Bab 1

937 66 28
                                    

Pergerakan manusia di dunia tidak bisa diprediksi. Takdir mengantar mereka ke masing-masing kehidupan dengan berbagai tingkat. Ada yang memilih jalan berliku dengan memberi hasil sebuah pendewasaan. Namun, tidak sedikit yang memilih jalan pintas dengan putus asa sebagi hasil akhir.

Manusia dengan berbagai macam masalah yang ada sering kali salah dalam mengambil sebuah keputusan. Bujuk rayu serta embel-embel buah manis lebih sering melenakan ketimbang kerja keras yang sudah pasti lebih membanggakan.

Banyak pemuda usia remaja yang memilih jalan pintas karena rasa putus asa. Namun, tidak serta-merta membuat pemuda berparas rupawan dengan tubuh ramping yang tengah berjongkok sembari beradu tatap dengan burung bermata tajam di lengannya melakukan hal yang sama.

"Sudah cukup bermain-main di lenganku. Saatnya kamu pergi dan mencari makan!" Elusan di kepala pemuda itu berikan. Ia berdiri dan mengangkat lengannya agar burung elang itu segera terbang dan menjelajah langit.

Senyum miring pemuda itu terlihat sekilas. Orang-orang yang berlalu-lalang tidak peduli dengan kegiatan yang sedang ia lakukan. Mereka sudah sangat terbiasa melihat tingkah tuan muda dari keluarga Ji tersebut.

Ji Chong, pemuda manis dengan rambut panjang sebahu yang selalu ia ikat ke belakang. Perawakan tinggi dan ramping menambah nilai lebih tersendiri. Sosoknya ramah, tetapi sangat mudah tersulut emosi. Beberapa kali orang-orang mendapati dirinya berkelahi dengan pemuda sebayanya.

Status sosial yang Ji Chong miliki membuat pemuda manis itu muak. Banyak orang memandang sebelah mata atas keberadaan dirinya di keluarga besar itu. Ejekan serta makian sering ia dengar. Namun, satu hal yang membuat ia sangat bersyukur adalah telinganya yang sudah kebal hingga terkadang masa bodoh dengan umpatan mereka.

Terlahir dari ibu yang bekerja sebagai seorang pelayan, membuat Ji Chong sering kali menjadi bahan gunjingan. Pola pikir orang sekitar yang cenderung sempit, tidak jarang melontarkan cacian tanpa berpikir ulang. Puji Tuhan pemuda manis itu tidak terlalu ambil pusing, selama ibunya---istri ke dua Tuan Ji---tidak ada yang mengusik, ia akan menjadi pribadi yang masa bodoh.

"Sepertinya kamu lebih suka bermain dengan burung ketimbang mencari pendamping hidup, A Chong." Ji Chong menoleh sekilas, kurva di bibir melengkung seperti bulan sabit. Senyum menawan yang sangat jarang terlihat ketika bersama seseorang.

"Aiya, Xie Yun yang tampan, rupanya." Ji Chong menghampiri dan menghamburkan diri ke dalam pelukan pemuda berparas rupawan dengan bahu lebar serta memiliki rahang tegas.

"Bagaimana kabarmu hari ini, A-Chong? Adakah yang perlu aku jahit sekarang?" Xie Yun---dokter pribadi keluarga Ji---menaik turunkan alisnya sambil tersenyum mengejek masih dengan posisi berhadapan sembari memeluk pinggang ramping pemuda manis itu.

"Yak! Sarkas sekali ucapanmu, Xie Yun!" Ji chong mendorong tubuh tegap dengan setelan jas formal yang tengah melingkarkan lengan di pinggangnya hingga mundur beberapa langkah.

Xie Yun terkekeh. Ia sangat suka membuat Ji Chong kesal. Raut wajah yang memerah dengan bibir merengut adalah salah satu hal yang Xie Yun sukai dari sahabatnya.

Xie Yun menarik dan memeluk bahu sempit sahabatnya agar tidak berjalan mendahului. Mereka berjalan berdampingan kemudian melanjutkan obrolan hingga mencapai pintu gerbang mansion mewah keluarga Ji.

Salju pertama musim dingin sepertinya hanya tinggal menunggu waktu. Hawa dingin mulai menyusup hingga ke tulang. Wangi magnolia hanya tercium samar, tidak lagi seperti biasanya yang mampu menusuk indera penciuman.

"Kamu tidak masuk dulu? Untuk sarapan, mungkin?" Ji Chong menyikut lengan Xie Yun sembari menaik-turunkan alis, menggoda pemuda di sampingnya.

Sifat Ji Chong yang tengil dan terkesan blak-blakan, tidak urung membuat Xie Yun gemas hingga tanpa sadar melayangkan sebuah cubitan di hidung mancung milik sahabatnya.

"Rasakan itu, bocah nakal! Jangan berani-berani menggoda singa sepertiku atau kamu akan berakhir dengan tidak bisa berjalan esok hari, A-Chong!" Ji Chong terbengong, mengusap hidung, lalu menatap Xie Yun dengan wajahnya yang memerah.

Merasa kesal dengan ucapan sahabatnya, ia pun berkata dengan meninggikan suara, "Dasar mesum! Cepat pergi dari sini!" Pijakan serta tendangan di kaki yang lumayan keras Xie Yun terima. Pemuda manis itu pun berlalu sambil memainkan ujung rambut yang mengibas karena langkah cepat.

"Ish, galaknya." Xie Yun berjalan menuju mobil yang terparkir di depan pintu gerbang sembari mengomel. Ia menyempatkan diri melihat kaki yang telah mendapat tanda cinta dari Ji Chong. Namun, sudut bibirnya terangkat, membentuk  lengkung walaupun samar. Ia menyandarkan bahu di pintu mobil yang tertutup. Menatap lekat pemuda yang sedang bergerak menjauh darinya. Seorang sahabat yang secara nyata telah merampas nalar seorang dokter muda hingga menjadi tidak bisa berpikir dengan benar.

"Apakah aku akan tetap bertahan dengan cinta sepihak?" Sebuah pertanyaan yang melintas di benak Xie yun sebelum memasuki mobil sport hijau yang terparkir di depan mansion mewah keluarga Ji.

Ji Chong menoleh sekilas, memberi ekspresi mencibir. Seolah-olah berkata bahwa Xie Yun sangat pantas mendapatkan hukuman darinya. Ia terlalu masa bodoh dan terkesan tak acuh dengan pemuda singa yang sering melontarkan kalimat-kalimat tidak senonoh kepadanya.

"Kapan-kapan, aku akan memeriksakan kepala putra Paman Xie yang kadar mesumnya sudah melampaui batas." Pemuda itu meneruskan langkah sembari terbahak dengan pemikirannya sendiri.

Ada masanya hubungan mereka lebih mirip sepasang kekasih ketimbang sebuah pertemanan. Kedekatan mereka membuat ayah Xie Yun---dokter pribadi keluarga Ji sebelum tergantikan oleh putranya karena memasuki masa pensiun---heran. Beberapa kali Tuan Xie mendapati putranya memberi perhatian lebih sehingga siapa pun yang melihat pasti mengira mereka adalah pasangan.

Di waktu tertentu, mereka bisa saja tiba-tiba beradu mulut hingga lupa bahwa ada beberapa orang yang memberikan tatapan mencemooh. Salah satu di antaranya adalah Nyonya Besar Ji---ibu tiri Ji Chong---yang paling tidak terima dengan keberadaan Ji Chong di mansion mewah keluarga besarnya.

Ji Chong lebih suka menghabiskan waktu senggang di luar mansion ketimbang berada di dalam. Baginya, sangat melelahkan harus menghadapi ocehan serta ucapan tidak masuk akal yang seolah menyudutkan dirinya. Tidak ada bedanya ia terlihat ataukah tidak. Jika pun ia berada di rumah itu, hanya semata-mata memastikan ibu kandungnya dalam keadaan baik dan juga sehat.

"A Chong, kemarilah. Jangan terlalu lama di luar." Wanita berusia separuh abad dengan kerutan di sekitar kelopak mata tengah berjalan menghampiri putranya. Senyum tulus dari wanita paruh baya itu mampu membuat Ji Chong melupakan rasa penat yang sering menghampiri.

Ji Chong mendekati ibunya dengan setengah berlari, membawa tubuh istri ke dua Tuan Besar Ji kedalam sebuah pelukan hangat, menyelipkan lengan rampingnya ke pinggang ibu kandungnya.

"Ibu tahu? Aku baru saja menginjak kaki singa?" Ibu Ji Chong terkekeh. Ia sangat paham siapa yang tengah dibicarakan oleh putranya.

"Kamu ini." Ibu Ji Chong mencubit pinggang pemuda yang tengah memeluknya. Ia gemas, lagi-lagi Ji Chong berbuat ulah. Putranya terbahak dan melepas pelukan di tubuh ibunya sembari mengibas-ngibaskan tangan.

"Jangan terlalu kejam, bisa-bisa Xie Yun meninggalkan dirimu karena tidak tahan dengan sifat bar-bar yang kamu miliki," sambung ibu Ji Chong.

"Itu tidak akan mungkin, Bu. Kecuali ada makhluk asing yang ingin membawa dia ke Mars." Ji Chong menaikkan bahu, memiringkan kepala sembari menekuk ke dua siku tangan dan telapak tangan menghadap ke atas.

Sebuah rasa yang belum terbentuk. Menggugah sanubari, membuat istri ke dua Tuan Besar Ji berpikir sejenak. Namun, mendalam. Ia menatap lekat ke arah Ji Chong yang menjejaki anak tangga menuju kamar. Perasaan getir merambat perlahan. Tumbuh di keluarga besar dengan banyak peraturan, membuat putranya menjadi keras hati. Tidak satu kali pun ia berpikir untuk mencari pendamping hidup hingga harus berakhir menjadi pribadi yang menutup diri.

"Nak, Ibu harap, ada seseorang yang bisa menyentuh rasa dalam palung hatimu, suatu hari nanti," ucap wanita paruh baya itu bersamaan dengan turunnya salju pertama di musim dingin yang ternyata datang lebih cepat dari tahun sebelumnya.

TBC.

SaptaPublisher

Ujung Perjalanan (Tamat)Where stories live. Discover now