Ch. 12: So, you don't want to say goodbye?

Start from the beginning
                                    

Setelah menarik napas dalam untuk mengontrol perasaanku, aku memutar tubuh. Aksa berdiri menjulang beberapa senti di hadapanku. Dengan kemeja flanel, celana jins, dan converse. Ditambah backpack di punggungnya.

"Oh, hai!" ucapku seolah aku baru melihatnya.

Aksa mengernyit. Dia seperti ingin berbicara sesuatu, tetapi urung. Setelah detik demi detik berlalu tanpa adanya pembicaraan, Aksa membuka suara. "Foto-foto selama di Malang udah lo terima, kan?" tanyanya.

Ah, foto-foto itu. Di hari pertama aku mendapatkan pesan dari Aksa, laki-laki itu memperkenalkan diri lalu mengirimkan puluhan foto kami. Hanya berdua. Foto-foto candid hasil potretan Kevin yang aku sendiri tidak sadar kapan diambilnya. Dari hari pertama kami menginjakkan kaki di Malang hingga di Gunung Bromo.

Foto-foto yang membuatku semakin gamang dan berakhir merutuki diriku sendiri karena tidak mampu mengendalikan perasaanku kepada Aksa sehingga berakhir jatuh hati kepadanya.

"Gue nggak tahu lo udah terima apa belum karena lo nggak bales chat gue," tukas Aksa ketika aku tidak menyahuti perkataannya.

Aku mengulum bibir lantas berdeham. "Udah, kok."

"Mau temenin gue ke Starbucks?" ajaknya. Entah kenapa di mataku Aksa terlihat berusaha keras supaya perbincangan ini tidak berakhir. "Traktiran terakhir sebelum gue berangkat ke Australia."

"Nggak perlu," tolakku tanpa pikir panjang. "Gue lagi nggak mau ngopi."

Aksa tidak menyembunyikan kekecewaan di raut wajahnya ketika aku menolak ajakannya itu. Situasi tiba-tiba berubah menjadi canggung, tetapi memang seharusnya seperti ini. Hubunganku dan Aksa tidak akan sama lagi. Berpura-pura seolah kami masih bisa menjadi teman yang baik tidak dapat menyelesaikan masalah dan kemungkinan besar aku akan semakin tenggelam dalam patah hati.

Patah hati. Aku termenung. Aku mengenal Aksa tidak sampai satu minggu tapi dia berhasil memenuhi pikiranku kemudian menghempaskanku begitu saja ketika aku sudah menaruh harapan yang tinggi terhadapnya.

Bahkan, usai liburan itu, aku tidak bisa membohongi diriku sendiri. Aksa kerap kali hadir dalam pikiranku yang kosong. Papa beberapa kali menegurku selama di rumah karena aku terlalu sering kehilangan fokus di tengah pembicaraan.

"Mungkin akan lebih mudah kalau lo marah sama gue daripada kayak gini, Lun," gumam Aksa dengan suara yang begitu pelan tapi masih dapat terdengar di telingaku. "Gue jadi bingung harus kayak gimana kalau lo begini."

"Karena lo emang seharusnya nggak harus ngapa-ngapain lagi, Sa!" sambarku kesal. "You have a girlfriend and you will leave eventually. Lo yang begini kelihatan kayak seorang pacar yang lagi ngemis permohonan maaf ke pacarnya karena melakukan kesalahan."

"Lo itu teman yang baik, Lun. Gue nggak mau kita lost contact begitu aja karena masalah ini," timpal Aksa dengan suara yang agak meninggi, tetapi tidak cukup besar untuk dapat didengar oleh orang lain. "Kita masih bisa jadi teman kan, Lun?"

"Lo tahu kalau gue menganggap lo lebih dari itu kan, Sa?"

Aksa termangu. Dia membuang napas, wajahnya mengeruh. "I know."

"Ternyata lo egois juga ya, Sa?" tuturku dengan amarah yang sudah membeludak. Aku tertawa pelan. Tawa yang mungkin terdengar sangat getir. "How can you expect me to be your friend after all this mess?"

Sorot mata Aksa tertuju kepadaku. Dia tidak berkata apa-apa selain menatapku dengan lekat. Ketika terdengar suara pengumuman yang menandakan dirinya dan Adam harus segera boarding, Aksa menghela napas.

"If I told you earlier, would that change everything?" tanya Aksa sendu.

Aku meremas jari-jariku. Bibirku terkatup rapat. Bukan karena enggan menjawab pertanyaannya. Aku tidak dapat memberikan jawaban yang tepat karena aku memiliki firasat meskipun Aksa memberitahuku statusnya sejak awal, kemungkinan aku tetap mempunyai keinginan untuk memilikinya—walaupun keinginan memiliki itu tidak sebesar sekarang.

"So, we can't be friends anymore?"

Aku menunduk, tidak berani melihat wajahnya ketika aku memberikan gelengan. "Sorry."

Ada jeda yang cukup panjang hingga akhirnya dia kembali berbicara. "I guess we can't hang out in Melbourne when you come for your MUN."

Aku terdiam.

"Good luck buat Harvard National MUN-nya, Lun." Akhirnya, aku mendongak ketika Aksa menepuk puncak kepalaku beberapa kali. Laki-laki itu melemparkan senyum tipis kepadaku.

Sebelum aku sempat memberikan salam perpisahan, Aksa menghampiri keluarganya. Dia berbincang sejenak dengan keluarganya, membuatku sedikit penasaran apa yang mereka bicarakan karena setelahnya Tante Erna melihatku kemudian melambaikan tangan. Aku membalas lambaian tangan itu dengan singkat sambil tersenyum. Tanpa menoleh lagi ke belakang, Aksa berjalan menjauh hingga sosoknya tertutupi oleh orang-orang yang memenuhi bandara sedangkan mataku tidak bisa terlepas dari punggungnya yang terus menjauh.

Love: The Butterfly Effect [COMPLETED]Where stories live. Discover now