Aku dan Sang Pemusnah Masal

Por aileum

109K 20.5K 2.7K

Revel merencanakan kematiannya tiga minggu dari sekarang. Ada lima hal yang ingin dia lakukan sebelum mati. 1... Mais

Surat Wasiat
Sang Pemusnah Massal
Tupai Boncel
Pulang!
Keinginan
Daftar
Penolakan
Sayang Anak
Nomor Tiga
Cucu Kesayangan Oma
Kopi Darat
Acara UKM
Kelima
Adik Ketemu Gede
Setan Kecil
Horor
Ancaman
Kereta Jogja
Setan Kecil yang Hampir Menangis
Bukan Ini yang Kami Inginkan
Awal yang Sepele
Lari
Lebih Mudah
Jatuh
Terperosok
Tidak Sadar (1/2)
Tidak Sadar (2/2)
Tetap Hidup
Terserah
Kita Berdua
Hari Baik (1/2)
Hari Baik (2/2)
Sebelum Kamu Pergi
Setelah Kamu Pergi

Sudah Saatnya

5.4K 572 164
Por aileum

Kemarin aku marah
Berdarah
Gerah
Parah
Mungkin aku butuh tirah
Atau bahkan pasrah

Hari ini aku bimbang
Tapi tidak tumbang
Aku pasti terbang
Keputusan sudah di ambang

Esok aku mati
Lenyap tanpa arti
Sendiri sampai nanti
Itu pasti

Revel menutup buku biru di tangan sambil mengembus napas berat. Hatinya tergores. Napasnya sesak. Kerongkongannya tercekik.

"Saya nggak bisa," ujarnya entah pada siapa. Di atap lantai sepuluh gedung perkuliahan ini hanya ada dirinya.

Revel mengepalkan tangan. Ia memukul-mukul dada sambil menggigit bibir. Saking kuatnya ia menggigit, giginya sukses melukai. Bibir bawahnya kini berdarah. Rasa amis terjilat oleh lidah.

Tangan kanan masih memukul dada secara membabibuta. Revel merasa sesak luar biasa. Tapi apa artinya semua sakit itu jika ada yang jauh lebih tersiksa. Hati. Iya, hatinya.

Merasa tidak tahan, Revel lantas melempar buku di tangan kiri jauh ke depan. Awalnya lembaran kertas itu melesat sesuai arah lemparan, tapi lama-lama tertarik gravitasi.

Ia memperhatikan gerak terjun bebas si buku. Semakin melesat ke bawah. Menghantap tembok dan pinggiran gedung. Semakin lama semakin terlihat kecil. Sampai akhirnya jatuh juga di tanah.

Revel mengembus napas berat sambil memandangi latar. Langit sore terlukis di cakrawala. Semburat orens bergabung dengan butiran kapas yang berarak. Sejauh mata memandang, jejeran gedung dan atap saling tertata. Jarak yang jauh membuat mereka kelihatan mini.

Revel memandang lurus ke depan. Parasnya melukiskan kesedihan. Luka menggelora di kilatan mata. Duka tercermin dari rona pipi. Tepat pada saat itu, angin berkesiur membelai rambut. Cowok kurus itu kelihatan semakin sendu tapi air matanya tidak membuncah. Hanya membentuk kaca-kaca yang menghalangi pandangan.

Ia memang sudah tidak bisa lagi menangis. Bosan, lebih tepatnya. Semua yang ia alami telah menghancurkan fungsi hati dan kelenjar air mata.

Hari-hari tidak kunjung membaik tapi ternyata ia masih hidup. Hal itu dikarenakan Revel membiarkan semua berjalan sesuai alur. Ke mana waktu akan pergi, Revel ikuti. Sekalipun jiwanya makin mati, semua terserah nanti.

Sekarang perhitungannya tidak lagi kepada tanggal-tanggal, melainkan kesempatan. Jika merasa waktunya sudah tepat, saat itu juga ia akan bersiap. Setiap hari, setidaknya tiga benda harus bersamanya minimal satu : cutter, racun nyamuk semprot, atau obat tidur. Rumus kesempatan mati tertanam di otak. Bunyinya, "setiap saat adalah kesempatan untuk bunuh diri, tapi jika ada agenda lain maka tundalah sampai hal itu selesai."

Pola pikir tersebut rupanya cukup ampuh untuk jiwanya yang makin mati. Setidaknya Revel jadi punya alasan. Lakukan karena memang sudah waktunya, atau tunda karena dia harus menyelesaikan sesuatu.

Hari ini, terhitung tiga kali ia menunda kesempatan. Pertama, karena Gisel. Gadis itu minta ditemani ke psikiater lantaran merasa gila dengan kesedihan akibat kepergian Wendy. Revel menunggu di luar ketika gadis itu menemui dokter.

Kedua, lebih tepatnya saat ia sudah memastikan Gisel pulang kosan dengan aman, tiba-tiba saja Tomvi minta tolong. Motornya ngadat sedangkan dirinya masih ada kelas. Cowok itu bilang nanti malam dirinya harus menjemput sang pacar. Merasa kalau selama ini motor Tomvi sering ia pinjam, Revel lantas menerima permintaan adik tingkatnya untuk service motor.

Ketiga, bimbingan. Saat Revel menunggu motor Tomvi diotak-atik, satu dari duo KenTod mengirimnya pesan yang berisi revisi. Revel menyetujui. Ia tinggalkan motor Tomvi di bengkel dan pulang ke kosan membawa perlengkapan. Dua jam lamanya ia diberi arahan. Tepat keluar dari ruangan, another KenTod menghubunginya juga.

"Saudara bisa datang ke lantai 10 Gedung Baru, kan?" kata pria itu. "Saya mau bahas jurnal ilmiah yang bisa Saudara sertakan sebagai syarat sidang."

Revel mengiyakan. Terpaksa ia berjalan ke arah Selatan kampus dan menemui pria itu.

Sekarang kesempatan itu terbuka lagi. Revel yang selesai tatap muka dengan sang dosen memilih naik ke atap gedung. Kebetulan kuncinya bisa dibuka. Kebetulan juga hari sudah sore sehingga tidak ada orang di sana.

Atap gedung itu dibatasi pagar setinggi pinggang. Saat berdiri di sana, akan terlihat miniatur kampus secara lengkap. Beberapa orang mungkin takut oleh jauhnya jarak tanah dengan atap. Tapi Revel justru merasa nyaman.

Sebelumnya, Revel menyempatkan diri membaca buku Wendy. Itulah pertama kali ia membuka catatan gadis itu sejak si buku dibawanya. Baru membaca halaman pertama saja perasaan Revel langsung tidak enak. Meski hanya tiga bait puisi, rasa sedih itu mendarat sukses di dadanya.

"Kamu merindukannya?" bisik sang Pemusnah Massal.

"Sangat," jawab Revel getir. Benar kata orang, rindu itu berbahaya. "Semua sakit ini masih bisa saya tahan. Tapi tidak dengan rindu yang bekerja sama dengan penyesalan. Saya nggak sanggup lagi."

Revel melihat sang Pemusnah Massal mendekat. Makhluk itu memegang bahunya. Dan tentu saja, hanya Revel yang merasa. Ia tampak berbicara sendiri.

"Sudah saatnya," sang Pemusnah Massal berbisik.

Revel mengangguk. Ia naik melalui pembatas. Posisinya sekarang adalah di balik besi. Angin berkesiur lagi. Mengacak-acakkan rambut, juga perasaannya.

"Kau tidak merasa takut, kan?"

Revel menggeleng.

"Bagus. Mari kita lakukan."

Revel mengatur napas. Entah kini hatinya yang telah mati, atau memang sang Pemusnah Massal yang sah menjadi kawannya, yang pasti tidak ada lagi keraguan di benak. Revel juga telah menerima bahwa memang beginilah dirinya. Kalah dari sang Pemusnah Massal.

"Ini bukan soal kalah menang," sang Pemusnah Massal tiba-tiba mengingatkan. Akhir-akhir ini makhluk tersebut memang lebih kalem. Jarang mendesak. Lebih sering mengingatkan.

"Seandainya kamu adalah bentuk yang lain," jawab Revel. "Mungkin nggak akan seperti ini."

Walau menjengkelkan, tak bisa dipungkiri kalau cuma sang Pemusnah Massal yang selalu di samping Revel. Dia abadi. Setia. Mengakar.

"Kemunculannku tergantung kau. Karena kaulah yang menciptakan aku."

Revel tidak menjawab. Ia lanjut merentangkan tangan dan memejamkan mata. Angin menerpa lagi sekitar wajah. Dan tepat ketika ia hendak mengangkat satu kaki, gerakannya terinterupsi.

Ponsel di saku celananya berdering.

Sialan!

Joy is calling ...

Revel terpaksa menyetujui panggilan tersebut. Seperti biasa, suaranya yang segar membuat Revel sedikit terhibur.

"Re, apa kabar?"

"Baik."

"Beneran?"

"Honestly, I've been better."

Joy menggumamkan sesuatu di seberang sana. Revel mendengarkan, kemudian tersenyum pahit. Kepalanya mendongak ke bawah gedung. Telunjuknya menyentuh-nyentuh pagar pembatas.

"Sekarang?" tanya Revel setelah Joy selesai bicara.

"Iya. Bisa, kan?"

"Hm. Oke."

Sekian sekon berlalu. Sampai akhirnya panggilan terputus. Sambil mengembus napas, Revel menaiki lagi pembatas gedung. Ia berada di letak aman sekarang. Bukan hari ini, pikirnya seraya mengambil ransel. Mungkin besok.

Ya, besok atau lusa.

Ia akan mati secepatnya.


*TAMAT *
.


Continuar a ler

Também vai Gostar

904K 85.6K 24
BACA LENGKAP DI KBM APLIKASI / KARYAKARSA... Apa bedanya siluet dan bayang - bayang? Keduanya berupa objek gelap efek luminitas cahaya latar belakan...
Miss Rempong Por UNI

Ficção geral

3.8M 517K 57
Kinanti Wijaya atau orang-orang sering memanggilnya Kiwi merupakan mantan 3rd runner-up Miss Universe perwakilan dari Indonesia, semenjak menorehkan...
24K 3.7K 9
"Tahu apa yang paling nggak pasti di dunia ini?" "Perasaan manusia." • Ini kisah tentang aku; alunan musik blues dan ambisi yang meradang. Ini kisah...
304 59 17
Setelah merasakan pahitnya realita menikah tidak seperti yang di bayangkan. Seorang perempuan bernama lengkap Lia Puspa, sangat tidak percaya dengan...