-06-

426 53 22
                                    

Wajah putih tanpa bekas jerawat terlihat merona dengan bibir berwarna merah muda, sangat alami padahal tetap menggunakan pemerah bibir. Magnolia melangkah pelan, sangat anggun dan selalu seperti itu. Gaun berwarna biru muda senada tas selempang yang digunakan menambah pesona sang gadis berdarah Jerman tersebut.

Dia berhenti tepat di depan sebuah kamar bercat emas. Untuk pertama kali raut kesal menjadi teman bertamunya ke rumah sang sepupu. Tujuan kali ini adalah mengganti target penantang, siapa lagi jika bukan Jendra. Dia tidak akan membiarkan seseorang yang dia cintai sejak kelas sepuluh SMA itu direbut oleh gadis seperti Anila.

Kepalan tangan Magnolia hampir mengetuk pintu, tetapi penutup kamar tersebut sudah terbuka lebar menampakkan cewek ber-hoodie kebesaran dibalut hotpants. Wajahnya tak kalah cantik dengan Magnolia. Saat mendapati kehadiran sang sepupu, gadis itu kontan memutar bola mata.

"Udah gue bilang gue lagi pengen sendiri," kesal Bita seraya berjalan ke arah balkon, berniat duduk di salah satu kursi beralas kain beludru sambil menatap langit malam.

Magnolia mengekori langkah Bita, dia semakin jengkel karena tidak disambut bahagia oleh gadis itu. "Batalin Jendra jadi target, Bi," mohonnya ketika mereka sudah duduk nyaman di kursi.

Bukannya mendapat respons kaget, Bita malah mendengkus sinis seperti telah menduga permintaan demikian akan didengar dalam waktu dekat. Terbukti, cewek berbeda dua tahun dengannya ini menyampaikan keinginannya.

"Gue pikir lo udah tau rencana gue." Bita memainkan ponsel dan berbicara tanpa minat. Sungguh dia sedang tidak bersemangat bertemu siapa-siapa hari ini.

Dalam sekejap emosi Magnolia semakin membuncah. Dia berusaha sekuat mungkin agar tidak menggunakan kata kasar saat berbicara dengan pendiri GDC ini. Kepalan tangan di samping tubuh semakin mengerat, perlahan meremas bajunya sendiri, membayangkan benda tersebut adalah Bita.

"Lo tau kalau gue cinta sama satu orang. Jendra. Tapi, lo kenapa malah jadiin dia target? Parahnya lagi lo ngatur biar Anila bareng Jendra! Gue gak setuju, Bi," rajuk gadis itu.

"Gue gak perlu pendapat lo. Lagian lo bukan pacarnya Jendra. Kalau pengen dapetin cowok itu lo harus bersaing sama Anila." Tidak ingin peduli akan perasaan Magnolia, gadis itu malah berkata santai.

Seperti dihunjam pisau gaib, cewek pemilik rambut berwarna cokelat muda di samping Bita merasa perih tepat di ulu hati. Dia tidak menyangka bahwa Jendra dipilih menjadi target oleh sepupunya. Dia kecewa terhadap keputusan itu.

"Gue tau lo benci sama Anila, tapi dengan jadiin cowok itu sebagai target, rencana lo bakalan gagal," bentak Magnolia tanpa sadar.

Bita bangkit dari duduknya, menatap datar gadis yang kini tengah berkaca-kaca. Empatinya habis dikoyak benci, perasaan sepupunya bahkan tak menjadi masalah hanya untuk membuat seorang gadis tersiksa.

"Kita lihat aja nanti," putusnya sebelum berlalu dari sana. "Gue mau Anila sakit hati gara-gara Jendra. Siapa suruh berani bohongin gue dengan pura-pura jadi jahat biar bisa gabung sama kita."

***

Anila segera berlalu dari kelas saat mata kuliah selesai, meskipun arloji masih menunjukkan pukul 09.05 pagi. Biasanya dia akan berkumpul bersama Dikta dan Mia di kantin, tetapi semua berbeda ketika misinya harus segera diselesaikan.

Jarak antara gedung Fakultas Hukum dengan Fakultas Keolahragaan cukup jauh. Untuk mengurangi kelelahan, dia memilih lewat taman, lumayan terhindar dari sinar matahari yang berlebihan. Dalam hati dia berdoa agar bisa bertemu Jendra. Menurut informasi dari beberapa teman, hari ini cowok itu juga memiliki jadwal kuliah pagi.

Saat menampakkan kaki di koridor fakultas dia langsung disambut pemandangan para mahasiswa yang jumlahnya lebih banyak dari mahasiswi. Dia memelankan langkah seraya mengamati sekitar. Penampilan perempuan di sini tidak jauh berbeda dengannya yang lebih senang menggunakan hoodie ataupun jaket, dia sama sekali tidak menemukan mahasiswi menggunakan dress di sekitar sini.

Anila tertawa kecil, akan sangat aneh rasanya jika dia berjalan di antara mereka menggunakan dress selutut. Membayangkan dirinya menjadi objek tatapan cowok membuat gadis itu bergidik ngeri.

"Wah, Allah emang selalu memudahkan jalan hambanya," jerit gadis itu kala melihat Jendra berjalan di hadapannya dan diapit oleh dua orang cowok.

Jendra melewati Anila begitu saja hingga membuat gadis itu cemberut, tetapi hanya berlangsung selama tiga detik dan langsung mengejar ketiga cowok tadi, lantas menghadangnya.

"Gue pengen ngomong sama Kak Jendra," jelasnya sembari menatap senior bertubuh jangkung itu dengan tatapan berharap.

"Kayak pernah liat," sambar Adnan ketika meneliti wajah gadis imut yang menghalangi jalan mereka.

Darash mengangguk. "Gak as—ya ampun! Lo cewek kemarin yang gagalin tindakan Magnetudo, kan?"

Kernyitan pada dahi gadis itu sontak terlihat. "Magnetudo atau Magnesium, nih, Kak?"

Adnan dan Darash kompak tertawa membuat Jendra mendengkus kasar dan memilih menjauh dari makhluk-makhluk aneh di sekitarnya. Dia sudah kesal karena gadis aneh itu ternyata terus mengejar. Dia pikir gadis yang diketahui namanya sebagai Anila dari Dikta hanyalah salah satu fans-nya yang sewaktu-waktu akan hilang setelah melihat tingkah cuek dan kasarnya.

"Bisa aja lo. Lo berani juga ngelawan Magnolia," puji Adnan sambil merangkul bahu Darash.

Anila tertawa kencang. "Aelah, gue gak pernah takut sama orang lain. Ya udah, gue kejar dia dulu, jangan ngikut."

Lagi-lagi mereka dibuat melongo oleh tingkah gadis itu, terlebih dari cara berbicara yang sudah pasti tidak sopan untuk seukuran Anila kepada senior.
Sebenarnya masih ada tanya yang ingin mereka lontarkan, tetapi Anila terlampau jauh untuk dikejar dan mereka tidak ingin mengejar. Baik Darash dan Adnan tertawa kencang ketika membayangkan Jendra pusing tujuh keliling menangani tingkah gadis itu, atau justru gadis itu yang akan pusing karena sikap cuek Jendra.

"Kak, dengerin gue dulu, please," mohon Anila, tangannya mengenggam tangan Jendra yang sempat disambar beberapa detik lalu. Hal itu kontan membuat cowok yang kerap memberi tatapan mengintimidasi langsung menghempas tangannya secara kasar.

Sekarang mereka berdua berada di pinggir lapangan basket yang sepi, tepatnya di samping pohon cemara kipas. Angin membuat rambut sebahu gadis itu melambai pelan ke sisi kiri. Jendra sempat terpana sekian detik melihat wajah imut di depannya. Saat sadar, dia buru-buru menumbuk keterpanaannya agar tak berlangsung lama.

Anila mencak-mencak di tempat, bergumam memberi semangat dirinya sendiri saat Jendra berdeham, lalu kembali melangkah.

"Kak, lo jadi target GDC kali ini dan gue harus luluhin lo." Dia menyerocos sembari berusaha menyamakan langkah cepat si senior. "Lo denger, kan? Mau diluluhin sama gue, ya?" pintanya.

Jendra berhenti melangkah, tatapan setajam pisau langsung menyambut iris mata gadis itu. "Lo pikir gue peduli? Gak!" tolaknya mentah-mentah.

"Ayolah, Kak. Jadi pacar bohongan gue tiga bulan aja."

"Gak."

"Kalau gue kurang feminim tenang, Kak. Gue bisa, kok, jadi sefeminim mungkin biar gak malu-maluin"

"Gila!"

"Ih, kok, gitu? Serius gue bisa jadi teman curhat juga, Kak. Dijamin rahasia gak bocor-bocor." Anila masih berusaha meyakinkan Jendra dengan berbagai cara.

Cowok itu menghela napas panjang, dia ingin meluapkan kemarahannya. Namun, dia teringat perkataan Dikta malam itu.

"Jangan kasar-kasar sama Anila. Dia ngejar lo karena sebuah tantangan."

Dia tersenyum miris, mengejar hanya untuk tantangan? Lantas, haruskan dia mewujudkan permintaan gadis itu? Melengos, seharusnya dia tidak terlalu memusingkan hal seperti ini.

09/06/2021

Revision: 07/06/2023

.

Anila aku menyemangatimu, Nak. Kamu pasti bisa luluhin Jendra😆

Mistake ✓Where stories live. Discover now