Heejin berdiri sambil mengamati mereka yang lahap menyerbu makanan di meja panjang. Matanya tak sengaja melirik ke bawah meja, tempat bersemayamnya kaki Hyunsuk yang terluka.
Heejin melihat kaki Hyunsuk yang menyeladang di bawah sana ingin rasanya tertawa melihat penampilan Hyunsuk saat ini. Terlihat keren dari atas namun saat lihat sendalnya, Hyunsuk tampak seperti Kakek-kakek tua.
Tapi lupakan, Heejin tiba-tiba teralihkan pada kursi di barisan pojok yang menampakkan si Soo tampan Junghwan. Ia melahap makanan begitu banyak, membuat pipinya menggembung besar.
Kemudian Heejin duduk di samping Hyunsuk yang masih menyisakkan ruang di sampingnya, ekor matanya terus memandang ke arah Junghwan. Heejin menopang dagunya di atas meja sambil terus mengintip Junghwan dari celah posisi lengan Hyunsuk.
"Hyunsuk, Junghwan itu ... satu kelas denganmu dulu ya,” tanya Heejin samar.
"Tidak.”
Heejin mengangguk, kemudian menebak-nebak kembali. "Aaahh, dia seniormu ya... ?"
Hyunsuk langsung melirik Heejin. "Apa kau bilang?"
Heejin berkedip kebingungan mendengar nada ketus yang Hyunsuk berikan, "Kenapa? Apa aku salah?" tanyanya membelo.
Hyunsuk menghentikan aktivitas dan menatap Heejin tak suka. "Dia itu masih SMP!"
Kepala Heejin langsung terangkat, memasang wajah tak percaya "Kau jangan coba menipuku ya!"
Hyunsuk menghelakan nafas. Meletakkan sumpitnya dengan kasar "Untuk apa aku menipumu, lagi pula kenapa kau menanyakan hal tak penting semacam itu?"
Brak!!!
"Kalian bisa diam tidak?! Tolong di setiap detiknya jangan bertengkar terus!!"
Lagi-lagi Yedam yang harus melerai kedua pertemanan baru itu. Ia sungguh terbisingi karena duduknya di sebelah kanan Hyunsuk. Kali ini Yedam sedang tak ingin mendengar keributan yang Heejin dan Hyunsuk lakukan.
"Makan dan diam!" Baginya, itu sangat menggangu.
"Kalian berdua itu ada apa? Memang selalu berdebat seperti itu ya?" Yoshi yang duduk di hadapan Hyunsuk ikut menimbrung.
"Sudahku duga, pasti kalian terkena kutukan nenek moyang di desa ini," celetuk Jihoon menelan makanannya.
Junkyu yang hendak memasukkan satu suapan itupun tak jadi dan malah menoleh, "Ya Park Jihoon, kau itu selalu mengada-ada."
"Aku tidak mengada-ada! Kita nantikan saja nanti."
Kini para bocil line menoleh heran dari ujung meja, “Eh, ada apa itu?"- Jeongwoo.
"Tak tahu.” Haruto mengedikkan bahu tak acuh, terus melanjutkan kegiatan makannya, ia terlalu lapar untuk mencari tahu apa yang sedang terjadi.
Tanpa menyerah mencari tahu, Jeongwoo berdiri sambil meninggikan suara "Ada apa? Kenapa kalian serius sekali?" Namun, tak ada yang melanggati, mereka terus bercakap-cakap tanpa terusik akan pertanyaan Jeongwoo.
"Tidak papa, tidak penting," jawab Doyoung lalu menekan pundak Jeongwoo untuk duduk kembali.
"Tidak ada apa-apa. Makan saja, makan!" kata Mashiho di ikuti siulan di bibir Asahi.
Sedikit tentang Asahi, pria itu tak banyak bicara. dia hanya akan bicara ketika ada hal yang menurutnya darurat, selebihnya paling cuma mengeluh akan kehidupan yang membosankan miliknya.
Sedangkan Mashiho dia terlalu pemalu untuk mengeluarkan banyak suara.
"Aish omong kosong! kutukan apa maksudmu? Dia saja yang memang menyebalkan," Hyunsuk melirik sinis gadis di sampingnya.
Heejin berdecih, bangkit dari tempatnya lalu pergi begitu saja. "Terserah!"
"Memangnya kalian memperdebatkan apa?" Jaehyuk bertanya sedikit mengecilkan suara, nanti Heejin bisa mendengar karena belum jauh.
"Sampai dia seperti itu?" Yoshi berbisik.
Hyunsuk memperbaiki cara duduknya, tak ingin memperpanjang lagi dan mulai menyumpit kembali ramen di mangkuk. "Tidak tahu, tidak penting."
Plak ...!
"Hei kau, sedari tadi ternyata mencuri makananku?" -Junkyu.
"Habis, itu mubazir," jawab Jihoon santai, mengambil kembali karena merasa tanggung.
"Mubazir bagaimana? Aku sedang memakannya, bodoh!"
Hyunsuk and the geng itu di umur yang sama terkecuali untuk Jeongwoo, Haruto dan Junghwan.
Jeongwoo dan Haruto duduk di kelas 3 SMP, sedangkan Junghwan baru saja menginjakkan kaki di kelas 1 SMP. Tentu saja Hyunsuk marah akan perihal Heejin menyebut Junghwan adalah seniornya tadi.
Dasar tidak sopan, memang benar dirinya itu lebih pendek dari Junghwan, tapi setidaknya hargailah sedikit usaha Hyunsuk yang susah payah menepis pemikiran negatif mengenai hal itu.
Tapi tiba-tiba Heejin dengan mudahnya menghempas keoptimisannya itu. Bukan Hyunsuk yang terlalu pendek, melainkan tinggi badan Junghwan yang melebihi kriterianya sebagai siswa SMP.
Aish menyebalkan, Hyunsuk begitu songkol.
Mungkin Hyunsuk tidak tahu atau tidak sadar, bahwa Heejin mengira hal tersebut bukan karena melihat dari sisi badan Hyunsuk, yang membuat Heejin yakin adalah tampang dari keduanya, seolah tampang Hyunsuk pun meng_iya kan hal yang sama.
Coba perhatikan wajah Hyunsuk, ketika ia sedang dalam keadaan marah atau sebal, dia akan menautkan alis, saat itulah Hyunsuk terlihat seperti baru akan lulus SD. Bahkan jika kalian melihat Hyunsuk yang sedang tertawa hingga matanya menyipit, pasti kalian akan mengira Hyunsuk itu bayi besar yang baru saja lahir.
Berbeda dengan Junghwan yang wajahnya terlihat dewasa dan menawan jika diam. Normal bukan jika perkiraan Heejin meleset atau malah terbalik.
Heejin berjalan cepat menuju dapur. Karena kedai ini milik Bibinya sendiri jadi ia bisa masuk kapan saja ke dalam tempat untuk pemasakan, sudah biasa.
"Hei Heejin, siapa mereka? Apa mereka artis, bolehkah minta kan tanda tangan," ucap seorang wanita paruh baya yang bukan lain adalah Bibinya. Beliau sedang mencuci piring sambil terus melonggok ke arah pintu.
"Tidak Bibi, mereka bukan artis. Mereka bukan siapa-siapa.''
Selesai merampungkan piring terakhir, Sang Bibi melepas sarung tangan karet di tangannya meletakkan kembali pada tempatnya.
"Tapi mereka tampan sekali. Kalau begitu Bibi akan minta foto saja." Usai perkataan itu ia melesat keluar, tak lupa mengelap kedua tangannya terlebih dahulu.
"Hei Bibi jangan!!"
Tanpa mendengarkan larangan Heejin, perempuan yang kerap di sapa Bibi itu pun melongos dari dapur.
Heejin hanya bisa menepuk jidat, "Astaga!"
***
"Haksaeng... bolehkah saya minta foto? Selfy, selfy," pinta pemilik kedai tersebut. Jari telunjuknya bergerak seakan tengah memegangi tombol kamera.
Semua yang ada di sana nampak bingung, namun Jihoon dengan sigap langsung bangkit dengan wajah sumringah, ia tahu apa yang dimaksud.
"Eoh, tentu saja." Ia mengambil ponsel sang bibi, lalu merangkulnya bak Ibu dan Anak.
Sejauh ini mereka hanya selfy berdua saja, tapi selanjutnya Jihoon mengajak kawan-kawannya untuk berdiri dan mengikuti kegiatannya, mereka akhirnya menurut lalu foto bersama-sama, tak terkecuali Hyunsuk, ia pun ikut meski harus memaksakan kakinya yang sedang sakit.
Tak ada kecanggungan sedikit pun di antara mereka.
Heejin yang melihat dari arah dapur nampak kesal setengah mati, pasalnya setelah momen ini, pasti mereka akan semakin melambung tinggi.
Ini akan menjadi tingkat kesombongan anak-anak kota itu menjadi bertambah, diperlakukan istimewa jika di desa, sampai dimintakan foto.
Heejin mengalihkan pandangan. Memalukan!
****
"Terimakasih, Bi."
"Makanannya sangat enak."
"Kami pasti akan kembali lagi."
"Sering seringlah berkunjung ke rumah Heejin, kalian benar-benar sangat tampan."
Sepeninggalan kedua belas bocah pria itu Heejin akhirnya baru bisa keluar dari dalam dapur, akibat malu karna perlakuan Sang Bibi ia memutuskan untuk tetap di dalam saja sambil menunggu mereka pergi keluar.
Apakah Bibinya tidak tahu seharusnya dia bisa menjaga image di depan anak kota yang kebanyakan sombong itu?
Tapi yaaa begitu lah...
"Ya Heejin, kau akan menikahi salah dari mereka, 'kan?"
Heejin kaget, ia sedang berjalan malas, tiba-tiba saja bibinya menowel pantatnya dan bertanya hal menyebalkan.
"Aish, apa yang Bibi bicarakan?! Tidak mungkin, lagi pula aku tidak mau."
"Sudahlah, akui saja. Kau menyukai yang mana? Biar Bibi mintakan jadi mantu Ibumu, yang wajahnya bagai pangeran itu kah? Atau si baik hati rambut pirang itu? Aiih ... tadi siapa ya namanya?" terangnya beruntun hingga rasanya Heejin ingin sekali menyumpal mulut bibinya jika ia tak memikirkan dosa.
"Bibi jangan gila! Itu tidak akan pernah terjadi, aku bilang_____ TIDAK_ AKAN__ PERNAH___ TERJADI!"
DUAR!!!!!!
"Astaga, petir mengagetkan saja," Haruto tersentak memegangi dadanya.
"Sepertinya sebentar lagi akan turun hujan," tebak Doyoung.
"Lihat .... " Hyunsuk menunjuk ke arah berlawanan, yang mana menampakkan Bibi pemilik kedai beserta Heejin.
Di pintu keluar kedai tersebut terlihat adegan Heejin yang tengah mengomel dan menghentakan kakinya, dengan sang Bibi yang terus menowel lengan Heejin.
Karena terlihat dari seberang jalan, pandangan itu tak terlalu kentara. Hyunsuk dan sebelas anggotanya itu mengira Heejin dan Sang Bibi sedang bertengkar hebat di seberang sana.
"Dia tidak hanya menengkariku bukan?" adu Hyunsuk pada teman-temannya.
Walaupun Hyunsuk sebenarnya tidak sedang mengadu tapi wajahnya terpampang jelas sekali seperti ia lah korban yang telah terzolimi oleh Heejin.
****
Tak terasa arloji telah menunjukkan pukul 17:00. Sementara Hyemi lagi-lagi dibuat kebingungan oleh kedua anak asuhnya itu.
Saat Hyemi mengecek kembali, perlengkapan sekolah sudah lengkap berada di rumah, sepatunya masing-masing pun sudah tergeletak rapi di tempatnya.
Hanya saja, kenapa tiba-tiba ranjang cucian Hyunsuk begitu menumpuk, Hyemi yakin sebelum berangkat ke ladang, ia sudah menyuruh Heejin untuk sekalian mencuci pakaian Hyunsuk, apakah Heejin lupa? Atau dia belum melakukannya.
Tidak mungkin jika sudah dicuci tiba-tiba menggunung lagi.
Lalu sekarang ke mana perginya dua anak itu.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
TBC