"Jika bertemu denganmu adalah sebuah dosa, maka biarlah aku disebut pendosa"
***
TRENG ... TRENG
Bel sekolah sudah berbunyi. Murid-murid berlarian tak karuan. Ini adalah hari Jum'at, hari paling cerah dari seluruh hari ketika bersekolah. Gue, Lanang Laraspanjang, disuruh Bu Rita, guru Bahasa Inggris gue buat bawain buku-buku murid yang baru selesai dinilai minggu kemarin.
Bu Rita ada didepan gue, berjalan dengan lenggak-lenggok nya yang selalu membuat para guru laki-laki di ruangan Tata Usaha melirikkan mata untuk sesaat dan menikmati keindahan yang Tuhan ciptakan melalui Bu Rita.
Ngomong-ngomong, Bu Rita itu janda. Makanya, pas tau dia jadi wali kelas gue, banyak guru-guru yang coba kepo sama Bu Rita. Soalnya Bu Rita adalah wali kelas yang paling baik dan sudah seperti ibu kami sendiri di sekolah. Bahkan di kelas, kami memanggilnya Mama Rita. Supaya kedekatan kami bisa terjalin dengan baik, begitu yang diucapkan Mama Rita pada kami--- eh maksud gue Bu Rita.
Tibalah gue di ruang guru yang memiliki aroma khas. Aroma bapak dan ibu guru yang biasa dihafal oleh semua anak-anak sekolah agar tau kapan kedatangan dan kepergian guru-guru tertentu. Bahkan, di kelas gue ada satu orang murid yang tau dan hafal warna, plat, jenis, dan jenis ban mobil dari salah satu guru killer dikelas kita, temen gue itu namanya Atno alias Ngatno.
Dia salah satu karib gue, karena wajah kami gak terlalu berbeda jauh.
***
Sembari menunggu Bu Rita, mata gue berkeliling memandangi ruangan guru yang cukup luas. Gue memberikan senyum kecil kesetiap guru yang kebetulan memandangi gue balik. Sebagian guru ngerasa gue aneh, tapi gapapa.
Lalu kemudian, ada sosok yang gak asing masuk dan menghampiri meja Bu Rita. Seorang perempuan dengan rambut sedahi dan bulu mata yang indah.
Aksara.
"Manggil saya?" ucap Aksara tiba-tiba.
Gue yang kaget dan seneng liat Aksara sedeket ini, dengan hanya terpisah oleh meja Bu Rita enggak bisa nyembunyiin rasa seneng gue.
"Engga, Lanang gak manggil Aksa" bibir gue dengan sendirinya menjawab dengan mimik wajah mesum yang membuat Aksara terlihat risih sama sikap gue.
"Saya ngomong sama Bu Rita" ucap Aksara pelan dengan mata yang mengisyaratkan rasa mual melihat mimik gue yang absurd.
"Fokus Lanang, makanya kamu harus rajin cuci muka kata Ibu juga" Bu Rita menimpali keadaan canggung yang terjadi antara gue dan Aksara.
"Apa hubungannya sama cuci muka Bu?" gue mencoba memahami maksud perkataan wali kelas kesayangan kami semua ini.
"Supaya kamu tampan nak" jawab Bu Rita sembari tersenyum dengan mata melirik ke arah Aksara yang terdiam.
Aksara sedikit tersipu.
"Ini, tolong bantu Lanang bawa buku ini ke kelas, Ibu harus keluar dulu sebentar, nanti kamu tulis tugas yang Ibu udah catetin disini ya Aksa" ucap Bu Rita sembari menunjukkan tugas-tugas yang mesti Aksara tuliskan.
Meskipun pendiam, Aksara adalah seorang sekertaris dikelas gue. Dia adalah perantara antara guru dan kami, murid-murid yang dipenuhi rasa malas. Aksara tidak pernah banyak membicarakan dirinya sendiri, dia hanya menyukai satu hal.
Matematika.
Selain seneng sama Matematika, Aksara juga punya tulisan yang rapi dan bagus. Thats why dia jadi sekertaris kelas. Ditunjuk langsung oleh teman satu-satunya di kelas, Mataram, alias Tara, ketua kelas di kelas gue.
"Baik bu, cuma ini aja tugasnya Bu?" tanya Aksara sembari merangkul beberapa buku di tangannya.
"Iya segitu aja. Kamu kok kayak nantangin Ibu gitu" jawab Bu Rita sembari tersenyum.
Aksara tersipu.
"Sudah, masuk kelas sana. Jangan ribut dan kerjakan tugasnya dengan benar ya" ucap Bu Rita.
"Baik Bu" jawab gue yang berbarengan dengan Aksara.
Gue mandang Aksara, dia pun mandang gue.
DEG DEG!
Aksara pun berjalan lebih dulu meninggalkan gue di belakangnya. Gue hanya bisa ngeliat punggung kecilnya dari belakang. Dari belakang, kepala Aksara terlihat agak menunduk, membuat gue khawatir. Takutnya, buku yang dia bawa terlalu banyak dan berat.
Gue mempercepat langkah kaki gue, mencoba mencari tahu apa Aksara baik-baik aja.
"Aksara!" ucap gue agak keras hingga membuat Aksara berhenti berjalan.
"Aduh gue kekencengan manggilnya nih" gumam gue dalam hati.
Aksara hanya berdiam, tak membalikkan badannya sama sekali.
Lalu, gue berjalan menuju ke arah wajahnya.
Ternyata, dia menahan buku yang ia bawa dengan dagunya. Membuat gue makin jatuh hati sama perempuan ini.
"LUCU BANGET SIH CALON PACAR GUE!"
Jika ada satu kata yang bisa mewakilkan perasaan gue ketika liat pose Aksara nahan buku, kata tu adalah huru-hara.
"Kamu kesusahan ya?" ucap gue mencoba mengasihani Aksara.
Aksara hanya memandangi wajah gue dengan kerutan yang kalau di artikan "Menurut lo?!"
"Enggak sih, cuma ini terlalu banyak aja" jawab Aksara dengan suara datarnya.
"Iya itu namanya kamu kesusahan" jawab gue menjelaskan.
Lalu mata Aksara memandangi gue. Cukup lama, sampai gue akhirnya sadar, dia minta nunggu gue ambil buku yang kebanyakan itu dari dia.
"Yaudah sini, Lanang ambil sebagian"
Aksara masih mencoba menahan buku itu, menunjukkan jika ia sungkan untuk dibantu sama gue.
"Udah sini sama Lanang aja, kamu bawa yang tadi Bu Rita suruh ditulisin" gue mencoba menjadi lelaki jantan.
Aksara merendahkan dirinya-- eh maksud gue, dia tiba-tiba jongkok perlahan. Meletakkan bukunya di ubin yang terlihat baru di pel dan sangat wangi.
"Lanang, jongkok" ucap Aksara.
"Wah apaan nih disuruh jongkok? Mau jongbar sama gue nih Aksara?" gumam gue dalam hati.
"Lanang cepet jongkok!" titah Aksara agak lantang.
"Kenapa? Kamu mau liatin Lanang sambil jongkok?" ucap gue.
Gue pun perlahan mulai jongkok. Pelan-pelan, supaya buku yang sedang gue pegang enggak jatoh.
KLEK!
Tiba-tiba pegangan gue semakin berat. Tangan gue terasa makin berat, dan pandangan gue semakin terhalang sama buku yang bertambah tinggi dan banyak.
"Tolong ya"
Cuma suara yang gue denger dan wajahnya gak terlihat karena terhalang sama buku yang makin banyak. Ternyata Aksara hanya menambah beban gue aja lalu pergi secepat kilat.
***
"Nang, kantin yuk!" Ngatno mencoba membangunkan gue dari tidur siang yang indah.
"Berisik amat, gue baru mau tidur nih"
"Elah ni bocah, kalo mau molor ya di rumah. Ini udah jam istirahat, kantin ayok!" Ngatno semakin menyebalkan karena udah mulai narik-narik tangan gue.
"Apaan si tarik-tarik, bukan muhrim"
"Idih siapa juga yang mau sama elo, najis! Cepet ah kantin yuk!" Ngatno semakin memaksa.
"Shhh-- emang ada apaan di kantin sih?"
"Ada makanan lah bego, sama ada--"
"Apa?"
"Ada Mataram" ucap Ngatno terkekeh.
"Lo udah ditolak tujuh kali dalam dua bulan masih aja ngarep sama itu cewek"
"Udah ayok cepet ke kantin!" Ngatno semakin berisik.
Gue pun dengan susah payah bangkit dari tidur siang gue dan nemenin Ngatno menjalankan kesehariaannya.
Nembak Mataram.
***
Di kantin, di meja paling pojok dengan indomie ayam bawang yang sedang kami lahap. Ngatno dan gue selalu berdiskusi disini.
"Kenapa ya Nang, aku itu gabisa luluhin hati ketua kelas kita? Padahal aku kan orang paling berbudaya di kelas kita" ucap Ngatno dengan aksen medok khas Jawa Timurnya.
"Wis pasti karena kamu kucel cuk"
"Aih, kalo ada nilai untuk wajah setiap orang, wajah kau itu sudah kena remidial berkali-kali. Tak memenuhi nilai standar" ledek Ngatno dengan logat Jawa Timurnya yang selalu membuat gue seneng berbicara sama dia.
"Mending gue lah daripada elu. Wajah gue masih menjual bro" gue gamau kalah pamor sama Ngatno.
"Alah-- pacar aja gapunya" ucap Ngatno sambil tertawa dengan nada sindiran yang selalu membuat gue tersenyum.
"Tuhan itu selalu punya cara buat mempertemukan pasangan dengan pasangannya sendiri. Jadi sing tenang bae lah Ngatno"
"Ngerti kalo soal itu, cuman akutuh pengennya sama Ncik Mataram" ucap Ngatno sembari malu-malu.
"Ngomongin gue?"
Tiba-tiba suara yang tidak asing terdengar dari samping tempat duduk gue.
"Ehhh Ncik Mataram" ucap Ngatno.
"Najis, apaan sih elo manggil gua Ncik. Najis tau ga" jawab Mataram Rindu Sembahyang.
"Kamu gatau kenapa aku manggil kamu Encik Mataram?" tanya Atno pada Mataram yang sedang melahap baso tahu dengan kecap yang sangat banyak.
"Gue gaperlu dan gamau tau" jawab Mataram sinis.
"Encik jangan marah-marah terus, nanti cantiknya memudar" goda Atno.
"Udah berisik ah Ngatno, jangan berantem disini" gue mencoba melerai.
"Gatau aneh banget temenlu itu" ucap Mataram merujuk pada gue.
"Ada apa kesini?" tanya gue pada Mataram.
"Gimana tawaran gue? Mau lo ambil ga?" ucap Mataram.
Gue terdiam sesaat.
"Apaan nih? Ada transaksi apa antara kalian berdua?" tanya Ngatno.
"Berisik lu" ketus Mataram.
"Oke deh gue ambil"
"Beneran?!" Mataram terlihat sangat seneng dengan jawaban yang gue kasih.
"Iya" jawab gue sambil tersenyum.
"Ambil apaan sih Nang? Gue gangerti" Ngatno kebingungan.
"Engga, ini gue diajakin masuk kelompok Mataram buat acara drama kelas nanti"
"Oh drama yang tugasnya Pak Yanto?" tanya Ngatno.
"Yoi, lo udah ada kelompok?" ucap gue.
"Udahlah" jawab Ngatno datar.
Mataram seperti gapercaya dengan apa yang Ngatno ucapkan. "Masuk kelompok siapa elu?"
"Kelompok Ginda sama Gandi" jawab Ngatno.
"Oh sekelompok sama sikembar. Okedeh, besok kan Sabtu ya? Kita latihan ya, nanti berangkatnya bareng aja" ucap Mataram.
"Oke, siapa lagi sih anggotanya?" gue belum tahu siapa aja yang akan diajak Mataram.
"Nanti deh liat aja, gue ke perpus dulu yak! Oiya abisin nih sayang gak kemakan baso tahunya" ucap Mataram dengan segera beranjak dari kursi di meja kantin itu.
***