Bab 3. Gara-gara Vian

5.9K 863 84
                                    

"Cyrilla!"

Cila menoleh saat mendengar namanya dipanggil. Seorang pria bertubuh atletis berlari mendekat. "Hai, Kak Vian. Ada apa?" sapanya basa-basi.

"Kemaren malem kok chat aku nggak dibales? Lagi jalan sama pacarnya, ya?" tanya Senior Cila itu.

"Iya. Sama gue." Rain tiba-tiba datang dan merangkul pundak Cila. Caranya menatap Vian sangatlah tajam. "Lo bisa nggak jangan gangguin Cila?"

Cila mencubit perut Rain, tidak enak pada Vian. "Apaan sih," desisnya pelan.

"Emang lo pacarnya?" tanya Vian sinis. Dia membetulkan posisi tas ransel yang akan jatuh dari pundaknya.

Situasi mulai memanas. Cila tidak bisa membiarkan ada tragedi berdarah di parkiran kampus. "Kak Vian, duluan ya ada kelas." Cila menarik tangan Rain agar segera pergi.

Rain menoleh ke belakang, Vian sedang memandangnya sengit. Dia tidak peduli pada statusnya yang masih Junior, Vian bukan lawan yang sulit dilumpuhkan bila memang harus. "Jadi cewek itu jangan suka kasih harapan nggak jelas sama cowok. Coba kalau sejak awal nggak diladeni, pasti dia nggak bakalan baper."

"Aku nggak mau dianggap sombong, Rain. Apalagi dia senior kita. Apa salahnya bersikap ramah?" Sejak dulu, Cila memang tidak suka mencari musuh.

"Sombong sesekali buat nunjukin kalau kamu nggak mau diganggu itu perlu. Jangan selalu nggak enakan ah." Rain menarik tangan Cila saat ada Mahasiswa yang berkejaran dan hampir menabrak wanita itu.

"Iya-iya. Terima kasih atas nasihatnya yang sangat menyejukkan. Seketika hati adem bagai diguyur es."

Rain tergelak. Diacak-acaknya rambut Cila sampai berantakan. Seperti biasa, tangan mungil itu mencubit pinggangnya. "Makanya punya muka cantik tuh jangan dipamerin, banyak yang suka, kan, jadinya."

Cila menyisir rambutnya dengan jari. "Resiko orang cantik, gimana dong?" tanyanya sedikit angkuh.

Rain mencebik. "Di rumah ada kaleng kerupuk, mau nggak masukin kepala kamu ke situ?"

"Lucu banget," cibir Cila.

Mereka sudah sampai di depan garis Y koridor. Kelas Cila berada lurus di depan dan Rain di sebelah kanan. Seperti biasa, mereka akan saling menyemangati. Diselingi canda tawa dan gelitikan ringan.

"Kabarin aku kalau udah selesai." Rain membelai pipi Cila.

"Hari ini aku bakal pulang tepat waktu, soalnya Prof. Yuka lagi izin dan diganti sama Asdos." Cila terlihat sangat senang.

"Mau dirayain?"

"Kamu yang traktir." Cila tercengir.

"Emang kapan sih kamu pernah traktir?" sindir Rain. Si mantan menggemaskan itu malah tanpa dosa menjulurkab lidah padanya. "Kalau gitu kamu ke kelas aku."

Cila mengangguk.

***

Pemandangan di salah satu meja yang ada di dalam Yes Cafe cukup menyita perhatian para pengunjung lainnya. Ada sepasang mantan yang sedang suap-suapan, seakan dunia ini hanya milik mereka berdua saja. Rain tidak akan segan-segan mengusap bibirnya Cila dengan ibu jarinya, bila ada saus yang menempel. Begitu juga sebaliknya.

"Kalian kenapa nggak balikan aja sih? Gemes gue liatnya tau nggak, dibilang mantan tapi kayak pacaran." Ini bukan kali pertama Mayang mengeluh.

Rain dan Cila saling pandang, lalu tersenyum geli. "Kita tuh emang gemesin," sahut Cila.

"Bukan gemes itu. Tapi gemes pengen nyakar," balas Mayang kesal.

"Biarin aja, Yang, tutup mata kalau bisa. Capek doang ngomongin mereka tuh," sela Bowo.

"Iya, biarin aja sih. Biar gue ada temen sesama jomblo." Aben menaikkan kerah kemejanya.

"Nggak mau gue temenan sama lo," balas Rain.

"Mampus. Kalau gue jadi lo, pergi gue dari sini. Udah jelas-jelas nggak diakui temen." Bowo mengompori.

"Ogah. Enak aja pergi, nggak jadi dapet makan gratis dong." Ucapan Aben ini disambut dengan lemparan tisu ke wajahnya.

Ponsel Cila berbunyi, nama Vian tertera di layar. "Halo, Kak Vian." Mata Rain langsung melirik ke arahnya.

"Cil, kamu punya waktu nggak malam ini? Ada yang mau aku omongin."

"Malam ini? Mau ngomong apa ya, Kak? Nggak bisa di telepon aja?" Cila memutar spaghetti ke garpu, lalu memasukkannya ke dalam mulut.

"Emm, kayaknya nggak enak kalau di telepon. Ketemu sebentar aja, please. Atau aku ke rumah kamu deh."

"Emang penting banget ya, Kak?"

"Penting banget, Cil. Ini menyangkut hajat hidup orang banyak. Hehehe."

"Eh, kok gitu? Bikin penasaran deh."

Rain menadahkan tangannya pada Cila. Dia tidak mengatakan apa-apa, tapi dari caranya menatap itu sudah menunjukkan maksudnya.

Mayang, Bowo dan Aben tidak ada yang bicara. Mereka tahu persis bila wajah Rain sudah seseram itu, maka jangan ada yang becanda dulu.

Cila terpaksa memberikan ponselnya pada Rain sebelum meja dibuat terbalik. Meski rasanya tidak enak pada Vian yang masih bicara. Dia jauh lebih takut bila Rain mengamuk.

Rain menekan icon merah di layar, menutup telepon Vian. Lalu di tekannya lama pada kontak itu dan memblokirnya. Tidak hanya telepon, tapi juga Instagram dan Twitter. Barulah setelah itu ponsel dikembalikan pada pemiliknya, sambil matanya menatap begitu tajam.

Cila meneguk ludah. Ditaruhnya ponsel itu ke atas meja. Melanjutkan makan meski sudah tak berselera.

"Ehm, kok rasanya panas ya di sini." Bowo mengatasi wajah dengan tangan.

"Bau-baunya nggak enak ya, Wo?" Aben menimpali, maksudnya biar keadaan kembali mencair.

"Makanya mandi!" sentak Bowo.

"Konsepnya nggak gitu, Malih." Aben menepak keningnya.

"Oh, salah ya? Gimana harusnya?" tanya Bowo dengan serius.

"Kan, kita lagi nyindir nih ceritanya. Tadi lo bilang panas, nah gue tambah bau-baunya nggak enak. Harusnya lo sambung lagi biar makin jadi." Aben mengajari dengan telaten.

"Oh gitu. Coba ulang," suruh Bowo.

"Lo duluan, kan, tadi."

"Oh iya." Bowo berdeham. "Kok rasanya panas ya di sini," sambil mengipasi wajahnya.

"Bau-baunya nggak enak ya, Wo?" sambut Aben.

"Makanya mandi, bau badan lo nggak enak," cetus Bowo tanpa beban.

"Gue ulek juga lo." Aben menaikkan lengan bajunya.

Tawa Mayang pun meledak. Kalau Bowo dan Aben tidak melucu, pasti ada yang kurang.

Mau tak mau Cila jadi ikut tertawa, tapi tidak selepas Mayang. Wajah Rain yang masih seperti baju tak disetrika itu, membuatnya agak-agak takut.

Ini semua gara-gara Vian.

***

Ada yang kangen mereka?

Sepi sekali ya di sini, suaranya hampir gak kedengeran. Coba teriak dulu...

Mantan Rasa Pacar (TAMAT)Where stories live. Discover now