FROM A TO Z, I LOVE YOU - (CO...

By verlitaisme

294K 39.5K 3.6K

Adelicia Aubree, 27 tahun. Baru saja putus cinta dari dari tunangannya, setelah menjalin kasih selama 3,5 tah... More

Meet Aubree & Zayn
HELLO FROM US!
1. PEREMPUAN YANG PATAH HATI
2. LELAKI YANG KATANYA MANDUL
3. APA KITA HARUS BERTEMU?
4. KITA, HUJAN, DAN KISAH YANG SERUPA
0T11AAPTW10
5. MARI SALING MELUPAKAN
6. HUBUNGI AKU, AKU MENANTI
7. DUA GARIS TAK TERDUGA
8. APA KAMU BAHAGIA? KARENA AKU BAHAGIA!
9. MENDEKAT, AKU AKAN MENJAGAMU
10. TESTPACK DAN LELAKI RANDOM
11. ANTARA CINTA DAN TANGGUNG JAWAB
13. MUSUH DALAM SELIMUT
14. KECUPAN DAN PELUKAN YANG MENENANGKAN
15. BUKAN URUSANMU!
16. PERMINTAAN MENDADAK YANG MENGEJUTKAN
17. KARENA KITA HARUS SALING MENGENAL
18. WANITA TERHORMAT YANG MENYELINAP
19. LAMARAN DAN PERSIAPAN HARI BAHAGIA
20. MENIKAH! LALU ....
AUBREE, PEREMPUAN YANG PATAH HATINYA
SELIMUT TAMBAHAN
KUE ULANG TAHUN
How I Found Your Number
VOTE COVER!
OPEN PO!
Bundling
Ready On Playbook!

12. HARI YANG PENUH KEJUTAN

8.9K 1.7K 256
By verlitaisme

Happy Valentine's day!
Budaya kita bukan ngerayain valentine, tapi ngasih vote dan komen di lapak BreeZ😁



Nyaris saja ponsel Kiran menempel di telinga Zayn, saat tiba-tiba dari arah belakang wanita itu merebutnya. Membuat pria itu berbalik karena terkejut. Dilihatnya bagaimana Kiran telah memunggunginya seraya menyahut panggilan.

"Ya, Hans? Aku sedang berada di apartemen Zayn. Ada apa?"

Zayn mendengkus, mendudukkan tubuhnya di sofa. Dipandangnya Kiran yang beranjak menjauhinya, sehingga tidak ada satu pun kata yang bisa didengar. Sepertinya, calon mantan istrinya itu memang sengaja merendahkan suara.

Tidak lama Kiran kembali mendekati. Wanita itu mengulurkan ponsel padanya.

"Pengacara kamu, mau ngomong sama kamu."

"Ngapain?" Zayn mengulurkan tangan untuk menyambut ponsel dengan enggan.

"Nggak tau." Kiran mengangkat kedua bahunya, kemudian duduk di seberang Zayn. Diaturnya napas yang masih memburu, sebab dari terburu-burunya dia saat hendak merebut ponsel dari Zayn tadi.

"Yes, Bro?" Zayn menyapa Hans.

"Ngapain dia ada di tempat lo?" Suara Hans terdengar gusar.

"Nggak usah dipikirin kenapa Kiran ada di sini." Zayn melirik sekilas ke arah Kiran, yang sepertinya penasaran dengan percakapannya dan Hans.

Akhirnya Zayn memutuskan bangkit dari duduknya, dan beranjak menuju balkon.

"Lo sendiri, ngapain nelpon dia?" Zayn bertanya, saat yakin Kiran tidak mengikutinya sampai ke balkon.

"Ada sedikit urusan, mengenai percepatan pengadilan perceraian. Dia udah create surat pencabutan gugatan. Katanya mau dia submit."

Zayn berdecak, menatap Kiran yang masih duduk di sofa, sedang menatapnya di kejauhan dengan raut cemas. Sudah tidak ada lagi yang bisa dilakukannya mengenai Kiran. Adanya jabang bayi di perut Aubree, membuatnya semakin yakin bahwa rujuk bukan hal yang tepat. Lagi pula, ini yang Kiran mau.

"Lo pastiin aja, supaya surat itu nggak sampai ke pengadilan. Gue udah ga bisa rujuk sama Kiran. Sama sekali nggak bisa." Zayn menekan suaranya, tanda ketegasan.

Tidak lama percakapan itu selesai. Kembali Zayn menghampiri Kiran, yang segera bangkit begitu dirinya mendekat.

"A-ada apa dengan Hans?" Kiran bertanya terbata.

Zayn menghela napas, meyerahkan ponsel pada Kiran. "Jangan submit surat pencabutan gugatan itu, Kiran. Aku sudah tidak bisa lagi sama-sama sama kamu," ujar Zayn, dengan suara selembut yang dia bisa.

Kelembutan, yang justru membuat tangis Kiran pecah di hadapannya. Namun, sedikit pun, tidak diulurkannya tangan untuk mendekap wanita itu. Tidak, karena meski hatinya patah mendengar tangis dia yang pernah dicintainya sepenuh hati, Zayn tidak mau memberi sebuah harapan.

Sepeninggalan Kiran yang akhirnya pergi meninggalkannya dengan berat hati, Zayn merasa kosong. Bahkan sampai akhirnya dirinya jatuh tertidur dan bangun keesokan paginya, dia masih merasa kosong.

Ada relung-relung pada bagian hatinya yang masih mendamba sebuah kehangatan. Yang tidak bisa didapatkannya lagi dari Kiran, dan belum bisa direngkuhnya dari Aubree. Zayn kesepian, bahkan di antara dua wanita yang mendambanya.

Menjelang sore di kantornya hari ini, Pram tiba-tiba menjulurkan kepala dari pintu ruang kerjanya yang terbuka.

"Bagaimana kelanjutan mengenai gedung itu?" tanya Zayn pada anak buahnya itu.

"Beres! Sudah 80%, Bos. Mudah-mudahan dua minggu lagi semua beres." Pram menyahut.

"Good! Pastikan semuanya beres." Zayn mengangkat ibu jari tangan kanannya.

Pram menganggung seraya tersenyum. Kemudian kepalanya menghilang dari balik pintu.

Merasa tidak ada yang bisa dikerjakan dan tidak sedang tidak enak hati, Zayn memutuskan untuk pulang lebih cepat. Namun, tetiba ia teringat akan kebutuhan Aubree di masa kehamilannya.

Segera diraihnya ponsel dan menelepon calon ibu dari anaknya itu.

"Kamu di mana?"

"Aku sedang bersama Nenek Amika. Bekerja." Suara Aubree terdengar riang di ujung sana, membuat Zayn merasakan sedikit kenyamanan setelah seharian ini merasa kosong.

Zayn bisa mendengar suara tua yang berbisik-bisik di sana. Meski dia tidak bisa mendengar apa yang dikatakannya.

"Aku pulang lebih cepat hari ini. Mau kujemput? Kita bisa belanja keperluanmu kalau mau ...." Zayn menawarkan, dia sudah berdiri dari bangku kerja dan menggenggam tas kerjanya.

"Mau jemput?"

"Iya, jemput. Terus belanja."

"Beli apa?"

"Susu hamil."

Di seberang sana, Aubree menelan saliva. Sementara Nenek Amika yang duduk di sebelahnya tersenyum-senyum penuh arti. Padahal, perempuan itu sama sekali tidak mendengar percakapannya dengan Zayn.

"Ya, aku tunggu," sahut Aubree pelan.

"Shareloc, ya. Aku nggak tau di mana tempat kamu kerja."

"Iya."

"Bye. Sampai nanti."

"Bye ...."

Aubree menjauhkan ponsel dari telinga. Sementara Nenek Amika mengedip-ngedipkan mata seperti seorang bocah.

"Aku tebak, itu bukan si tampan," katanya.

Aubree menggeleng, kemudian menunduk. Tangannya bergerak di layar ponsel untuk membagi lokasinya dengan Zayn.

"Penggantinya?" Nenek Amika menebak lagi.

Seketika wajah Aubree terasa panas, bahkan terpaan angin yang menyapa wajahnya, tidak membuat panasnya berkurang. Perlahan wajah itu memerah, mulai dari telinga sampai merahnya memenuhi seluruh wajah. Membuatnya enggan untuk menatap nenek tua itu.

Aubree tadinya mau menyahut ucapan Nenek Amika, tetapi rasa mual tiba-tiba terasa mendesak. Tanpa sanggup berpamitan, Aubree berlarian menuju toilet di dalam gedung. Meninggalkan perempuan tua yang dipenuhi dengan tanda tanya itu, sendirian duduk di bangku kayu bawah pohon ceri.

Sementara itu, Zayn berkendara mengikuti petunjuk lokasi yang dibagikan oleh Aubree. Ternyata, tidak begitu jauh dari lokasi kantornya.

Ketika kendaraannya meluncur hendak masuk ke dalam gedung serupa rumah berwarna putih itu, Zayn merasa sangat familiar. Cat putihnya, halaman yang asri, dan ... Zayn menghela napas saat matanya menangkap kata Nirmala pada plang di gerbang masuk. Dirinya semakin yakin kalau ini adalah gedung yang sama, yang Pram ajukan padanya untuk di akuisisi.

Zayn menghentikan kendaraannya di area parkir sisi kiri halaman yang luas. Di halaman sebelah kanan yang bersebrangan dengannya, terlihat seorang nenek---dengan rambut yang serba putih---berdiri di bawah pohon rindang, tersenyum ke arahnya. Mau tidak mau, pria itu turut tersenyum, seraya membungkuk sedikit sebelum melangkah menuju pintu lobi yang terbuka.

Namun, langkahnya terhenti seketika. Ketika sosok Aubree muncul dari dalam sana, dengan tas tercangklong, dan gaun berwarna hitam. Sejenak mereka bertatapan, tetapi sejurus kemudian perempuan itu justru berlarian ke arah si nenek di bawah pohon.

Zayn membelalakkan mata, hendak mencegah Aubree berlari. Pikirannya tentang bayi di perut Aubree membuatnya gelisah, bagaimana bisa Aubree masih bergerak seaktif itu? Bagaimana kalau terjadi apa-apa dengan jabang bayi di perutnya?

Aubree menghampiri Nenek Amika yang masih memandang ke arah Zayn. Wanita tua itu terlihat takjub, matanya berbinar melihat bagaimana penampakkan Zayn.

"Dia sepuluh kali lebih tampan dari si tampanmu dulu. Dan dia terlihat mengkhawatirkanmu. Itu dia, 'kan? Pengganti si tampan?" Nenek Amika meraih tangan Aubree, tanpa mengalihkan pandangan dari sosok yang sedang menatap mereka di kejauhan. "Auranya positif sekali."

"Benarkah?" Aubree turut memandang ke arah Zayn. Pria itu menatapnya dengan kedua tangan terlipat di depan dada. Sesekali Zayn membekap mulut sendiri, mencubit dagu seraya menggeleng-geleng saat mata mereka bersirobok.

"Yang ini, jangan dilepas." Nenek Amiko menoleh ke perempuan yang berdiri di sisinya. Tangannya bergerak menyentuh perut Aubree. "Dia ayahnya?"

Aubree tersentak, segera menoleh ke afah Nenek Amika dengan terkejut. Dia belum menceritakan tentang ini pada siapa pun.

"A-aku ...." Aubree tergagap.

Nenek Amika menarik tangan dari perut Aubree sembari tersenyum. Kemudian kembali menatap ke arah Zayn.

"Dia calon ayah dari anak-anakmu nanti," kata Nenek Amika lagi. Tenang.

Aubree yang kebingungan, akhirnya tertawa lepas. Tawa untuk menertawakan dirinya sendiri. Sayangnya, nenek enggan tertawa bersamanya.

"Cepat sana! Dia sudah menunggu lama." Nenek Amika menepuk bokong Aubree, seolah-olah perempuan itu masih seorang bocah.

Aubree menghentikan tawanya, kemudian mengecup kening si nenek. "Sampai senin nanti, Nek," katanya.

Nenek Amika mengangguk. "Sampaikan salamku pada si sepuluh kali lebih tampan."

Aubree tersenyum, memamerkan gigi-giginya yang rapi. "Zayn. Namanya Zayn ...."

***

Zayn mendorong kereta belanja yang isinya masih kosong. Sementara Aubree terlihat berdiri di depan rak yang berisi susu kehamilan berbagai rasa. Saat ini mereka berada di supermarket yang berada di dalam sebuah mal.

"Apa harus banget aku minum susu ini?" Perempuan itu memandang bingung deretan asing di hadapannya.

"Demi anak kita. Iya." Zayn menyahut, tangannya bergerak mengambil satu kotak dengan rasa coklat.

"Kenapa coklat?" Aubree mengerutkan kening.

"Kamu bilang waktu itu, maunya coklat." Kata Zayn tenang.

"Itu waktu itu. Sekarang aku lagi mikir, kayaknya sroberi juga enak ...."

Zayn menghela napas. Diambilnya kembali kotak yang sudah dia masukkan ke kereta belanja, untuk kembali diletakkan di rak.

"Kok dibalikin?" Kening Aubree mengerut lagi.

"Mau stroberi, 'kan?" tangan Zayn bergerak meraih kotak susu rasa stroberi.

Aubree memperhatikan bagaimana kotak itu masuk ke keranjang belanja, kemudian memberengut.

Zayn mengamati perubahan wajah Aubree dan kebingungan. "Salah lagi?"

"Aku belum mutusin mau rasa apa ...."

Tidak mau berlama-lama berada di lorong dan rak yang sama, tangan Zayn meraih semua rasa yang ada pada rak dan memasukkannya ke keranjang belanja. Aubree hanya bisa menganga melihat bagaimana kotak-kotak susu itu berpindah tempat

"Kamu mau stok apa lagi di apartemen?" tanya Zayn kemudian dengan santai, sambil mendorong kereta belanjanya menjauhi rak susu.

Sekitar satu jam kemudian, kegiatan berbelanja selesai. Dilanjutkan dengan acara makan malam di sebuah restoran yang masih berada dalam mal yang sama.

Steak sudah tersedia di hadapan mereka masing-masing. Aubree bahkan sedang memotong-motong tenderloinnya menjadi potongan-potongan dadu kecil. Sedang Zayn, memperhatikan dengan tertarik.

"Kenapa dipotong kecil-kecil?" tanyanya.

"Supaya makannya gampang," sahut Aubree, masih sibuk dengan pisau dan garpu.

"Terus harus dadu?" Zayn bertanya lagi.

"Supaya rapi." Aubree sedikit mengangkat kepala untuk menatap Zayn, kemudian nyengir.

Zayn tertawa tertahan, menyadari bahwa semakin lama bersama Aubree, semakin banyak hal menarik yang diketahuinya. Lalu, dia teringat akan Panti Jompo Nirmala.

"Panti jompo tempatmu bekerja ...."

"Kenapa?" Aubree meletakkan pisau, menusuk satu potongan dadu dengan garpu, dan dimasukkan ke mulut.

"Hmm ... kalian sedang kesulitan keuangan?" Zayn bertanya hati-hati.

Aubree mengunyah makanannya perlahan, pandangannya lekat pada Zayn. Tidak lama kedua bahunya terangkat.

"Nggak tau. Ibu kepala belum mengatakan apa pun," sahut Aubree. "Ada apa memang?"

"Oh!" Zayn mengabaikan pertanyaan. Ditundukkannya kepala, meraih garpu dan pisau, mulai memotong daging di atas piring.

Sepertinya, pihak panti menyembunyikan kesulitan keuangan yang mereka alami. Sampai-sampai pekerjanya saja tidak tahu-menahu. Mungkin, Aubree juga tidak perlu tahu agar tidak perlu cemas tentang pekerjaan, atau nasib gedung panti yang sedang ditawar oleh perusahaannya.

"Apa ada sesuatu, Zayn?" Aubree terdengar cemas.

"Nggak." Zayn mengangkat kepala, menatap Aubree lalu tersenyum tipis.

Aubree mengangguk-angguk. "Kamu tau, nggak?" tanyanya.

"Apa?" Zayn meletakkan pisau dan garpu, fokus pada Aubree yang terlihat serius.

"Aku mual seharian ...." Aubree menekuk wajah.

Wajah Zayn langsung berubah, kecemasan terlihat jelas di sana. "Apa menurutmu, nggak sebaiknya kamu berhenti kerja?"

Cepat Aubree menggeleng. "Masih bisa diatasi."

"Yakin?" Zayn benar-benar khawatir.

Aubree mengangguk lagi. "Yakin, Zayn," katanya.

Sekali lagi Zayn memandang wajah cantij di hadapannya, memastikan kalau keyakinan itu benar adanya. Lagi pula, dia tidak bisa memaksakan kehendak pada Aubree. Perempuan itu harus nyaman berada bersamanya, sehingga segala rencana mereka bisa berjalan mulus.

Menikah, memiliki anak, lalu ....

"Bagaimana perkembangan perceraianmu?" Tiba-tiba saja Aubree tertarik menanyakan masalah itu. Juga, tiba-tiba saja kerongkongan Zayn terasa kering. Pria itu berdeham, demi menetralisir rasa kering yang tidak menyenangkan.

"Perceraianku---" Ucapan Zayn tiba-tiba saja terhenti, saat tanpa sengaja matanya melihat sosok tak asing pada gerai seberang restoran.

Perempuan di sana itu, sedang bergelayut mesra dengan seorang lelaki yang posisi berdirinya memunggungi Zayn saat ini.

"Gimana?" Aubree tidak sabaran, dia benar-benar mau tahu.

Sementara itu, Zayn sedang berdebar dengan dasyat. Benar-benar tidak mampu berkonsentrasi dengan pertanyaan Aubree. Cepat pria itu meraih ponsel dari saku celana, dan mengarahkan kamera ponsel ke pasangan yang terlihat mesra jauh di sana.

Aubree menoleh ke belakang, mencari tahu ke arah mana kamera ponsel Zayn mengarah. Tetapi percuma, dia tidak paham dan tidak bisa menebak apa pun.

Zayn menekan tombol rekam, tepat pada saat perempuan di sana---Kiran---mendapat kecupan mesra di pipi. Kemudian, lelaki di sebelahnya terlihat mengelus kepala itu lembut.

Di detik berikutnya, pasangan itu berbalik. Membuat Zayn menahan napas demi melihat siapa lelaki yang sedang merangkul mesra calon mantan istrinya itu.

Pram?

Nah lohhh?
Terus, bakal gimana dong abis ini?

Follow IG dan FB aku ya: Verlitaisme

Continue Reading

You'll Also Like

2.3M 254K 45
Bertunangan karena hutang nyawa. Athena terjerat perjanjian dengan keluarga pesohor sebab kesalahan sang Ibu. Han Jean Atmaja, lelaki minim ekspresi...
761K 51.9K 21
"Ceria itu datang membawa keramaian dalam hidupku. Sifat positivnya membuat aura kelamku tergantikan dengan sendirinya. Sanggupkah aku bersanding den...
775K 12.1K 21
~ Keira Tan ~ Benjamin Orlando, begitu katanya setahun yang lalu. Ben adalah sahabat terbaik dari Calista, sahabatku. Laki-laki itu begitu tulus, be...
980K 96K 58
Don't Cross the Line, sebuah idiom sakti yang menuntun Hanni tetap bertahan pada posisinya. Seorang wanita dewasa yang sejak kecil sangat terlatih da...