Livin with Caratto✅

By datieznph

2.9K 469 8K

Baca Bismillah dulu biar berkah! Welcome to Caratto Family🌹 Hanya sebuah cerita dari bangunan bertingkat dua... More

Prolog
1. Kamar 1- Garis-Davin(Garda)
1. Kamar 2 - Tasya-Habib(Tabib)
1. Kamar 3 -Sarra-Andre(Saran)
1. Kamar 4 - Nadya-Galang (Naga)
1. Kamar 5 - Adel-Ida(Ada)
1. Kamar 6 - Patia-Patima(Papa)
1. Kamar 7 - Wulan-Juni(Wuni)
1. Kamar 8 - Sanas-Fira(Safir)
1. Kamar 10 - Puspita-Lifia(Tali)
1. Kamar 11 - Dwi-Evelyn(Dev)
1. Kamar 12 - Risa-Maria(Samar)
1. Kamar 13 - Angel-Ria(Jeri)
2. Kamar 1. Garis-Davin(Garda)
2. Kamar 2. Tasa-Habib(Tabib)
2. Kamar 3. Sarra-Andre(Saran)
2. Kamar 4. Nadya-Galang (Naga)
2. Kamar 5. Adel-Ida (Ada)
2. Kamar 6. Patia-Patima(Papa)
2. Kamar 7. Wulan-Juni(Wuni)
2. Kamar 8. Sanaz-Fira (Safir)
2. Kamar 9. Nabila-Ufi(Nafi)
2. Kamar 10. Puspita-Lifia(Tali)
2. Kamar 11. Dwi-Evelyn(Dev)
2. Kamar 12. Elgina-Meilia(Name)
2. Kamar 13. Angel-Ria(Ari)
Epilog
Secretto Story (Reywon)

1. Kamar 9 - Nabila-Ufi(Nafi)

109 16 424
By datieznph

Baca doa dulu biar berkah!

💎💎💎

Gue natap datar anak-anak penghuni kost yang mengerumuni penjual siomay keliling. Hari ini entah kesambet apaan, Galang dengan senang hati menghamburkan uangnya untuk memberi kami makanan dessert ala kampung.

Positif thinking aja ya guys, mungkin si Galang dan Nadya udah gak tau mau menghabiskan uangnya dimana, makanya dengan senang hati mereka membelanjakan kami. Meski cuman sebatas siomay sih. Bersyukur woi, bisa makan gratis sepuasnya.

"Bang, Tasa lagi sakit. Gue boleh bungkusin gak?"

"Bungkusin sampe gerobaknya juga gue gak masalah Bib."

"Widih! Sombong banget nih bocah, OKB ya?" tau kan nih suara siapa? Orang yang suka nistain orang dahal sendirinya udah nista-able banget.

Galang terkekeh kecil, "Bang Dapin kalau mau bungkus buat makan malam juga gak apa-apa kok."

"Hahaha, lo yang nawarin kan ya. Gue mana bisa nolak."

Dih, diembat juga.

"Ayah ih malu-maluin,"

"Malu apaan sih Bun? Ayah kan gak maling."

"Iya, tapi—"

"Gak apa-apa bun, Galang yang tanggung kok." ucap Galang sembari mengeluarkan dompetnya dari saku celana.

"Berapa pak?"

"Aaaaaaaaaa! ABANG!"

Itu bukan suara bapak-bapak penjual siomay ya, itu suara Tasa yang lagi teriak. Iya, teriak sampai kedengeran jelas di area gerbang.

"Tasa!"

Semua orang berlari masuk ke area kost, lebih tepatnya kearah kamar nomor 2. Bahkan siomay Habib ditinggal begitu saja.

"Mbak?"

"Hm?"

Sebenarnya gue udah mau nyusul yang lain menuju kamar 2 tuh, tapi si bapak-bapak siomay menghentikan langkah gue. Dari tampang-tampangnya sih, gue udah tau apa maksudnya tapi ya, gue merinding.

"Totalnya 240.000 mbak."

Kan?

"Loh, bukannya udah dibayar sama laki-laki yang pake baju biru tadi pak?"

"Belum mbak, keburu lari tadi."

"Jadi maksud bapak, saya yang bayar gitu?"

"Lah, iya. Mbak kan yang tersisa disini. Jangan coba-coba kabur ya mbak. Rugi nanti saya,"

Tai.

Percuma kaya kalau lepas tanggung jawab. Ganteng doang, disuruh bayar siomay malah kabur.

Tolong sampaikan pesan dari kedalaman 2 meter untuk Galang dana.

💎💎💎

"Kenapa?"

Gue yang masih menenteng bungkusan siomay, membelah kerumunan penghuni kost yang kini memasang wajah lempeng. Why?

"Liat aja mbak,"

Gue menatap Tasa yang memeluk Habib dengan ketakutan sambil nangis. Napa lagi tuh anak? Rebecca jatuh lagi di got?

"Hiks,"

"Udah, ikhlasin ah. Nanti cari lagi,"

Ini beneran gak ada yang mau jelasin sama gue apa yang terjadi gitu? Gue masih gak paham kenapa tuh bocah nangis.

"Napa sih Bib?" gue nanya karena udah bosan natap mereka peluk-pelukan. Bukannya cemburu ya, cuman mau mengerti keadaan.

"Itu mbak, si Nana mati."

"Nana?"

"Belalangnya Tasa mbak," jawab Nadya

Belalang? Mati? Lah terus? Kan udah ajalnya. Elah, gitu aja ditangisin. Gue kira masalahnya besar kek Tasa tiba-tiba hilang nyawa gitu.

"Abang! Hiks, Tasa gak tega, Tasa udah rindu."

"Eh bocah! Belalang banyak tuh dilapangan depan komplek, nyari lagi sono. Nangis aja kerjaannya."

Tau kan siapa yang ngegas? Tau dong! Tasa langsung kicep dong, tangisannya juga berhenti mendadak setelah ditegur sama om Dapin.

"Tas?"

Tasa tidak menjawab panggilan Habib, tapi memeluk erat suaminya dan gue yakin dia nangis lagi tapi dalam diam.

"Ayah ih, udah sana masuk kamar. Suara ayah bikin takut anak orang aja. Sana!" usir Garis membuat Dapin mau tidak mau menuruti perkataan istrinya.

"Sabar ya Tas, turut berduka cita deh."

"Semoga Nana tenang di alam sana,"

"Tuhan lebih sayang Nana, jadi dipanggil duluan. Sabar ya,"

"Bakalan dapat Nana yang baru kok, tenang aja."

Bla, bla, bla. Semua orang mengucapkan turut berduka cita padahal yang mati cuman belalang astaga. Gue benar-benar pengen menghilang sekarang, gini banget ya hidup.

"Bib, emang belalangnya kenapa bisa mati?" Gue nanya setelah rombongan penghuni kost sudah membubarkan diri.

Habib menggaruk kepala sebentar, "Itu mbak, Tasa gak sengaja nyemprot pake baygon. Katanya Tasa mau nyemprot semut yang lewat depan Nana saat makan, tapi Nananya ikut kesemprot."

"Huwaaa, abang jangan ceritain.Tasa sedih!" teriak Tasa dengan tangisnya.

Gue diam dulu mencerna ucapan Habib baru deh ketawa sambil meringis mo nangis. Ya Allah, hidup gue kenapa gini? Hiks, perkara belalang doang. Ampun deh.

"Mbak sehat?"

Hiks, kagak! Gue stress!

"Turut berduka cita, semoga Nana diterima disisiNya," ucap gue dramatis sambil memberikan sebungkus siomay yang ditinggalkan Habib tadi.

"Makasih mbak,"

Gue ngangguk sambil berjalan linglung, Buna? Buna tolong anakmu ini. Tolong transfer keluar negeri juga. Rasa-rasanya udah gak sanggup menanggung banyaknya beban di dalam kost.

Gue yang baru saja menginjakkan kaki di lantai depan kamar berbalik cepat saat melihat Galang berjalan terburu-buru ke gerbang.

"Lang? Mau kemana?"

"Bayar siomay mbak, lupa tadi."

Oh baru diingat dong. Sayangnya telat.

"Eh? Bapaknya dah pergi?"

Hooh, bapaknya pergi setelah merampok isi dompet gue dan sekarang gue lagi stress mau bunuh orang. Gue cuman natap datar Galang yang masih berdiri depan gerbang.

"Alhamdulillah, mungkin bapaknya udah ikhlas. Dompet aman,"

Hahaha, Tai.

Ada yang punya golok gak?

💎💎💎

Hari senin tuh, ya hari senin.

Pagi hari dihari senin bakal disuguhi pemandangan orang yang lalu lalang, entah itu anak SMA yang naik turun tangga karena kelupaan barang bawaan dihari pertama sekolah atau anak kuliahan yang ngeborong jamu didepan kamar 1 buat mengisi tenaga dan bersiap berperang di kampus.

"Ta, yang biasa ya."

"Om Dapin mau berangkat kerja?"

"Kagak! Mau mulung! Pake nanya lagi nih bocah, buatin aja napa jamunya." seru Dapin sambil duduk mengikat tali sepatunya

"Sensi amat sih Om, lagi dapet ya?"

"Hooh! Dapet apesnya doang."

Rista menyodorkan segelas racikan jamu ke depan Dapin, "Bunda kenapa lagi? Lagi dapet? Terus di ceramahin?"

"Nah! Tuh Lo khatam."

"Gimana mau gak hafal kalau om selalu ngeluh masalah itu."

Gue yang emang sedang menyapu diteras depan kamar pun kini menyimpan sapu setelah selesai dibersihkan lalu menghampiri tukang jamu, si Rista.

"Minta Jamu daya tahan tubuh dong. Akhir-akhir ini gue agak stress jadi pola makan kadang gak teratur dan berakhirlah gue suka kelelahan tanpa sebab."

"Bentar ya mbak,"

"Woi, tukang jamu noh bukan tempat curhat."

Gue cuman melayangkan tatapan sinis, "Serah gue dong," jawab gue judes.

"Dibilangin juga, dosa lo ya sama gue."

"Dimana-mana lo yang dosa, lo masih golongan adek ya. Gue lahir lebih dulu."

"Dih lahir lebih dulu aja bangga."

"Waiya dong, rekor nih."

"Rekor tua tapi masih sendiri."

"Lo mau gue kick dari kost caratto? Atau kick dari kehidupan nyata? Pilih mana?"

"Pilih ciuman Garis."

Plak!

"ADOHHH!"

"Ngomong gak pake filter. Kalau anak penghuni lain dengar gimana?" gue suka Garis yang seperti ini. Menganiaya suami.

"Lah, biarin aja bun. Dah pada gede juga, yang iri tuh berarti jomblo."

Untung gue gak ngiri kan. Kan?

"Ini mbak jamunya,"

Gue ngambil lalu minum dikit demi dikit. Baru kali ini gue minum jamu di pagi hari, biasanya sore hari tuh.

"Eh, Sarra! Tumben pagi-pagi dah sendiri aja, Kak Andrenya mana nih?"

Buset dah, gue kesedak gegera cerocosan nih penjual jamu, genitnya jangan lupa.

"Mbak ngapain nyari suami saya?" balas Sarra dengan tatapan dingin.

"Selow, cuman mau cuci mata dipagi hari. Dah lama nih gak liat rambut basah."

Sarra yang menyiram tanaman mint depan kamarnya pun mencibir, "Cuci mata tuh di Wc, sekalian rambutnya di cuci biar tau rambut basah tuh kek gimana. Punya mata gak dijaga," Sarra lalu kembali memasuki kamarnya setelah berbicara demikian.

Ouch savage!

"Santai dong, julit bener. Pms ya?"

"Sttt! Keadaan lagi gak baik Ta, Sarra gak bisa dibercandain dulu." ucap gue menengahi sebelum terjadi keributan lagi di area kost.

"Oh gitu," gue ngangguk kecil "Tapi gue gak lagi bercanda mbak, gue pengen cuci mata dengan keseksian Andre dan rambut basahnya."

Setan!

"Eh, emang Andre kemana? Masih diluar kabupaten? Biasanya kan pagi-pagi gini udah ada tuh kalimat, 'Kak Andre hati-hati ya dijalan—' gitu, lengkap dengan pipi yang di ulek-ulek kek adonan bakso." kelakuan om Dapin.

Hah?

"Yah, udah sana berangkat ih. Nanti telat, gak usah ikutan gossip. Tugas ayah tuh cuman kerja, gossip tugas Istri."

Gue mengangguk membenarkan. Dia kan laki-laki ya, tapi tingkat kekepoannya tuh udah kek Ibu-Ibu pejabat yang haus akan gosip terpanas.

"Ya udah Wi, lo kan belum jadi istri jadi lo gak boleh ikutan gossip," dih, dih konsep dari mana tuh?

"Lah, lu mungut konsep dari mana tuh?"

"Dipasar ikan! Benar kan?"

"Benar lo bisulan. Salah, dugong!"

"Di ngegas, jomblo."

"AYAH! Sana kerja!"

Rasain tuh, mampus!

"Tiwi kalau mau ikutan gosip bisa jadi istri gue dulu gak apa-apa kok. Tapi sehari doang, atau pas mau lagi gosip aja, mau kagak?"

Mulut Iblis!

"AYAH MAU DITAMPAR PAKAI SURAT CERAI?"

Nah kan pawangnya ngamuk.

"Canda bunda," lah ngacir dia.

"Ck,ck. Eh, om Dapin bayar dulu jamunya." Rista teriak soalnya tuh om-om main ngacir aja sebelum bayar, kek si Galang kemarin. Belum ikhlas gue.

"Istri gue yang bayar!" balas Dapin.

"Bunda awet banget ya sama suaminya." sindir Rista.

"Iya, soalnya mahar nikahannya tuh boraks 10 kg + formalin juga biar awet."

"Mbak Tiwi mah, bercandanya jelek ih."

Selekedep

"Mbak, Sanaz boleh ngomong bentar?"

Gue kaget pas si Sanas datang dengan menenteng laptop dan beberapa buku tebal khas anak kuliahan.

"Ya udah ngomong aja,"

"Berdua,"

Gue natap lamat nih anak, oh iya. Mungkin mau bayar kost kali ya?

"Mbak jangan lupa bayar,"

Gue natap datar Rista lalu merogoh saku tuk ngambil uang dan membayar ke tukang jamu. Mohon maap ya gue orang yang bertanggung jawab, gak kayak itu tuh. Sok-sok an traktir tapi lupa bayar.

Gue ngikut Sanas yang berjalan ke aula depan. Disana kita duduk berdampingan, gue diam aja nungguin dia yang ngomong duluan.

"Mbak,"

"Hm?"

"Fira gak datang pagi ini, Sanas telfon tapi gak aktif. Mungkin ada yang mendesak dirumahnya. Sanas bayar kost nya bisa besok gak? Rencana hari ini mau pulang ke rumah minjam uang ke mami."

Gue menghembuskan nafas gusar, bukannya gak percaya sama mereka tapi ini udah lewat loh. Baru kali ini gue biarin ada yang nunggak karena kirain mereka kesulitan atau mungkin rencana mau bayar sekaligus, eh tau-taunya ada udang dibalik batu. Gue jadi suudzon sama Fira kan.

"Janji ya besok! Mumpung gue lagi baik nih, tapi kalau besok tetap gak bayar. Siap-siap aja angkat kaki dari sini."

"Eh, jangan dong mbak, janji kok besok bayar. Hehehe."

"Gak usah nyengir! Muka lo kek kuda lagi bunting."

"Cantik ya mbak?"

Heh?

💎💎💎

Nabila Cesario

Jika kata menyesal bisa mengubah segalanya, mungkin gue akan mengucapkan satu kata itu setiap hari untuk memperbaiki kehidupan gue. Terlahir dari keluarga tak mampu dan harus menjadi tulang punggung keluarga disaat umur mulai memasuki masa-masa menyenangkan benar-benar membuat gue kadang menyalahkan semesta alam yang tak pernah berlaku adil sama gue.

Pernah berfikir kritis, kenapa gue terlahir kedunia? Kenapa gue hidup sebagai orang yang tidak mampu? Lalu kenapa gue yang harus menanggung semua beban keluarga? Kenapa? Mencoba mencari jawaban dalam kesendirian hanya menambah beban pikiran.

"Nabil gak mau ikut ke kantin?"

"Nabil, jalan-jalan ke mall yuk."

"Nongkrong di Cafe yuk, jajan."

Bla, bla. Ketika pertanyaan demi pertanyaan itu dilontarkan. Entah kenapa hati gue ikut sakit, bahkan senyuman miris selalu terukir di wajah gue. Jawaban dengan kata 'Duluan aja,' adalah jawaban yang menurut gue benar-benar menggambarkan bahwa gue anak yang gak pernah ada dilevel itu. Pernah ingin merasakan surga para remaja, bebas kemana saja dengan uang yang cukup bahkan lebih dalam kantong tapi sebelum bermimpi terlalu tinggi, alam semesta selalu menjatuhkan dan menarik kesadaran bahwa gue, gue gak pantas mendapatkan hal itu.

Ting!

'Trx Rek.50xxxxxxxxxxxxxxx :  PENARIKAN TUNAI ATM Rp. 150.000 25/01/21 15:41:01'

Gue menghela nafas disaat mata gue melihat pesan yang selalu membuat otak gue frustasi. Pesan yang paling gue benci tapi gak bisa gue lawan.

Drtt...Drtt...

[Halo? Ibu lupa bayar listrik. Maaf narik uang kamu lagi, gak apa-apa kan? Nanti Ibu gan—]

"Gak apa-apa bu, Ibu ambil aja sesuai kebutuhan Ibu. Jangan merasa bersalah, Nabil baik-baik saja disini."

[Tetap sehat ya nak, terima kasih.]

"Hm,"

Tidak apa-apa? Gue pintar banget ya berbohong. Gue pengen banget berteriak di depan Ibu kalau gue kenapa-kenapa setiap dia narik uang direkening gue. Gue pengen teriak kalau leher gue tercekat karena uang yang di rekening bukannya bertambah tapi malah berkurang. Ingin rasanya berteriak pada alam semesta kalau gue GAK BAIK-BAIK AJA.

Gue juga pengen seperti anak-anak lain. Mereka setiap hari yang pusing memilih pakaian untuk dipakai ke kampus, mereka yang setiap hari pusing memilih makanan enak, mereka yang setiap hari pusing memikirkan akan berlibur kemana di akhir pekan. Gue pengen! Gue bosan terus memikirkan besok gue kerja apa biar bisa dapat penghasilan tambahan, memikirkan gue besok makan apa, dan memikirkan bagaimana cara menghemat uang untuk membayar tempat tinggal dan biaya kuliah.

"Hh, berapa lama lagi lo mau berdiri disitu? Tolong hargai waktu, gak liat antrian dibelakang masih panjang?"

"Ah, bentar! Gue lupa mau minjam kamus psikolog, mbak ada rekomendasi gak?"

"Lo tinggal berjalan ke rak angka 6. Buku tentang psikolog ada di rak bagian atas sebelah kiri."

"Thanks, mbak."

Gue gak ngangguk atau menanggapi. Tatapan gue setiap harinya datar atau lempeng-lempeng aja, gak ada sesi senyum-senyum atau ngobrol asyik. Menjadi penjaga perpustakaan kampus ada suka dan dukanya sih. Sukanya tentu saja karena gue dapat duit dan bebas minjam buku berapapun gue mau tanpa ada batas. Dukanya karena gue harus kerja keras dan lagi, ada seseorang yang selalu ganggu aktifitas gue belakangan ini. Keberadaannya kek hama, mengganggu. Hebatnya lagi, dia seorang junior.

"Nabil mau ke kantin gak? Gue traktir."

"Lain kali aja kak, makasih."

Satu lagi, kalau bicara sama kakak tingkat sih kudu senyum dan sopan. Karena bisa jadi gue nanti butuh bantuan mereka kan, meski gue agak risih karena bisa peka apa yang mereka mau dari gue.

Ting!

'Kak Nabil pulang jam berapa? Ufi pinjamin kunci pagar sama mbak Tiwi ya? Takut kemalaman lagi.'

Gue cuman senyum baca chat an Ufi, dia teman kamar gue. Dulunya sih kami lumayan canggung, tapi kepolosannya buat gue agak nyaman. Padahal kalau di kampus, lo bisa bayangin gue gak ada teman satu pun. Karena pandangan gue terhadap teman tetap sama seperti dulu, teman=uang. Gak ada uang, gak ada teman.

"Habis ini, mbak mau kemana?"

Lagi? Pertanyaan yang sama setiap hari.

"Hh, gak usah basa-basi. Mending lo nanya nomer telfon gue terus pergi dari sini. Gue risih." mending jujur kan? Gue bukan tipe orang yang munafik, diam-diam diluar tapi membenci didalam.

"Ma-maksud mbak?"

Gue stempel semua buku yang dia ingin pinjam lalu mencatat tanggal kembali dan menyodorkannya, "Lo sama aja kan sama yang lain? Kesini mau minta nomor terus pdkt? Ya udah minta aja, tapi gue bukan orang yang pandai membalas pesan." jawab gue lalu kembali sibuk mencatat ulang nama dan tanggal kembali si peminjam dibuku pinjam perpus.

"Hh, ternyata gue salah. Kirain mbak orang yang ramah, ternyata—"

"Kalau sudah tau, ngapain masih disini? Jangan melihat orang dari penampilannya saja. Kadang lo bisa buta karena penampilan dan sikap dua arah yang sangat berbeda."

"Mbak selalu merespon seperti ini? Gue cuman pengen jadi teman mbak. Karena gue fikir kita cocok bertukar fikiran, ternyata gak ya? Maaf salah orang,"

Gue sedikit terguncang dengan nada suaranya, tapi hanya sedikit. Setelah dia berlalu, gue malah bodo amat. Mungkin banyak dari mereka yang sudah gue sakiti tanpa sengaja, tapi tanpa mereka sadari gue juga tersakiti karena terus merasa bersalah. Bersalah karena keadaan gue yang benar-benar tidak bisa di toleran.

Gue natap nama yang sudah gue tulis empat kali di buku peminjam. 'Akbar Alamsyah' dia junior yang akhir-akhir ini mengganggu gue dan orang yang baru saja gue paksa mundur sebelum melangkah. Meski tatapan matanya sempat membuat gue agak berfikir, tapi gue akan tepis dengan tegas. Dia akan berlalu seperti sebelum-sebelumnya, iya! Dia mendekat karena hanya penasaran. Fokus Nabil.

Drt...Drtt....

"Halo pak?"

[Halo Nabil, bisa tolong gantiin saya mengajar di kelas 1F prodi Agribisnis pertanian pada jam 8 malam nanti? Saya sudah menyiapkan materinya, kamu tinggal baca dan sampaikan. Juga sudah saya selipkan tugas di slide terakhir. Tolong ya,]

"Siap pak!"

[Oh iya, sepertinya saya akan menghabiskan waktu 5 hari di malaysia. Tolong tugasnya dikumpul 2 hari setelahnya dan diperiksa sekalian ya,]

"Baik pak."

Iya, gitu aja. Selalu seperti itu. Menjadi asisten dosen harus siap siaga dan tenaga. Harus ekstra sabar melayani permintaan dosen. Meski seperti itu, gue harus tetap menjalaninya sepenuh hati karena ini ada balasannya kok. Lumayan bisa nyicil laptop buat persiapan skripsi nanti.

'Gue keknya pulang telat deh Fi, soalnya tiba-tiba ada kerjaan dari dosen. Kalau gak kuat nunggu, kunci pagarnya selipin aja di ujung tembok pembatas pagar.'

Gue ngirim pesan ke Ufi, takutnya tuh anak nungguin padahal gue bakal lembur di kampus. Dulu waktu keadaan seperti ini terjadi, gue gak ngirim pesan apapun sampai-sampai tuh anak nungguin di aula depan hingga jam 11 malam, dengan mata mengantuk pastinya. Dia bego atau polos sih? Emang apa istimewanya gue yang cuman teman kamar?

Habis mengajar di kelas junior, gue buru-buru pulang saat jarum jam pendek di pergelangan tangan gue menunjuk angka 10. Udah larut banget tapi jalanan masih ramai.

"Mbak!"

Atensi gue yang semula natap jalanan kini teralih kearah tubuh seseorang yang entah sejak kapan sudah berdiri disamping gue.

"Hm?"

Gue heran, nih anak kenapa lagi sih? Apa kurang tegas ya tadi gue nolaknya?

"Tugas yang mbak berikan tadi, kumpul lewat mana?"

"Bukannya udah gue bilang ya tadi? Kumpul sama gue atau bisa kirim lewat email kalau sibuk,"

Gue heran sama nih anak, tadi diperpustakaan minjem kamus psikolog, eh tau-taunya ikut kelas Agribisnis pertanian juga tadi. Jadi nih anak jurusan apa?

"Kalau kumpul sama mbak, ketemunya dimana?"

Dih apaan ketemu? Lagi, kenapa harus manggil mbak-mbak sih? Kesannya tuh gue tuaaaa banget tau gak.

"Lo juga tau kalau gue sering nongkrong di perpus. Gak usah basa-basi, kalau lo ada perlu bilang aja langsung ke inti. Gue gak suka bertele-tele."

"Basa-basi? Gue seriusan nanya karena setau gue, perpus bukan tempat buat kumpul tugas. Ternyata mbaknya suka suudzon, geer banget gitu."

"Geer? Tolong ya, gue manusia peka. Ada gitu orang minjam kamus psikolog di perpus tapi jurusannya pertanian? Ketara banget tau gak modusnya."

Gue geram dong, gue sering diginiin kalau abis nolak cowok. Dulunya yang mau pdkt malah ngehina-hina karena ditolak.

"Modus? Kamus psikolog? Gue minjam bukan untuk modus, tapi untuk adek gue yang bentar lagi masuk kuliah dan ngambil  jurusan psikologi. Ingat ya mbak, gak semua cowok tuh sama. Coba sekali-kali buka mata, jangan jadi orang yang tau semua tanpa meneliti kebenarannya. Duluan ya mbak, makasih jawabannya."

Eh?

Jadi gue salah?

Selama ini gue yang kegeeran dong?

Duh, Nabilaaa! Lo malu-maluin banget.

Drt...Drtt....

"Halo Fi?"

[Halo kak! Jam berapa pulangnya?]

"Ini udah dijalan,"

[Oh, ok. Ufi tunggu ya. Eh, lilinnya?...Stt..matiin...,]

Gue heran pas sambungan telfon dimatikan begitu saja oleh Ufi, apa tadi katanya? Lilin? Apa mati lampu lagi di kost? Apa gue kudu beli lilin? Persiapan gitu. Keknya Ufi tadi minta dibeliin lilin kali ya?

💎💎💎

"HAPPY BIRTHDAY!"

"Happy birthday to you," 3x

"Selamat ulang tahun Nabil."

"Cie yang ulang tahun, bertambah tua."

Gue beneran, ASLI! Kaget banget pas baru buka gerbang, udah disambut meriah oleh penghuni kost lain dengan nyanyian Happy birthday dan jangan lupa dengan kuenya.

Gue lupa!

Gue emang ulang tahun hari ini. Gue paginya sih ingat, tapi karena sibuk dikampus malah jadi lupa. Tapi kadang emang sengaja gue lupain, karena seumur-umur gue belum pernah rayain hari kelahiran gue itu. Jadi menurut gue, percuma diingat karena harinya sama dengan yang lain. Tidak istimewa.

"Lah, bengong! Make a wish dan tiup lilin dong."

Gue disodorin kue sama Ufi dan Patia yang disampingnya nyengir pakai topi khas pesta ultah gitu,yang kerucut. Penghuni lain kek tepuk-tepuk tangan bersorak biar gue cepetin doa dan tiup lilinnya.

Terharu banget gue, kek gak nyangka aja gitu gue bisa dapat kejutan seperti ini. Gue mau nangis tapi gak tau kenapa air mata gue gak mau keluar.

"Eh, ke aula yuk. Masa berdiri didepan gerbang. Kita pesta diaula aja," om Dapin mengawal semua yang hadir ke aula depan.

"Selamat bertambah umur Nabil," bisik mbak pemilik kost sebelum kami semua beranjak dari depan pagar menuju aula. Gue cuman senyum menanggapi.

"Nabil lo lagi puasa bicara apa gimana? Lo kan ultah nih, gak ada gitu ucapan terima kasih karena kita udah ngerayain?"

Bukan gitu, pengen banget gue ngejelasin tentang pertanyaan Ria barusan. Tapi lidah gue mendadak kelu, gak tau kenapa. Mungkin masih syok atau gimana.

"Udah, udah! Makan-makan yuk, mungkin Nabil masih syok karena kita ngeroyok didepan gerbang tadi." itu suara Dwi yang lagi ngunyah martabak manis aka terang bulan.

"Ma-Makasih untuk kejutannya. Gue benar-benar gak nyangka. Gak tau mau ngomong apa selain terima kasih."

Yaaa, gue keliatan banget ya gugupnya? Tapi asli sih, gue gak pernah ngerasain kayak begini sebelumnya. Jadi begini rasanya ngerayain ulang tahun? Seru ya, meski gue masih agak canggung.

"Hadiah dari gue,"

Hadiah pertama dari mbak Nadya, padahal gue gak pernah berharap nerima hadiah di hari ulang tahun. Gue benar-benar bersyukur.

"Hadiah gue, doa aja ya." Itu mbak Jeje yang bilang.

"Nih, dari Adel."

Gue nerima 1 ball chiki biji bunga matahari aka kuaci. Keren sih. Iya, bersyukur kok. Mana gak dibungkus.

"Gue sama bini gue nitip Aamiin aja pas lo doa, anggap hadiah spesial."

Tau kan siapa yang bilang?

"Gue kasih hadiah perizinan acara malam di aula depan. Hadiah yang tidak ada duanya."

Iya mbak kost, terima kasih.

Semua orang ngucapin selamat dan beri hadiah dengan berbagai macam bentuk. Gak bisa gue sebutin satu-satu, tapi yang paling spesial tuh,

"Hadiah untuk teman! Happy birthday bro,"

Teman ya? Gue ngadu pas kotak hadiah yang dia berikan ditimpukin ke kepala gue. Gak punya adab emang, mana si pelaku nyengir-nyengir kek gak berdosa.

"Widih, keknya hadiahnya spesial nih. Buka Bil, gue kepo." Ria napa dah, kepoan banget.

"Cuman payung doang, biar lo gak kebasahan lagi kalau jalan pulang."

"Yah, gak seru mah, lo spill duluan."

Gue belum buka kadonya karena si pemberi kado udah nyebut duluan isi kadonya, bahkan Ria berseru kecewa karena udah diberi tau isinya apaan.

"Terima kasih kadonya," cuman itu yang bisa gue ucapin.

"Santai Bil, lo kalau butuh apa-apa di kampus jangan sembunyi napa. Bilang ke gue, biar gue bantu. Lo kek gak nganggap gue sebagai teman deh jadinya."

Teman lagi, gue benci dengar kata itu. Apa gak bisa lebih?

"Lo lagi ngardus? Bisa ae lo ngardus pas ada Istri." sautan dari om Dapin membuat hati gue tertawa miris. Ya, dia udah punya istri dan gue masih naruh harap lebih dari teman? Otak lo mana sih Bil?

"Dih, ini tuh bentuk perhatian sebagai teman bang. Kita kan sekampus, iya gak Bil?"

Demi apa rambut gue yang diacak-acak tapi hati gue yang berantakan. Kalau gini, kesannya tuh gue dikasih harapan. Gak enak banget.

"Gue ngeri bayangin Nabil yang dari tadi diam mulu, gabung sini Bil. Makan-makan, pizza noh masih anget baru di order Galang." seru mbak Wulan yang juga sedang menikmati makanan yang disajikan.

Gue cuman ngangguk kecil dan berjalan melewati oknum meresahkan pembuat hati berantakan itu.

"Tasa mau digituin juga dong bang, hehehe."

Gue cuman senyum pas ngeliat Tasa dengan manja meminta hal yang dilakukan sama gue tadi kepada suaminya, Habib.

Ting!

'Selamat ulang tahun calon adek ipar! Besok kita ketemuan ya, gue mau ngasih hadiah. Happy birthday sekali lagi,

From calon kakak ipar,
Peby.'

Gue tau gue berdosa karena menyukai suami orang, tapi ini bukan salah gue juga. Karena gue kenal dia tuh pas masa ospek yang dimana gue gak tau kalau dia udah nikah. Gue sebenarnya mau menyerah karena mau bagaimanapun, kita akan tetap menjadi teman. Tapi, sepertinya masih ada jalur yang terbuka untuk gue agar bisa merasakan cinta yang terbalas. Calon kakak ipar?

Ini salah gue.

Seharusnya pas dia ngasih payung, gue tuh harusnya nolak, bukannya malah nerima.

Seharusnya pas dia lagi bercanda, gue tuh harusnya ketawa, bukan malah jatuh cinta.

Cinta = rumit

💎💎💎

Awal masuk kampus

"Lo anak baru juga?"

"Iya,"

"Oh, kenalin gue Habib."

"Nabila,"

"Btw, lo gak bawa payung?"

"Gak,"

"Oh ya udah, nih payung buat lo. Dari gue, ikhlas kok."

"Gak usah,"

"Ambil aja, cewek cantik gak boleh pulang basah. Jaga diri ya, gue duluan bye."

.....

"Loh? Nabil?"

"Payungnya,"

"Lo nungguin gue ya? Astaga, gue kan udah bilang ikhlasin nih payung buat lo."

"Gak suka ngutang, Makasih ya."

"Sans, mau pulang bareng gak?"

"Eh, itu—"

"ABANG!"

"Eh, Tasa. Udah selesai kuliahnya?"

"Udah dong, yuk pulang."

"Eh, kenalan dulu sama Nabil. Nabila ini Tasa, Istri gue."

Istri?

💎💎💎

Jangan lupa like, komen and share

Masukkan ke perpustakaan untuk mendapatkan notif disetiap updatenya

#datiez

Gowa, 08-02-2021

Continue Reading

You'll Also Like

16M 772K 68
Bagaimana jika gadis bar-bar yang tak tau aturan dinikahkan diam-diam oleh keluarganya? ... Cerita ini berlatar belakang tentang persahabatan dan per...
536K 47.3K 51
Hidupnya terasa berubah dalam semalam. Ishvara terbangun dari tidurnya dan mendapati dirinya tengah berada di tubuh Ishvara Berenice. Yaitu tokoh uta...
MARITARE By Rosesseries

General Fiction

4.5M 95.8K 27
Alex, CEO berusia 31 tahun, tiba-tiba dijodohkan oleh sang kakek dengan Rosana, seorang pelajar dengan latar belakang yang berbeda jauh darinya. . ...
1.1M 49.8K 47
(BUDAYAKAN FOLLOW SEBELUM MEMBACA) Warning! Mengandung unsur kata kasar! Harap bijak dalam memilih bacaan! Suatu hal yang paling buruk bagi Atlantik...