Ch. 41: Sound of a broken heart

11.7K 1.3K 36
                                    

I have a little announcement, kindly read this chapter until the end (including the notes). Thank you! And happy reading!

*


AKSA

Aku duduk termangu di meja makan usai kembali dari apartemen Luna. Entah sudah berapa lama aku hanya terdiam di sana dengan pandangan yang kosong sementara pikiranku mulai mengulang semua yang terjadi antara aku dengan Luna dari awal hingga beberapa jam yang lalu.

I would be lying if I say I don't feel my heart break after I made a decision to broke up with her. Tapi, aku tidak memiliki pilihan lain. Ini keputusan terbaik. Luna membutuhkan waktu untuk mengurai benang kusut yang ada di pikirannya serta menumbuhkan kembali rasa kepercayaannya pada orang lain. Dulu, aku pikir aku bisa menjadi orang yang membantunya untuk melakukan hal itu, tapi nyatanya tidak. Aku justru malah melukainya karena keputusan yang kukira adalah keputusan yang terbaik untuk hubungan kami. Mungkin sebaiknya aku memang jujur padanya. Tidak menyembunyikan kenyataan bahwa aku mengenal Damar, tahu kalau hubungannya dengan Damar sudah selesai sebelum dia memberitahuku, dan Amanda yang masih sering menghubungiku.

"Bang? Kok nggak tidur?"

Aku menoleh ketika mendapati Anye memasuki ruang makan sambil mengucek matanya. Dia masih memakai pakaian kerja yang terlihat kusut di beberapa lipatan. Rambutnya sudah dikucir asal dan tidak beraturan.

"Baru pulang, Kak?" tanyaku sambil melempar senyum tipis ketika dia menarik kursi yang ada di sampingku setelah mengisi gelas dengan air. "Udah mulai lembur, ya?"

"Iya. Klien gue yang satu ini minta laporannya rilis pertengahan bulan Februari." Aku hanya bisa meringis sekaligus kasihan mendengarnya. Sedangkan Anye meneguk airnya hingga tandas. "Lo juga baru balik? Kenapa nggak langsung ke kamar? Ngapain malah bengong di sini? Besok masih harus kerja kan, Bang?"

Aku mengangkat bahu sambil melepas pandangan darinya. "Suntuk."

Anye menganggukkan kepalanya beberapa kali. "Kelihatan dari muka lo," sahutnya seraya memutar jari telunjuknya di depan wajahku. "Biar gue tebak." Dia menopang dagunya. "Lo nggak mungkin semuram ini karena pekerjaan di kantor. Lagi ada masalah sama Luna?"

Aku mendengus. "Sok tahu."

"Heh! Walaupun gue single bertahun-tahun, gue masih bisa bedain mana orang yang pusing karena masalah pekerjaan di kantor dan mana orang yang lagi galau karena pacar." Anye menjitak kepalaku, membuatku mendecak kesal karena sikap bar-barnya. "Berantem sama Luna?"

Aku hanya menggumam tidak jelas, enggan memberikan jawaban.

"Aneh nggak kalau gue senang lihat lo galau dan patah hati kayak gini?" tanya Anye tiba-tiba. Aku mengernyit, tidak mengerti. "Lo yang kelihatan merana begini bikin gue percaya kalau ternyata lo belum mati rasa. For your information, gue sempat mikir lo ini mati rasa karena nggak pernah pacaran bertahun-tahun dan terus sibuk sama kerjaan."

Aku melengos lalu menyahut dengan jengkel. "Perlu gue ambilin kaca nggak, Kak?"

"Gue ini kasusnya beda," elak Anye sambil mengibaskan tangannya. "Dari gelagat lo bertahun-tahun belakangan ini, gue sama Jojo mikir kalau mungkin lo bakal nikah paling terakhir. Mama juga terus-terusan khawatir karena lo kelihatan nggak butuh pendamping hidup. Makanya pas lo bawa Luna ke rumah pas Mama ulang tahun, kami penasaran. Pengen tahu cewek yang bisa buat lo kepikiran buat berkomitmen itu kayak gimana, eh ternyata emang orangnya menyenangkan. Nggak cuma cantik, tapi pintar dan punya pendirian juga. Cocok banget sama lo."

Love: The Butterfly Effect [COMPLETED]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora