Ch. 16: I know how it feels

Start from the beginning
                                    

Aku memutar bola mataku. "Kelihatan, sih," cibirku. "Muka lo tadi tegang banget kayak lagi ketangkap selingkuh."

Raut wajah Aksa berubah menjadi datar. "Gue bukan tipe orang yang bisa selingkuh, Lun."

Aku mendengus. "Semua orang juga awalnya bilang gitu."

"Gue serius, Lun." Aksa tersenyum kecil.

"And why should I trust you?"

"Karena gue tahu gimana sakitnya diselingkuhi sama orang yang kita percaya dan sayangi sepenuh hati," tutur Aksa dengan raut wajah yang menggambarkan keseriusan. "Gue tahu gimana rasanya mempertanyakan ke diri sendiri apa yang kurang sampai pasangan harus mencari kenyamanan dari orang lain. Gue juga tahu gimana sulitnya untuk percaya lagi sama orang lain, memulai hubungan yang baru, dan terus-terusan meyakini diri kalau hubungan yang baru ini nggak akan berakhir sama kayak hubungan yang dulu. Trust me, Lun. I know how it feels."

Aku tidak tahu harus menanggapi perkataannya seperti apa karena aku mengalami itu semua. Aku tahu perasaan itu, bahkan familiar karena berkali-kali aku merasakan apa yang Aksa katakan. Bingung, akhirnya aku bersuara dengan nada normal. "Speak from experience?"

Aku terpaku ketika melihat sorot mata Aksa sedikit memancarkan luka. Tapi, tidak lama kemudian, sorot matanya sudah berubah. Binaran matanya kembali dan lesung pipinya muncul di kedua sisi. "Sekarang kerja di mana, Lun?"

Aksa mengalihkan pembicaraan, tapi karena aku tidak ingin mengusiknya lebih lanjut dan membuatnya mengingat kenangan masa lalunya, aku mengikuti permainannya. "Baru aja pindah ke perusahaan konsultan lingkungan."

"Living your dreams, huh?" komentar Aksa dengan senyum lebar. "Dulu lo bilang kalau lo mau jadi konsultan lingkungan. Akhirnya kesampean juga, ya. Selamat, Lun."

Senyumku terukir begitu mendapatkan ucapan selamat yang tulus dari Aksa. Sebuah ucapan yang sama yang kuharapkan bisa kudapatkan pula dari Damar. "Lo sendiri gimana? Jadi S2 di luar negeri?"

Aksa tersenyum tipis. "Di UI."

Aku mengernyit sambil mengunyah makan siangku. "Nggak jadi lanjut di Australia? Atau Stanford? Bukannya lo mau ke sana?"

"Gue nggak lolos seleksi beasiswa LPDP dan gue udah pernah bilang kan, kalau gue nggak mau pergi kuliah ke luar negeri kalau nggak dapet beasiswa? Kalau tetep mau ke luar negeri, pakai uang sendiri." Aksa mengusap tengkuk. "Tapi, waktu itu gue nggak lolos seleksi dan tabungan gue juga belum cukup buat bayar uang kuliah yang satu semesternya kalau di-rupiahin setara dengan berbulan-bulan gaji."

"Harusnya uang lembur udah bisa nutupin nggak, sih?" candaku. "Lisa bilang kerjaan lo lembur mulu. Weekend aja masih lembur."

Aksa menyengir. "Waktu itu gue masih associate, Lun. Sebesar-besarnya gaji bulanan gue setiap bulan ditambah uang lembur, tetap aja nggak cukup."

"Tapi, sekarang udah cukup, kan? Nggak mungkin kerja bertahun-tahun masih jadi associate."

"Pertengahan tahun ini baru dapat promosi jadi assistant manager."

"Berarti kalau mau lanjut S3 ke Stanford pakai tabungan sendiri harusnya bisa, kan?" Aku mengerling. "Gimana? Tertarik buat lanjut S3?"

Aksa hanya bisa menggeleng seraya tertawa pelan. Dia mengucapkan terima kasih kepada pelayan yang mengantarkan pesanan minumannya sebelum berbicara kepadaku. "S2 udah cukup. Gue kayaknya nggak sanggup kalau mesti lanjut S3. Kuliah magister sambil kerja aja rasanya udah mau mati, Lun. Gue ngerjain tesis tiga minggu doang waktu itu. Selama tingga minggu itu, gue tidur jam empat pagi terus lanjut ngantor lagi jam sembilan."

Love: The Butterfly Effect [COMPLETED]Where stories live. Discover now