Bab 12. Pertemuan tak Disengaja

4.9K 689 83
                                    

Info penting:
Sebelum membaca tolong perhatikan urutan bab lebih dulu ya, karena urutannya acak-acakan. Sudah diperbaiki, tapi masih juga kacau. Terutama untuk Bab 5 dan seterusnya.

***

Beberapa hari kemudian ...

Bagi sebagian orang, shopping mungkin salah satu dari surganya dunia. Belanja sesuka hati membeli semua yang indah dipandang mata biasanya cukup untuk mengenyahkan rasa stres. Itu sebabnya, hari ini Cila menghabiskan waktu di Mal membeli apapun yang menurutnya oke, padahal belum tentu berguna.

"Eh, Cila?" Tiba-tiba terdengar suara laki-laki yang sangat Cila kenal. Dia pun menoleh, dan benar itu Vian.

"Lah, Kak Vian ada di sini juga?" tanya Cila terkejut.

"Iya. Abis beli sepatu olahraga." Vian menunjukkan plastik berisi kotak besar sepatu olahraga brand ternama.

"Kebetulan banget, ya, Kak ketemu di sini."

"Iya nih, nggak nyangka. Tau gitu, kan, mending tadi kita berangkat bareng," sesal Vian. Dia sudah ingin menelepon Cila sebelum ke sini tadi, tapi urung karena yakin akan ditolak.

"Aku naik taksi kok, Kak." Cila seakan memberikan kode, kalau pulangnya bisa bareng.

Wajah Vian langsung cerah. "Kalau gitu aku temenin kamu belanja dulu." Dapet mimpi apa gue kemarin malem?

"Kayaknya aku udah deh, Kak. Ini aja tangan udah nggak muat." Cila tertawa.

"Sini, aku bawain." Vian mengulurkan tangan.

"Jangan, Kak!"

"Udah, nggak apa-apa." Vian mengambil semua belanjaan Cila untuk dibawa. Seketika kedua tangannya pun penuh.

"Makasih, Kak." Cila tersenyum manis.

"Sama-sama." Tangan Vian gatal ingin mengusap puncak kepala Cila, tapi tidak bisa lantaran kedua tangannya penuh. "Gimana kalau kita makan dulu?" ajaknya.

"Boleh! Pas banget aku laper, Kak. Lelah juga ya ternyata belanja sebanyak ini." Terlihat jelas usaha keras Cila yang ingin membuka hati, semua yang wajahnya tunjukkan itu palsu.

"Mau makan apa?"

"Sushi?"

Vian mengangguk.

Keduanya pun berjalan sebelahan menuju Restoran Sushi yang ada di Mal itu. Tidak ada obrolan, karena tampak canggung dengan keadaan. Ini pertama kalinya mereka jalan berdua, meski hanya pertemuan tidak disengaja.

Saat akan masuk ke pintu Restoran, Cila menabrak seseorang yang juga hendak masuk. Semesta terkadang becandanya emang nggak lucu, Bisa-bisanya Rain juga ada di sini. Bersama Sarah lagi.

Tadinya Rain senang melihat Cila, tapi saat tahu wanita itu bersama Vian, wajahnya sontak tidak bersahabat. Dia terpaksa menahan diri, karena sedang bersama Sarah.

"Cila? Ya ampun kangen banget." Sarah langsung mendekati Cila, memberikan ciuman pipi.

"Halo Kak Sarah, apa kabar?" Cila pun berusaha seramah mungkin.

"Seperti yang kamu lihat." Sarah tersenyum sedih.

Cila menoleh pada kedua tangan Sarah yang diam di samping tubuh, memang sangat kasihan.

"Kamu kenapa nggak pernah jenguk aku ke rumah sakit? Padahal aku selalu nunggu loh," ujar Sarah lagi.

"Hehehe, maaf Kak. Akhir-akhir ini lagi hectic sama tugas kuliah. Mau akhir semester soalnya," bohong Cila.

"Oh iya juga sih, ya. Nggak apa-apa deh, lihat kamu di sini aja udah seneng."

Entah sudah berapa lama mereka menghabiskan waktu untuk ngobrol di depan Restoran ini. Para wanita kalau sudah bertemu memang suka lupa diri.

"Eh, kamu sama siapa?" Sarah terlihat ingin menggoda.

"Oh iya kenalin. Vian ini Kak Sarah. Kak Sarah, ini Vian." Cila menarik satu langkah mundur.

"Halo Kak," sapa Vian.

"Kalian pacaran?" goda Sarah lagi. Dia tidak sadar pertanyaan ini malah membuat Rain mengepal tinju.

Cila dan Vian saling lirik. Bila biasanya Cila pasti akan membantah habis-habisan, kali ini dia cuma tersipu malu sebagai jawaban ambigu, namun tersirat mengiyakan. Melihat Cila tidak membantah, Rain pun senang dan ikut memberikan reaksi yang sama.

Sarah mengulum senyum. "Kalian abis belanja, ya?" tanyanya sembari melirik banyaknya paper bag yang dibawa oleh Vian.

"Hehehe, iya Kak." Cila menjawab apa adanya.

"Pasti Vian yang bayarin, kan?"

"Eh itu ..." Vian menutup mulutnya saat Cila merangkul lengannya. Wanita itu berbohong, "hihihi Kak Sarah tau aja."

Rain semakin tidak suka. Apalagi Cila memegang tangan Vian, darahnya terasa mendidih.

"Cewek tuh semua sama, Cila. Paling suka kalau dibelanjain," kekeh Sarah.

"Hehehe, iya Kak."

"Mau makan di sini juga, kan? Bareng aja yuk!" ajaknya.

"Yah, jangan Kak. Nanti kita ganggu," tolak Cila sembari menyindir Rain.

"Nggak sama sekali." Sarah ngotot. "Iya, kan, Rain?" tanyanya meminta pendapat.

Rain cuma bisa mengangguk.

"Tuh. Nggak ada alasan lagi untuk menolak."

"Gimana?" Lebih dulu Cila bertanya pada Vian, berharap pria itu menolak. Bilang nggak, Kak Vian.

"Boleh, kayaknya lebih seru." Swialnya Vian malah menyanggupi. Seperti juga sengaja ingin menunjukkan pada Rain, bagaimana hubungannya dengan Cila sekarang.

Cila cuma bisa pasrah, entah dia masih punya selera makan atau tidak nanti. Melihat Rain membukakan pintu untuk Sarah saja hatinya sudah menjerit, apalagi nanti.

***

Cila terpaksa merelakan hatinya untuk terluka lagi. Pemandangan yang terjadi di depan mata sangat menyakitkan, dan dia tidak berdaya untuk menghindari. Melihat Rain menyuapi Sarah, nafsu makannya jadi memburuk. Tidakkah semua orang tahu bahwa dia kesulitan bernapas saat ini?

"Permisi, aku mau ke Toilet dulu." Cila berdiri setelah itu.

"Mau aku temeni?" tanya Vian sambil memegang tangan Cila.

"Ya ampun, Vian kamu sweet banget, sih." Sarah mengompori. "Iya, kan, Rain?"

Rain diam saja, malah wajahnya tidak menunjukkan keramahan.

Cila tersenyum dan menggeleng, "Aku bisa sendiri. Kamu lanjutin aja makan." Dengan lembut dilepasnya tangan pria itu. Lalu melangkah pergi.

Rain melirik jam di ponselnya, terlihat gelisah. Matanya juga beberapa kali memandang ke arah perginya Cila tadi. Melihat Sarah dan Vian ngobrol begitu akrab, ada ide yang melintas di kepalanya saat ini.

***

Mantan Rasa Pacar (TAMAT)Where stories live. Discover now