Ch. 18: Who did this to her?

Start from the beginning
                                    

"Aksa kalau mau ambil KPR dengan tenor pendek juga bisa mengingat gajinya per bulan udah dua digit," komentar Adam ringan. "Belum lagi bonusnya."

Aku tersenyum kecut dan memilih tidak menanggapi mereka. Gajiku memang besar. Kantorku juga tidak pernah ragu untuk memberikan bonus atas kerja keras kami selama proyek berlangsung. Tapi, bukan berarti aku kelebihan uang. Kalau tabunganku mencukupi, tidak mungkin aku pulang pergi Sudirman-Depok setiap hari. Kalau tidak mengambil KPR, minimal aku sudah menyewa apartemen supaya tidak perlu menempuh jarak jauh untuk sampai ke kantor. Walaupun juga tidak kekurangan, ada hal-hal lain yang harus diprioritaskan daripada harus memenuhi keinginan pribadi. Seperti menabung untuk menikah, misalnya.

Ya, tapi nggak ada gunanya juga aku mengungkapkan hal itu mereka.

Jadi, biarkan saja mereka menganggapku punya banyak uang untuk dihambur-hamburkan. Siapa tahu omongan mereka bisa jadi doa tersendiri.

"Ngobrolnya di-pause dulu. Gue lapar banget belum makan," sela Lisa di tengah-tengah pembicaraan.

Lisa memanggil pelayan dan menyuruh kami segera memesan. Malam ini hanya kami berempat yang berkumpul. Kevin sedang dinas ke luar kota sementara Dinda enggan untuk mampir ke Senopati karena kantornya berada di daerah Jakarta Barat. Terlalu jauh dan malas menempuh macet di jam pulang kantor.

Di umur segini, memang susah untuk mengharapkan bisa berkumpul lengkap—kecuali di hari-hari penting. Itupun, hanya terjadi setahun sekali. Semua orang sibuk dengan urusan masing-masing, terutama pekerjaan yang tidak bisa ditinggalkan begitu saja.

Sekitar sepuluh menit setelah kami memesan, seorang pelayan mengantarkan minuman kami terlebih dahulu. Lisa sibuk bercerita mengenai tempat-tempat yang mereka kunjungi selama di Swiss dan Singapura—ternyata mereka tidak menghabiskan bulan madu hanya di hotel. Adam sesekali menanggapi dan merekomendasikan kami untuk berkunjung ke negara itu juga. Entah untuk liburan atau honeymoon.

Cara Adam berbicara membuatku tersadar kalau dia sedang meledekku dan Haris—yang sampai sekarang masih belum punya rencana untuk settle down.

"Omong-omong, minggu lalu gue abis lunch sama Luna," ungkap Haris tiba-tiba.

Aku terkesiap lalu menoleh kepada Haris dengan mata yang sudah melotot, mempertanyakan apa niat terselubungnya membahas tentang Luna di depan Lisa dan Adam. Padahal dia punya banyak waktu untuk memberitahuku hal itu sebelum Lisa dan Adam datang.

Mendengar kembarannya disebut, Lisa bertanya bingung. "Kok bisa?"

"Dia punya proyek gitu sama kantor gue," jelas Haris singkat. "Ketemunya juga kebetulan banget. Dia lagi nunggu taksi di area kantor, terus udah jam makan siang, sekalian aja gue ajak lunch bareng."

"Kalian emangnya dekat?" tanya Lisa lagi.

"Lumayan." Haris menyengir. "Gue masih keep in touch sama dia setelah liburan ke Malang."

Berbeda dengan Lisa yang terkejut dengan fakta itu dan terus mengajukan pertanyaan lain mengenai kedekatan Haris dan Luna, aku hanya mendengarkan dalam diam. Tidak berkomentar apa-apa karena aku sudah tahu. Termasuk alasan tersembunyi kenapa dia melakukan hal itu.

Waktu itu, bertahun-tahun yang lalu, aku tidak ingat persis tepatnya kapan, Haris tiba-tiba mengirimkan sebuah chat kepadaku beberapa bulan setelah aku resmi berkuliah di Melbourne. Isi chat itu adalah percakapannya dan Luna melalui direct message Instagram. Tidak ada yang spesial. Haris menanyakan bagaimana kabar perempuan itu serta kesibukannya kemudian mengirim screenshoot perbincangan itu kepadaku.

Aku masih mengingat jelas pesan yang dikirimkan Haris kepadaku di antara beberapa screenshot percakapannya dengan Luna. Dia bilang, Luna asik juga buat diajak ngobrol. Pantesan lo nempelin dia mulu selama di Malang. Kala itu, untuk alasan yang tidak mereka ketahui tepatnya, aku malah membalas pesan Haris dengan sebuah kalimat tersirat: what happened in Malang, stay in Malang.

Love: The Butterfly Effect [COMPLETED]Where stories live. Discover now