akan ditanyakan oleh pria ini. Pikirannya telah tertuju pada satu orang, Son Je Ha. 

"Apa?" 

"Gadis gisaeng itu. Dia gisaeng, bukan?" 

"Ya." 

"Mengapa anda selalu bersamanya?" 

Wang Jae diam sesaat. 

Ah, benar. Mengapa? Mengapa dia sering mengunjungi gadis ini? 

Pangeran ke tujuh dengan segala pikiran warasnya tidak akan menjawab 'aku jatuh cinta padanya'. 

"Aku hanya sekadar lewat, lalu bertemu dengannya."

"Itu saja?"

"Itu saja." 

Diam lagi kemudian. Suasana menghening selama beberapa saat. 

Meski Guan Yu memiliki banyak sekali rentetan pertanyaan yang memenuhi otaknya semenjak beberapa hari terakhir. 

Hal-hal ganjal yang aneh di antara— 

"Guan." 

"Ya?" 

"Kau tahu, abeoji mengatakan sesuatu padaku hari ini." 

"Apa?" 

"Dia mengatakan... jika dia menjadi seorang Raja karena ingin mendapatkan wanita yang dia cintai. Dia mengatakan... bahwa dengan kekuasaan kau bisa mendapatkan apapun, termasuk orang yang kau cintai."

Hari itu, semenjak kalimat panjang itu terlontar dari bibir Wang Jae, Guan Yu sadar. Dia sadar bahwa ada sesuatu yang terjadi antara Pangerannya dan Si gadis gisaeng dari gyobang itu. 

"Guan, apakah itu sungguhan? Apakah kekuatan seorang penguasa memang sebesar itu?"

Kalimat dari Raja Gwangjong seolah tertanam dengan baik di otak dan pikiran Sang Pangeran ke tujuh. 


——-oOo——-


Dugkhh!! 


"Argh!!" 

Wang Jin mengerang, dia nyaris jatuh terperosok ketika Hun baru saja menendang pantatnya. 

"Sakit brengsek!!" Yang lebih tua mengumpat. 

"Jangan karena Han pergi sekarang kau jadi menggangguku," Hun mendengus, dia sudah berancang-ancang menarik pedangnya. 

Kasihan Wang Hun, terlihat sekali dia tertekan karena Wang Jin akhir-akhir ini terus berkeliaran di sekitarnya hanya untuk membuatnya jengkel. 

Oh, itu hobi Wang Jin. Membuat orang kesal. 

Semua orang sudah pernah menjadi korban kejahilannya. Mulai dari Wang Yeol, Wang Han, Wang Jae, Hwang Je No, Guan Yu, Seon Jae Hyun, Ye Hwa, Yeo Kyung, bahkan sampai Penasihat Kerajaan Seon Ji Won. 

Tapi korban langganan Jin memang Han. 

Pernah juga sekali Jin membuat Jae sangat marah karena bercandaannya agak keterlaluan, dan berakhir dia dihajar oleh Si adik ke tujuh hingga babak belur. 

Wang Jin ini... agak meresahkan ya. 

Untung-untung saja ada Wang Yeol yang selalu bisa mengatasi adik-adik gilanya. Tidak, pangeran bersaudara itu gila semua. 

"Jangan menendang di pantat! Kau bisa membuatku lumpuh!!" Seru Jin, menggosok pantatnya yang terasa nyeri. 

Hun melengos malas, "jangan bilang kau mendengarnya dari Seon Jae Hyun." 

"Iya memang!" 

"Jae Hyun itu tukang bohong, semua dongengnya sangat tidak masuk akal." 

"Tapi itu benar! Jika kau memukul pantat seseorang apalagi dengan cukup keras, kau bisa membuatnya lumpuh!" Wang Jin meninggikan suaranya. 

"Terserah kau saja! Kenapa hyung-nim malah mempermasalahkan ini?! Yang penting kan kau tidak lumpuh!!" Terpancing emosi, Wang Hun balas berteriak. 

Kadang Hun menyesal kenapa dia harus memiliki kakak semacam ini. 

"Diam dan jangan ikuti aku lagi, hyung! Aku sungguh tidak ingin berdebat denganmu, kau memuakkan," yang lebih muda mendengus. 

Wang Jin mencibir, "bukankah kau juga kesepian karena Han tidak ada." 

Meski Hun melarang Sang kakak untuk mengikutinya, Jin tidak mempedulikan itu, dia masih berbicara dan mengekori Wang Hun yang kembali berjalan. 

Pangeran ke empat tidak menanggapinya. Masa bodoh. Itu tidak benar, mana mungkin dia kesepian? 

"Kau sangat durhaka, aku ini kakakmu," Jin mengomel lagi, "apakah pantas kau bersikap seperti itu padaku? Kenapa kau hanya menghormati Yeol hyung." 

Wang Hun mendengus tidak percaya, "kau saja yang tidak tahu diri. Bisa-bisanya kau berkata seolah kau yang paling tersakiti." 

"Kau benar-benar tidak menyenangkan."

"Terserah."

"Hun Hun."

"..."

"Hun." 

"Apa sih?!"

"Aku punya sesuatu yang menarik, kau mau dengar?" 

Wang Hun awalnya tidak tertarik sama sekali dan ingin mengabaikan kakaknya. 

"Ini sesuatu yang sangat hebat, kau harus dengar, aku akan membaginya denganmu." 

Karena nada Jin terdengar sangat serius, kalimat itu berhasil menarik atensi Wang Hun. "Apa?"

"Aku awalnya ragu, tapi ku pikir tidak buruk jika kau tahu."

"Jadi?"

"Nanti malam—" 

"Apakah menurutmu kau pantas berkata seperti itu di depanku yang seorang Permaisuri, Nyonya Gyeonghwagung?" 

Perbincangan kedua Pangeran tertunda, perhatian keduanya teralihkan pada beberapa orang yang terlihat berdiri di depan paviliun Ratu. Dua orang wanita yang usianya berbeda jauh, bersama beberapa para dayang istana. 

Ratu Daemok dan Nyonya Gyeonghwagung. 

"Aku hanya mengatakan yang sebenarnya, Yang Mulia Ratu. Seharusnya andalah yang menjaga tutur bicara, bukankah anda seorang Permaisuri? Mengapa anda tidak bisa menjaga cara bicara anda?" 

Wang Hun yang mendengar perdebatan antar istri Raja itu sempat terkejut, apalagi ketika mendengar betapa beraninya Nyonya Gyeonghwagung berkata seperti itu. 

Pasalnya, Ratu Daemok sama ditakutinya seperti Raja Gwangjong. 

Sebenarnya, wanita itu hanya terlalu kejam saja. 

Wanita cantik yang mengenakan Hwangwonsam* sutra berwarna merah itu mendengus tidak percaya, "apa ini? Kau bahkan berani menasihatiku? Apa kau merasa di atas angin karena ayahmu adalah Hyejong*?" 

*Hwangwonsam = pakaian sehari-hari Ratu

*Hyejong = Raja kedua Goryeo, anak pertama Raja Taejo (kakak sulungnya Wang So)

"Aku hanya ingin membenarkan, Yang Mulia. Anakku tidak dibuang oleh Raja, Ye Hwa tidak diusir dari Goryeo." Nada wanita yang lebih muda terdengar gemetar. 

Ratu Daemok tertawa kecil dengan miris, "yahh baiklah, dia memang akan menikah dengan Pangeran Baekje. Tapi kau tentu tahu Kerajaan Baekje bukanlah apa-apa, jika Raja tidak membuang anakmu, maka untuk apa dia menikahkan Ye Hwa dengan Pangeran Baekje? Oh hahaha, orang-orang Baekje sangat kasihan, dan anakmu akan segera menjadi bagian darinya." 

Nyonya Gyeonghwagung ingin melontarkan segala sumpah serapahnya yang hanya bisa tertahan di ujung bibir. Wanita cantik dengan hanbok putih itu hanya bisa mengepalkan tangannya di dalam lengan bajunya yang lebar. 

Dia bahkan tidak mengerti, mengapa Ratu Daemok sebenci ini padanya sementara ia sama sekali tak pernah memiliki niat buruk. 

"Nasibmu sangat kasihan," Sang Permaisuri masih melanjutkan kata-katanya. "Kau hanya memiliki anak perempuan dan sebentar lagi dia akan meninggalkan Goryeo, aku penasaran akan mati seperti apa kau nantinya." 

Wang Hun sudah ingin melangkah ketika mendengar kalimat tak berhati itu meluncur dengan mudahnya, namun dia merasakan tangan Wang Jin mencengkeramnya, menahannya untuk tidak melakukan itu. Wang Jin menggeleng pelan dengan ekspresi seriusnya. 

Nyonya Gyeonghwagung sudah menahan air matanya. 

"Ah, aku memaafkanmu kali ini," wanita berhati tinggi itu berpura-pura merapikan anak rambutnya di pelipis. "Yeol-ku akan segera menjadi Raja dan Yeo Kyung-ku akan segera menjadi Permaisuri Kekaisaran Song, maka kau pasti tahu posisiku, Nyonya." 

Setelah mengatakan itu, Sang Permaisuri menyingkir begitu saja, melewati tubuh wanita yang lebih muda dengan gestur angkuhnya seolah mengejek. 

Wang Hun dan Wang Jin masih berdiri di tempatnya. Bahkan ketika Ratu Daemok melintas di depan keduanya, mereka masih membungkukkan punggung dengan sopan untuk memberi hormat. 

Namun reaksi Sang Ratu hanya mendecih sarkas sembari melirik kedua Pangeran, kemudian bergumam. "Anak-anak yang tidak berguna."

Sungguh, Wang Hun nyaris tidak bisa mengontrol emosinya. Tapi Wang Jin sebagai seorang kakak yang cukup peka, segera menarik tangan adiknya dan membawanya menjauh. 

"Biarkan, orang seperti itu selalu akan mendapatkan karmanya," Jin berujar. 

Hun mendengus kesal dengan samar. Pasrah ketika Jin menariknya dan membawanya mendekati Nyonya Gyeonghwagung. 

Wanita itu menangis dalam kediamannya. Membuat Jin menjadi iba. 

"Anda tidak perlu menangis," dia menyodorkan sebuah sapu tangan yang entah sejak kapan ia kantongi. 

Istri Raja itu tampak tersentak kecil, dia terkejut dan segera berdeham ketika melihat dua orang Pangeran berada di belakangnya. "Tidak, itu—" 

"Maafkan kelancangan Wang Jin," dengan sangat hati-hati, Jin mengulurkan tangannya, menyeka jejak air mata di wajah ibu tirinya tersebut. "Anda sangat cantik, jangan menangis karena kata-kata Permaisuri." 

Nyonya Gyeonghwagung tersenyum menghela pada akhirnya. Dia merasa bersyukur karena setidaknya dirinya masih memiliki anak-anak berhati baik ini. "Terima kasih, Pangeran Jin." 

"Apakah dia membahas tentang Ye Hwa?" Tanya Wang Hun. 

"Ya, aku... tidak masalah meski dia mengatakan hal buruk tentangku, tapi Ratu Daemok baru saja mengatakan hal yang tidak pantas untuk Ye Hwa, itu membuatku sangat sedih dan marah." Wanita itu tampak murung. 

"Anda tahu, Nyonya. Dia juga seperti itu pada ibu kami, wanita bermulut seperti monster itu selalu ingin menguasai istana sepenuhnya."


***


"Tuan Seon?"

Pria bertubuh jangkung itu melangkah dengan pelan, tampak begitu hati-hati seolah tidak ingin menimbulkan suara di atas lantai kayu yang ia pijak. Dia memasuki paviliun perpustakaan, mencari-cari sosok Sang empunya. 

Agak sulit menemui Jae Hyun sejak dua hari terakhir. Wang Yeol sendiri tidak mengerti kemana perginya pria itu. 

"Seon Jae Hyun?" 

Sang pengajar kerajaan tampak tak terlihat di lantai pertama, Wang Yeol memutuskan untuk naik ke menara paviliun. 

Ah, ini agak menyusahkan. Wang Yeol harus membicarakan hal penting dengan tuan cendekiawan tersebut, mengenai insiden yang terjadi saat di barat malam itu. Mengenai kudeta. 

Wang Yeol selalu membagi masalahnya dengan Seon Jae Hyun. Apapun rahasia yang dia miliki, Seon Jae Hyun adalah orang pertama dan satu-satunya yang harus tahu. 

Usia mereka sama, dan keduanya tumbuh bersama-sama sejak kecil. Itulah mengapa Wang Yeol dan Jae Hyun sangat dekat. 

Bahkan, Jae Hyun adalah satu-satunya orang yang sangat dia percayai di istana. Lebih dari orang tua hingga saudaranya sendiri. 

"Jae Hyun-ah." 

Seon Jae Hyun ada di sana, duduk di sebuah kursi kayu menghadap meja dan beberapa tumpuk buku. Pria rupawan dengan gwanbok biru cerah itu terlihat menjahit bukunya selembar demi selembar. 

Oh, jika Jae Hyun sampai menjilid bukunya sendiri seperti itu, maka buku itu termasuk karyanya yang sangat istimewa dan berharga untuknya. 

Mendengar namanya disebut apalagi dengan panggilan kecil seperti itu, Seon Jae Hyun terlonjak kaget, dia nyaris menyenggol tinta dalam guci kecil yang berada di sudut lengannya. 

"Y-Yang Mulia anda mengejutkan saya...!" Jae Hyun berdiri, memegangi dadanya yang berdegup. 

Wang Yeol tertawa ringan, "apakah kau—"

Namun saat itu, tawanya langsung mereda, dan kalimatnya terputus saat dia melihat bagaimana kondisi Jae Hyun kala itu. 

Seon Jae Hyun yang biasanya tampan dan rupawan dengan gwanbok sutranya, dengan wajah berseri-seri seperti mentari pagi, kini terlihat lebih kacau setelah dua hari tak terlihat. Matanya agak sedikit bengkak, dan kantung matanya terlihat lebih gelap. 

"Ada apa denganmu?" Tanya Wang Yeol, agak syok. 

Jae Hyun langsung berdeham, berpura-pura merapikan rambutnya. "Tidak, tidak ada apapun Yang Mulia," kemudian dia memasang senyuman terbaiknya, "apa yang membuat anda datang kemari? Apakah ada hal genting yang terjadi?" 

Namun sayangnya, Wang Yeol adalah pria dengan kepekaan yang tinggi. Tinggal selama 30 tahun dengan Seon Jae Hyun membuatnya tahu kapan pria itu jujur dan kapan pria itu berbohong melalui tatapan matanya. 

"Ku tanya, apa yang terjadi? Kau habis menangis?"

Mendengarnya, Jae Hyun tertawa kecil hingga lesung pipinya nampak. "Apa yang anda bicarakan? Saya tidak men—"

"Apa ini tentang Son Je Ha?" Wang Yeol memotongnya, "kau sudah melamarnya? Apa dia menolak lamaranmu?" 

Seon Jae Hyun langsung terdiam. 

Sialan, bahkan hanya mendengar nama Son Je Ha saja dia sangat lemah. 

Dengan pandangan sendunya, pria itu hanya mengepalkan kedua tangannya diam-diam. 

"Jae Hyun-ah, jawab aku," desak Wang Yeol, "apakah ini karena Son Je Ha? Atau ada hal lain yang terjadi? Apakah semuanya baik-baik saja?" 

Tidak bisa. 

Seon Jae Hyun tidak bisa menahan dirinya lagi saat ditanyai seperti itu. Pendiriannya runtuh, dan air mata langsung terjun dengan bebas dari pelupuk matanya. 

Pria itu menangis. 

Wang Yeol yang melihat sosok di depannya itu tiba-tiba meneteskan air mata, terkejut setengah mati. Dia masih tidak percaya bahwa sekarang dirinya tengah melihat Seon Jae Hyun menangis seperti itu.

Pria ini tidak pernah menangis di hadapannya. Wang Yeol hanya teringat kapan terakhir kali Jae Hyun menangis di depannya belasan tahun lalu, saat Jae Hyun kecil jatuh dari atas kuda. 

"Seon Jae Hyun apa yang terjadi?!" Wang Yeol mulai panik, mencengkeram sepasang lengan teman masa kecilnya. 

Jae Hyun menangis, isakannya terdengar lebih nyata. Pria itu menutupi separuh wajahnya dengan lengan, menggigit bibir bawahnya keras-keras, takut menimbulkan suara. 

"Son Je Ha mencintai Hwang Je No. Yang Mulia, dia... mencintai pria lain..."

Seon Jae Hyun terdengar sehancur itu. Dia sangat hancur seolah kepingan hatinya tak akan pernah bisa dikembalikan dengan utuh seperti sedia kala. Seolah tak memiliki harapan. 

Wang Yeol langsung terdiam, ekspresinya berubah, cengkeramannya perlahan melonggar. 

Pria di depannya masih terisak dengan wajah yang sudah memerah. "Dia sangat mencintai Hwang Je No," ulang Jae Hyun dengan nada putus asanya, "selama ini dia sangat mencintai Hwang Je No." 

Sayangnya, Wang Yeol tak terlalu terkejut dengan pernyataan itu. Dia sesungguhnya sudah menduga sejak awal. 

Sejak dia mengetahui Hwang Je No dan Son Je Ha pergi bersama di tengah malam, tingkah laku Sang Panglima Perang, dia sudah menduga bahwa tentu ada sesuatu di antara kedua orang itu. 

Wang Yeol tahu, dia hanya tak sampai hati memberi tahu Jae Hyun. Dia pikir... itu hanya prasangkanya saja. 

"Jae Hyun-ah, semuanya akan baik-baik saja."

"Yang Mulia, aku sangat mencintainya," suara Jae Hyun gemetar, dia menyandarkan dahinya di atas bahu Wang Yeol, menangis di sana. "Aku sangat mencintai Son Je Ha, demi hidup dan matiku." 

"Aku tahu, aku tahu," Putra Mahkota hanya bisa menghela dengan sendu, dia mengulurkan tangan, mengusap punggung Jae Hyun perlahan. "Tenangkan dirimu dulu." 

Ini agak rumit. Wang Yeol tidak tahu harus memihak siapa. Dia tahu cinta Seon Jae Hyun pada gadis gisaeng itu tidak main-main, namun saat mendengar jika rupanya Son Je Ha malah jatuh cinta pada Panglima Perangnya Goryeo... Wang Yeol tidak menyangka bahwa semuanya akan menjadi serumit ini. 

Siapa yang bisa menghentikan dua insan yang saling mencintai? Meski Seon Jae Hyun adalah pria paling baik di dunia sekalipun, jika cinta di antara Je No dan Je Ha sudah berkata, maka semuanya sia-sia. 

Tapi saat melihat perjuangan Jae Hyun sendiri, Wang Yeol juga merasa sedih. Dia tahu ini adalah pertama kalinya Jae Hyun jatuh cinta, pria itu sudah bertekad untuk membawa Son Je Ha keluar dari gyobang, menjadikannya seorang istri, membahagiakannya sampai mati. 

Namun semua hanyalah cinta satu sisi. 

"Yeol, aku sangat mencintai dia..." suara Jae Hyun sampai gemetaran hingga nyaris hilang. 

Wang Yeol masih mengusap punggung lebar Jae Hyun dengan sabar, "ya, ya kau sangat mencintainya, aku tahu itu. 

Lalu... apa setelah ini? Apakah Seon Jae Hyun akan benar-benar menyerah begitu saja? Apakah Jae Hyun benar-benar akan merelakan cintanya begitu saja? 

Yah, mungkin... seharusnya Seon Jae Hyun mengatakan sejak awal pada Son Je Ha mengenai perasaannya, mengenai niatnya yang ingin menikahi gadis itu.

Sayangnya, Je Ha rupanya selama ini hanya menganggap Jae Hyun sebatas gibu, seseorang yang membayar dirinya dan pekerjaannya. 

Dan Wang Yeol juga cukup tahu, bahwa Jae Hyun tidak akan memaksakan kehendaknya. Meski dia memiliki kekuasaan yang lebih tinggi dan berhak atas Son Je Ha, Wang Yeol tahu Jae Hyun tidak akan sekejam itu. 

Apalagi, orang lain antara Jae Hyun dan Je Ha adalah Hwang Je No. Seorang Panglima Perang Agung, pria berbudi luhur, seseorang yang sangat dekat dan akrab dengannya. 

"Untuk saat ini, tolong tenangkan dirimu dulu, Jae Hyun-ah." 

Sayangnya hanya itu yang bisa Wang Yeol katakan. Sembari mengusap punggung Jae Hyun, dia harap dirinya bisa membantu teman dekatnya itu lebih banyak. Namun karena ini adalah masalah hati, maka semuanya tidak akan mudah. 


——-oOo——-


"Saya sudah memberitahu Hwang Je No mengenai rencana kudeta itu." 

"Lalu?"

"Dia tidak percaya pada saya." 

Si pendengar tertawa kecil, "kalian secara alami adalah musuh, aku tidak akan heran jika Panglima Hwang tidak akan memercayaimu begitu saja." 

Yoon Gi hanya mendengus pelan, "itu benar, tapi sebenarnya Hwang Je No tidak seberbahaya itu. Anda tahu, dia bahkan meminta maaf pada saya."

"Oh ya? Untuk?" 

"Karena memberi saya luka ini," Yoon Gi menunjuk bekas luka besar di wajahnya. 

Pemimpinnya itu untuk yang kesekian kali tertawa dengan geli. "Dia memang cukup lucu, itulah kenapa aku menyuruhmu untuk memberitahunya." 

"Lalu bagaimana ini?" Yoon Gi menyahutnya dengan cepat, "dia terlihat tidak memiliki niatan untuk percaya, Hwang Je No adalah orang yang terlalu naif, dia selalu menganggap semua orang baik di matanya." 

Pemimpinnya itu terdiam kemudian, merapikan beberapa anak panah dan menggantung busur kesayangannya ke dinding. Membelakangi Yoon Gi. Menyibukkan diri sembari berpikir. 

"Sayang sekali," ungkapnya kemudian. "Pangeran Baekje itu sepertinya tidak tahu jika dirinya dimanfaatkan."

Yoon Gi mengernyit heran, "dimanfaatkan? Apa maksud anda?" 

"Dia memilih bekerja sama dengan Baek Min Ho yang memiliki dendam pada Goryeo, setelah kudeta itu terjadi, Baekje akan dilepaskan. Tapi siapa yang tahu? Baek Min Ho bisa saja dikhianati. Jika Wang Yeol berhasil tersingkirkan dari posisi Putra Mahkota, semuanya benar-benar akan tak terkendali." 

Penjelasan itu membuat Yoon Gi diam dan berpikir. "Saya tahu, mereka juga telah beberapa kali mengutus orang untuk membunuh Putra Mahkota, untungnya dia selalu diselamatkan oleh Oh Seong So, gisaeng dari gyobang." 

Sang Pemimpin berbalik, tampak tertarik. "Oh, gisaeng terkenal itu? Ku dengar ilmu bela dirinya cukup hebat dan dia seorang pemanah yang baik." 

"Dia kekasih Wang Yeol." 

Agaknya, kalimat barusan membuat ekspresi Si pendengar berubah perlahan. Lalu ada sebuah senyum yang sangat tipis terukir. "Kekasih... ya." 

"Lalu... apa yang harus saya lakukan sekarang?" Ulang Yoon Gi. 

"Apapun itu, kudeta ini akan melibatkan banyak pihak. Namun yang ku khawatirkan sekarang, saat kita sudah mempersiapkan semuanya, mereka akan mengubah rencana penyerangan," pemimpinnya itu memijat pelipis, agak frustrasi. "Kita butuh bantuan salah satu orang kerajaan." 

"Mengapa anda tidak menyelinap ke istana? Saya pikir... andalah yang perlu memberitahu Raja langsung." 

Saran dari Yoon Gi membuatnya mendengus tidak percaya. "Dia akan langsung membunuhku di tempat bahkan saat aku belum sempat berbicara."

Yoong Gi mengedikkan bahunya, "itu mungkin." 

"Tugas utamamu adalah mendekati Wang Jae, memberitahunya yang sebenarnya mengenai kudeta ini. Aku yakin Wang Jae mampu melindungi kakak sulungnya itu." 

"Anda tahu itu tidak akan mudah," Yoon Gi tertekan setiap nama Wang Jae disebut. "Dia sangat berbahaya." 

"Karena itu usahakan, dia harapan satu-satunya untuk menyelamatkan Goryeo. Bersama Hwang Je No dan Guan Yu, kudeta itu akan bisa dihentikan." 

Sejujurnya, Yoon Gi sangat kontra dengan kalimat barusan. Dia tidak mengerti kenapa pemimpinnya tampak sepercaya itu dengan Si Pangeran ke tujuh. 

"Ya, saya mengerti." 

"Dan aku yakin... saat ini Wang Yeol sendiri sudah mengetahui siapa pengkhianat di dalam istana." 


***


"Son Je Ha, aku mencintaimu." 

"Hei, aku mencintaimu." 

"Apa kau tahu, selama ini rupanya aku mencintaimu." 

Wang Jae menggeleng-gelengkan kepalanya. Mendecak dengan frustrasi. 

Oh, pangeran kita tampaknya sedang latihan untuk mengungkap perasaannya. 

Semalam, setelah membaca buku karya Seon Jae Hyun, Wang Jae telah memantapkan hatinya bahwa dia akan menyatakan perasaannya pada gisaeng bodoh itu. 

Tapi meski begitu, dia ragu dan jantungnya berdebar. 

Menaiki kuda hitamnya, Wang Jae pergi menuju gyobang, mencari gadis itu di sungai belakang. Namun sayangnya tak ada, dia sempat pergi ke pasar dan telah memeriksa seluruh sudut tempat ramai itu, namun tak menemukan sosok yang dia cari. 

Mulai kesal, Sang Pangeran memutuskan untuk bertanya pada salah satu gisaeng di gyobang, dan untungnya mereka tahu kemana Son Je Ha pergi. Salah satu perempuan itu berkata jika dia melihat Son Je Ha pergi ke hutan sebelah. 

Wang Jae menyusulnya, jika tidak salah hutan ini adalah tempat mereka pertama kali bertemu. 

Tapi sampai 15 menit dia menyusuri hutan itu, tak ada tanda-tanda keberadaan seorang gadis yang dia cari. 

Ah gadis bodoh ini sebenarnya kemana? 

Wang Jae sudah turun dari kudanya, menyusuri hutan sembari menuntun tali kekang kuda hitamnya dan berjalan bersama-sama. 

Kuda yang ia naiki ini tidak seperti Yong-Gam yang akan mengikuti kemana tuannya pergi tanpa diminta. 

"Hwangja-nim?"

"Huwaaa!!" 

Pria itu terkejut setengah mati, dia nyaris tersandung kakinya sendiri dan tersungkur. Namun untungnya Wang Jae masih berpegangan pada tali kekang kudanya. 

Hei, bagaimana dia tidak terkejut tahu-tahu seorangg gadis dengan penampilan seperti gembelnya tiba-tiba muncul?

Sebenarnya tidak masalah karena Son Je Ha selalu berpenampilan seperti pengemis setiap saat, tapi yang membuat Wang Jae tercengang gadis itu mengoleskan arang di wajahnya.

"Oh, itu benar anda."

"A-apaan kau ini?!" Wang Jae emosi. 

Oh, sepertinya kini Son Je Ha adalah orang kedua yang bisa membuatnya darah tinggi setelah Guan Yu.

"A-apanya?" Gadis itu mengerjap. 

Wang Jae mendengus malas, lantas menghampiri sosok yang menggunakan chima putih tulang dan jeogori* merah. 

*jeogori : pakaian atasan yang digunakan setelah chima. 

"Kenapa kau berpenampilan seperti ini?" Tanya pria itu. 

"Em, saya hanya takut diculik oleh yangban," jawabnya asal. 

Son Je Ha bohong. Sebenarnya dia sedang mencoba untuk menutupi matanya yang membengkak karena habis menangis sepanjang siang dan malam. 

"Tak ada bedanya meski kau berpenampilan seperti hantu begini," dengus Wang Jae.

"Apa maksud anda?"

"Aku akan tetap menculikmu."

"Eh?"

"Bercanda," pada akhirnya Sang Pangeran tertawa kecil, dia mengusak pelan pucuk kepala Son Je Ha.

Sayangnya, perlakuan Wang Jae barusan membuatnya terhenyak. Seperti mengalami deja vu. Gadis itu tercenung di tempatnya. 

"Kau tidak perlu melakukan ini, dasar," lanjut Wang Jae kemudian, mengulurkan sepasang tangan, mengusap arang di wajah Si gadis dengan kedua ibu jarinya. 

Untuk yang kedua kali, perlakuan Wang Jae mengingatkannya akan seseorang. 

Seseorang yang berusaha ia lupakan mati-matian. 

Hwang Je No. 

Dan sayangnya, Son Je Ha adalah gadis yang sangat lemah hatinya. 

Hanya karena perlakuan Wang Jae yang mengingatkannya akan Hwang Je No, gadis itu tiba-tiba menangis tanpa diperintah, dengan sangat mendadak.

Wang Jae yang berada di depannya bagaimana mungkin tidak terkejut? Saat dia membersihkan arang di bawah mata gadis itu, Son Je Ha tiba-tiba menangis dengan ekspresi sendu. 

"H-hei! Son Je Ha ada apa?! Apakah aku menyakitimu?!" Pria itu panik.

Bibir Je Ha melengkung ke bawah, dan dia mulai terisak dengan bahu yang naik turun.

"Kenapa kau menangis?! Ada apa?! Tiba-tiba sekali?!" Wang Jae mulai stres. Tentu saja dia takut jika gadis itu menangis karenanya. Mungkin karena takut? 

"Hwangja-nim..." si gisaeng mulai sesenggukan. 

"Ada apa? Katakan padaku," nada Sang Pangeran terdengar lebih lembut, dia menundukkan kepalanya sedikit, mensejajarkan wajahnya dengan Son Je Ha. 

"Rasanya sakit..." gadis itu menangis seperti anak-anak.

"Apa maksudmu?"

"Hatiku... rasanya sakit sekali huhuhu..." tangisannya terdengar semakin keras.

"Apa?" Wang Jae yang tersesat masih tidak mengerti.

"Hwangja-nim, ini sangat menyakitkan..." isaknya. "Kenapa semua orang begitu jahat? Kenapa tidak ada yang memahami perasaanku? Kenapa orang-orang meninggalkanku begitu saja? Rasanya menyakitkan." 

Meski Wang Jae tidak tahu betul apa yang terjadi pada gadis ini, dia agaknya masih mengerti. 

Yah, orang-orang memang begitu jahat, dan mereka selalu suka meninggalkan.

Pria itu menghela napas. "Aku tidak meninggalkanmu, aku masih di sini," ujarnya. Dia mengelus belakang kepala gadis itu. 

Son Je Ha masih menangis dengan hidungnya yang memerah. 

"Anda tidak tahu rasanya, ini sangat menyakitkan, bukan hanya sekadar kata-kata," kali ini, Son Je Ha memukul-mukul dadanya dengan kepalan tangan. 

"H-hei, berhenti melakukan itu," Wang Jae memegang lengannya, menggenggamnya dengan erat. "Ku bilang aku tidak meninggalkanmu, aku masih di sini. Berhenti menangis." 

Siapa bilang Wang Jae tidak tahu rasanya? Dia bahkan sudah kebal dengan semua itu. 

"Jangan menangis lagi, ya?" Suaranya terdengar sangat lembut, lalu pria itu tersenyum ketika Son Je Ha menatapnya. Senyuman sesejuk embun pagi dan secerah pelangi. 

Tapi kemudian gadis itu menangis lagi, "aku juga tidak ingin menangis, tapi hatiku benar-benar sakit dan... dadaku, rasanya sangat— sangat... sesakk," suaranya bahkan sampai terputus-putus. 

"Iya, iya aku tahu rasanya memang menyakitkan," pria itu menghela, "kemarilah," lalu dia menarik bahu gadis itu dan membawanya ke dalam sebuah pelukan hangat. "Menangislah kalau begitu, kau boleh menangis di sini sepuas yang kau mau." 

Wang Jae memeluk Son Je Ha. Memeluknya dengan begitu erat, membiarkan gadis itu menangis di dadanya, tidak peduli pakaiannya basah karena air mata. 

Dikatai seperti itu, Son Je Ha terdengar menangis lebih deras. Dia bahkan mencengkeram pakaian Wang Jae hingga kusut. 

Dan Wang Jae merasa, sepertinya gadis ini tidak berbohong, sepertinya Je Ha benar-benar sangat tersakiti, entah karena apa. Wang Jae ingin tahu, namun sepertinya ini bukan saat yang tepat. 

Lantas ia biarkan gadis pujaan hatinya menangis dalam pelukan. Dia dekap dengan erat, dia cium aroma harum yang semerbak. 

Dia dan Son Je Ha memiliki banyak kesamaan. Entah dari nasib dan takdir. 

Hati Wang Jae berkata kala itu, bahwa dia ingin bersama dengan gadis ini. Mencintainya, menghabiskan waktu dengannya, membahagiakan Sang kekasih dengan segenap jiwa dan raganya. 

Menundukkan kepala, Wang Jae mandaratkan satu ciuman lembut di pucuk kepala Si gadis gisaeng. Membisikkan beberapa utas kata penuh makna. 

"Aku mencintaimu."

Namun sayangnya, Son Je Ha yang sibuk menangis, tak mendengar kata hati Sang Pangeran. 






Bersambung...





Hwang Je No : mau ngorbanin perasaannya, sungkan mau nikung Jae Hyun

Seon Jae Hyun  : mau mundur, mau ngerelain Je Ha buat Je No

Wang Jae : terobos ajalah anying

Continue Reading

You'll Also Like

28.8K 322 1
Seperti hukum wajib, selalu ada murid yang meninggal karna bunuh diri setiap dua bulan sekali di SMA Mahapati. Tapi suatu hari, ada sebuah rumor yang...
4.2M 574K 69
18+ HISTORICAL ROMANCE (VICTORIAN ERA/ENGLAND) Inggris pada masa Ratu Victoria Sebelum meninggal, ibu dari Kaytlin dan Lisette Stewart de Vere menyer...
100K 20.5K 55
❨ TERSEDIA DI SHOPEE ❩ 𝐟𝐞𝐚𝐭𝐮𝐫𝐢𝐧𝐠 𝐬𝐮𝐧𝐠𝐡𝐨𝐨𝐧; 𝐬𝐞𝐚𝐬𝐨𝐧 𝐭𝐰𝐨 𝐜𝐨𝐦𝐩𝐥𝐞𝐭𝐞𝐝 Tentang Calandra dan segala tingkah lakunya yang...
23.8K 2.4K 51
[ BACA DESK SEBELUM BACA! ] start : 25 April 2023 end : 12 November 2023 sekelompok murid yang mengikuti sebuah club band. suka duka mereka lewati be...