Nine • Ghost

27 3 0
                                    

Hari itu pun kulalui dengan perasaan terpuruk. Bagaikan hantu yang tersesat, aku terus menyembunyikan diri dari semua orang. Meskipun Jubah Light itu tidak lagi ada padaku, entah bagaimana aku sukses membuat diriku tak terlihat.

Aku juga sengaja menghindari Natie. Aku tidak ingin melihatnya sekarang. Tidak dengan kondisi penampilanku sekarang yang sudah sangat menyedihkan. Aku juga tidak tahu dimana keberadaannya sekarang.

Apa ia sedang mencariku? Apa ia peduli denganku? Atau ia hanya melanjutkan pelatihan di kelasnya tanpa berusaha untuk menemukanku?

Setengah diriku ingin temanku yang itu untuk mencariku. Tapi aku tahu itu sifat egois.

Jangan ganggu dia, Jess, bisik sebuah suara di pikiranku. Kamu sendiri yang lari darinya.

Aku membenci diriku sendiri karena sempat berharap bahwa Natie akan mencariku. Maka kuputuskan untuk menceriakan suasana hatiku sendiri. Mungkin mengambil kembali Jubah Light adalah aktivitas yang paling tepat.

Untuk menghindari kericuhan, aku memilih untuk berjalan melewati lorong yang sepi, agar tak ada satupun yang dapat melihatku.

Tapi aku salah. Saat aku hendak berbelok arah, aku menabrak tubuh seseorang.

"Aduh!" Aku terjatuh, pinggulku mengenai lantai. Jantungku langsung berdegup kencang.

Siapa yang telah menabrakku?! Apa itu Natie?! Scarlet?!

"Hati-hati kalau jalan!" Rupanya itu adalah Alvrian. Rambutnya yang berwarna coklat terang memantulkan cahaya kandelir. Dari jarak sedekat ini, aku bisa melihat dagunya yang lancip, setelah itu ujung sayapnya yang berwarna merah.

"Ugh." Aku bangkit berdiri sendiri dan menepuk-nepuk rokku. "Mana kutahu kau sedang berjalan tadi?"

"Apa?" Tiba-tiba saja ia mencengkeram kerahku. Itu membuatku terkesiap.

Apa orang ini gila? Apa ia tak mengenali siapa aku?

"Jangan berlagak mentang-mentang kau seorang bangsawan," desis Alvrian di telingaku. Itu membuatku mengerutkan dahi. Ternyata ia sudah mengenaliku sebagai seorang Fae Royal. Tapi kenapa masih bersikap kasar?

"Aku melihatmu tadi." Meskipun ia sudah melepaskan kerahku, aku tetap tak bisa mengusir perasaan takutku terhadapnya.

"Melihat apa?"

"Kau adalah temannya, kan?"

Untuk sesaat otakku sibuk berproses. "Oh. Maksudmu Natie."

"Ya. Siapapun dia," katanya lagi, "peringati temanmu itu. Jangan dekati Scarlet. Jangan coba-coba merayu dia."

Merayu? Bukannya justru sebaliknya?

"Apa kau sedang mencoba untuk melindungi temanmu?" Tanyaku sambil menyilangkan tangan.

"Asal kau tahu saja, Natie tidak akan pernah melakukan hal itu. Dan lagipula aku melihat ekspresi Scarlet tadi. Temanmu itu mungkin sudah terlanjur jatuh cinta dengannya."

Rasanya habis menelan racun saat aku mengucapkan kata itu. Jatuh cinta.

"Pokoknya jauhkan mereka." Aku bisa melihat otot pada rahang Alvrian yang mulai menegang. "Aku tidak mau hal itu sampai terjadi."

Aku mendesah. "Dengar ya. Aku tidak tahu kenapa kau ingin sekali melakukan hal itu. Cemburu, mungkin. Tapi kau bisa memegang janjiku. Akan kupastikan tak akan terjadi apa-apa diantara mereka." Setelah itu aku pergi meninggalkannya begitu saja.

Ya. Pasti tidak akan terjadi apa-apa. Aku sudah mengenal Natie. Ia tak pernah tertarik dengan seorang perempuan sekalipun. Ia adalah anak pendiam, yang lebih suka menghabiskan waktu dengan cara mengurung diri di kamar.

Itulah alasannya kenapa kami selalu bermain di ruang tertutup. Bukan karena permintaanku secara pribadi, melainkan untuk menemani Natie.

Tapi bisa saja kamu salah, bisik suara itu lagi di otakku. Selama ini kau tidak pernah bergaul dengan anak lain selain Natie. Kau tidak tahu keadaannya saat terpisah selama enam tahun. Bisa saja ia sudah memiliki teman baru.

Aku menggeleng-geleng dan menarik napas dalam-dalam, mencoba untuk mengusir pikiran buruk itu.

Saat aku tiba di ruangan utama, aku melihat sesosok yang familiar. Natie sedang berdiri membelakangiku. Dan samar-samar aku bisa melihat seseorang yang sedang berbicara kepadanya.

Jantungku memompa cepat. Tak peduli dengan mata yang mungkin bisa melihatku, aku berlari menghampiri temanku. Lebih tepatnya, berlari dengan ujung kaki, agar langkahku tak terdengar.

"Aku menyukaimu." Terdengar suara perempuan. Aku langsung mengenalinya sebagai Scarlet.

"Mungkin kita belum saling kenal, tapi aku ingin kita mencobanya."

Setelah itu, hening.

Aku menggigit bibir bawahku. Belum lewat semenit, aku sudah mengingkari janjiku dengan Alvrian. Rupanya aku terlambat. Scarlet bahkan sudah menyatakan perasaannya kepada Natie.

Aku iri karena ia bisa dengan mudahnya berkata seperti itu.

Kira-kira apa balasan Natie? Aku sudah mengenalnya. Tipe lelaki seperti dirinya butuh waktu beberapa hari untuk berpikir secara matang.

"Aku..." Natie sempat ragu. Belum sempat aku mendengar jawaban darinya, tiba-tiba aku sudah mendengar suara lain.

Suara diriku sendiri.

"Tunggu sebentar Natie." Tanpa kusadari, aku sudah mencengkeram pergelangan tangannya.

Natie langsung terbelalak. Entah karena pernyataanku yang terlalu mendadak atau semata-mata terkejut karena kehadiranku sekarang.

"Ya?" Scarlet mendengus kesal. "Kau tak lihat kami sedang sibuk?"

"Jess. Ada apa?" Tanya Natie dengan ekspresi yang tak terbaca.

Uh oh. Apa ia ingin memarahiku karena kabur seenaknya? Atau ia merasa kesal karena aku telah mengganggu momen keromantisan ini?

Biar bagaimanapun caranya, aku harus bisa menghentikan ini. Tapi tenggorokanku tercekat. Suaraku tidak berhasil kukeluarkan.

"Sebaiknya kau cepat, Jess, karena aku tak suka diganggu," kata Scarlet lagi mulai tak sabaran.

"Natie..." Aku baru sukses mengucapkan nama itu. Lelaki itu hanya menaikkan alisnya.

"Aku... sepupumu."

Astaga! Aku tak percaya hal ini! Aku tak sengaja menyuarakan isi pikiranku!

Scarlet tiba-tiba tertawa lepas, sedangkan Natie malah tersenyum lebar. "Mungkin...?"

Pipiku memerah, dan aku buru-buru melepaskan tangannya.

Sudah cukup, pikirku. Aku harus segera pergi dari sini. Aku tak mau dipermalukan lagi.

"Jess!" Natie berusaha untuk menyusulku, tapi aku tahu tubuhnya ditahan oleh Scarlet.

Aku benar-benar bodoh.

Wings & SoulWhere stories live. Discover now