Ch. 13: It's been a long time

Começar do início
                                    

"Jadi, kapan lo mau nyusul?" tanya Lisa, menggodaku. Dia melepaskan tanganku secara paksa lalu membalikkan badannya. "Udah berapa kali dapet pertanyaan kayak gitu hari ini?"

Aku mendengus. Pertanyaannya itu sukses menghancurkan suasana haru di ruangan ini. "Gue aja baru kelar S2, Lis. Baru mulai kerja lagi minggu depan."

"Terus?" Adam menyahut di tengah-tengah obrolanku dengan Lisa. Alis laki-laki itu naik sebelah. "Hubungannya apa?"

"Ya, gue masih mau bangun karier gue dulu," timpalku. Aku bersedekap, sedikit menyandar pada meja rias yang penuh dengan berbagai alat make up. "Ini pertama kalinya gue kerja di consulting firm setelah bertahun-tahun kerja di perusahaan pertambangan. Gue mau adaptasi dulu sama lingkungan kerja yang sekarang sebelum menikah."

Lisa menggelengkan kepala, tetapi dia tidak bisa menahan tawa ketika mendengarku berbicara dengan bersungut-sungut. Walaupun aku tahu pertanyaannya tadi bukanlah sebuah desakan—seperti apa yang biasa dilakukan keluarga besarku—topik mengenai pernikahan memang cukup sensitif di telingaku.

Dulu, aku bisa menanggapi pertanyaan mereka dengan cengiran lalu melemparkan pertanyaan tersebut ke Lisa. Setelah Lisa menikah, aku tidak tahu apa yang harus kukatakan kepada keluarga besarku agar mereka tidak terus menanyakan kapan aku memberikan undangan. Tanpa terdengar kurang ajar.

"Omong-omong, aku nggak lihat Aksa tadi pas akad," celetuk Lisa kepada Adam.

Tubuhku langsung menegang ketika mendengar nama dari orang tidak pernah kutemui lagi selama tujuh tahun terakhir ini. Adam memang memberitahuku bahwa Aksa akan menjadi salah satu groomsman di acara pernikahannya. Hal itu juga yang membuatku gelisah sejak beberapa hari belakangan. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan ketika bertemu dengannya lagi usai perpisahan kami di bandara. Haruskah aku bersikap seolah tidak ada yang terjadi di antara kami? Atau perlukah aku menghindarinya?

"Dia emang udah izin nggak bisa ikut akad semalam," ujar Adam. Senyum di wajahnya lenyap. "Nyokapnya masuk rumah sakit kemarin sore. Jadinya, dia mesti nungguin nyokapnya dulu."

"Tante Erna masuk rumah sakit?" tanyaku, kaget.

Imaji wanita paruh baya yang tujuh tahun silam pernah video call bersamaku ketika di Malang muncul di pikiran sedikit samar. Bahkan, aku sendiri merasa kaget karena masih mengingat nama ibunya Aksa. Padahal kami belum pernah bertemu secara resmi.

Adam mengangguk. "Tekanan darahnya rendah ditambah akhir-akhir ini lagi kecapekan dan banyak pikiran."

"Apa nggak lebih baik kalau Aksa nemenin nyokapnya aja di rumah sakit?" tanya Lisa khawatir. "Aku nggak akan marah, kok, kalau dia nggak bisa datang hari ini."

Adam mendekati Lisa dan mengelus lengan wanita yang sudah resmi menjadi istrinya itu. "Aku udah bilang begitu," ujarnya. "Tapi, dia bilang nyokapnya udah boleh keluar dari rumah sakit sore ini dan dia nggak mau melewatkan acara pernikahan kita."

"Beneran?"

"Aksa udah berangkat dari rumah sakit setelah akad selesai."

"Kok masih belum sampai?"

"Sebentar lagi juga datang, Lis," ucap Adam lembut seraya mengecup puncak kepala Lisa, berusaha menenangkannya. Akhir-akhir ini Lisa memang sering merasakan kecemasan berlebihan terkait hal-hal yang berkaitan dengan hari pernikahannya. "Kamu mau makan dulu? Aku minta orang WO buat ambilin makan, ya? Pas resepsi nanti kita pasti nggak bisa makan."

Lisa menghela napas lalu mengangguk pelan. Baru saja aku ingin menawarkan diri untuk keluar dan meminta siapa pun orang yang bertugas di luar untuk membawakan makanan. Yang penting, aku tidak perlu berlama-lama di sini. Aku tidak ingin bertemu Aksa sekarang. Namun, belum sempat aku bersuara, Lisa sudah menahanku untuk menemaninya.

Love: The Butterfly Effect [COMPLETED]Onde histórias criam vida. Descubra agora