Ch. 40: No reason to continue

14.2K 1.6K 416
                                    

This is gonna be a long chapter, 5700+ words.

Make sure you read this chapter without many interruptions. The answer that you've been looking for, is stated in this chapter. 

*


LUNA

Di dalam mimpiku yang paling gila sekalipun, aku tidak pernah berpikir untuk mengajak Damar bertemu setelah aku menolak keinginannya untuk kembali padaku. Seharusnya laki-laki itu juga terkejut ketika hari ini aku menghubunginya dan mengajaknya untuk bertemu. Namun, melihat dari raut wajahnya yang tampak tenang, aku memiliki firasat dia sudah menebak pertemuan ini akan terjadi.

"Kamu nggak pesan makanan?" tanya Damar setelah aku menyebutkan pesananku ke pelayan—jus alpukat. Aku menggeleng pelan. Dia memandangku lama sebelum menahan pelayan yang ingin berlalu. "Tambah fish and chips satu, Mbak," ujarnya. "Kamu harus makan. Makan sebisa kamu nanti aku yang habisin sisanya."

"Aku nggak lapar," tolakku.

"Berniat buat masuk ke rumah sakit?" Damar memberikan tatapan penuh peringatan. Dia memastikan pelayan itu telah menambahkan pesanan yang disebutkan sebelum memusatkan perhatiannya padaku. "Aku tahu kamu ngajak aku ketemu bukan karena kamu mau balikan sama aku—walaupun aku berharap karena itu alasannya."

Aku bergeming, tidak tahu harus memulai dari mana karena pertanyaan yang menghuni pikiranku bukan hanya satu. Pertanyaan itu bercabang. Satu pertanyaan melahirkan pertanyaan lain. Aku melemparkan pandanganku ke titik lain sambil menyusun skala prioritas terkait pertanyaan apa yang seharusnya aku tanyakan lebih dulu padanya.

"Aku tahu alasan kamu ngajak aku ketemu karena mau nanya-nanya. Minggu lalu aku lihat Lisa di depan Excelso. Dia sempat ngobrol sama Aksa di sana." Aku menoleh. Ternyata Lisa memang masih berada di tempat itu meskipun aku sudah meninggalkannya. "Aku nggak sempat sapa Lisa karena waktu itu sibuk... sama Amanda."

"Kamu punya hubungan apa sama Amanda?" tanyaku. "Kalian kelihatan dekat."

"Kami sepupuan."

Sesungguhnya, aku tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Aku tidak mengira hubungan yang Damar miliki dengan mantan kekasih Aksa itu berupa hubungan keluarga. Aku pikir mereka sebatas teman. Tapi, tidak heran kalau aku tidak mengetahui mereka ternyata saudara sepupu. Damar tidak pernah mengenalkanku pada keluarga besarnya—bahkan aku hanya pernah sekali bertemu keluarga intinya—dan sepanjang kami pacaran, Damar tidak pernah membicarakan keluarga besarnya. Tidak seperti Aksa yang bisa membawaku ke rumahnya meski kami belum memiliki hubungan apa-apa, Damar baru mempertemukanku dengan keluarga intinya setahun setelah kami pacaran—beberapa bulan sebelum aku berangkat ke Jerman untuk kuliah.

Aku tidak tahu sedekat apa hubungan Damar dengan Amanda—meski mereka hanya sepupu. Namun, melihat bagaimana Damar merangkul perempuan itu dengan santai, tampaknya mereka memang dekat. Itu berarti besar kemungkinannya Damar tahu kalau Aksa dan Amanda adalah sepasang kekasih dulu.

Kenyataan tiba-tiba menghantamku dengan keras. Damar pasti tahu. Dan melihat bagaimana tiga orang itu bisa berbagi meja yang sama, itu berarti ada kemungkinan Aksa juga tahu bahwa Damar dan Amanda memiliki hubungan keluarga.

Sayangnya, aku tidak dapat berpikir sampai sejauh itu untuk menebak sejak kapan Aksa mengetahui hal tersebut. Seingatku, sampai di resepsi pernikahan Mas Jero, Aksa tampak tidak mampu mengenali Damar hingga aku perlu memperkenalkan mereka lagi. Aku juga tidak mampu menemukan alasan yang tepat kenapa Aksa tidak pernah menyinggung hal ini di depanku di saat pembicaraan mengenai Damar maupun Amanda bukan hanya sekali atau dua kali kami bahas.

Love: The Butterfly Effect [COMPLETED]Where stories live. Discover now