[✔] 5. 真実 [TRUTH] : The Prolog

By tx421cph

3.2M 443K 752K

The Prolog of J's Universe ❝Tentang cinta yang murni, keserakahan, hingga pertumpahan darah yang membawa peta... More

Pembukaan
Tokoh : Bagian 1
Tokoh : Bagian 2
Tokoh : Bagian 3
00
01. Para Giok Kerajaan
02. Nyanyian Naga Emas
03. Tangisan Hutan Neraka
04. Amarah Zamrud Hijau
05. Dewi Penjaga Lembah Surga
06. Kisah Kelam Anak Raja
07. Dongeng Sang Penyair
08. Punggung Putih Sang Peony
09. Pangeran Yang Diberkati
10. Sang Matahari Menaruh Hati Pada Peony
11. Bertanya Pada Roh
13. Aku Mencintaimu
14. Payung Merah
15. Hati Sang Naga
16. Kasih Tak Sampai
17. Tangisan Para Adam
18. Terikatnya Benang Merah
19. Aliansi
20. Pedang Bermata Dua
21. Perangkap
22. Pilar Yang Patah
23. Setetes Darah Di Telaga Surgawi
24. Yin
25. Kekalahan Yang
26. Bencana Surgawi
27. Istana Para Iblis
28. Naga Emas VS Yin
29. Ksatria Terbuang
30. Kisah Janji-Janji Lampau
31. Sekat Terkutuk
32. Serpihan Setangkai Bakung
33. Mimpi Buruk Putra Naga
34. Pedang Bermata Dua
35. Darah Di Ujung Pedang
36. Menyingsingnya Matahari
37. Awal Mula Kehancuran
38. Zamrud Beracun
39. Kubangan Berdarah
40. Tawanan Raja
41. Peony Berdarah
42. Pion-Pion Yang Patah
43. Sang Pembelot
44. Pion terakhir
45. Permata Tersembunyi
46. Pelarian Panjang
47. Aliansi Terdesak
48. Rubah Di Balik Jubah
49. Sebuah Janji
50. Keturunan Sang Naga
[Final - Bagian I] Pedang Dan Bunga
[Final - Bagian II] Tangisan Terakhir Merak Putih
[Final - Bagian III] Akhir Para Legenda
Son of The Dragon
The J's Universe
Mother of The Dragon

12. Dewi Kemalangan

44K 7.4K 18.8K
By tx421cph

"Bagai dikutuk oleh surgawi, Dewi Kemalangan akan terus mengikuti."


ps : jangan lupa nyalain multimedia di atas dan rasakan sensasinya menjelajah era goryeo hiyahiyahiya


Selamat membaca~



"Eonni..."

Gadis itu, duduk di bawah pohon dengan menyedihkan. Memeluk kedua lututnya, dengan wajah yang lesu seperti tidak makan tiga hari.

Panggilannya yang seperti orang kehilangan jiwa itu menarik perhatian wanita cantik yang sedang berlatih tarian pedang. Oh Seong So berhenti, menghela napas setelah menurunkan kedua pedangnya sembari menatap Son Je Ha yang seperti mayat hidup.

"Kau kenapa? Jangan seperti orang yang akan dihukum gantung seperti itu."

Gadis yang lebih muda hanya melengkungkan bibirnya ke bawah, tampak malas. "Eonni..."

"Apaaa? Apa kau begini karena Tuan Seon?"

Son Je Ha menggeleng, kemudian Seong So menghampirinya, duduk di sampingnya untuk melepas lelah. Menyimpan pedangnya di samping, itu pedang sungguhan. Bukan sekadar aksesori untuk menari.

"Eonni-ya..." sekali lagi, Je Ha memanggil.

"Iyaa, apa? Kau kenapa sih?" Seong So mendengus geli, lalu merapikan beberapa anak rambut Son Je Ha yang menutupi pandangan gadis itu.

"Itu... aku ingin bertanya sesuatu," suaranya masih lesu.

"Apa? Tanyakan saja."

Son Je Ha sepertinya tampak ragu, dari wajahnya - tunggu, ngomong-ngomong... lagi-lagi dia menggunakan arang di wajahnya - gadis itu terlihat enggan untuk bercerita.

Tapi... iya, Son Je Ha sedang galau. Gadis ceria yang seperti tak memiliki beban hidup itu kini tampak gelisah dan memikirkan suatu hal sepanjang malam. Untuk yang pertama kali dalam hidupnya.

"Eonni, jika kau terus kepikiran oleh seseorang tanpa alasan yang jelas... itu kenapa?" Tanyanya kemudian.

Oh Seong So sempat menaikkan sepasang alisnya, lalu dia menjawab, "kau jatuh cinta."

Son Je Ha terkejut, "eiyy!! Itu tidak mungkin! Kenapa eonni bisa menyimpulkannya semudah itu?!" Dia gugup tiba-tiba, dan bertingkah seperti orang bodoh.

Yang lebih tua mengernyit, "kau terus memikirkannya sepanjang hari, apalagi jika bukan cinta?"

"T-tapi..." Suara gadis itu mulai memelan, wajahnya tanpa sadar sudah memerah sejak tadi. Namun karena mukanya penuh coretan arang, Seong So tidak menyadari perubahan rona wajah Son Je Ha. "Itu... tidak mungkin."

Emh, ingat perbincangan Son Je Ha dan Hwang Je No di hutan saat berkuda?

Setelah Je Ha entah bagaimana bisa mengutarakan hal seperti itu... kalian pikir bagaimana tanggapan Sang Panglima Perang?

Begini jawabannya : "hahaha, kau mau belajar tentang itu? Sepertinya aku ingat ada buku mengenai percintaan di paviliun perpustakaan, aku akan membawakannya untukmu jika berhasil menemukannya, kita bisa membacanya bersama."

Dan Son Je Ha tanpa alasan, menjadi dongkol setengah mati.

Iya, tanpa alasan. Je Ha tidak tahu kenapa dia menjadi sekesal ini dan merasa gundah gulana sepanjang hari.

Apa ini? Perasaan apa ini?

Sebenarnya... tidak ada yang salah kan dari jawaban Hwang Je No?

"Apa-apaan itu? Apakah Seon Jae Hyun yang kau maksud?" Pertanyaan Seong So membuat Je Ha mengangkat kepalanya, "kau jatuh cinta padanya?"

"Tidaaakk, aku tidak jatuh cinta!"

Oh Seong So memicing, "dilihat darimana pun kau benar-benar jatuh cinta, apa kau pikir aku anak-anak yang bisa kau bohongi?" Perempuan itu mendengus, mengusak pucuk kepala Je Ha, "kau bahkan lebih mudah dibohongi."

Son Je Ha memerosotkan bahunya, tidak mengerti apakah dia harus membenarkan argumen dari seniornya barusan, atau masih menyangkal bahwa dia tidak jatuh cinta.

Tapi... hei! Itu benar! Dia tidak mungkin jatuh cinta! Bagaimana bisa dia jatuh cinta apalagi pada seorang Panglima Perang Agung? Itu tidak boleh!

"Siapa pria itu? Apakah Seon Jae Hyun?"

Pertanyaan dari Seong So membuat Je Ha berjengit hingga gadis itu menjawab dengan refleks, "b-bukan! Mmm... maksudku... i-itu... tidak seperti..."

"Heol, kau benar-benar jatuh cinta pada pria lain? Bukan Seon Jae Hyun?" Jawaban ragu-ragu Son Je Ha tadi membuat Seong So agak takjub, "siapa? Siapa dia? Tunggu, maksudku... kau benar-benar tidak jatuh cinta pada Seon Jae Hyun?"

Sepasang mata Je Ha mengerjap bingung mendengar pertanyaan itu, lalu Oh Seong So kembali menjelaskan.

"Untuk tidak jatuh cinta pada seseorang seperti Seon Jae Hyun, itu sangat mustahil, Son Je Ha. Apalagi dia adalah gibu-mu, diantara ratusan gisaeng yang cantik dan terkenal dia lebih memilihmu, dan... kau tidak jatuh cinta padanya?" Tersirat nada ketidakpercayaan dalam kalimat Seong So.

Son Je Ha merenung sebentar, lantas menjawab, "seseorang sepertiku tidak pantas untuk jatuh cinta pada pria terhormat seperti Tuan Seon Jae Hyun, eonni. Dia tentu hanya mengklaim gisaeng seperti yangban pada umumnya, untuk hiburan tertentu. Saat Tuan Seon bosan denganku, dia akan melepaskanku pada akhirnya."


***


"Jangan seperti ini Nyonya Yoon!!"

"Aku tahu kau menyembunyikan bocah itu!"

"Dimana?! Dimana dia?! Dimana anak itu! Berikan padaku!"

"Nyonya Yoon mengapa kau menyembunyikan kecantikan seperti itu di belakang Gyobang?!!"

Wanita itu, Sang gisaeng haengsu, terlihat begitu kebingungan menghadapi para yangban yang berkerumun di depan rumah gyobang. Ini sudah hari ke tiga dan mereka masih tidak mau menyerah.

"Tuan-tuanku sekalian, mohon anda semua untuk tenang—"

"Apa maksudmu tenang, Nyonya Yoon?! Aku sampai melepas tiga gisaeng-ku untuknya!"

Nyonya Yoon terlihat sangat frustrasi, dia memijat pelipisnya, lalu menghela napas panjang. "Tuan-tuanku, bisakah anda mendengar penjelasan saya terlebih dahulu?"

Salah seorang yangban mendengus, "baiklah! Jelaskan lalu segera pertemukan aku dengan anak itu!"

"Apa maksudmu?! Dia milikku!"

"Hei! Aku akan membayar mahal untuk anak itu!"

Nyonya Yoon nyaris kehilangan kesabarannya. "Tuan, yang pertama, dia bukan anak-anak, usianya sudah 21 tahun."

Semuanya terkejut. "Apa?! Tidak mungkin!"

"Dia terlihat seperti 15 tahun!"

"Apa ini kebohongan yang baru?!"

"Benar, Tuan. Dia memang baru resmi menjadi gisaeng, tapi usianya sudah 21 tahun." Nyonya Yoon sudah menahan diri untuk tidak memukul kepala orang-orang ini.

"Hah!! Terserah! Berapapun usianya aku tidak peduli! Tapi dia sangat cantik sampai membuatku gila!"

"Benar! Cepat berikan saja dia padaku!"

Sang gisaeng haengsu tersenyum, senyum yang menahan kekesalan. "Tuan, dia sudah memiliki seorang gibu, anda tidak bisa mengklaimnya begitu saja."

"Aku tidak peduli?!"

"Asal bisa membayar lebih tinggi aku bisa mendapatkannya kan?!"

"Benar! Ayolah aku akan memberikan bayaran yang paling tinggi diantara mereka!"

Masih dengan wajah tenangnya, Nyonya Yoon tersenyum, "maaf tuan-tuanku, saat ini dia memiliki harga yang sangat tinggi, paling tinggi dari gisaeng yang lain. Saya ragu tuan sekalian akan mampu."

Para yangban tersinggung, mereka langsung meledak marah.

"Apa kau ini baru saja meremehkan kami para bangsawan?!"

"Nyonya Yoon kau pikir berapa gisaeng yang telah ku sewa selama ini?!"

"Tuan, masalahnya dia sangat—"

"Apa tuan-tuan ini mampu membayar lebih dari 150 keping emas dalam satu bulan?"

Perhatian semua orang teralihkan, terkejut sekaligus nyaris jantungan ketika ada seseorang yang datang dan masuk ke dalam halaman rumah gyobang, mendekati kerumunan itu.

Seorang pria matang yang berjalan dengan sepasang tangan tertaut di belakang punggung, dan seulas senyum lembut. Gwanbok putih dengan bordir benang emasnya terlihat sangat kontras namun menawan.

"Tuan Seon Ji Won!"

Nyonya Yoon terlihat sangat lega ketika melihat kedatangan Sang penasihat kerajaan itu datang di saat seperti ini. "Tuan Seon."

Seon Ji Won, pria beranak satu dengan perawakan menawan itu menghampiri Nyonya Yoon, menghadap para yangban yang masih syok, lalu dia melanjutkan. "Tuan bangsawan sekalian, gadis yang anda maksud, Son Je Ha, sudah memiliki seorang gibu. Jika tuan-tuan ini sangat ingin memilikinya, anda bisa membayar lebih dari 150 keping emas kepada pemerintah."

"Tuan Seon, anda serius?!"

"150 keping emas?! Itu terlalu mahal! Gila sekali!"

"Orang yang menyewanya sangat gila!! Dia membayar sebanyak itu setiap bulan?!"

"Siapa?! Siapa yang menyewanya?!"

*150 keping emas itu buanyakk banget sampe bingung aku gimana ngitungnya :'' soalnya biasanya kan orang orang kalo belanja emang pakai perak. Makanya kalo Je Ha dikasih uang jajan sama Jae Hyun 2 keping emas dia sampe syok, soalnya bener-bener sebanyak itu sampe bisa borong pasar.

"Maafkan aku, tuan-tuan, karena orang ini tidak ingin diketahui identitasnya, kami tidak bisa memberitahu anda sekalian." Seon Ji Won tertawa kecil.

"Aih! Dia pasti orang yang sangat kaya!"

"Dari klan mana dia?! Klan mana kira-kira yang sangat berpengaruh?!"

"Sial sekali! Menjual rumahku bahkan tidak akan cukup untuk menyewanya!"

Orang-orang itu - para yangban dan tuan muda - terus menggerutu. Mengeluhkan ini dan itu. Memprotes kenapa harga gisaeng benar-benar sangat tinggi melebihi kekayaan mereka. Mereka bahkan terus mengomel sembari meninggalkan gyobang satu persatu, masih tidak puas dan dongkol karena sangat ingin mengklaim Son Je Ha.

Sepeninggal orang-orang yangban, Nyonya Yoon menghela napas pasrah. Agak menyesal kenapa dia menyuruh Son Je Ha untuk menggantikan Oh Seong So di festival kebudayaan.

Tapi... Son Je Ha memang satu-satunya yang terbesit di pikirannya. Gadis itu rupanya sangat pandai menari dan pesonanya sungguh luar biasa.

"Anakmu memang luar biasa, Yoon Hyang." Seon Ji Won bersuara, menatap gisaeng haengsu itu.

Nyonya Yoon hanya tersenyum tipis, "benar, saya tidak salah memberikannya pada Tuan Seon Jae Hyun. Saya tidak bisa membayangkan jika Son Je Ha menjadi milik orang-orang rakus itu."

"Kau tentu sangat menyayanginya."

"Benar, Tuan. Dia sudah seperti putriku sendiri," Yoon Hyang tiba-tiba teringat, saat pertama kali dia menemukan bayi Son Je Ha dalam keranjang 21 tahun yang lalu. "Ah, mari masuk, tuanku, saya akan menyajikan teh untuk anda."

Seon Ji Won tersenyum mengangguk, mengikuti langkah Yoon Hyang ke dalam rumah gyobang. Hingga dia bersuara, "kedatanganku ke sini karena ingin membahas anak itu."

Perhatian gisaeng haengsu teralihkan, dia berhenti. "Son Je Ha?"

"Em, anakku bilang... dia ingin menikahi Son Je Ha."


***


"Kau ini sedang sakit."

"Aku tidak apa-apa! Aku sudah sembuh! Apa kau sedang meremehkanku?!!"

Pria bertubuh tinggi itu, Wen Fei Yu di balik wajah datarnya yang sedingin es sudah menahan kekesalan setengah mati. Meski begitu dia tetap berdiri tenang dengan sepasang tangan di belakang punggung.

"Bisakah kau tidak berteriak seperti itu?" Datarnya.

Wang Han mendengus, "aku harus pergi ke hutan dekat sini, kau harus mengantarku!" Pangeran ke empat menyentakkan kipas sutranya hingga terbuka, menampilkan lukisan bangau yang indah dari Dinasti Tang.

"Kenapa aku harus?"

Kalian tahu, Wen Fei Yu sudah jengah karena terus berurusan dengan Pangeran yang seperti gadis perawan ini.

"Bukankah kau mengatakan jika bertanggung jawab atas terlukanya diriku?! Jadi kau harus mengawalku kemana pun!" Wang Han emosi.

"Bukankah kau baru saja mengatakan sudah sembuh?"

Han langsung terdiam, "Itu—!" Lalu dia melipat kipasnya lagi dan memukul Wen Fei Yu, "meski begitu kau harus bertanggung jawab! Bagaimana jika bandit itu muncul lagi?!"

Fei Yu merotasikan matanya dengan malas, "kau yang menolak untuk dilindungi waktu itu, kau bilang harga dirimu sebagai Pangeran Goryeo tercoreng."

Wang Han ditelak oleh kata-kata datar itu, yang membuat Sang Pangeran rupawan semakin jengkel. "Bisakah kau diam saja dan tidak protes! Kau sangat cerewet!"

Beruntung sekali Wen Fei Yu adalah seorang pria sabar. Dia hanya menahan napas selama tiga detik ketika Han berteriak di depan wajahnya dan mengatainya sebagai seorang yang cerewet.

Berikan Wang Han cermin, tolong...

"Aku akan bertemu dengan temanku! Jadi kau ikut saja, lagipula kau tidak ada kerjaan, kan?!" Pangeran cantik itu menggerutu lagi, mengibaskan keliman jubah sutranya yang berwarna hijau mint. Mengikuti langkah Wen Fei Yu yang berjalan menuju kuda.

Putra Mahkota Wen itu tidak berniat untuk menjawabnya lagi. Meski dia tidak bisa dikatakan menganggur, karena setelah ini dia harus bertemu dengan Ratu Daemok dan Putri Yeo Kyung.

Wang Han menyusahkan. Seperti bayi besar yang mulutnya dikutuk.

"Naik," datar Wen Fei Yu dengan suara paraunya yang khas.

Kening Wang Han langsung kusut, alisnya nyaris menyatu mendengar satu kata itu. "Apa maksudmu?"

"Apa kau tuli? Kau mau ku seret saja?"

"BRENGSEK AKU AKAN DUDUK DI BELAKANG! APA KAU GILA MENYURUHKU DUDUK DI DEPAN SEPERTI SEORANG WANITA?!!"

Amarah Pangeran ke lima meledak, benar-benar semarah itu hingga Wen Fei Yu terkejut dan mundur ke belakang.

"Kau bisa jatuh—"

"Diam!! Cepat naik atau ku jejalkan kipas ini ke mulutmu!!"


~~~


"Kau harus menjadikan pria itu sebagai kekasihmu kalau begitu."

Lagi-lagi Son Je Ha melotot mendengar penuturan itu, "eonni aku tidak jatuh cinta padanya!!"

Seong So melengos malas, berdiri lagi, "kau jatuh cinta."

"Aku tidak!"

"Kau iya."

"Eonniiii...!"

Oh Seong So tertawa, dia hanya menggeleng-gelengkan kepala melihat gadis dengan penampilan menyedihkan itu gelisah akan perasaannya sendiri.

Dia yakin sekali Son Je Ha jatuh cinta hanya dari bagaimana gadis itu bercerita. Seong So pernah... seperti itu sebelumnya. Gadis yang tidak tahu apa-apa tentang cinta.

"Aku lebih tahu darimu, Son Je Ha," Seong So mengangkat pedangnya, "jika nanti malam kau tetap tidak bisa tidur nyenyak, kau benar-benar jatuh cinta padanya, tidak bisa disangkal lagi."

Gadis yang lebih muda mendadak termenung. Dia masih memeluk kedua kakinya, berpikir keras dengan otak bodohnya itu.

Apakah dia benar-benar jatuh cinta pada Hwang Je No? Tunggu, kenapa dia jatuh cinta pada Sang Panglima Perang? Apa yang menarik perhatiannya dari Sang Naga Emas? Kenapa dia bisa tiba-tiba jatuh cinta? Itu agak aneh. Son Je Ha mengernyit.

Dia masih terus berpikir sampai Oh Seong So kembali berlatih tarian pedang.

Hm, sepertinya dia harus menemui Hwang Je No nanti dan bertanya.

"So-ya!!"

Panggilan itu mengejutkan keduanya. Merasa terpanggil, Oh Seong So membalikkan badan, melihat dua orang pria menaiki kuda yang sama. Lalu perempuan itu tersenyum lebar dan membalas lambaian tangan pria yang duduk di belakang.

Wang Han melambaikan tangannya tinggi-tinggi, lalu dia segera turun dari kudanya diikuti Wen Yi Fan.

Seong So, "Hwangja-nim, ku pikir kau tidak datang, bukankah kau masih terluka?"

"Eiy tidak, aku— WUAAA!!"


Bugh!


Wang Han nyaris saja terjungkal ke belakang jika saja Fei Yu tidak menahan punggung Sang Pangeran ke empat dengan telapak tangannya. Wang Han baru saja berteriak karena terkejut setengah mati ketika melihat sosok menyeramkan duduk di bawah pohon sambil memeluk lutut.

Jantung Wang Han berdebar, "So-ya kenapa kau membawa pengemis kemari?!"

Son Je Ha terkejut. Tidak menyangka. "Pengemis?"

Seong So tertawa, "dia adikku."

Han mengernyit kaget, "adiikkk??"

"Maksudku dia seorang gisaeng muda dari gyobang," Seong So meralat kalimatnya, "maafkan dia, anak ini memang sedikit... emm," perempuan itu hanya mengangkat bahunya, merasa kesulitan untuk menjelaskan.

Wang Han maju mendekat, "apa-apaan wajahmu itu? Kau terlihat hantu wanita yang bergentayangan karena dendam."

Son Je Ha masih duduk dengan kaku, syok karena tiba-tiba kedatangan seorang pangeran dari istana. Dia hanya melotot menatap Wang Han.

"Tunggu," tiba-tiba Han mengernyit, "sepertinya aku pernah melihatmu." Dia semakin memajukan wajahnya dan ikut berjongkok, sekitar 2 chi di depan Je Ha.

"Uh, itu..."

"Dia gadis gisaeng yang menari di festival kebudayaan waktu itu."

Seseorang yang menjawab barusan adalah Wen Fei Yu. Wang Han langsung menoleh, Fei Yu masih berdiri di samping kudanya dengan tegak dan tenang.

Lalu Han kembali menatap Son Je Ha dengan cepat, "ohh!! Benar! Benar sekali!" Dia menujuk gadis berwajah arang itu dengan kipas lipatnya, "kau Si cantik itu!!"

"Y-ye... hwangja-nim..." suara gadis itu memelan.

"Aigoo, kenapa kau berpenampilan seperti ini sih? Kau membuatku takut! Kau benar-benar seperti pengemis!"

"Itu benar," Seong So menimpali, "aku jengkel sekali melihatnya, dia tidak mau mencuci muka."

"Cobalah untuk berada di posisiku, kalian ini..." Son Je Ha membatin.

"Ah ya, So-ya aku membawa Wen Fei Yu kemari!" Wang Han kemudian berdiri, lupa jika masih ada Fei Yu yang berdiri di samping kuda dalam diam.

"Bisa-bisanya kau memanggilku tanpa gelar seperti itu," Wen Fei Yu mengomel, menatap Han dengan datar.

Wang Han mencibir. "Cih, kau sangat gila hormat."

Oh Seong So tersenyum, menautkan kepalan tangannya yang masih menggenggam pedang, lantas membungkuk sopan. "Putra Mahkota Wen," ujarnya.

Son Je Ha rupanya juga mengikuti gerakan seniornya tersebut. Setelah memberikan salam penghormatan, gadis itu kembali duduk sembari memeluk kedua kakinya seperti semula.

"Aku sudah mendengar banyak tentangmu, Nona Oh," Wen Fei Yu membungkukkan badannya sedikit, dengan senyuman yang sangat tipis hingga nyaris tak terlihat.

"Aku akan berlatih dengan Seong So, jadi kau tunggu saja," ujar Han.

Wen Fei Yu sekali lagi merotasikan matanya dengan malas. Harga dirinya sebagai Putra Mahkota Kekaisaran Song benar-benar jatuh di depan Si Pangeran ke lima. Dia jadi ingin cepat-cepat kembali ke istananya.

Wang Han benar-benar mengabaikannya, jadi Wen Fei Yu tidak memiliki pilihan lain untuk berdiri di bawah sebuah pohon dan bersandar sembari melipat kedua tangannya. Menonton Wang Han dan Oh Seong So yang mulai beradu dalam tarian tanpa musik.

Sejenak, Wen Fei Yu terpukau. Gerakan kedua orang itu sangat selaras. Wang Han dan Oh Seong So. Meski tanpa musik, mereka membuat tarian itu terlihat sangat hidup. Seolah berkomunikasi melalui tatapan mata, tanpa adanya interaksi verbal. Kipas sutra yang berayun, pedang tajam yang terhunus.

Lalu, beberapa saat tenggelam menyaksikan tarian indah antara gisaeng dan pangeran itu, Wen Fei Yu menggeser netranya. Dia yang memang memiliki insting cukup tajam, merasa bahwa dirinya diperhatikan.

Gadis berpenampilan seperti pengemis itu, gadis yang duduk di bawah pohon di seberang, memerhatikannya dengan terang-terangan. Wen Fei Yu mengernyit.


-----oOo-----


"Ayah sudah memberitahu pada Nyonya Yoon, kau bisa memberitahu gadis itu sekarang."

Sepasang ayah dan anak itu berjalan bersama, menuju ke paviliun perpustakaan. Sang anak, tampak agak terkejut mendengar penuturan ayahnya, dia langsung berhenti melangkah begitu sampai di anak tangga paviliun.

"A— lalu... bagaimana tanggapan Nyonya Yoon?" Seon Jae Hyun terdengar sangat gugup sekaligus cemas.

Seon Ji Won tertawa, menepuk pundak anak laki-lakinya. "Tentu saja dia mengizinkan, segeralah tanyakan pada gadis itu, ayah akan menebusnya jika sudah mendengar jawabannya."

Pria itu - tuan cendekiawan - tampak berseri wajahnya. Benar-benar terlihat sangat bahagia hingga dia kebingungan harus merespon ayahnya seperti itu. Jadi dia hanya mengangguk dengan antusias, dengan telinga yang memerah.

"Kau sangat menyukai gadis itu ya," ayahnya lagi-lagi tertawa, "dia memang terlihat seperti gadis yang baik, kau beruntung menemukannya sebelum para yangban itu."

"Emm... aku sangat menyukainya, abeoji. Jae Hyun sangat... menyukainya." Air muka Seon muda tampak melembut.

"Kalian seperti sudah ditakdirkan," Tuan Penasihat tersenyum mengangguk, "bahagiakan dia, nak. Buatlah dia menjadi wanita paling bahagia di dunia."

Pria dengan ikat kepala dan gwanbok coklat muda itu mengangguk pasti, "Jae Hyun akan melakukannya, itu pasti."

"Kapan kau akan memberitahunya?" Tanya Sang ayah.

"Entahlah, abeoji. Jae Hyun tidak siap memberitahunya dalam waktu dekat ini," tuan cendekiawan mengulum bibir, agak gelisah.

"Hm? Ayah pikir kau akan segera ke gyobang malam ini."

Seon Jae Hyun menggaruk pipinya dengan telunjuk, "tidak, itu... Jae Hyun belum berani, mungkin... waktu dekat ini, agak tidak terlalu mendadak."

Seon Ji Won tergelak, terdengar renyah, lalu dia meremat bahu putranya. "Ayah tahu, baiklah kalau begitu, persiapkan dulu dirimu."

Setelah Jae Hyun mengangguk, ayahnya itu kemudian berbalik dan meninggalkannya. Jae Hyun membungkukkan badannya dengan hormat, sampai ayahnya itu mulai berjalan menjauh darinya.

Lalu Sang Pengajar Kerajaan kembali menegakkan punggung, dengan wajah berseri-seri, dia menaiki tangga teras paviliun perpustakaan. Tempatnya biasa berdiam diri.

"Oh, hai Tuan Seon."

"?!"

Seon Jae Hyun terkejut setengah mati. Dia nyaris saja terjatuh ke belakang jika tidak menjaga keseimbangan tubuhnya.

Orang yang baru saja menyapanya rupanya adalah Hwang Je No. Pria menggunakan jubah dalam berwarna merah dengan jubah luar berwarna hitam itu tampak tersenyum seperti orang tak berdosa.

"Aish! Biasakan untuk tidak muncul dengan mengejutkan seperti itu!" Jae Hyun mendecak, mengibaskan tangannya.

Je No mengernyit, "aku menyapa dengan biasa saja, kau yang gampang terkejut."

Seon Jae Hyun mendengus, "sedang apa kau di sini? Agak mengejutkan melihat seorang Panglima Perang berada di perpustakaan."

Hwang Je No nyengir lebar, "oh, aku sedang mencari buku tentang percintaan."

"Huh?"

"Aku ingat kau pernah menulis buku tentang filosofi percintaan, Tuan Seon," Hwang Je No tergelak. "Dari sekian buku, aku memilih yang ini," pria itu menunjukkan sampul depan buku berwarna coklat yang dijahit, dengan judul menggunakan tinta merah.

Legenda Benang Merah, karya Seon Jae Hyun.

"Mengapa kau tiba-tiba ingin belajar percintaan?" Jae Hyun memandangi Sang Panglima dengan aneh. "Kau kerasukan apa?"

Hwang Je No tertawa dengan geli, "hahaha tidak ada sih, hanya penasaran, ternyata cinta itu memusingkan dan agak rumit."

Seon Jae Hyun mendengus geli, "kau benar," lalu dia berjalan melewati tubuh Je No, "sepertinya daripada yang itu kau harus memilih Rembulan Yang Menangis."

Pria berjubah hitam itu berbalik, "seperti apa itu?"

Melihat rak-rak penuh buku di dalam paviliun, Seon Jae Hyun berujar dengan sepasang tangan di belakang punggung. "Legenda Benang Merah mengungkap filosofi dan legenda pasangan yang ditakdirkan dari surgawi, isinya agak klise meski berakhir manis dan bahagia, aku tidak tahu kenapa menulis sesuatu seperti itu."

Hwang Je No mengernyit, lalu melihat kembali buku yang dia pegang, membolak-baliknya.

"Yang ini," Jae Hyun mengambil satu buku dengan kertas yang terlihat lebih gelap dari sebelumnya, "真実 : Rembulan Yang Menangis. Tentang kebenaran cinta yang sesungguhnya, tak hanya menceritakan betapa indahnya saling mencinta, tapi juga mengungkap sisi kelam dan kejam mengenai takdir, hati, dan perasaan."

Panglima Perang berjalan mendekati Tuan cendekiawan, tertarik setelah mendengar penjelasan itu. Mengintip Seon Jae Hyun yang membalik-balik buku tersebut dengan acak.

"Aku tidak mau kau membaca buku yang isinya mudah tertebak seperti ini," Jae Hyun mengedikkan alisnya pada buku Legenda Benang Merah di tangan Je No. "Yang ini lebih berdasarkan pada realita kehidupan yang sesungguhnya. Tentang pahit dan manis percintaan. Tentang rasa sakit dan senang yang membuatmu putus asa. Meski telah terikat dengan benang merah... kau belum tentu akan bisa bersamanya."

Hwang Je No membungkam. Mendengar penjelasan Seon Jae Hyun, hatinya sungguh berdesir. Seperti ada perasaan menggelitik yang membuatnya merinding. Dia menatap Seon Jae Hyun, pria itu tampak menatap buku tersebut dengan penuh sendu.

"Jangan seserius itu, Tuan Seon. K-kau... membuatku takut," Hwang Je No berdeham.

Seon Jae Hyun tertawa kemudian, lalu memberikan buku itu pada Hwang Je No. "bagaimanapun, kau harus membacanya, Hwang Yong-Geum. Itu adalah karya terbaik yang pernah ku tulis."

"Emm..." Je No menggumam, melihat-lihat buku di tangannya, "aku akan membacanya saat senggang."

"Ngomong-ngomong... aku masih penasaran kenapa kau tiba-tiba mencari buku seperti ini, tidak mungkin hanya iseng."

"Hahaha... yahh ada seseorang yang bertanya padaku, aku tidak tahu jawabannya, jadi aku sedang mencari tahu." Hwang Je No tergelak.

Seon Jae Hyun menggeleng-gelengkan kepalanya, "seharusnya dia bertanya padaku."

Hwang Je No masih sibuk membolak-balik buku di tangannya itu. Melihat-lihat isinya dengan acak. Sementara Jae Hyun berjalan-jalan di antara raknya, mencari-cari sebuah buku yang entah apa.

"Tuan Seon," sampai Hwang Je No memanggil kemudian.

"Ya?" Jae Hyun masih tak menoleh. Matanya sibuk.

"Ku dengar kau akan menikah?"

Seon Jae Hyun menoleh dengan cepat. "S-siapa yang memberitahumu tentang itu?!" Dia terkejut setengah mati.

"Penasihat Seon tentu saja," Je No tertawa kecil.

Jae Hyun langsung merutuk, "astaga ayah..."

"Benar tidak?"

Pria yang mengenakan ikat kepala itu berdeham, "yahh... begitulah, tapi aku masih belum menanyainya."

"Gisaeng yang kau ceritakan padaku waktu itu?" Hwang Je No mengangkat sepasang alisnya.

"Mn."

"Ahh, kau gibu-nya kan? Wah, kau benar-benar menikahinya," Hwang Je No tertawa, menepuk-nepuk pundak Seon Jae Hyun.

Sebenarnya memang tidak ada yang tahu tentang dia yang memiliki seorang gisaeng dan siapa gisaeng itu. Hwang Je No mungkin memang tahu, tapi hanya sebatas dia berhubungan dengan seorang gisaeng. Jae Hyun sendiri tidak siap untuk memberitahu orang-orang istana.

Tapi kan pada akhirnya semua orang harus tahu.

"Kau tahu gisaeng yang menari di festival kebudayaan waktu itu, Hwang Yong-Geum?"

Tawa Je No langsung mereda, dengan sisa senyumannya yang memudar, dia menatap Jae Hyun. "Gisaeng... festival kebudayaan? Em, ada... banyak gisaeng saat itu, Tuan Seon."

Entah mengapa jantung Hwang Je No tanpa alasan berdebar dengan kencang. Ada sebuah perasaan tidak nyaman yang membuat ekspresinya berubah.

"Gisaeng yang membuat ricuh para yangban, Son Je Ha."

Raut wajah Hwang Je No benar-benar telah berubah. Dia hanya bisa menatap Seon Jae Hyun yang terlihat bahagia dalam pandangan matanya.

"Son Je Ha adalah gadisku yang selalu ku ceritakan padamu," lanjut tuan cendekiawan, masih dengan seulas senyumnya.

Son Je Ha... adalah gisaeng-nya Seon Jae Hyun?

Hwang Je No masih berdiri di tempatnya. Dalam diam yang mencekam. Dia perhatikan seluk beluk wajah Sang Pengajar Kerajaan. Tampak begitu serius, tulus, dan bahagia.

Beberapa saat setelahnya, Hwang Je No tersenyum menghela pada akhirnya. Dia menyentuh pundak Seon Jae Hyun, lantas berucap. "Selamat, Tuan Seon."

Hwang Je No benar-benar sadar, Son Je Ha akhirnya menemukan 'pria itu'. Pria yang sempat mereka bicarakan sebelumnya.

Pria yang akan mencintai gadis itu dengan begitu tulus.


***


Pria itu sedang berjalan sendirian di pasar.

Kalian mungkin bisa menebaknya.

Benar, itu Wang Jae.

Pangeran ke tujuh yang sangat jarang sekali bahkan hampir tidak pernah menampakkan diri di depan rakyatnya. Karena itu dia kini berjalan dengan tenang, dengan pakaian biasa seperti orang-orang pada umumnya. Tanpa jubah pangerannya.

Berjalan dengan tenang, sembari membawa selendang di tangannya yang tertaut di belakang punggung.

"Apa kau sudah dengar? Yang Mulia Putra Mahkota akan berangkat ke medan perang sekali lagi!"

"Sungguh?! Apakah Panglima Hwang juga ikut bersamanya?!"

"Eiyy itu pasti! Pasti! Tidak mungkin mereka berperang tanpa Panglima Hwang! Putra Mahkota bahkan sangat mengandalkan uri Hwang Yong-Geum!"

Wang Jae memelankan langkahnya ketika mendengar orang-orang tengah membicarakan kakak sulungnya.

Jadi memang begini kerjaan orang-orang desa, membicarakan para pangeran dan orang-orang istana.

Wang Jae memilih untuk berhenti di tempat orang yang menjual wortel. Melihat-lihatnya sembari mendengarkan orang-orang itu.

"Tapi bukankah Panglima Hwang sangat kasihan? Dia terus saja pergi berperang! Mungkin selanjutnya Pangeran Wang Jin dan Wang Hun yang mengawal Putra Mahkota!"

"Kau bercanda? Tidak ada yang lebih tangguh dari Panglima Perang kita!"

"Kau lupa dengan pangeran ke tujuh? Dia adalah salah satu ksatria dengan pedang legenda seperti Hwang Yong-Geum! Dia jelas terpilih oleh Dewa!"

"Aigoo, anak haram itu?"

Wang Jae tercekat di tempatnya.

"Yahh kau benar, dia memang hebat, cukup kirim saja dia ke medan perang. Asalkan Putra Mahkota selamat itu tidak akan masalah meskipun dia berkorban."

"Bukankah Wang Jae sangat kasihan? Dia memiliki nasib buruk! Sangat buruk! Dewi Kemalangan pasti telah mengikutinya sejak dia lahir!"

Untuk saat ini, Sang Pangeran ke tujuh masih terdiam dengan tubuh kaku. Dia sangat ingin membunuh orang-orang bermulut setajam pedang ini, namun dia harus menahan diri mati-matian.

"Aku takut karena kemalangannya itu, Goryeo akan ditimpa nasib buruk!" Lanjut salah seorang wanita yang sedang membeli lobak.

"Benar! Kenapa Raja Gwangjong tidak memberikan bayi Wang Jae pada ibunya saja?! Aku tidak tahu apa yang dipikirkan Raja Gwangjong sampai harus membesarkan anak yang tidak memiliki latar belakang keluarga ibu."

Wang Jae mengepalkan tangannya, dia sudah berbalik dan ingin menghukum orang-orang desa itu.

"Aigoo-ya, apa yang kalian lakukan di pagi hari seperti ini? Hari bahkan belum siang dan kalian sudah membicarakan keburukan orang lain!"

Langkah Wang Jae terhenti ketika dia melihat seseorang turun dalam perbincangan itu. Keningnya mengernyit, lalu dia melebarkan matanya.

"Aish! Apa yang dilakukan pengemis ini?!"

"Aku bukan pengemis! Tuan-tuan dan nyonya-nyonya, kalian ini seharusnya pantas dihukum karena membicarakan seorang pangeran!" Gadis berpakaian compang-camping dengan wajah kotor itu mendengus, "Bagaimanapun pangeran ke tujuh adalah anak Raja! Apakah pantas kalian menjelekkannya seperti itu?"

"Kami tidak menjelekkan, bukankah itu memang faktanya?"

"Para Pangeran selalu diberkati, hati-hatilah saat berbicara. Bagaimanapun dia juga sudah berkali-kali terjun dalam medan peperangan dan membawa kemenangan untuk Goryeo, apakah kalian pikir di sana Pangeran Wang Jae hanya membagi-bagikan makanan?"

Wang Jae yang mendengar omelan gadis itu, mengulum bibir, menahan diri untuk tidak tertawa.

"Kalian ini terlalu mengagungkan Panglima Hwang! Bagaimanapun Panglima Hwang juga akan kesulitan jika tidak dibantu!"

"Aih! Sepertinya dia orang gila? Darimana asalnya?"

Son Je Ha melotot ketika mendengar perkataan orang-orang desa. Bukannya meresapi apa yang dikatakan, mereka malah mengatainya orang gila?!

"Sudahlah! Mari kita pergi saja sebelum dia bicara yang tidak-tidak lagi!"

"Huh, Pangeran yang diberkati apanya!"

"Wahh orang-orang ini!" Je Ha mendengus tidak percaya, "hei! Jika tidak diberkati! Dewa tidak akan menurunkan pedang legenda itu padanya!"

Gadis itu masih mengomel, namun kerumunan orang-orang sudah membubarkan diri dan tak ada yang menghiraukannya. Membuatnya seperti orang gila sungguhan.

Ini menyebalkan. Son Je Ha sudah kesal duluan sebelum dia berbelanja beberapa sayur untuk dimasak nanti malam. Karenanya, gadis itu lebih memilih untuk pergi dari pasar, mengabaikan orang-orang yang berbisik karena penampilan ajaibnya.

Wang Jae sempat takjub. Tingkah gadis ini begitu berbeda dari biasanya. Son Je Ha adalah seorang gadis gisaeng yang sangat anggun dan halus dalam setiap tutur katanya. Namun barusan, Wang Jae nyaris syok.

Melangkahkan kakinya, pria itu memilih untuk mengikuti Si gadis yang berjalan keluar dari pasar. Dia menjaga jarak, berusaha agar tidak ketahuan sedang menguntit.

Dia sangat ingin menyapa Son Je Ha, tangannya sejak tadi dia angkat dan turunkan. Ragu-ragu untuk memanggil.

Terakhir mereka bertemu, gadis itu tampak ketakutan di depannya. Jadi kali ini... Wang Jae tidak ingin menghancurkan suasana.

Saat sibuk berpikir, Wang Jae mengusap dahinya dengan frustrasi. Dan saat dia mengangkat kepala, Son Je Ha rupanya sudah berhenti dan entah sejak kapan memandangnya.

"Sejak kapan anda mengikuti saya?" Tanya gadis itu.

Wang Jae panik setengah mati, namun dia mencoba untuk tenang. Pria itu berdeham, bertingkah canggung sebentar.

"Mengapa anda berpakaian seperti itu?" Lanjut Son Je Ha.

Akhirnya, Pangeran ke tujuh mendekati Si gadis gisaeng, berhenti pada jarak tiga chi. "Aku... ingin mengembalikan ini padamu," dia menyerahkan selendang putih yang terlipat dengan rapi di tangannya.

Son Je Ha diam sejenak. Memandangi selendang miliknya di tangan Sang Pangeran, tak segera mengambilnya.

"Anda mendengar perkataan orang-orang di pasar tadi?"

Kalimat telak itu membuat Wang Jae terdiam. Bingung harus menjawab jujur atau berpura-pura tak tahu.

Namun dia bahkan belum menjawab, dan Son Je Ha sudah melanjutkan kata-katanya.

Gadis itu tersenyum menghela, "jangan pikirkan itu, Hwangja-nim. Anda benar-benar seseorang yang diberkati, Goryeo dan rakyatnya selalu membutuhkan anda."

Ada sebuah kelegaan yang besar di hati Wang Jae. Melihat gadis di depannya ini tersenyum, hati Sang Pangeran menghangat. Meski wajah itu sangat kotor, Wang Jae masih bisa kecantikan tiada tara yang membuatnya seolah buta.

"Terima... kasih."

Dia bukan orang yang mudah mengatakan maaf dan terima kasih, namun Son Je Ha adalah satu-satunya orang yang mendengar ungkapan itu langsung dari Pangeran ke tujuh.

"Anda tidak perlu berterima kasih, mereka memang tidak seharusnya membicarakan keburukan orang seperti itu. Baik pangeran atau pengemis. Semua manusia itu, sama."

"Ehem," Wang Jae berdeham sekali lagi, dia sudah sangat salah tingkah, dan tidak mau dirinya terlihat semakin bodoh. "Ini, ambillah." Dia meletakkan selendang itu di tangan Son Je Ha.

Sempat terpukau saat menyentuh tangan itu. Tangan yang sangat lembut dan hangat. Sebuah tangan kecil, tangan terhalus yang pernah dia sentuh.

Lalu, pria itu dengan cepat berbalik. Pergi dari hadapan Son Je Ha tanpa sepatah kata pun. Sialnya, meski dia ingin melihat gadis itu lama-lama, dirinya sendiri merasa tak sanggup untuk berada di dekat gadis itu.

Wang Jae mengutuk dirinya sendiri.

Sebenarnya, di dalam lipatan selendang itu, dia telah meletakkan selembar kertas yang isinya adalah sebuah sajak. Sajak sederhana yang dia tulis saat memikirkan gadis itu.

Wang Jae tidak mau melihat bagaimana reaksi Son Je Ha, dia terlalu malu dan tidak sanggup.

Lalu, sialnya lagi, saat dia mulai menjauh, Son Je Ha dari belakang berteriak memanggilnya. "Hwangja-nim!"

Pangeran ke tujuh tidak mau berhenti, dia malah mempercepat langkahnya.

Namun Son Je Ha malah mengejar. "Hwangja-nim tunggu!"

Wang Jae berlari, Son Je Ha ikut berlari.

Dan terjadilah aksi kejar-kejaran antara Sang Pangeran dengan Si gadis gisaeng yang membawa selendang dan lembaran kertas dengan coretan tinta di tangannya.

"Hwangja-nim saya bilang berhenti!"


Dugkh!!


Son Je Ha dengan tenaganya yang tak main-main, berhasil mengejar Wang Jae. Lalu dia memukul punggung pangeran itu hingga membuat Sang empunya mengaduh. Kesakitan sekaligus terkejut.

"Kenapa anda lari?" Son Je Ha melempar pertanyaan dengan wajah kebingungannya.

"A-aku... aku terburu-buru!"

"Ini, ketinggalan," gadis itu menyodorkan kertas berisi sajak tersebut ke hadapan Wang Jae.

Pangeran ke tujuh langsung kaku.

Dia memandangi kertas itu dengan horor.

Apakah gadis ini bodoh?!

"Kau..." Wang Jae mengambil napas panjang. "Itu untukmu!"

Son Je Ha mengernyit. Dia kembali menarik kertas itu dan melihat isinya. Cukup lama, memandangi huruf huruf hanja yang ditulis dengan sangat rapi dan indah bagai lukisan.

Lalu gadis itu mengangkat kepalanya lagi, menatap Wang Jae. "Ini apa?"

"Apa?" Wang Jae nyaris saja menggunakan nada tinggi, "apa maksudmu dengan apa?"

Si gadis gisaeng menyerahkan kertas sajak itu sekali lagi. "Bukankah ini catatan strategi perang?"

Wang Jae frustrasi. "Kau... apakah kau tidak bisa membacanya? Bagaimana bisa kau mengatakan ini adalah strategi peperangan?"

Dengan wajah polos yang minta dihajar, Son Je Ha berkata, "saya buta huruf."

Demi Tuhan. Wang Jae sebenarnya sangat kesal sampai mau gila. Tapi dia tidak bisa menyalahkan gadis ini karena dia juga tidak mencari tahu— tapi kan seharusnya bisa membaca dan menulis?! Gadis ini adalah seorang gisaeng, kan?!

"Bagaimana mungkin kau tidak bisa baca tulis?! Kau ini gisaeng!" Wang Jae kesal.

"Saya tidak belajar baca tulis, saya bukan gisaeng resmi," jawabnya.

Wang Jae kehilangan kata-katanya. Dia jarang berinteraksi dengan orang, dan tidak pernah dihadapkan seseorang seperti ini sebelumnya. Jadi dia tidak tahu apa yang harus dia lakukan dengan kekesalannya.

Menghela napas panjang, Wang Jae mendorong Son Je Ha. "Bawa saja itu, minta seseorang membacakannya untukmu."

"Mengapa tidak anda saja yang membacakannya untuk saya?"

"Aku tidak mau."

"Mengapa tidak?"

"Karena aku tidak ingin."

"Mengapa anda tidak ingin?"

"Aku hanya tidak ingin saja! Perempuan ini!"

Son Je Ha mengerjap, memundurkan wajahnya ketika Wang Jae berteriak. "Ya sudah, anda tidak perlu berteriak seperti itu," dia menurunkan tangannya dan menyimpan sajak itu kembali. "Terima kasih, aku akan bertanya pada senior gisaengku nanti." Dia tersenyum kemudian, sangat lembut.

Wang Jae mendengus keras-keras, lalu tanpa pikir panjang dia berbalik sebelum Son Je Ha berubah pikiran lalu memaksanya. Dengan langkah cepat, Wang Jae mendecak, menahan semu merah di wajahnya.

Rencananya gagal total.

Apakah gadis itu gila menyuruhnya untuk membaca sajak itu? Tepat di depannya?

Setangkai peony merekah seorang diri
Mengabdi di bawah rinai hujan
Setangkai peony yang tak mau merunduk
Menyapa Sang Raja
Melambai pada Sang Dewi
Membakar hati ksatria kegelapan
Setangkai peony
Yang mencuri kecantikan rembulan








Bersambung...





.

.

.


Penasihat Kerajaan - Seon Ji Won




😳😳😳

Continue Reading

You'll Also Like

32.4K 3.6K 38
Semuanya berubah dalam sekejap. Ibunda Seohyun yang dulu selalu mendukung penuh keinginan putrinya untuk menjadi dokter kini berubah 180 derajat. Per...
28.8K 321 1
Seperti hukum wajib, selalu ada murid yang meninggal karna bunuh diri setiap dua bulan sekali di SMA Mahapati. Tapi suatu hari, ada sebuah rumor yang...
646K 126K 56
SUDAH TERBIT/DIBUKUKAN 📖 - part masih lengkap cinta masa SMA? bodoh ©anyanunim
2.7M 431K 39
[SUDAH TERBIT] TRILOGI BAGIAN 1 Kadang Natta bertanya-tanya pada dirinya sendiri, kenapa dia masih bersedia pacaran sama Jeno Setyo Novanto yang jela...