kelas etika?

133 32 3
                                    

Louis kini sudah berusia dua tahun. Sudah dua tahun setelah kuil dihebohkan dengan keberadaan anak yang fasih berbahasa suci. 

Kini, aku dan Elyssa sudah berumur lima tahun. Banyak hal yang terjadi, namun aku masih dapat bilang bahwa kehidupanku masih terasa damai dan tentram hingga hari ini. 

Seperti biasa, Mary menyisir rambutku dengan lembut. Surai pirang platinum ku kini sudah sepanjang punggungku, dan ada satu lagi perbedaan yang kusadari antara aku dan Elyssa. 

Rambutku sedikit lebih bergelombang seperti milik ibunda, namun Elyssa lurus seperti milik ayah. 

Elyssa menghampiriku, badan mungil yang menggunakan gaun renda berwarna ungu muda itu melompat kegirangan menghampiriku. Ia memelukku dengan erat sesaat setelah Mary telah usai mengikat sedikit rambutku dengan  pita. 

"Lyn! Ayo intip ksatria berlatih!" Ucapnya dengan antusias. 

Aku tersenyum, memeluk kembali kakak kembarku itu. "Elyssa sungguh tertarik dengan seni berpedang ya?"

Kakak kembarku yang sangat imut itu mengangguk dengan semangat, membuatku dan para pelayan tersenyum karena keimutannya. 

"Nona, hari ini kita akan sarapan bersama sang duke terlebih dahulu, jadi nanti saja ya menonton para ksatria berlatihnya?" Ucap Mary tersenyum sambil menuntun aku dan Elyssa. 

Elyssa menunjukan ekspresi kecewa, pipinya mengembung, menunjukan dia yang sedang pundung. 

Aku tertawa kecil, mencium pipi kakak kembarku itu dan mengusap kepalanya, "hari ini kita makan kue yang banyak dulu, agar nantinya bisa puas menonton para ksatria berlatih." Ucapku membujuk Elyssa. 

Akhirnya Elyssa menurut dan teralihkan perhatiannya, dengan setengah melompat ia bercerita tentang harinya, juga tentang "hari ini aku mau makan pie yang sangat besar!" 

°•°•°•°

"Mulai hari ini, aku berniat untuk memanggil guru etika untuk kedua putri kita." Ucap Ibunda membuka pembicaraan. 

Ayah menghentikan tangannya yang tadinya sedang memotong steak daging, begitu pula aku yang sedang disuapi makanan oleh pelayan. 

Hari ini akhirnya tiba juga. Awal mula dari perubahan Elyssa yang imut dan menggemaskan, menjadi Elyssa yang tertekan dan melampiaskannya dengan cara yang kejam. 

"Tapi mereka masih berumur lima tahun." Ucap Ayah dengan tenang. 

"Aku tahu, tapi lima tahun itu umur yang cukup untuk menerima edukasi bangsawan, bukankah lebih cepat lebih baik?" Tanya ibunda lagi. 

Aku terdiam. Mataku menatap Elyssa yang masih tidak terlalu peduli dengan pembicaraan berat ini. Ia sibuk mengunyah pai yang ia makan. 

"Menurut kalian sendiri bagaimana?" Tanya Ayah kepada kami. Atensi Elyssa kini tertuju pada perkataan ayah, begitu pula denganku. 

"Apa kami akan belajar pedang di kelas etika?" Tanya Elyssa dengan polosnya, disambut dengan senyuman tipis dari ayah. 

"Tentu saja tidak, para nona bangsawan biasanya belajar cara memberi hormat yang benar, cara berjalan yang benar, cara bersosialisasi dengan benar, mana mungkin belajar ilmu berpedang?" Jawab ibunda dengan datar. 

Aku sedikit mengerutkan alisku, "ibunda, bukankah ini terlalu awal? Kami masih ingin bermain." Ucapku, berusaha tidak terdengar terlalu dewasa. 

"Bermain hanya akan menghabiskan waktumu, jika ingin menjadi nona bangsawan yang sempurna, memulai di usia dini adalah pilihan yang bijak." Jawab ibunda. 

Siapa pula yang ingin menjadi nona bangsawan sempurna? 

Aku terdiam, begitu pula dengan ayah dan Elyssa. 

"Tapi Ely..ingin bermain pedang seperti para paman ksatria.." ucap Elyssa dengan ekspresi merajuk. 

"Kau ini seorang gadis Elyssa, apa gunanya belajar seni berpedang?" Jawab ibunda dengan tegas. 

"Kenapa aku tidak boleh belajar pedang?" Tanya Elyssa, sepertinya emosi dia mulai naik.

Ibunda dengan dingin menjawab pertanyaannya. "Karena kau seorang gadis. Ilmu berpedang seperti itu tak akan berguna dan hanya membuang waktu mu." 

Jawaban yang paling kubenci. Kenapa selalu membedakan laki-laki dan perempuan dalam hal kemampuan? 

"Pokoknya aku tidak mau! Kalau tidak belajar berpedang aku tidak mau!" 

"Elyssa. Tidak tetaplah tidak." Ucap ibunda dingin. 

Aku dan ayah masih terdiam sedari tadi. Sekuat dan idealis apapun ayah kami, ia merasa bahwa mendidik anak perempuan bukanlah bidangnya dan hampir menyerahkan semuanya kepada ibunda. 

"Jangan bertengkar dengan anak kecil." Ucap ayah dengan tenang. 

Suasana kembali hening, ibunda tidak mengucapkan sepatah katapun tentang hal itu lagi, begitupun dengan ayah. 

Yang pasti, aku tahu bahwa, jika aku membiarkan kondisi terus seperti ini, bisa saja keluarga baruku ini akan hancur di masa depan. 

//Author's note//

maaf ya guys sumpah padahal bilangnya bakal lebih sering update eh malah menghilang, soalnya bulan july hp ku kecebur di kolam air panas akhirnya aku gabisa akses acc wattpad ku yg ini, skrg hp nya dah dibenerin jadi bisa lanjut hehe

Makasih atas support kalian! Stay tune terus yaa! Aku masih lanjutin ceritanya koo

Reincarnated as the Villainess's Twin SisterWhere stories live. Discover now