Bab 2

284 54 5
                                    

Embusan napas lelah meluncur dari bibir yang sedikit pucat karena memaksa tubuh untuk berlama-lama bercengkrama dengan udara dingin serta mengabaikan udara sekitar yang tengah mengalami penurunan suhu.

Netra abunya menatap beberapa pohon di sekitar pekarangan rumah yang mulai tertutup salju. Ia mendudukkan diri di jendela yang tengah terbuka, menekuk kedua lutut lalu ia pergunakan untuk menyangga dagu. Kedua lengan bertaut sembari memeluk betis.

Ji Chong tengah tenggelam dengan pemikiran yang melintas di kepala. Ia memejamkan netra indahnya sejenak, mencoba mengabaikan kata-kata ibu tirinya beberapa saat lalu ketika berpapasan dengan dirinya di depan pintu kamar.

Untuk kesekian kali ia harus mendengar kata-kata memerintah yang sangat ia benci. Menyerukan sesuatu yang tidak penting hingga seluruh penghuni mansion mampu mendengar. Tidak bisakah ibu tirinya berbicara tanpa berteriak? Entahlah.

Sudah beberapa kali seruan untuk segera memiliki pendamping hidup memasuki indera pendengaran. Ia hanya memutar bola mata malas ketika istri pertama ayahnya mengomel tidak keruan.

Jika ia belum menikah, bukan berarti ada yang salah dengan hidupnya. Hanya saja, kata-kata pernikahan terdengar sangat menggelikan, seperti rantai belenggu yang terkunci tanpa adanya celah.

Dering ponsel mengalihkan perhatian pemuda manis tersebut dari lamunan singkat. Ia beranjak turun dari jendela menuju nakas. Langkahnya begitu ringan seperti kapas. Ia meraih ponsel dan melihat nama yang tertera di layar.

Seulas senyum terlihat, ia menggeser tombol hijau dan berbincang setelah panggilan itu terhubung. Ia merebahkan tubuh di kasur sembari berbincang dengan antusias. Gelak terdengar setelah mereka melakukan obrolan mengenai banyak hal. Pemuda manis itu terlihat menikmati obrolan hingga tidak terasa sudah satu jam mereka berbincang.

Ketukan di pintu kamar membuat ia menghentikan obrolan sejenak. Netra abu miliknya melihat jam dinding di kamar lalu beralih ke arah pintu, menepuk dahi, lalu berpamitan dengan lawan bicaranya.

"Aiya, ibu pasti mengomel kali ini, aku melewatkan jam makan siang. Kita sudahi dulu, oke? Aku akan menghubungimu jika urusanku sudah selesai." Ji Chong mematikan panggilan telepon setelah lawan bicaranya mengiakan permintaannya. Ia bangun dan bergegas membuka pintu. Namun, sentilan di dahi yang cukup keras membuat ia mengeluh.

"Ibu, aku bukan anak kecil lagi. Kenapa Ibu suka sekali menyentil dahiku? Bagaimana jika aku tiba-tiba bodoh?" Ji Chong mengelus dahinya yang memerah. Bibirnya merengut sepeti bayi meminta susu. Ibunya justru tampak biasa saja bahkan menyilangkan kedua tangan di depan dada.

"Anak nakal! Sudah jam berapa sekarang?" Ibu Ji Chong mengamuk, menusuk-nusuk dada putranya dengan jari telunjuk. Lalu, menarik lengan pemuda itu, membawa putranya turun untuk makan siang bersama dengannya.

Badai di musim gugur telah berlalu, berganti dengan butiran salju seputih kapas yang turun perlahan, membawa nuansa dingin yang mampu meredam bara. Namun, semua itu tidak berlaku untuk badai yang selalu memberi hawa panas di rumah besar keluarga Ji. Adu mulut serta kalimat mencemooh menjadi melodi sendu untuk orang-orang yang tinggal di dalamnya.

"Berapa sebenarnya usiamu, Ji Chong?" Suara dalam dan berat membuat beberapa pelayan yang tengah berdiri di samping tuannya menunduk. Tidak ada satu orang pun yang berani menyela atau memberi sebuah sanggahan.

"Hanya untuk makan siang yang notabene mengisi perutmu sendiri harus membuat ibumu repot menjemput ke atas?!" Genggaman sendok di tangan Tuan Ji kian mengerat. Menyalurkan amarah yang sengaja Tuan Ji tahan. lalu, ia beranjak dari kursi makan sembari meletakkan sendok secara kasar. Ia meninggalkan putranya yang masih berdiri dengan mata memerah menahan tangis.

Ujung Perjalanan (Tamat)Where stories live. Discover now