Ch. 22: No hard feelings

15.9K 1.7K 32
                                    

LUNA

Lisa membawaku ke sebuah restoran yang berada di rooftop salah satu gedung pencakar langit di Jakarta. Ketika pelayan menyambut kami, aku tidak menaruh rasa curiga begitu Lisa mengatakan salah satu temannya sudah mendapatkan tempat. Aku terlalu sibuk memperhatikan langit berwarna oranye pertanda matahari sedang terbenam hingga tidak menyadari sosok terakhir yang ingin kutemui telah duduk di antara meja-meja penuh di restoran ini.

Napasku tertahan begitu pandangan menangkap Aksa sedang melambaikan tangan ke arah Adam. Dari raut wajahnya yang tampak terkejut, aku yakin dia tidak tahu perihal kehadiranku.

Aku menelan ludah susah payah. Menghabiskan malam minggu bersama Lisa dan Adam memang ide yang buruk. Seharusnya aku lebih keras menolak ajakannya. Mungkin lebih baik aku mengusirnya dari kamarku atau tidak membuka kunci kamar ketika dia mengetuk untuk memastikan keadaanku. Berbagai perandaian terus berlalu-lalang di pikiran hingga aku tidak sadar kini sudah duduk berhadapan dengan Aksa.

"Nggak malam mingguan sama Damar?" tanya Aksa.

Pertanyaannya tanpa basa-basi itu berhasil membuat jantungku nyaris lepas dari tempatnya. Aku tersenyum kecut lantas menggeleng pelan. Dari sudut mata, aku melihat Lisa dan Adam menahan senyum bersamaan. "Kalau gue malam mingguan sama Damar, nggak mungkin gue ada di sini, kan?"

Aksa menyipitkan mata. "Biasanya kalau cewek ditanya tentang pacarnya terus jawabannya judes begini, kemungkinan besar lagi berantem. Are you one of those girls? Berantem kenapa?"

"Gitu, deh," sahutku seadanya. Enggan mengatakan bahwa aku dan Damar sudah putus. Meski Aksa sudah menawarkan sebuah hubungan pertemanan yang baru dan aku menerimanya, aku masih kesulitan untuk merasa seratus persen nyaman dengan keberadaannya.

Untungnya, Aksa tidak mendesakku untuk berbicara. Mungkin dia sadar tidak ada gunanya memaksaku memberikan jawaban yang dia mau. Atau mungkin dia tidak ingin memperburuk suasana hatiku.

"Business card gue masih lo simpan, kan?" tanya Aksa.

Aku mengernyit, tidak mengerti arah pembicaraan ini. "Masih."

"Good." Aksa mengangguk sekilas. "In case you need someone to talk to, just call me."

Aku terperangah, sedikit tidak menyangka dengan manuvernya yang sangat halus. Detik kemudian, telingaku menangkap suara tawa Lisa yang menggema. Begitu pula dengan Adam yang tiba-tiba mengulas senyum miring.

"Lo pikir Luna itu klien lo sampai harus lo kasih business card?" ejek Lisa, masih dengan tawa yang mengudara. "Lagian, kalian itu aneh. Kenal udah lama masa nggak simpan nomor satu sama lain? Jangan bilang kalian juga nggak saling follow akun Instagram?"

Aku mengatupkan bibir sementara Aksa mengalihkan pandangan seraya mengelus tengkuk. Melihat respons kami, Lisa semakin heboh dan berteriak. "Kalian nggak saling follow?!" tanyanya.

Well, actually we don't follow each other social media account meski aku tahu username Instagram-nya. Beberapa kali aku juga menggulir profilnya karena penasaran bagaimana Aksa menjalani hidupnya usai mematahkan hatiku. Hubungan kami berakhir dengan tidak baik sehingga aku tidak memiliki alasan untuk tetap berhubungan dengannya walaupun itu sebatas saling follow akun media sosial.

Di antara rombongan yang pergi ke Malang berapa tahun yang lalu itu, hanya Haris yang sampai sekarang masih sering menghubungiku. Rutin menanyakan kabar maupun kesibukanku. Bahkan, tidak jarang Haris bertanya status asmaraku. Setelah berkali-kali mengatakan aku masih single, satu post bersama Damar menarik perhatian Haris hingga dia mengontakku untuk memastikan status Damar saat itu—yang saat itu tentu saja dengan bangga kuakui sebagai pacar.

Love: The Butterfly Effect [COMPLETED]Where stories live. Discover now