"Lo kenapa lagi sama Vanilla?"
Pertanyaan itu membuyarkan lamunan Dava sejak setengah jam yang lalu. Vino duduk di sofa ruang kerja Dava sembari memperhatikan tablet yang di pegangnya. Karena perusahaan mereka bekerja sama, jadi Vino sering numpang wifi di kantor Dava.
"Gue ngelamar Vanilla secara personal," ujar Dava memberitahu apa yang sedang mengganggu pikirannya sekarang.
"Bagus dong."
Dava menganggukkan kepala, namun masih ada sedikit keraguan dalam benak Dava. Apalagi ketika mengingat ekspresi Vanilla yang sama sekali tidak bahagia ketika ia meminta wanita itu untuk menikah dengannya.
"Vin," Dava menatap Vino dengan serius. "Lo yakin Vanilla masih punya perasaan yang sama ke gue?" tanya nya meminta pendapat.
"Lah, mana gue tahu. Memangnya gue cenayang bisa tahu isi pikiran dan perasaan dia gimana." Ucapnya sama sekali tidak membantu.
Dava menghela napas panjang. Sejak Dava menyatakan bahwa ia akan menikahi Vanilla, sejak saat itu pula pikirannya di ganggu dengan hal-hal yang tidak pernah Dava pikirkan sebelumnya. Sampai-sampai Dava mengkhawatirkan Ziko yang belakangan dekat dengan Vanilla. Dava takut jika ternyata Vanilla berpaling dan memiliki perasaan pada Ziko. Ditambah lagi dengan fakta bahwa mereka dekat sejak Vanilla sadar dari komanya.
"Tahun baruan di Bali yuk!" celetuk Vino tiba-tiba langsung membuat Dava menoleh dengan alis yang di kerutkan.
Vino menghela napas. "Si Sandra ngidamnya aneh-aneh. Masa pengen pakai bikini di kuta." Dava antara ingin tertawa namun sedang menjaga imagenya. Jadi ia hanya berdeham dan membungkam bibirnya serapat mungkin.
"Dari kemarin kepala gue sakit banget di omelin sama dia pakai bahasa mandarin. Eh pas gue balas pake bahasa jawa, dianya malah ngamuk."
"Memangnya lo balas gimana?" tanya Dava.
"Jancok koe."
"BHUAHAHAHA.."
Dava langsung melepaskan tawa yang sedari tadi ia coba tahan. Apalagi tampang polos Vino yang terlihat seperti tidak ada dosanya.
Melihat Dava yang tertawa, Vino menggaruk kepalanya. "Gue di ajarin Elang," ujarnya lagi.
"Bego amat sih lo!" Dava masih tak bisa menghilangkan tawanya yang semakin menjadi-jadi.
Vino kembali menghela napas dengan tampangnya yang lesu, tidak bersemangat. Tak lama kemudian terdengar suara rusuh dari luar ruang kerja Dava. Siapa lagi kalau bukan Elang yang sekarang memunculkan kepalanya dari balik pintu seraya tersenyum lebar seperti sedang mengikuti casting untuk pemilihan duta pasta gigi.
"Eh, ada Bang Nono..." cengirnya.
Melihat tampang Elang membangkitkan emosi Vino. Vino langsung melempar Elang dengan bantal sofa yang sedari tadi di pegangnya. Karena tidak kena, Elang menjulurkan lidahnya, membuat Vino mendengus kesal.
"So, kita jadikan ke Bali?" ujar Elang mendaratkan pantatnya di sebelah Vino.
"Kok lo tahu?"
Elang hanya menautkan kedua alisnya naik turun.
"Oh, jadi lo yang ngesahut Sandra?" ucap Vino seketika sadar. Di balas cengiran dan juga tangan yang membentuk simbol damai.
"Sorry guys, tapi gue banyak kerjaan." Dava menolak, otomatis mendapat tatapan tajam dari Elang dan Vino.
"Gak asik banget si lo, Dav!"
"Lagian Reza juga gak bisa kan?" ujar Dava lagi mencoba mencari pembelaan agar tidak di pojokkan.
Elang mengarahkan layar hpnya kearah Dava. Memperlihatkan Reza sedang berada di sebuah klub malam dan di keliling oleh bule-bule cantik. "Reza udah duluan nich," ucapnya langsung merubah wajah Dava menjadi pias.
"Yakin lo gak mau ikut?" Tanya Vino memperlihatkan chatnya bersama Sandra yang mengatakan bahwa Sandra akan mengajak Vanilla. Jika Vanilla menolak, Sandra akan memaksa. Percayalah, Sandra adalah orang yang pandai menghasut orang lain agar mau menuruti keinginannya.
Dava menarik napas. Ia langsung berpikir dua kali apakah harus ikut atau tetap menolak. Kerjaan Dava memang menupuk, namun ia butuh liburan untuk menyegarkan pikiran.
"Nih ya, Dav..." Elang memperbaiki posisi duduknya dengan terlihat begitu serius. "Kalau lo dan Vanilla ikut, otomatis kalian bakal punya waktu sendiri. Liburan bareng, menghabiskan waktu bersama. Dengan begitu lo bisa makin mesra sama Vanilla. Kalau kalian makin mesra, Vanilla pasti bakal makin terpikat sama lo. Kalau Vanilla semakin terpikat, berarti--"
"Vanilla semakin yakin untuk menikah sama lo." Vino melanjutkan kalimat Elang.
Elang menjentikkan jarinya, "Exactly."
Pikiran Dava dengan sendirinya memproses kalimat Elang dan Vino. Jika di pikir-pikir kedua temannya itu ada benarnya. Dari pada Dava hanya memikirkan hal-hal yang tidak penting, lebih baik ia menghabiskan waktu bersama Vanilla untuk saling mendekatkan diri satu sama lain. Lagi pula Vanilla butuh bantuan Dava agar ingatannya bisa pulih kembali. Jika ingatan Vanilla kembali, itu berarti kenangan mereka juga akan kembali di ingat oleh Vanilla.
"Oke," ucap Dava sudah menentukan keputusannya.
"Oke apa nih?"
"Gue ikut kalian ke Bali."
"YASH!" Elang dan Vino bersorak sembari bertos ria.
"Tapi bener ya Vanilla juga ikut?"
"Aman."
"Bali, i'm coming..."
******
Britney menyemburkan minumannya ketika ia mendengar ucapan Vanilla yang mengatakan bahwa Dava mengajaknya untuk serius. Itu bagaikan hal mustahil untuk di percaya oleh Britney. Britney tahu bagaimana sifat buruk Dava. Tidak mungkin Dava memutuskan pilihannya secepat ini.
"Hai, girls..." Vanessa menyapa dan mengambil tempat duduk di sebelah Vanilla yang berhadapan dengan Britney. "Serius banget, lagi pada omongin apa sih?" tanya nya penasaran.
Vanilla dan Britney saling bertatapan sebelum Vanilla menunjukkan cincin yang melingkar di jari manisnya. "Dava ngelamar Vanilla secara personal," ujar Britney. "Lo percaya gak sih? secara Dava kan cowok terplin plan yang pernah gue kenal."
"Serius?" tanya Vanessa pada Vanilla dengan ekspresi terkejutnya.
Vanilla hanya bisa menganggukkan kepala sembari meminum milkshake strawberry yang tadi di pesannya.
"Terus gimana sama orang yang di jodohin sama Dava?" tanya Vanessa lagi.
Mendengar pertanyaan tersebut, Vanilla mengangkat kedua bahunya. Tanda bahwa ia tidak tahu.
"Kayaknya kita harus kasih kenang-kenangan yang gak akan dia lupain seumur hidup." Britney mengembangkan senyum di salah satu sudut bibirnya. Menandakan bahwa wanita itu sedang merencanakan sesuatu di dalam otaknya.
Sementara Vanilla menarik napas dalam-dalam. Ia sedang tidak ingin berurusan dengan Soraya karena takut hilang kendali dan berakhir dengan mencelakai Soraya. Meski Vanilla memasukkan Soraya dalam daftar hitamnya, tetap saja Vanilla tidak ingin sampai terjadi apa-apa. Cukup ketika mereka berkelahi di kantor Dava.
"Gue gak mau ikut-ikutan," ucap Vanilla.
"Come on. Gue tahu lo pasti kesal banget sama dia. You have to do something yang bisa buat dia kapok dan dengan sendirinya pergi dari hidup Dava."
"I don't want anybody get hurt."
Britney langsung tertawa. "Berarti itu tandanya lo harus siap menyerahkan Dava untuk dia. Lo mau?" tanya Britney membuat Vanilla kembali berpikir.
"Nil, Soraya itu terobsesi sama Dava. Dia bakal ngelakuin apa aja supaya Dava jatuh ke pelukan dia. He's yours, Vanilla. Lo juga harus mempertahankan apa yang seharusnya jadi milik lo. Lo gak mau kan Revan take revenge karena lo terlalu baik sama orang lain, termasuk sama orang yang benci lo sekalipun." Vanessa mendukung pernyataan Britney mengenai Soraya.
Vanilla menghela napas, "Karena Revan, gue gak mau do something stupid. You know, he loves take revenge ke orang yang suka menyakit gue."
"Revan pasti setuju."
"Nope."
"Ya. We know him."
"Listen, apapun yang terjadi gue gak mau berurusan sama dia. Meski sekalipun dia gak bakal tinggal diam setelah dia tahu kalau Dava melamar gue secara personal."
"Think about it, Vanilla." Britney terus mendesak. "Bayangin ekspresi Soraya waktu dia ketakutan, waktu dia marah, dan waktu dia ngeliat lo mesra sama Dava. Lagian lo melakukan ini untuk mempertahankan apa yang seharusnya jadi milik lo kan?"
"Dan lo bilang lo akan berjuang untuk hubungan lo dan Dava."
Vanilla mengarahkan pandangannya pada Vanessa yang terlihat begitu mendukung kakak iparnya itu. Padahal Vanessa adalah saudara kembarnya. Seharusnya bisa mendukung Vanilla agar tidak bertindak di luar batas. Namun Vanessa malah ikut terhasut omongan setan Britney.
"Pokoknya gue tetap gak mau." Kata Vanilla final tidak bisa di ganggu gugat lagi.
"Vanilla, come on..."
Vanilla mengabaikan desakan Britney dan Vanessa. Ia membereskan buku sketsanya, lalu menghabiskan milkshakenya yang tersisa sedikit. "Gue harus pergi karena gue banyak kerjaan," pamitnya.
Segera Vanilla pergi dari hadapan kembaran dan kakak iparnya itu. Sebelum ia mendengar lebih banyak hasutan yang bisa membangkitkan sisi lain Vanilla. Sebenarnya Vanilla hampir setuju, namun ia mencoba untuk menahan diri. Ia tidak boleh bertindak bodoh. Kalau pun terpaksa, Vanilla harus memikirkannya matang-matang. Tidak asal mengambil tindakan yang mungkin akan berpengaruh pada pandangan orang terhadap dirinya.
******
Halo..
Apa kabar semuanya?
Sebelumnya aku pengen lihat seberapa antusias kalian dengan cerita ini.
Apa kalian setuju cerita ini di buku kan atau cukup di wattpad saja?
Kasih alasan kalian kenapa cerita ini harus di buku kan?
Apa kalian berminat jika cerita ini di buku kan untuk melengkapi trilogi yang mungkin sebelumnya sudah kalian punya?
Coba kasih komentar kalian sebanyak mungkin.
Jum'at, 19 Februari 2021