Negosiasi

114 32 1
                                    

"Elyssa, jangan sedih." Ucapku sambil menepuk pundaknya.

"Lyn, aku tidak mau belajar minum teh! Aku mau main pedang, minum teh membosankan." Ucap Elyssa sambil cemberut.

Aku tidak bisa membiarkan dia tumbuh menjadi wanita yang manja dan arogan, namun aku juga tak mau ia tertekan dan tak dapat melakukan apa yang ia mau.

Aku terdiam, menarik tangan Elyssa. "Ayo kita kunjungi para paman ksatria!"

.

.

Disana aku dan Elyssa menonton para ksatria yang dengan gigih mengayunkan pedangnya.

"Elyssa mau belajar bermain pedang ya?" Tanyaku.

Elyssa mengangguk, "bermain pedang itu keren! Dan aku bisa melindungi Lyn dan Louis dari orang jahat!"

Aku tertawa, gadis imut sekaligus kembaranku ini sungguh sangat polos. "Kalau begitu, kamu mau ibunda memperbolehkan mu belajar pedang?"

"Memangnya bisa?" Tanya Elyssa, ia menatapku penuh harap.

Aku tersenyum, "tapi Elyssa harus berjanji padaku bahwa Elyssa juga akan mengikuti kelas etika dengan giat."


°•°•°•°


"Mary, aku mau keruangan ibunda, bisakah Mary menunggu disini bersama Elyssa?" Tanyaku pada pelayan yang paling aku sayang itu.

"Baiklah nona, tuan knight dan beberapa pelayan akan mengantar dan menjaga nona, segera kembali ya nona Alynna, nanti akan kubuatkan cheesecake yang enak untuk nona-nona manisku."

Aku mengangguk, tanpa menunggu apapun aku melangkah didampingi oleh empat pelayan dan dua ksatria.

Setelah dipersilahkan masuk oleh ibunda, kami kini duduk berhadapan.

Ibunda di umurnya yang hampir tiga puluh tahun, dan aku, putrinya yang berusia lima tahun. Kami berbagi teh dan manisan, seakan kami adalah kedua lady yang sepantaran.

Jujur aku sangat canggung dalam berkomunikasi dengan ibunda. Dia adalah orang yang kaku dan tegas, jadi aku bingung untuk membuka topik obrolan layaknya ibu dan anak.

"Jadi, apa yang membuatmu kesini?" Tanya ibunda dengan ekspresi datarnya. Walau sebenarnya aku tahu ada kehangatan disana. Mau bagaimanapun juga, ia adalah ibu kandungku, pastinya ada ikatan yang membuat kami tak dapat terpisahkan dengan mudah.

"Aku rindu ibunda." Ucapku sambil tersenyum, ku teguk teh di cangkirku dengan perlahan.

Ibunda tertawa kecil "kau sudah pintar berbicara rupanya."

"Bukankah seorang lady memang harus seperti ini? Seperti ibunda." Ucapku, berusaha bersikap polos seakan aku hanyalah anak kecil biasa.

Ibunda terdiam, "kau sepertinya setuju akan pendapat ibunda mengenai kelas etika?" Ucapnya.

Mata kami bertemu, "ibunda..mengenai hal itu.."

"Bolehkah aku mengajukan beberapa syarat?" Ucapku. Kutaruh cangkirku. Tatapan kami terkunci.

"Hm, syarat apakah itu?"

"Aku dan Elyssa akan mengikuti kelas etika sesuai yang ibunda mau, dan kami akan berusaha sepenuhnya agar dapat menguasainya secepatnya."

"..ambisi yang bagus, lalu apa yang kau inginkan sebagai balasannya?" Ucap ibunda, senyuman yang dipenuhi dengan kepuasan dan rasa tertarik merekah di wajahnya.

Ibunda memang selalu cantik, namun aku kini tahu mengapa ia dijadikan bahan iri hati oleh banyak nyonya bangsawan lain.

Senyumannya yang seperti ini bisa memikat hati para tuan bangsawan.

"Diluar kelas etika, aku berharap ibunda dapat memberikan kebebasan kepada kami untuk menekuni hobi dan keinginan kami."

Kini ibunda terdiam, "maksudmu, membiarkan Elyssa belajar seni berpedang?"

Sungguh cepat tanggap.

Aku mengangguk, "Elyssa sangat mengagumi ayah dan seni berpedangnya." Ucapku sambil tersenyum.

"Seorang lady hanya akan membuat tangannya kotor dan kasar dengan mempelajari ilmu pria seperti itu." Ucap ibunda sambil menaruh cangkirnya di meja.

Aku terdiam dan tersenyum, "..tentunya ibunda tahu bahwa ada banyak sihir yang dapat mengatasi hal itu dengan mudah?" Ucapku.

Ibunda tertegun sejenak, mungkin ia tidak menyangka 'anak kecil' sepertiku membahas sihir seperti ini.

"Kau sepertinya meremehkan sihir, walau ayahmu memang berbakat dalam sihir, bukan berarti kalian pun akan sama."

"Walau ibunda adalah wanita bangsawan yang teladan, bukan berarti kami pun akan sama, bukan begitu, ibunda?" Tanyaku, tanpa kusadari, senyuman profesional terlukis di wajahku.

Kini nyonya duchess sekaligus ibundaku itu terdiam, "seorang lady, belajar menjadi lady, itu adalah hal yang wajar." Ucapnya tegas.

Aku mengangguk, "oleh karena itu aku berjanji bahwa kami akan mengikuti kelas etika dengan sungguh-sungguh, bukankah begitu, ibunda?"

"Seorang gadis belajar seni berpedang, benar-benar konyol." Ucapnya sambil mengerutkan dahinya.

Sebenarnya aku tahu betul alasan ibunda seperti ini. Di saat beliau masih seorang anak gadis dari keluarga bangsawan yang bangkrut, ia pun belajar berpedang dengan para ksatria.

Hal itu karena ia berpikir harus melakukan apapun agar dapat menjadi wanita mandiri yang tak bergantung pada siapapun.

Namun ketika terjun di lingkungan para bangsawan yang judgmental , ibunda dihina dan direndahkan karena 'mempelajari pekerjaan pria.'

Aku terdiam, "jikalau ibunda menyetujuinya, aku berjanji aku akan menunjukan prestasi yang memukau di bidang yang ibunda mau. Tentunya, bukan dikelas etika yang kuhadiri bersama dengan Elyssa, karena aku tak mau ada jiwa kompetitif di antara kami."

Aku sudah menyerah bertingkah seakan aku anak berusia lima tahun. Menghadapi duchess Roselia ini, jika aku bertingkah seperti anak kecil, pada akhirnya aku hanya dapat menuruti keinginannya.

Ibunda kini tersenyum, "apa yang membuatmu begitu percaya diri?"

Aku tersenyum, meneguk teh di cangkirku, "aku tahu bahwa ibunda ingin putrinya berada di posisi dimana ia tidak dapat diremehkan oleh bangsawan lain."

"Ibunda, aku ini..anak yang diberkati, betul bukan?" Ucapku.

"Hanya dengan status itu saja, aku sudah satu langkah lebih maju dibanding nona bangsawan lain. Namun ibunda juga tahu bahwa aku tak akan berhenti disini begitu saja, bukankah begitu?"

Kini duchess Roselia yang berada didepanku tertawa. "Kini aku mengerti kenapa kau memutuskan untuk berbicara denganku hanya berdua saja."

"Jika ada yang mendengar caramu berbicara, mereka akan ketakutan dan menganggap kau dirasuki."

Aku tertawa kecil, mulut ibundaku ini terkadang sungguh tajam. Tapi aku tak ada waktu untuk merasa sakit hati akan hal itu. "Setidaknya aku dapat berharap bahwa ibunda tidak beranggapan sama dengan mereka."

Duchess Rosalia tersenyum, senyumannya terlihat lembut. "Tentu saja, bagaimanapun juga, aku tahu betul bahwa kau adalah putriku."

Jujur, aku merasa sedikit bersalah saat mendengarnya. Karena aku tahu cerita asli dari dunia ini, seharusnya tak ada aku dalam keluarga Wagner. Seharusnya 'Alynna Wagner' otu tidak pernah ada di dalam keluarga ini.

Namun, setidaknya, aku berusaha untuk menyelamatkan keluarga ini. Hal itu setidaknya cukup untukku merasa bahwa aku pantas mendapatkan mereka bukan?


//Author's note//

semoga kalian suka chapter nya ya! aku sangat mengapresiasi vote dan comment kalian! see u on the next chap!

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 16, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Reincarnated as the Villainess's Twin SisterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang