-18-

427 43 7
                                    

Tak ada manusia yang mengiginkan harga dirinya diambil secara tidak terhormat, apalagi sampai mengandung nyawa di dalam perut tanpa ada kepastian pertanggungjawaban. Itulah yang Anila rasakan saat ini. Khawatir dan tidak pernah menghabiskan malam tanpa tertidur di atas ubin, membawa beban kehidupan nyata ke alam mimpi.

Hampir tiga minggu Anila terus mengurung diri di kamar, tanpa memikirkan perkuliahan serta tanggapan orang tua dan para sahabat mengenai dirinya. Dia yakin, sang ayah dan ibu pasti bertanya-tanya mengenai perubahan sikapnya. Selama ini dia selalu berdalih sedang tidak enak badan, dosen berhalangan hadir sehingga orang tuanya tidak mempermasalahkan Anila tidak ke kampus.

Namun, hari ini kecemasan semakin bertambah setelah melihat test pack. Kali ini doa seorang pendosa seperti dirinya tak terkabul. Gadis berambut hitam acak-acakan itu jatuh di atas lantai kamar mandi, entah sejak kapan air matanya turut luruh. Penanda kehamilan di tangan kanannya ikut bernasib serupa.

Dua garis biru. Anila membekap mulut dan meraung-raung meski tertahan. Harus bagaimana sekarang? Dia yakin ayahnya tak segan-segan menghukum, mungkin saja mengusir. Sementara sang ibu, pemilik kasih sayang tanpa ujung tentu tidak akan kalah kecewa. Dia telah mengecewakan kedua orang tuanya.

"Maaf ... maaf ...." Hanya itu yang mampu dia ucapkan.

Sekelebat pikiran untuk mengakhiri hidup tak mampu ditepis hadirnya. Namun, perjuangan orang tua seketika menyambangi. Bagaimana bisa dia mengakhiri hidup sementara orang terkasih berjuang mati-matian menafkahi? Akan tetapi, di satu sisi dia tetap tidak sanggup hidup bersama kesalahan besar yang 'kan selalu mengikuti sampai akhir hayat.

"Nila, kamu di dalam, Nak?"

Suara Nintia berhasil membuat gadis bermata sembab itu terlonjak. Dia segera menyalakan shower sebagai bentuk alibi, sementara wanita paruh baya yang sudah menaruh rasa curiga terhadap perubahan sikap sang anak lagi-lagi hanya bisa terdiam, mencari cara agar rasa penasarannya terjawab.

Dia memang terlalu sibuk akhir-akhir ini mengurus laundry sehingga tidak terlalu maksimal memperhatikan tingkah Anila, tetapi hari ini dia harus mengetahui sesuatu yang mungkin saja disembunyikan oleh remaja itu.

"Kamu mandi? Ya udah, kalau udah mandi langsung turun ke bawah, sarapan. Kamu selalu makan di kamar akhir-akhir ini."

Anila mengusap air mata lagi dan lagi, suara wanita paling berharga baginya terdengar menyakitkan di telinga. Sebisa mungkin gadis itu menetralkan getaran suara agar ibunya tidak khawatir.

"Iya, Bu. Nanti Anila langsung turun setelah bersih-bersih," teriaknya, berusaha terdengar ceria meski sulit. Setidaknya dia harus menunjukkan bahwa sekarang dia baik-baik saja setelah tiga minggu belakangan tidak saling berinteraksi secara intens, meski sejatinya tak pernah ada ketenangan dalam dirinya.

***

Perlahan gadis berdaster hitam selutut itu menuruni tiap gundukan anak tangga satu persatu tanpa menyadari sang ibu sedang memerhatikan dari meja makan, memandangi anak semata wayangnya dengan rasa penasaran yang terus bertambah dari waktu ke waktu.

"Sini duduk," panggil Nintia selembut mungkin. "Mata kamu, kok, bengkak, Nil?"

Anila merasakan jantungnya berdetak lebih kencang ketika menarik kursi makan di hadapan sang ibu. Mungkin dia bisa berbohong prihal mata bengkak, tetapi binar netranya tak dapat menyembunyikan kesedihan, bukan? Seorang ibu bisa begitu jelas mengenali sorot mata.

"Beberapa hari begadang buat ngerjain tugas kuliah, Bu," jawab perempuan berzodiak gemini itu

Nintia tersenyum lembut. "Ibu gak pernah lihat kamu kuliah, Nil." Mulailah pertanyaan menjebak dilontarkan.

Anila tak lantas menjawab, seolah segala jawaban yang ingin dia sampaikan merosot ke dalam lautan tanpa bisa dijangkau kembali. Seberharap apa pun dia untuk bisa terlihat tenang, tetap saja raut wajahnya tak bisa menunjukkan hal yang sesuai.

"Kuliah, kok, Bu. Tapi, hampir sebulan ini Ibu, kan, sibuk di laundry sama Ayah juga." Dia erharap ekspresinya saat ini terlihat tenang.

"Iya juga, sih. Ya udah, kamu makan aja kalau gitu. Ibu mau ke kamar dulu sebentar."

Nintia buru-buru meninggalkan ruang makan dan segera berbelok ke arah kamar sang anak. Dia harus mencari-cari penyebab anaknya berubah. Kegelisahan yang terpancar dari wajah Anila sangat jelas terlihat dan dia yakin anaknya tidak akan jujur bahkan sekadar menjawab pun mungkin tidak. Jalan terbaik adalah mencari sendiri ke sumber masalah.

Wanita berumur sekitar empat puluhan itu membuka pintu kamar Anila dan langsung menguncinya dari dalam. Dia mulai mencari sesuatu di kasur milik sang anak, tetapi tak ada petunjuk di sana. Dia pun beralih ke rak-rak buku dan lemari pakaian, tetapi tetap saja tak ada titik terang.

"Pasti ada sesuatu," monolognya.

***

Pintu berwarna putih gading keluarga Anila terketuk pelan. Meski begitu, tetap saja pemilik rumah mendengar ketukan tersebut. Anila berjalan pelan ke arah ruang tamu seraya mengecek ponsel. Ada rasa jengkel karena acara sarapan yang merangkap jadi makan siang itu terganggu.

Ketukan semakin jelas terdengar kala gadis itu tiba di depan pintu. Seraya menggerutu dalam hati, dia membuka kayu penghalang di depannya dengan wajah datar.

Saat pintu terbuka lebar dan mendapati kehadiran seorang cowok yang membuat kehidupannya hancur, seketika Anila berjalan mundur, matanya memerah dan langsung meneteskan cairan bening. Dia kontan berbalik dan langsung bersitatap dengan sang ibu dengan test pack di tangan kanan.

Nintia sudah terisak memandang anak semata wayangnya. Perlahan dia mengangkat benda yang menunjukkan dua garis biru tersebut.

"Nila, bisa kamu jelaskan ini sama, Ibu?"

Anila membisu, dia termenung seraya menutup mulut dan bersandar pada dinding. Dia bahkan lupa kehadiran Jendra di belakang sana.

"Nila! Jelasin ibu soal ini? Apa ini?" teriak Nintia, "Siapa dia, Anila?" lanjutnya semakin tidak dapat mengontrol emosi.

Jendra yang awalnya mematung langsung mendekati Anila, menatap seorang wanita paruh baya diikuti sorot mata tegas, tetapi jauh di dalam hati dia sungguh tidak sanggup berdiri di sini. Namun, dia harus bertanggung jawab atas perbuatannya. Dia perlu menjelaskan insiden tak terduga ini.

"Saya Jendra ...," lirihnya. "Saya rasa Ibu sudah tahu apa yang telah terjadi antara saya dan An---"

"Diam kamu!" teriak Nintia lagi, terdengar histeris.

Tak berselang berapa detik, seorang pria paruh baya muncul di ambang pintu. Keadaan sekitar terasa semakin menegang meski Yasa—ayah Anila—belum mengetahui apa-apa.

"Ada apa ini? Anila? Kenapa kamu menangis, Nak?" Yasa menatap ketiga orang di hadapannya dengan tatapan bingung.

"Saya ke sini ingin bertanggung jawab atas kesalahan saya."

✖️
21/06/2021

.
Aku deg-degan sendiri ngetik ini😅
Happy reading.

Mistake ✓Where stories live. Discover now