Twelve • Lovable Family

16 2 0
                                    

Hal pertama yang kujumpai saat membuka pintu ruangan adalah dua sosok yang sedang berdiri membelakangiku. Sepasang siluet Fae sedang menghadap ke arah jendela, membiarkan cahaya matahari menciptakan bayangan mereka yang memanjang seolah menyatu.

Mereka terlihat anggun dan seperti hidup langsung dari lukisan elegan yang biasa dipajang di Fae Hall. Kedua sayap mereka bahkan bersentuhan, membuat siapa saja yang melihat mereka langsung tahu bahwa mereka berpasangan dan tidak akan pernah terpisahkan.

Ayahku sedang mengelus punggung Ibuku dengan lembut, walau aku bisa melihat jari nakalnya yang sesekali menyentuh sayap kecil Ibuku.

Ibuku berambut pirang dan memiliki sayap tak berwarna, beda dari Fae yang lain. Itu semua karena ia bukan Fae biasa, tapi Ayahku sangat mencintainya tiada batas.

"... tidak tahu Jess sampai pergi ke sini." Aku mendengar Ibuku sedang berbicara dengan suara kecil. "Seharusnya aku lebih mengerti dirinya. Aku tidak tahu ia rela mengikuti Nathan sampai kabur dari istana-"

"Ini bukan salahmu," kata Ayahku menenangkannya. Suaranya terdengar sangat berbeda setiap kali ia berbicara dengan Ibu. Ia tidak menggunakan suara seorang Raja, melainkan seorang suami yang amat perhatian terhadap istrinya. "Terkadang kita tidak bisa menebak isi hatinya. Jess sedang memasuki masa remaja. Suasana hatinya kadang bisa berubah-berubah tergantung keadaan-"

Aku berdeham dan memutuskan untuk mengumumkan keberadaanku. "Mama Papa."

Mereka berbalik badan secara bersamaan. Wajah Ibuku langsung berubah menjadi bahagia begitu melihatku. "Jess!" Ia berlari ke arahku, kemudian memelukku dengan erat. Tak lama Ayahku juga memeluk kami, memberikanku kehangatan yang tak kusangka sudah kurindukan.

"Jessy, Jessy." Ayahku mengusap-ngusap kepalaku, kemudian tiba-tiba saja mengangkat tubuhku ke atas, membuatku terkesiap.

"Papa! Aku sudah berumur 16 tahun-"

"Lalu kenapa? Kita adalah Fae, bukan manusia. Setiap hari kita juga melayang di udara." Ayahku menampakkan barisan giginya yang putih bersih, tapi tak lama kemudian menurunkan tubuhku kembali di atas lantai setelah melihat ekspresi wajahku.

"Kau mirip seperti Ibumu. Tidak suka digendong," kata Ayahku lagi, yang berhasil mendapatkan satu jitakan dari Ibuku.

Ayahku lalu berlutut di hadapanku dan memegang kedua lenganku, kemudian mendesah. "Jess, syukurlah kamu tidak apa-apa," katanya sambil menggerakkan manik matanya kesana kemari, mencoba untuk mendeteksi jika aku terluka atau semacamnya.

"Yes, little girl. Kamu hanya beruntung tidak terjadi apa-apa. Jangan pernah lagi kabur diam-diam dari rumah. Do you understand?"  Ibuku berkacak pinggang, berusaha untuk menakutiku, membuatku tunduk dan mendengarkannya. Tapi aku tahu dibalik itu semua ada kekhawatiran yang luar biasa besar.

Aku jadi merasa bersalah kepada kedua orangtuaku. Aku masih mengingat saat aku membentak mereka, bahkan sampai berteriak. Semua yang kupedulikan hanyalah Natie, Natie, dan Natie. Aku bahkan tidak sekalipun memikirkan perasaan kedua orangtuaku.

"Yes, Mom," ujarku sambil tertunduk. Ayahku kembali memelukku, menciumi kepalaku sampai berulang kali.

"Ini baru anak Papa." Ayahku memang yang paling pengertian, pikirku sambil membalas senyumnya. Tapi aku tahu bahwa Ayah dan Ibuku masing-masing memiliki cara yang berbeda untuk menasehatiku. Aku hanya lebih menyukai cara Ayah yang tidak terlalu mengekangku.

"Jess, tidakkah kau mau memberitahu kami mengenai masalahmu di sekolah waktu itu?" Tanya Ibuku lagi.

Aku berganti pandangan dengan Ayahku. Tapi kali ini ia tidak membantuku, hanya mengangguk sedikit tanda ingin mendengarkan penjelasanku juga.

Apa yang harus kujelaskan kepada mereka mengenai ledakkan sihir itu? Aku tidak suka berbohong terhadap kedua orangtuaku, tapi aku juga tidak bisa membawa-bawa Natie. Meskipun mereka juga menyayangi Natie seperti anak sendiri, lebih baik mereka tidak mengetahuinya agar lebih leluasa membiarkanku diasingkan di Hutan Greensia.

"Jess melakukan kesalahan yang sama, Pa," gumamku sambil menunduk. Ayahku terbelalak, tapi tak lama kemudian tersenyum sedih.

"Oh, Jessy. Kau melakukan itu lagi?" Ayahku meraup kedua pipiku dengan lembut. "Itukah sebabnya kamu dirawat di ruang kesehatan?"

"Ya," jawabku sambil mengangguk.

Aku melirik Ibuku, dan mendapati juga ekspresi khawatir disana. Meskipun ia bukan seorang Fae bersayap emas, Ibuku sudah berpengalaman juga dengan kekuatan besar seperti ini, sebelum akhirnya mana sihir dalam tubuhnya terbakar dan menghilang, menguap sampai tak berbekas.

Ibuku adalah satu-satunya Fae yang tidak memiliki kekuatan, sama dengan Lexy, adiknya. Bedanya, Lexy Sang Ratu Lebah mendapat sumber kekuatan baru setelah ia dinobatkan menjadi Ratu di bagian utara Alther Suliris. Bahkan sampai sekarang pun, Bibiku masih dalam proses belajar untuk mengendalikan kekuatannya.

Kalau kalian bertanya kenapa Ibuku sampai tak lagi memiliki sihir, itu semua karena pengorbanannya dalam Perang Darah yang terjadi sebelum aku lahir.

"Karena kondisimu sekarang sudah baik-baik saja, kami akan kembali ke istana. Apa kamu masih butuh sesuatu?" Tanya Ibuku sambil menatapku lekat-lekat. Aku hanya menggeleng.

Aku bertemu pandangan dengan Ayahku. Kedua orangtuaku tidak bertanya mengenai percakapanku dengan Lotus. Apa mereka sudah tahu aku pasti akan setuju mendaftar dan mengikuti jejak Natie? Apa mereka tahu mengenai hukuman pengasingan itu?

Aku tidak mengerti apa yang sedang terjadi, karena tiba-tiba Ibuku menepuk pelan pundak Ayahku, kemudian meninggalkannya sendirian di dalam ruangan bersamaku.

"Ada apa, Pa?" Tanyaku setelah Ibu menutup pintuku.

Ayahku menghela napas. "Kami sudah mendengar semuanya dari Lotus."

"Oh," balasku agak kecewa. Sejak kapan para orang dewasa ini bertukar informasi?

"Apa kamu yakin akan melakukan itu?" Tanya Ayahku lagi, kali ini dengan suara lembut. Aku tahu apa maksudnya. Apa kamu yakin akan mengorbankan diri demi Natie, dan menjalani masa hukuman selama tiga hari?

Pantas saja Ibuku membiarkan aku berbicara berduaan dengan Ayah. Karena ia tahu aku lebih memilih Ayah yang bisa dengan mudahnya membujukku.

Apa kedua orangtuaku sudah tahu bahwa kejadian yang waktu itu bukan karena ulahku? Meskipun aku juga belum bisa menguasai kemampuan sihirku sepenuhnya, mereka tahu aku tak pernah meledakkan seisi ruangan dengan cahayaku.

Tapi itu seharusnya menjadi rahasiaku seorang, serta Natie. Tak ada yang boleh mengetahuinya, apalagi kedua orangtuaku.

Aku pura-pura bertanya. "Melakukan apa, Pa?" Tapi keringat membasahi wajahku, mengkhianatiku sepenuhnya.

Ayahku malah tersenyum. "Kau tahu apa maksudku."

Aku menelan ludah susah payah.

"Apapun keputusanmu, Jess," lanjut Ayahku lagi, "kau tahu aku dan Ibumu akan selalu mendukungmu. Tapi keselamatan hidupmu tetap menjadi nomor satu."

"Jadi, apa kau akan melarangku? Kemudian mengatakan kepada semua orang bahwa pelakunya itu Natie bukan diriku?"

Ayahku menatapku penuh kesedihan. "Tidak."

Aku terbelalak karena terkejut.

"Itu adalah keputusanmu." Lagi-lagi Ayahku tersenyum, melegakan ketidaknyamananku yang sedari tadi kutahan. Ia sudah menyentuh gagang pintu. "Anakku Jesselyn sudah tahu yang mana yang benar dan yang mana yang salah, kan?"

"Terimakasih, Pa..." Aku berlari ke arahnya dan memeluknya. Ia tertawa.

"Setidaknya berjanjilah untuk berhati-hati. Kau akan melakukan itu, kan?"

Aku mengangguk penuh semangat, tiba-tiba tidak lagi merasa takut untuk menghadapi hari esok.

Ya, meskipun aku dijatuhkan hukuman pengasingan bertahun-tahun pun, aku tidak akan takut. Karena masih ada orang yang peduli denganku.

🌟J&N

Wings & SoulWhere stories live. Discover now