Part 18 : Shivering

262 26 1
                                    

 Jordi dan aku nyaris kehilangan van  Arthur saat kami kembali ke taman, suasananya yang gelap dan mencekam membuatku berpikir macam-macam. Van  itu juga sudah tidak berada pada tempatnya semula. Bisa saja mereka sengaja meninggalkan kami karena dianggap mengganggu, atau mereka telah ditangkap oleh polisi-polisi yang mengejar kami selama aku dan Jordi berpisah dari mereka. Beruntung Adrian melambaikan tangannya dari jendela sebuah… van , tapi bukan berwarna hitam seperti yang sebelumnya, melainkan van  dengan warna cerah perpaduan warna kuning, biru tua dan merah dan sebuah lambang negara yang sangat kentara di pintunya.

“ Adrian.” Aku berteriak senang dan menghampiri van  itu. Rafael tersenyum di balik kemudi melihat kedatanganku dan Jordi.

“ Mencari sesuatu ?.” Rafael menyeringai bangga.

Van  kalian berubah.” Kataku masih tidak percaya, sebenarnya siapa yang melakukan ini sementara Arthur meminta semua orang untuk berpencar.

“ Uhmm yes baby, kita pendukung Kolombia mulai hari ini.” Adrian menyahut dari kursi belakang dengan senyuman lebar.

“ Apa yang ada di luar bisa di ganti kapanpun, tapi apa yang ada di dalam hati akan bertahan selamanya. Aku tetap mencintai Argentina.” Rafael bicara sakratis, di tujukan untuk Adrian tentunya. Wajah Adrian langsung berubah masam mendengar perkataan Rafael.

“ Kalian cepat naik.” Potong Arthur pada akhirnya.

Aku dan Jordi langsung menuju kursi penumpang di bagian belakang, rasa lelah dan letih hari ini sepertinya akan cukup terbayar dengan adanya kursi mobil yang sudah kuanggap seperti tempat ternyaman di dunia. Van  bergerak menjauh dari taman sedangkan aku telah menyandarkan kepalaku ke dada Jordi, tangannya melingkar erat di bahuku sedangkan aku merasa dagunya seperti telah menyatu dengan puncak kepalaku. Di saat seperti itulah aku tak merasa ragu lagi untuk memejamkan mataku, tak peduli pada guncangan van  yang terus melaju, atau suara-suara dari mereka yang masih berbicara di depan sana. Rasanya begitu nyaman dan tenang, aku nyaris sudah lupa bagaimana rasanya tertidur di kasur yang empuk dan merasakan dinginnya sebuah penyejuk ruangan. Tapi dalam pelukan Jordi, aku merasakan segalanya, melebihi apa yang pernah kudapatkan sebelumnya.

…..

Sepertinya aku tertidur sangat pulas hingga tak menyadari bahwa Jordi sudah tidak berada di sampingku, tubuhku terbaring dengan sempurna pada kursi mobil dengan sebuah jaket yang menutupinya. Suara bising dari luar van -lah yang membangunkanku, terlebih saat sebuah benda asing membentur kaca mobil tepat di atas kepalaku. Aku bersusah payah melihat keluar jendela, mataku mengernyit saat menyadari di luar sana hari sudah sangat terik. Setelah tubuhku terasa sudah siap dengan dunia luar, aku memutuskan untuk keluar dari van  untuk mencari teman-teman yang lain. Bagaimana kami semua bisa berakhir di sebuah pantai, suasana yang sangat tidak asing bagiku. Atau mungkin aku sudah pernah di bawa ke pantai ini oleh Arthur dan yang lain.

“ Selamat pagi Ella.” Seseorang menyapaku dari arah belakang, aku menoleh dan ternyata dia adalah Arthur. Uhmm… si pria Amerika menyapaku pertama kali, apalagi itu adalah ucapan selamat pagi. Aku penasaran apa yang membuatnya menjadi ramah seperti sekarang ini.

“ Hey Arthur, selamat pagi. Dimana yang lain ?.”

“ Mencari makan pagi.”

“Oh begitu.” Kenapa sekarang bicara dengannya terasa begitu canggung, maksudku aku sudahpernah terlibat dengan hal seperti ini sebelumnya, dan aku sangat tidak menyukainya.

“ Mau kucarikan sarapan ?.”

“ Tidak, terimakasih. Jordi pasti akan membawakan satu untukku.”

“ Okay. Well… obatmu ada padaku dan jika…”

“ Tidak.. tidak, jangan serahkan obatnya sekarang.” Aku menolak cepat, khawatir jika Jordi bertanya-tanya tentang obat itu.

“ Baiklah aku mengerti.” Arthur kemudian berbalik menjauh dariku, aku menarik menarik napas lega. Entahlah… mungkin sebentuk kepuasan karena telah terlepas dari momen canggung bersama pria itu.

Tak lama teman-teman yang lain kembali, aku duduk di tepi pantai sendirian. Memandangi awan putih yang berarak di langit biru, suara kepakan sayap burung terdengar sangat jelas saat kulihat beberapa gadis memberi makan burung camar dari tempat mereka, burung-burung itu terlihat sangat jinak dan merasa tak terganggu berdekatan dengan manusia. Jordi datang mendekat ke arahku dengan membawa sesuatu di tangannya. Bibirku membentuk senyuman lebar menyambut kedatangannya, dia terlihat sangat tidak biasa mengenakan jersey Kolombia. Kutebak Adrian yang memkasanya memakai jersey itu, namun yang membuatku terkesan adalah topi yang ia kenakan. Sangat jarang Jordi mengenakan topi pada kepalanya—dengan kata lain ia terlalu bangga dengan gaya rambutnya. Padahal sejujurnya aku akan senang melihatnya sekali-kali mengenakan topi pada saat tim bepergian di laga tandang.

“ Hey Ell… aku membawakan sarapan untukmu.” Pria itu menyerahkan bungkusan plastik yang ada ditangannya.

“ Terimakasih.” Balasku lalu memeriksa isinya. Hot dog ?, jauh-jauh ke Brasil dan dia hanya mendapatkan makanan Amerika. Well… sebenarnya aku belum terlalu lapar. Jadi mungkin makanan itu harus disimpan lebih lama. Jordi duduk disampingku dengan kaki yang ditekuk.

“Uhh… kau tahu bagaimana pendapat Bastian tentang Rafaella ?.”

“ Apa yang dia katakan ?.”

“ Uhmm…. Dia menikmatinya.”

“ Maksudmu ?.”

“ Rafaella tidak seburuk yang kau katakan. Bastian bisa memaklumi gadis itu, dia bahkan sangat menyesal kenapa kau tidak bisa semenyenangkan Rafaella.”

“ Hey… aku mulai berfikir untuk menjadikan Neymar sebagai kakak.”

“ Jangan cemburu pada gadis itu Ell.”

“ Apa kau menelponnya ?.”

“ Tidak, kami saling mengirim pesan.”

“ Apa ?, saling mengirim pesan ?.” Mataku membelalak tak percaya bagaimana bisa aku tak menyadari bahwa selama ini Jordi membawa ponselnya.

“ Ya. Ada yang aneh ?.”

“ Berikan ponselmu.” Aku mengulurkan tangan kepadanya, pria itu memandangiku bingung namun ia mulai merogoh saku celananya. Begitu ponsel itu mendarat di tanganku aku langsung melempar benda itu ke laut, persis seperti yang Arthur lakukan pada ponselku sebelumnya.

“ Ell… kenapa kau membuangnya.” Jordi menarik tubuhku kasar. Ia terlihat tidak senang dengan tindakanku, well… aku tahu bagaimana rasanya itu.

Jezz… kau membawa ponselmu ?, sudah kuduga bahwa ada sesuatu yang tidak beres dari penyerangan tadi malam.”

“ Apa maksudmu Ell ?.”

“ Posisi kita bisa dilacak dengan mudah lewat ponsel itu.”

“ Aku tidak percaya kau melakukan ini.” Jordi mundur beberapa langkah, memandangiku dengan tatapan geram.

“ Aku tidak bisa membiarkan ada penyerangan lain hanya karena benda itu. Rafael sedang berusah memperbaiki segalanya, jadi kumohon mengertilah.”

“ Jadi tentang ponselmu yang dicuri beberapa waktu yang lalu adalah sebuah kebohongan ?.”

“ Jordi, berhentilah bertindak kekanakan. Dibanding dengan keselamatan semua orang sebuah ponsel sama sekali bukan masalah besar kan ?.”

“ Terserah kau Ell.” Pria itu kemudian berbalik meninggalkanku, mengabaikan setiap panggilanku dan tidak peduli dengan tatapan setiap orang di tempat itu. Heckk… aku kembali harus berhadapan dengan jiwa kekanakannya. Aku hanya tidak terbayang bagaimana jika yang mendapati dirinya dengan benda itu adalah Arthur, pria itu tentu tidak akan meminta baik-baik pada Jordi, paling tidak keduanya akan berakhir dengan baku hantam yang sengit.

Aku menarik rambutku frustasi, memandangi bayangan Jordi yang semakin menghilang ditelan jarak. Tidak menyadari bahwa ketiga teman yang lain telah memandangi pertengkaran ala melodrama versi aku dan Jordi. Kulihat Adrian membisikkan sesuatu pada Rafael sedangkan Arthur seperti sedang menahan senyumnya. Serius, aku ingin sekali meninju mukanya.

…...

Lost in BrazilМесто, где живут истории. Откройте их для себя