-13-

338 47 11
                                    

Dalam keheningan malam Jendra mengendarai motor begitu pelan, menyusuri aspal tanpa kendaraan lain. Dia tahu sedikit orang yang akan melewati jalan ini sebab ada pemakaman. Namun, tujuannya memang menyambangi sebuah makam, rumah peristirahatan terakhir sang ibunda, begitupun dengan semua makhluk di muka bumi ini.

Perasaannya kini sedang tak normal, semua objek ingin dia jadikan tempat tumpahan amarah. Akan tetapi, hanya ada ribuan kubur di hadapannya saat ini. Sesaat Jendra memejam, merasakan semilir angin menyapa tengkuk saat menyusuri makam-makam. Dia sungguh ketakutan sekarang, takut kegelapan.

Rasanya seperti ada sesuatu yang menghimpit dada, semakin lama semakin sesak. Dia butuh cahaya sesegara mungkin, tetapi sadar tak ada orang yang akan membawakan secercah cahaya. Dengan cekatan, laki-laki yang masih mengenakan jaket persatuan mahasiswa keolahragaan milik kampusnya itu meraih ponsel, lantas menyalakan senter.

Desahan singkat mengambang di udara ketika matanya diterobos sinar terang. Sesak menguar begitu saja, berganti linangan air mata ketika tiba ke tempat tujuan. Makam sang ibu. Pada batu nisan tertera nama Syakila Rajni binti Alim, wafat pada tanggal 23 Desember 2019.

"Bu ... Jendra datang." Dia melirih bersamaan derai deras air mata.

Kepergian beliau sudah hampir setahun. Namun, saat melihat nama ibunya di batu nisan dia tetap saja menangis. Apalagi ketika mengingat pernikahan papanya bersama perempuan lain enam bulan setelah kepergian Syakila. Sakit, seperti ada yang memaksa hatinya terkoyak, lalu menumpahkan air garam. Begitu cepat papanya mengganti posisi sang ibu dan tanpa persetujuannya.

Lantas, bagaimana bisa dia berbahagia begitu cepat setelah ditinggal pergi? Ibu tiri dan saudara tirinya mungkin peduli padanya, tetapi karena kehadiran merekalah hubungannya dengan sang papa renggang seperti sekarang.

"Bu, Jendra gak suka rumah. Bawa Jendra ke tempat ibu aja, ya," pintanya sungguh-sungguh, berharap Tuhan menjabah doanya, sudah lelah seperti ini. Hidup dalam tekanan tak berkesudahan.

"Papa pengen jodohin Jendra. Andai ibu masih hidup, pasti papa kena omel," kekeh Jendra di akhir kalimat. Memang tak ada manusia lain di sini, tak ada mulut yang memberinya semangat dan nasihat.

Setidaknya dia bisa berkeluh kesah di samping jasad yang sudah berbaur bersama tanah. Dia tidak peduli gelap, suasana mencekam, atau angin-angin kecil yang membuat bulu kuduknya meremang. Selama dia tetap di samping kuburan sang ibu, tak ada ketakutan berarti.

"Jendra kangen sama ibu. Rindu masakan ibu, pelukan ibu saat Jendra gak bisa tidur waktu kecil. Jendra rindu usapan tangan ibu saat Jendra kehilangan semangat. Jendra rindu semua yang berkaitan dengan ibu." Air mata semakin merembes dari netra kelamnya. Tangannya mendekap erat nisan sang ibu, seakan mendekap sosok asli yang dirindukan selama ini.

"Apa Jendra bisa bahagia?"

***

Udara siang hari terasa semakin panas memenuhi sekretaris Himpunan Mahasiswa Program Studi Hukum Tata Negara (HMPS-HTN). Ternyata hari ini cukup banyak yang merapat di ruang berwarna hitam-merah tersebut. Tidak ada rapat atau kegiatan lain di sana, kebanyakan dari mereka datang hanya untuk beristirahat dan malas ke kantin.

Begitu pula yang terjadi dengan tiga serangkai dari angkatan delapan belas ini, yakni Dikta, Anila, dan Mia. Mereka bertiga memutuskan ke sekretariat karena malas berjibaku bersama banyaknya pengunjung kantin siang ini. Lebih baik memesan makanan via daring dan makan bersama-sama di sini, lebih mengakrabkan diri dengan para senior dan junior yang ada.

"Bintang mana?" salah satu senior mencari keberadaan Bintang di tengah-tengah ruangan membuat mereka saling pandang, lantas menggeleng tidak tahu.

Cowok beralmamater hitam berbordir kalimat HMPS-HTN di belakang kain itu berdecak. "Tumben jam segini belum datang," ucapnya begitu lemas.

Mistake ✓Where stories live. Discover now