31|La Moustahila|

Start from the beginning
                                    

Akan tetapi ia juga bersyukur karena dirinya masih hidup dan calon kekasih halalnya masih bertahan, yang sebenarnya itu semua hanyalah kebohongan.

          "Ayah!" kata Shireen , duduk di atas ranjang kamar sebelah tengah bertelepon

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Ayah!" kata Shireen , duduk di atas ranjang kamar sebelah tengah bertelepon.

"Ada apa?" tanya Edloss setelah seorang penjaga memberinya telepon kantor padanya.

"Aku telah berhasil membuat Blackrider hilang ingatan..." lanjutnya, "...dan kami baru tiba di Tokyo malam ini," jelasnya.

Edloss Grey menyenyit setelahnya. "Apa?" tanyanya terkejut. "Amnesia?" desahnya.

"Ya, tolong jadilah waliku untuk dapat menikah dengannya, dia-"

"Apa?" Edloss memotong pembicaraan, sambil mengerutkan wajah. "Menikah? Kau ini bicara apa?"

"Dengarkan aku dulu Ayah," kata Shireen. "Ini hanyalah caraku untuk bisa membebaskan Ayah," ujarnya. "Dia akan menjadi saksi dan membawa bukti-bukti bahwa semua itu hanyalah fitnah," jelasnya.

"Oh, lebih baik kau bawakan seorang pengacara untukku," pinta Edloss berharap.

"Oh," kata Shireen. "Tenang saja, aku telah menyiapkannya, yang penting Ayah harus menjadi waliku besok," Ia menandskan. "Agar dia menjadi penutup kesalahan Ayah."

Pembicaraan itu berakhir setelah penjaga sel membatasi waktunya, Edloss kembali pada ruang sel, berpikir bahwa tindakan putrinya justru konyol, ia tahu bahwa orang yang melaporkannya ke kantor polisi adalah orang yang sama yang akan menjadi saksi. Rasanya itu takkan mungkin membuat polisi percaya, kemudian tentang pernikahan putrinya yang masih belum bisa dimengerti, apakah hanya pernikahan rekayasa atau itu serius semuanya hanya akan membawa masalah. Blackrider tengah meminum obat, kala itu terdengar suara pintu dibuka, sesaat kemudian Blackrider berbalik untuk menyaksikan siapa yang mengunjungi kamarnya dan setelah ia mendapati Shireen menghampirinya, barulah ia merasa tenang.

"Ada apa?" tanyanya, menyorot Shireen hingga tiba di hadapannya kemudian meletakkan gelas di atas meja.

"Menikahlah denganku besok," katanya. "Dan bebaskan ayahku dari penjara."

Blackrider terkejut bukan main, kernyitnya terbit, menikah? Esok hari? Batinnya, semakin membuatnya tidak mengrti. Terdiam menatap Shireen, sambil berpikir, karena sejujurnya ia masih belum merasakan cinta terhadap Shireen, dan semakin lama membuatnya semakin merasa bersalah, ia merasa tak mengetahui apa pun sebelum dirinya amnesia, apakah dulu dirinya begitu mencintai Shireen? Apakah sebelumnya memang sudah terdapat kesepakatan untuk menikah?

Shireen menatapnya cemas. "Bagaimana?" tanyanya agak takut.

Blackrider tertunduk, berpikir jawaban apa yang tepat tanpa harus melukai hartinya? Tidak mungkin ia berkata bahwa dirinya tak mencintai Shireen, lalu bagaimana tentang Ayah Shireen yang dipenjara, ia merasa belum pernah mendengar apa pun tentang itu.

Sesaat kemudian Blackrider mendongak kembali menatap Shireen. "Haruskah semendadak ini?" tanyanya. "Bagaimana dengan orang tuaku? Di mana mereka? Aku belum menemuinya semenjak aku sadar."

Shireen ternganga, mengapa aku seceroboh ini? Batinnya, ia tampak bingung untuk bagaimana cara menjelaskan tentang orang tua Blackrider, haruskah ia berbohong?

          Shireen ternganga, mengapa aku seceroboh ini? Batinnya, ia tampak bingung untuk bagaimana cara menjelaskan tentang orang tua Blackrider, haruskah ia berbohong?

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Assalamualaikum," Juliana menghubungi Watn pada keesokan harinya, terdengar suara gadis Palestina itu menjawab salamnya. "Apa kabar?" tanyanya.

Watn tersenyum. "Alhamdulillah, baik, dan kau?" tanyanya.

"Alhamdulillah, aku tiba di Lebanon malam tadi," jawabnya, kemudian meneguk teh.

"Alhamdulillah!" Watn turut gembira.

"Maaf, apakah aku mengganggumu?" tanya Juliana. "Menghubungimu sepagi ini?" Ia menatap sekitar sejenak, sebelum menyandarkan tubuh pada sandaran sofa.

"Oh, tentu tidak, Juliana," kata Watn, berdiri di depan cermin, sambil mengecek wajahnya.

"Sebenarnya aku telah bertemu dengan seseorang yang kurasa," Juliana berhenti bicara sejenak. "Kurasa ia adalah Blackrider."

Watn terkaku, matanya mengerling ke kanan dan ke kiri "Apa?" tanyanya memastikan.

"Ya, tapi aku agak ragu," sambung Juliana. "Karena ia tak mengenalku."

"Di mana kau bertemu?" tanya Watn, lalu duduk di sebuah kursi di depan meja rias, mendadak pembicaraan mereka menjadi serius.

"Di dalam pesawat."

"Kau yakin?" tanya Watn tampak cemas.

"Aku yakin, tapi mungkinkah Blackrider amnesia?"(*)

Wonder Colours: Fight in Color WorldWhere stories live. Discover now