Bab 19

136 29 22
                                    

Kedua tangan Xie Yun terikat dengan dasi. Ia duduk di kepala ranjang seraya menggertakkan gigi berulang. Ji Chong dengan santainya duduk di pangkuan Pemuda singa itu seraya memakan bubur buatan ibunya yang masih terlihat panas. Ia meniup-niup sambil mencicipi bubur yang berada di ujung sendok dengan gaya sensual, tidak peduli jika singa muda keluarga Xie itu akan mengamuk.

"Apakah terasa sangat nyaman?" Ji Chong memasukkan satu suap bubur ke dalam mulut. Lidahnya bergerak lincah yang sengaja ia perlihatkan kepada kekasihnya. Ji Chong memiliki cara tersendiri ketika meluapkan kecemburuan selain sebuah amukan.

"Kamu tidak percaya kepadaku, A-Chong?!" Xie Yun berucap dengan nada dingin. Tatapan netra elangnya begitu tajam nyaris menusuk mata.

"Aku percaya," jawab pemuda manis itu seraya menyodorkan satu sendok bubur ke bibir Xie Yun, " cobalah. Ini enak." Alis Ji Chong naik turun sambil memperlihatkan senyum miring yang terlihat sangat menyebalkan.

Xie Yun mengembuskan napas lelah. Ia tidak ingin berdebat dengan serigala muda keluarga Ji yang masih terlihat pucat. Ia menoleh ke arah jendela besar yang menampakkan pemandangan di luar sana, menolak suapan bubur dari pemuda di pangkuannya.

"Salju masih turun, A-Chong. Ada sedikit badai di dalamnya jika kita mau melihat secara jelas." Xie Yun mencoba melepas ikatan di tangan dengan gigi. Ia melihat ke arah Ji Chong yang sedang memasukkan suapan terakhir bubur buatan Nyonya Muda Ji itu ke dalam mulut.

Ji Chong turun dari pangkuan kekasihnya dan meletakkan mangkuk bubur ke nakas seraya meraih tisu dan mengelap bibir. Ia kembali duduk di pangkuan kekasihnya, meletakkan kepala yang masih sedikit pusing di dada Xie Yun. Pemuda singa itu menghentikan usaha untuk melepas ikatan dasi, mengalungkan lengan yang masih terikat ke tubuh pemuda di pangkuannya.

"Aku tahu, kamu kesal, 'kan?" Xie Yun mencium pucuk kepala Ji Chong.

"Lebih baik kamu menghajarku seperti biasanya dari pada berbuat yang aneh seperti ini." Pemuda singa itu memiringkan kepala hingga pipinya menempel di kepala Ji Chong.

Sore hari terasa semakin dingin. Lampu-lampu jalan bahkan mulai menyala. Tidak ada aktivitas berlebih di luar sana karena menghabiskan waktu di dalam rumah lebih terasa menyenangkan. Perapian yang menyala, kopi hangat, dan kue-kue kering menjadi teman beristirahat sebagian besar orang di musim dingin.

"Apakah kita sedang menghadapi Iblis Betina sekarang ini?" Ji Chong meremas kemeja Xie Yun seraya menutup netra abunya erat.

"Lukisan itu?" Xie Yun menggosok-gosokkan dagu di kepala pemuda manis itu. Ia tersenyum kecil nyaris terkekeh, membayangkan betapa kesal serta marah kekasihnya ketika harimau betina itu merusak maha karya yang bahkan Xie Yun sendiri tidak satu kali pun diizinkan untuk melihat.

"Lukisan itu belum sempurna, Xie Yun. Iblis Betina itu sudah merusaknya. Tidakkah itu keterlaluan?!" Ji Chong menarik kerah kemeja Xie Yun dan mengguncangkan berulang.

"Yak! Apa salahku?!" Kepala Xie Yun terentak ke depan dan ke belakang beberapa kali.

"Yang lebih membuatku kesal adalah ketika aku bangun malah melihat foto menggelikan!" Ji Chong melepas cengkeraman di kerah dan menempelkan kedua hidung mereka. Ia tersenyum kecil. Jemarinya menyusuri pipi kekasihnya, merasakan kelembutan di setiap inci kulit yang ia sentuh. Tidak ada seseorang yang membuat serigala muda itu begitu tergila-gila dan nyaris hilang akal ketika keputusan membuka hati telah ia berikan kepada pemuda singa yang sedang memangkunya.

"Aku tidak suka milikku disentuh orang lain. Sekarang aku bisa mengerti kenapa kamu memberikan tatapan tidak suka ketika Peng Yui berusaha menyentuhku." Air mata Ji Chong meluncur perlahan dengan netra yang terus terpejam. Ia menarik tubuh Xie Yun lebih dekat dengannya dan memeluk tubuh tegap itu begitu erat. Rasa-rasanya ia ingin menyembunyikan Xie Yun dari dunia dan menjadikan miliknya sendiri.

"Maaf, maaf, maaf. Maafkan aku, Xie Yun. Singaku, kekasihku, duniaku, orang yang menjungkirbalikkan hatiku yang begitu sepi hingga menjadi riuh dengan kata-kata cinta." Serigala muda itu mulai terisak. Suara tangis yang ia keluarkan begitu memilukan indera pendengaran. Xie Yun melempar dasi yang berhasil ia lepas dan melonggarkan pelukan di tubuhnya.

"Mau mendengar cerita lagi?" Xie Yun mengusap air mata yang masih meluncur di pipi kekasihnya. Raut muka sedih sekaligus cemas sangat kentara di wajah pemuda tampan itu. Ia menyingkirkan anak rambut yang menutup netra serupa rusa pemuda di pangkuannya.

Ji Chong mengangguk seraya mengusap netranya yang basah karena tangis. Bibirnya merengut, pipinya mengembung hingga terlihat seperti bayi besar. Xie terkekeh dan berniat menurunkan pemuda manis itu dari pangkuannya. Namun, justru sebuah penolakan yang ia dapatkan. Kekasih manisnya justru melingkarkan kaki di pinggang pemuda singa itu.

"Biarkan seperti ini." Ji Chong memaksa. Xie Yun hanya bisa menggeleng dan menarik napasnya dalam-dalam lalu memulai ceritanya.

Sebuah cerita yang sangat sederhana. Tentang seorang paman tua pembuat mie di salah satu sudut kota daratan negeri. Mi lamian, orang-orang terbiasa menyebut benda panjang dengan bentuk bulat kecil itu sebagai makanan cepat saji karena proses pembuatan yang begitu cepat.

"Masih tertarik untuk mendengarkan?" Xie Yun mengusap punggung Ji Chong yang tengah memeluknya. Ia tidak ingin berbicara sendiri jika teman bicaranya ternyata tengah tertidur pulas. Serigala muda itu memberi respon dengan sebuah anggukan. Lalu, pemuda singa itu kembali meneruskan ceritanya.

"Pada intinya adalah proses pembuatan yang begitu menguras tenaga. Mulai dari membuat adonan hingga siap santap---dipelintir, ditarik, dipotong, dipukul-pukul, dan sebagainya." Xie Yun menghentikan ucapannya lalu berbisik di telinga Ji Chong hingga sapuan napas hangat menerpa tengkuk pemuda manis itu.

"Sepeti dirimu. Berjuang dari rasa sakit hingga menjadi sosok yang kuat, tidak peduli dunia akan mendukung ataukah tidak karena intinya adalah bagaimana membuat seseorang bisa merasakan ketulusan yang kita miliki meskipun harus berjuang sangat keras dari begitu banyak orang yang sering kali menyakiti." Xie Yun memberikan satu kecupan lembut di leher kekasihnya hingga Ji Chong mendongak. Netra abu pemuda manis itu berkaca-kaca. Ia memandang kekasihnya dengan tatapan memuja. Sesosok manusia yang memiliki perwatakan dewa.

Dua pemuda yang sedang berjuang sekali lagi menghadapi dunia serta ular berbisa berwujud harimau betina. Kepercayaan yang baru mereka bangun harus diuji dengan sesuatu yang menggelikan. Kabut cemburu menjadi sebuah sentilan di hati yang mulai menghangat. Namun, rasa sabar serta kuatnya ketulusan tidak akan bisa ditembus oleh sejuta belati berujung tajam bernama kebohongan.

*****

"Dasar bodoh! Mereka tidak akan mudah dihancurkan hanya dengan menggunakan cara licik seperti itu, Peng Yue!" Nada bicara Nyonya Besar Ji tampak meninggi. Telepon pintar yang ia gunakan untuk menghubungi Nona Peng nyaris ia lempar. Sampai-sampai ia harus memutuskan panggilan telepon itu sepihak karena tidak bisa lagi menahan marah.

"Dasar, Gadis Bodoh!" Nyonya Besar Ji mengumpat kesal. Ia berjalan mondar-mandir di dalam kamar seraya meremas jemarinya sendiri lalu duduk di sofa panjang. Ia menutup wajah yang mulai tampak keriput itu dengan kedua telapak tangan. Haruskah ia menyerah sekarang? Rasa-rasanya, Nyonya Besar Ji mulai putus asa dengan usaha memisahkan sepasang kekasih itu. Di lubuk hatinya yang paling dalam, ia hanya ingin kebahagiaan untuk serigala muda itu.

Pengalaman pahit menjadi seseorang yang tidak pernah bisa melahirkan keturunan hingga berakhir harus menerima kenyataan bahwa suaminya memiliki seorang putra dari perempuan lain dan lebih parahnya itu adalah seorang kepala pelayan di rumahnya.

"Dewa, haruskah aku menyerah kali ini?"

TBC.

Ujung Perjalanan (Tamat)Where stories live. Discover now