Matahari belum menampakkan dirinya kala jarum jam di dinding kamar gue sudah menunjukkan pukul enam pagi. Hanya sinar yang malu-malu yang tampak menyinari bagian kecil dari kamar gue.
Ini adalah harinya. Hari perkemahan pertama gue selama karir remaja gue. Gue siap dan bersemangat buat memulai tiga hari yang paling menyenangkan dalam hidup gue ini. Tiga hari yang gue harap akan selalu gue inget sampe gue tua nanti.
Ibu sama bapak udah nyiapin semua peralatan dan makanan yang bakal gue bawa sedari kemarin malem. Mereka udah mewanti-wanti supaya gue hati-hati dan enggak ngelakuin hal yang aneh-aneh selama berada di tempat perkemahan itu. Katanya kalo gue ngomongnya aneh-aneh nanti suka ada kejadian aneh juga gitu.
Bapak nganter gue sampe sekolah di pagi yang cerah itu. Murid-murid sudah memenuhi gerbang sekolah dengan orang tua mereka yang saling mendampingi. Sebuah pemandangan yang sangat indah dan mirip seperti pemandangan perkumpulan para penyayang di satu tempat.
Bapak gue engga nganterin gue sampe dalem kelas gue karena dia langsung pergi ke pasar buat belanja kebutuhan dagangnya nanti malem.
Udah biasa gue ngelakuin segala hal sendirian mah. Selow ae.
Gue yang membawa tas yang carrier yang cukup gede ngerasa malu karena apa? Karena ukuran tas gue lebih gede dari badan gue sendiri. Gue jadi bingung mana yang tas mana yang gue.
Orang-orang memandangi gue dengan tatapan yang seperti biasa mereka lakukan di setiap harinya.
Jijik.
Kerumunan yang begitu banyak membuat gue enggak bisa langsung nemuin kelas gue dengan cepet. Maklum, orang-orang saling berdesakan buat mamerin apa aja yang mereka bawa buat kemah nanti.
Kalo gue mah sama lah kayak kalian. Bawa baju, celana, handuk, alat mandi sama yang paling penting Pop Mie.
Kalian juga pasti selalu bawa Pop MIe kan?
Setelah berjuang melewati kerumunan yang saling berdempetan itu, gue akhirnya bisa masuk ke kelas gue sendiri. Semua temen-temen gue udah ada di sana. Enggak ada yang keluar dan kelas udah terisi penuh.
"Lanang! Sini!" teriak Tararam sembari melambaikan tangannya ke arah gue.
"Oh iya!" gue menghampiri Tararam yang udah berkumpul sama Sobat Kemah yang lain.
"Maaf ya, gue telat-" bujuk gue pada temen-temen Sobat Kemah lain yang udah siap.
"Rapopo, wis biasa kalo kamu ngaret kan?" ucap Ngatno menimpali.
"Ish kamu ini--" jawab gue singkat.
"Udah udah jangan berantem ini masih pagi," ucap Tararam melerai perdebatan antara gue dan Ngatno yang belum dimulai.
"Endak endak--" Ngatno langsung menurut ngedenger Tararam melerai perdebatan gue sama dia.
"Giliran Mataram yang nyuruh baru deh lu denger hm--" ucap Dewangga menimpali.
"Jadi semua udah siap?" Asih membuat suasana di sekeliling Sobat Kemah tampak bersemangat buat perkemahan pertama gue dan mereka yang melabeli dirinya dengan sebutan Sobat Kemah ini.
"SIAP!" semua menjawab dengan kompak dan gembira.
***
Perkemahan kali ini di adakan di sebuah bukit yang memang udah ada sarana untuk berkemah dan melakukan kegiatan outdoor rame-rame. Rencananya, pihak sekolah pengen ngadain juga acara yang mewajibkan setiap kelompok buat menampilkan satu hiburan ketika malam pertama di perkemahan.
Hal ini di beritahukan oleh pihak sekolah sesaat sebelum perjanan menuju bukit Mandalora dilakukan.
Kami berangkat ke bukit tersebut dengan menggunakan truk yang biasa dipakai mengangkut material-material berat dan besar. Sehingga untuk mengangkut semua siswa kelas satu dibutuhkan 7 truk.
Sepanjang perjalanan gue enggak kuat karena semua orang harus berdiri supaya setiap orang bisa muat dan enggak memakan banyak tempat.
Pertama kalinya gue naik truk sambil berdiri. Perut gue mual. Pengen muntah.
Sementara dari kejauhan gue liat Aksara berdiri bersebelahan sama Dewangga. Melihat mereka berdiri bersampingan dengan ekspresi yang biasa aja, membuat gue ngerasa omongan Dewangga pada malem itu patut gue pertimbangin.
"Kk-- kenaa--kenapa ngelamun aja?" ucap Sulipan mengangetkan gue yang lagi mikirin omongan Dewangga malem itu.
"Astagfirullah! Gue kira siapa, enggak gue gak ngelamun ko," ucap gue dengan setengah kaget.
"A--aku paham kok rasanya--" ucap Sulipan bertingkah seolah dia tau gue lagi mikirin Aksara.
"Paham apa maksud lo?" tanya gue.
"Iy--iya pah--pah---"
"Paha ayam?" timpal gue.
"Bbb---bukan! Paham maksudnya," ucap Sulipan.
"Paham apa?" tanya gue lagi.
"Rasanya mual-mual ketika naik truk," ucap Sulipan sambil mengacungkan jempol tangannya.
Gue pun berlalu dari pria berbadan tinggi namun bercakap gagap itu. Di sudut lain gue melihat Ngatno yang berdekatan dengan Asih. Sebuah pemandangan yang sangat gue kagetkan.
Bagaimana mungkin? Ngatno si pria penuh budaya itu bener-bener membuat Asih enggak mau jauh-jauh dari dia. Sebuah realita yang susah buat gue percayai.
***
Akhirnya kita sampai di bukit Mandalora. Para siswa turun dari masing-masing truk yang mengangkutnya. Membawa barang-barangnya dan mendengarkan sedikit arahan dari para pembina yang ditugaskan untuk mengkordinasikan tata letak kemah yang akan didirikan masing-masing kelompok.
Gue dan temen-temen Sobat Kemah yang lain pun segera menuju tempat yang udah kordinator tentukan buat ngediriin tenda kita masing-masing.
Sembari membantu temen-temen yang lain ngediriin tenda, pikiran gue enggak bisa fokus pada apa yang gue lakuin saat ini. Rasanya apa yang di katakan sama Dewangga perlahan mulai merasuki gue dan membenarkan setiap ucapan yang Dewangga kasi tau sama gue. Ucapan yang membuat gue yakin.
Kalo Aksara enggak sepolos yang gue kira.
Terlebih, ada fakta kalo gue sama mereka berdua pernah berada di satu SMP yang sama juga jadi semakin menguatkan dugaan gue, kalo gue ada di permainan yang Aksara dan Dewangga mainkan.
Sedangkan gue hanyalah pion dan bidak yang mereka mainkan sesuka hati. Sebuah bidak yang enggak punya hak untuk mengetahui apa sebenernya yang mereka pengen dari gue. Cowok dekil yang selalu di remehin sama orang lain.
Tararam yang ngeliat gue mulai menyadari kalo pikiran gue enggak berada ditempat raga gue berpijak. Tararam ngerti kalo gue enggak menikmati acara perkemahan yang selama ini gue idam-idamkan.
"Gapapa kan?" tanya Tararam menghampiri gue yang lagi menguatkan simpul agar tenda berdiri tegak.
"Hm? Enggak kok. Kenapa?" gue menjawab sewajarnya.
"Kamu kayak lagi mikirin sesuatu yang berat aja. Kenapa?" Tararam menanyakan hal yang memang lagi gue pikirin.
Sesuatu yang berat.
"Aksara?" Tarara melanjutkan ucapannya.
"Kok tiba-tiba sebut nama dia?" ucap gue kebingungan mendengar Tararam bisa dengan mudah menebak sosok yang lagi gue pikirin.
"Kalo soal Aksara, enggak usah khawatir."
Gue tidak begitu mendengarkan apa yang Tararam ucapkan dan gue juga enggak ngerti apa yang lagi dia bicarain. Karena gue yakin, dia belum tau apa yang Dewangga tau tentang Aksara.
"Emang khawatir kenapa?" tanya gue balik sama Tararam.
"Dia orang baik Lanang. Aksara bukan orang yang jahat dan punya banyak siasat buat nyakitin orang lain," jelas Tararam.
Sebenernya ada perasaan lega ketika gue denger Tararam ngomong kayak gitu. Tararam adalah sahabat gue yang paling jujur dan paling gue percaya karena dia enggak pernah melakukan hal buruk ke gue.
Tapi rasa ragu itu selalu muncul ketika gue liat Aksara deket sama Dewangga. Mereka terlihat seperti terikat pada semacam kompromi yang memberatkan Dewangga. Hal yang paling membuat gue curiga adalah kenyataan kalo gue, Aksara dan Dewangga berada pada SMP yang sama.
Pasti terjadi sesuatu ketika kami dulu berada di satu SMP yang sama. Kejadian yang gue lupain dan mereka enggak bisa lupain.
***