-22-

478 51 19
                                    

Keduanya sontak berbalik, melihat ke arah sumber suara. Mereka kompak saling pandang, terkejut bukan main. Sepertinya masalah baru tidak lama lagi menghampiri kehidupan Anila yang sudah semakin hancur.

"Ma-Magnolia," gumam Anila yang tanpa sadar menjatuhkan barang belanjaannya.

Wajah tanpa binar itu kini semakin meredup, memucat bak tanpa darah. Sekujur tubuhnya seperti membeku, dingin meski cuaca tidak begitu menghadirkan angin. Entah bagaimana takdir akan menjungkirbalikkan dunianya untuk yang kesekian kali, yang dia tahu kesabaran harus tertancap erat dalam dirinya.

Tawa sinis tampak pada wajah tirus dan bermata cokelat gadis langsing bak model di hadapan sepasang sahabat yang selalu tampil apa adanya.

"Gue gak nyangka kalau orang seperti lo berakhir kayak gini. Bela-belain bantu korban GDC malah lo yang jadi pelacur." Tanpa rasa bersalah Magnolia berucap begitu saja.

Bukan Anila yang berang, melainkan Mia. Cewek berkacamata itu maju selangkah di hadapan Magnolia. Emosinya mengalir sampai ke kepalan tangan, ingin sekali bertindak kasar, menguncir mulut yang tak memiliki tata krama.

"Jaga mulut lo! Lo gak tahu apa-apa soal Nila," gertaknya.

"Hahaha, gue gak tau apa-apa, itu awalnya. Tapi, coba lo lihat belanjaan teman lo." Telunjuk Magnolia mengarah ke kantung belanjaan Anila yang sudah terkapar di tanah. Dari sana terlihat kemasan susu hamil dan segala sesuatu yang berhubungan dengan kehamilan.

"See? Pahlawan kaum tertindas ternyata berubah jadi pelacur. Gue jadi penasaran siapa yang ngehamilin lo." Di akhir kalimat, derai tawa mengisi lorong-lorong telinga Anila yang hanya bisa membisu.

Dia tak mampu mengelak. Sekeras apa pun berkata tidak, tetap saja tak menutup sebuah fakta bahwa dirinya sedang mengandung. Beginilah dunia memperlakukannya. Jika terlalu mengedepankan duniawi, maka akhirat pun berpotensi untuk dilupakan.

Anila tetap bersyukur karena masih diberi kesempatan hidup di dunia dan memperbaiki apa yang masih bisa diselamatkan. Dunia bisa saja menjatuhkanmu sampai ke dasar kehidupan tanpa semangat, tetapi kekuatan dari sang pencipta akan menyadarkanmu bahwa tak pernah ada kesulitan melebihi batas kemampuan seorang hamba. Anila yakin itu.

"Gue emang gak sebaik yang lo kira," kekeh Anila seraya menghapus air mata, berusaha terlihat tegar. "Tapi, gue juga gak seburuk apa yang ada dipikiran lo. Mungkin gue gagal runtuhin GDC, tapi suatu saat nanti akan ada orang yang lebih berani ngelawan komplotan kalian, gue percaya," lanjutnya, lalu segera memungut semua barang belanjaan dan berlalu dari sana disusul oleh Mia.

Magnolia menatap tajam ke arah dua gadis itu. "Lihat aja, berita kehamilan lo bakalan menyebar di kampus, gue jamin lo bakalan malu sampai gak bisa nunjukin wajah lo pada dunia."

"Udah, Nil. Gak usah didengar," sambar Mia, "Lo hebat dan bakalan tetap jadi orang hebat," hiburnya seraya merangkul bahu sahabatnya.

Anila semakin menangis sesegukan. Dia bersyukur masih ada Mia di saat seperti ini, tetapi dukungan orang tua, pelukan sang ibu akan jauh lebih melepaskannya dari belenggu kehidupan yang semakin membelit rongga dada.

Anila kangen ibu.

***

Dikta memandang pintu kamar sang kakak. Lagi-lagi dia belum bisa menenangkan emosi yang selalu ingin meluap ketika melihat wajah Jendra. Entah bagaimana mengatasi ini semua, tetapi dia ingin sekali berbicara dengan kakak tirinya.

Nampan berisi makan siang ditatapnya lamat-lamat. Apa harus bertindak semanis ini untuk mengubah emosi negatifnya? Dia harus melakukan ini untuk membantu Jendra terlepas dan kembali pada Anila, bukan?

"Demi Anila, bukan Jendra," gumamnya meyakinkan diri.

Laki-laki berkaus hitam polos, bercelana jins pendek itu membuka pintu menggunakan kunci yang dia dapatkan dari mamanya. Entah bagaimana bisa kunci kamar sang kakak ada pada Syahna.

Pintu terbuka, menampakkan Jendra yang tengah termenung di atas kasur sembari memandang langit mendung di atas sana. Cowok ber-hoodie hitam tersebut tampaknya tak menyadari kehadiran sang adik tiri, hingga Dikta sendiri yang memecah hening ruangan itu.

"Makan."

Tak ada respons, Dikta merasa aneh dengan nada suara datarnya. Dia tak pernah bersikap seperti ini sebelumnya. Sangat tidak alami.

Butuh waktu beberapa menit sampai Jendra akhirnya membuka suara. "Gimana kabar Anila? Dia baik-baik aja? Dia tetap di apartemen gue, kan?"

Dikta membuang napas panjang, ingin sekali melempar wajah kakaknya menggunakan bantal karena melayangkan pertanyaan secara beruntun.

"Dia jelas gak baik-baik aja ... dan gue maksa dia tetap di apartemen lo."

Dalam hati, Jendra bersyukur. Namun, dia tak dapat berbuat apa-apa. Semangat hidupnya sudah tak ada. Ancaman teror yang dikatakan papanya sungguh membuat Jendra tak dapat berkutik. Dia tidak ingin mental Anila semakin tertekan. Akan tetapi, permintaan Galih tetap saja merusak kehidupan gadis itu. Ini semua salahnya.

"Gue ... titip Anila sama lo. Jaga dia, cukup jaga dia," ucapnya begitu lemah.

Dikta termenung. Untuk pertama kali dia melihat Jendra begitu terpuruk. "Apa lo terima perjodohannya?"

Sebagai jawaban, laki-laki di depannya mengangguk. Dikta tertawa sinis, tidak menyangka kehidupan sahabatnya berubah kelam sejak bertemu Jendra.

"Lo bego?"

"Gue gak punya pilihan. Gue boleh pinjam ponsel lo? Untuk terakhir kalinya gue pengen ngobrol sama Anila."

"Gak! Lo gila. Kenapa lo bisa setega itu?"

"Gue mohon ... sekali aja," pintanya, terdengar seperti lirihan.

Mendengar keputusasaan sang kakak, Dikta melempar ponselnya ke atas kasur dan menyisakan ruang privasi untuk si pemilik kamar sehingga hanya ada Jendra di sana. Cowok itu mencari kontak Anila dan ketika menemukan nama gadis itu, dia termenung beberapa saat.

Sudah dua hari dia tak melihat gadis itu. Tiba-tiba saja dia sangat khawatir. Setelah meyakinkan diri, tangannya menekan tombol panggil dan menunggu seseorang menjawab. Setelah beberapa kali mendengar nada sambung, detik berikutnya terdengarlah suara lemah Anila dari balik telepon.

"Halo, Dik."

Jendra membisu, tanpa bisa ditahan air matanya mengalir begitu saja. Haruskah dia mengatakannya? Bagaimana bisa meminta gadis itu untuk melakukan hal menyakitkan ini sementara kehidupan Anila sudah jauh lebih buruk.

"Dik," sapa Anila sekali lagi.

"Nil, ini gue Jendra." Dia menghela napas setelah satu kalimat berhasil dilontarkan.

Jendra tebak, saat ini gadis itu terkejut bukan main. Seulas senyum terpatri di wajahnya ketika berbagai ekspresi Anila bermunculan dalam benaknya. Dia benci mengakui bahwa dia rindu, tetapi itulah faktanya.

"Kak Je-Jendra."

"Nila, maafin gue. Tapi, lo harus gugurin anak itu." Jeda sejenak. "Gue bakalan tunangan sama cewek pilihan papa, Nil. Maafin gue ...." Jendra meremas ponsel dalam genggaman, tidak tahan mendengar isakan Anila.

"Gue ... bakalan lahirin anak ini. Ma-maaf."

Panggilan diputus secara sepihak, tidak membiarkan Jendra berbicara. Sekarang penderitaan apa lagi yang harus dia terima?

***
25/06/2021
.
Percayalah, menjadi perempuan tak segampang yang cowok pikir. Kalian apa kabar hari ini?

Mistake ✓Where stories live. Discover now