Ten • Friend?

28 3 0
                                    

Malam itu, aku sengaja tak menghiraukan keberadaan Natie dan berpura-pura tertidur. Rasa malu sudah menumpuk dalam diriku, meskipun aku tidak yakin Natie mengingat kejadian yang tadi. Aku terus menghadap ke arah berlawanan, dan menyembunyikan diri di bawah selimut tebal.

"Jess, apa kau yakin masih mau tinggal disini?" Tanyanya tiba-tiba di tengah suasana hening.

"Memangnya kenapa?" Balasku dengan suara parau.

Terdengar suara tawa khas Natie. Apa ia baru saja menertawakanku?

"Ternyata dugaanku benar. Kau masih belum tidur."

Aku hanya menggigit bibir bawahku. Sial, lagi-lagi aku ditertawakan olehnya. Karena sudah terlanjur seperti ini, mau tak mau aku membalas pertanyaannya.

"Sebenarnya aku kabur dari rumah, tanpa sepengetahuan Mama Papa."

Natie langsung terbatuk, mungkin tersedak air liurnya sendiri.

"Kau gila. Ibumu bisa membunuhmu."

Aku tak menghiraukannya. "Maka dari itu aku tidak bisa kembali. Aku akan tinggal disini bersamamu, meskipun resikonya adalah berbagi kamar."

"Kau tak keberatan, kan?" Balas Natie sambil berbisik, tapi aku masih mendengar jelas suaranya. "Kita sudah sering berbagi ranjang sejak kau masih bayi dan belum bisa membuka mata."

"Ya, tapi bukan itu masalahnya," balasku. Aku tak keberatan kalau tidur di atas lumpur sekalipun, asalkan aku berada dekat denganmu. Aku ingin mengatakan itu padanya, tapi suaraku tak mau keluar dari tenggorokan.

"Kenapa kau pergi menyusulku kesini?" Tanya Natie yang masih penasaran. "Kau juga mau berlatih di sini?"

Sebenarnya, apa alasan aku menyusul Natie? Setelah kupikirkan, jawabannya simpel, yaitu aku tak terbiasa ditinggal olehnya. Rasanya sesak setiap kali Natie pergi meninggalkanku dan pergi berpetualangan tanpa mengajakku. Rasanya seperti sebagian diriku terenggut begitu saja.

Pada akhirnya aku tak menjawab pertanyaannya dan memejamkan mata, membiarkan diriku hanyut sampai terlelap. Bersamaan dengan itu, suara jam raksasa tepat di atas atap gedung tiba-tiba berbunyi, mengumumkan keberadaan bulan purnama yang sudah melayang tepat di atas Bumi.

Pukul jam 12 malam tepat.

•••▪︎♡▪︎•••

"Kau gila?!" Hardikku kepada perempuan berambut coklat terang itu. "Tentu saja tidak!"

Sekarang aku kembali berdiri di lorong, berhadapan dengan Scarlet. Dan ini semua terjadi setelah jam makan pagi.

Aku masih mengingat dengan jelas wajah-wajah yang mengagumiku saat aku makan berdua bersama Natie di aula makan. Karena semua orang sudah melihatku kemarin, aku tak perlu lagi bersembunyi.

Tapi itu tak membuatku menyerah untuk terus mencari Jubah Light yang menghilang dari kemarin. Meskipun aku sudah tidak membutuhkannya, itu adalah benda berharga pemberian Natie dan bisa disalahgunakan kalau jatuh di tangan yang salah.

Kejadiannya kira-kira berlanjut seperti ini. Karena sudah berhari-hari tidak mengisi perut, aku melahap makanan yang disajikan dengan cepat. Saking laparnya, Natie yang biasanya cuek sampai mengomeliku.

Beda dengan manusia biasa, kami bisa bertahan tanpa makanan sampai lima hari lamanya, tapi semua itu mulai berubah semenjak kaum Egleans dibinasakan berpuluhan tahun yang lalu, lima tahun sebelum aku lahir, lebih tepatnya saat Ayah dan Ibuku mulai menjabat sebagai Raja Ratu Fae.

Kaum Fae sudah terbiasa hidup memburu Egleans selama beratus-ratus tahun. Itu mengubah sebagian besar kehidupan Fae, salah satunya cara bertahan hidup tanpa makanan selama lima hari. Dibutuhkan latihan berminggu-minggu tentu saja. Itu semua berguna jika suatu saat mereka terperangkap di suatu tempat atau tidak menemukan sumber makanan di sekitar.

Setelah Natie bangkit dan pergi dari meja makan untuk mengambil gelas minuman, seseorang tiba-tiba menghampiriku. Scarlet bahkan menarik lenganku begitu saja tanpa menyempatkan diri untuk menyapaku.

Dan sekarang, aku kembali berdiri di lorong, menatap tajam Scarlet setelah ia mengatakan sesuatu yang sukses membuatku darah tinggi.

"Bantu aku agar bisa menjadi dekat dengan Natie."

"Kau gila?! Tentu saja tidak!" Aku langsung berkacak pinggang. "Dan jangan pakai sebutan 'Natie'! Nama aslinya Nathan!"

"Kenapa tidak?" Tanyanya sambil menaikkan sebelah alisnya. "Kau kan, hanya sepupunya. Kau juga suka menempel di sisinya, jadi kupikir kalian dekat."

"Tidak mau, Scarlet." Aku menggeleng kepala. "Kau salah sudah meminta bantuanku."

"Tapi kau seorang Fae Royal."

Apa hubungannya?! Rasanya aku ingin menimpuk wajahnya dengan batu.

Mungkin gadis ini berpikir bahwa seorang putri bangsawan sepertiku selalu mendapatkan apa yang kuinginkan. Tapi apa faktanya?

"Maaf, Scarlet. Mimpi tak seindah realita," kataku, meskipun aku tahu ini tak ada hubungannya.

"Jess, kita teman, kan?" Sekarang ia mulai memakai jurus memohon. Jurus natural bagi seseorang seperti dirinya. "Apa susahnya bagimu untuk-"

"Ini yang terakhir kalinya, Scarlet. Aku. Tidak. Mau."

Scarlet jelas tak menyangka aku akan menolak. Warna pipinya mulai berubah menjadi merah. Aku takut ia akan segera menangis atau meneriakiku.

Kenapa tiba-tiba gadis ini jatuh cinta dengan Natie? Padahal sebelumnya ia sudah berbicara buruk mengenai latar belakang keluarga Natie.

Apa jangan-jangan gadis ini mengira itu adalah dua orang yang berbeda?

Itu mungkin saja. Karena tidak ada yang mengetahui nama sang 'pangeran Egleans' selain diriku.

Haruskah aku memberitahu Scarlet agar ia tak lagi mengusik kami? Tapi bagaimana jika aku malah mencelakakan Natie? Bagaimana jika ia malah menjadi semakin menderita disini?

"Ada apa ini?" Tanya Natie yang sudah berjalan menghampiriku. Aku melepas pandangan dari Scarlet dan tersadar bahwa sebagian besar orang sudah menyelesaikan makan paginya.

"Na-Natie!" Scarlet buru-buru menghapus air matanya, yang langsung membuatku menggertakkan gigi karena ia lagi-lagi menggunakan nama sebutan yang spesial itu.

"Natie!" Aku sengaja mengaitkan lenganku dengannya, lalu merapatkan tubuhku. "Jam berapa kelasmu yang selanjutnya? Aku ingin pergi ke perpustakaan bersamamu."

"Seingatku, satu jam lagi," balas sahabatku itu agak ragu. Atau mungkin ia merasa tak nyaman dengan keberadaan Scarlet.

"Bagus! Kurasa kau bisa pergi dari sini, Scarlet! Aku sudah tak membutuhkanmu."

Tanpa berpikir panjang, aku menyelimuti tubuh Natie dengan cahaya emasku, membawanya langsung ke perpustakaan dalam sekejap mata.

Aku terkesiap. Rasanya seperti seseorang memukul tengkorakku dari segala arah, membuat kepalaku pusing dan berdengung seketika.

"Jess!" Natie menggoyangkan bahuku saat aku tungkaiku melemas dan akhirnya aku terjatuh ke lantai. "Kenapa kau?!"

Aku mencoba untuk tersenyum. "Uh, aku lupa kalau-"

Berkali-kali aku mencoba untuk mengambil napas. Sekarang paru-paruku pun seperti habis terisi air. Apa ini rasanya tenggelam di tengah lautan tanpa ada tangan yang menolongmu?

Aku bisa merasakan tubuhku yang diangkat oleh Natie. Pandanganku jadi kabur, dan wajahku seperti terbakar matahari.

Hal terakhir yang kulihat adalah ekspresi panik Natie sebelum aku dirasuki oleh kegelapan yang tak berujung.

Wings & SoulTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang