Chapter 24| Tentang Anak

16 3 8
                                    

Sepulang dari kerja, Papa langsung nyelonong saja melewati Mama, Aarav, dan Adel tanpa salam ataupun basa-basi sedikitpun. Raut muka Papa seperti orang yang sedang menahan beban, sampai-sampai peluhnya berceceran di dahinya.

"Adel mau bikin anak sekarang, deh." Adel berkata penuh semangat.

"Emang kamu tahu caranya bikin anak kayak gimana?" tanya Mama sambil tersenyum mengejek.

"Enggak, ajarin dong Ma," kata Adel kemudian.

"Udah-udah, pembahasannya mulai gak normal jadinya. Kamu masih terlalu kecil buat memahami semuanya."

"Eh, Papa pulang. Loh, Pa!" seru Aarav karena melihat Papanya yang ngacir begitu saja melewatinya.

"Biasa, Rav. Papamu kebelet buang air besar pasti. Udah lama juga penyakit diarenya nggak kambuh," celetuk Mama sambil mengelus-elus puncak kepala Adel. Bukan apa-apa, Mama hanya kasihan melihat Adel yang habis kepentok pintu demi mengambilkan pemotong kuku untuk sang Mama.

Aarav tertawa keras, ternyata Papanya tak sekuat yang ia bayangkan. Padahal Papa pernah berkata kepada Aarav dulu, bahwa dirinya tak pernah punya riwayat penyakit apapun. Nyatanya Papa membohongi Aarav hanya untuk terlihat keren saja. Maka dari itu Aarav tertawa ngakak karena mengingat kembali kejadian tersebut.

"Udah Pa? Kalau perutnya masih nyeri, obatnya ada di kamar tuh. Di kaca-kaca tempat obat," pesan Mama ketika Papa kembali dengan raut muka yang sulit dijabarkan.

Papa kemudian duduk di samping Aarav yang tengah menikmati es krim corento. "Udah mendingan, Ma. Papa nyesel banget mau-mau aja diajak makan rujak sama Nishi."

Karena menyadari kata-katanya ada yang aneh, Papa langsung membekap mulutnya dengan kedua tangannya. Bagaimana kalau istrinya sampai curiga? Secara nama Nishi, kan, umumnya dipakai untuk nama perempuan. Padahal, Nishi adalah rekan kerja Papa sebagai Mangaka. Lagipula namanya juga nyeleneh jauh dari nama-nama familiar di Indonesia. Sudah jelas, Nishi memang bukan orang lokal, tetapi orang Jepang asli yang menetap di Indonesia untuk kepentingan bisnis.

Aarav memilih menyumpal telinganya dengan kapas dan bangkit untuk menuju kamarnya. Sementara Adel, gadis itu masih fokus menonton televisi sambil memakan donat favoritnya.

"Nishi? Siapa Nishi? ABG yang baru Papa kenal? Ngaku aja, Pa," seru Mama kesal.
Mama jadi parnoan karena akhir-akhir ini followers Papa di Instagram meningkat pesat. Di kolom komentar isinya hanya pujian, pujian, dan pujian yang mengagumi kegantengan Papa. Karena Papa juga menjabat sebagai selebgram akhir-akhir ini, Papa jadi sering sibuk sendiri untuk main handphone.

Mama merasa diacuhkan. Papa sekarang lebih sering tertawa dengan benda berbentuk persegi panjang itu daripada bertukar pikiran dengan Mama. Papa juga sangat narsis sekarang, ke mana-mana harus serba difoto untuk dijadikan insta story. Mama yang mengalah pun akhirnya terpaksa jadi photographer di setiap mereka berempat liburan.

"Papa salah ngomong, Ma. Maksudnya tuh Nindo," celetuk Papa sambil menggaruk tengkuknya. Papa terpaksa berbohong agar istrinya tersebut tidak menaruh curiga sedikitpun padanya. Kalau Mama sudah overthingking yang berlebihan, bisa-bisa Papa wafat hari itu juga karena kesadisan Mama.

Tapi cinta tak mungkin saling menyakiti, kan? Cinta itu saling menjaga dan melengkapi kekurangan satu sama lain. Terkadang, butuh pengorbanan yang membutuhkan kesiapan bathin yang kuat agar menerima hasil yang memuaskan. Loh? Kok jadi romance? Cerita ini, kan, genre comedy.

Mama memicingkan matanya tidak percaya. "Masa? Mana mungkin melesetnya bisa sebegitu jauh. Terus namanya juga bukan orang lokal banget, deh. Papa selingkuh sama orang luar negeri? Kurangnya Mama apa, sih, Pa? Mama sedih banget kalau Papa gak mau kasih penjelasan. Jadi, Papa milih diam aja? Oke fine!"

Papa mendengus melihat Mama yang terus saja mengoceh. "Gimana bisa Papa kasih penjelasan kalau Mama nyerocos terus dari tadi."

Mama cemberut sambil mengalihkan pandangannya dari Papa.

"Ni-Nindo itu temen Papa di bank. Dia anak baru, Ma," kata Papa agak sedikit gugup. Rasanya sangat mengganjal ketika harus membohongi istri tercintanya itu. Papa tidak ingin keluarganya tahu tentang pekerjaan keduanya sebagai Mangaka itu.

Papa melakukan ini semua demi kebaikan keluarganya juga. Bagaimana bisa Papa memberi tahu keluarganya kalau selama ini dirinya berprofesi sebagai seorang Mangaka hentai. Ingat itu! Ma-nga-ka Hen-tai. Harus ada Hen-nya, kalau nggak ada bisa gawat banget.

Sebenarnya Papa tidak setuju ketika tanda tangan kontrak dulu, tetapi karena keinginannya untuk membeli mobil Wuling Almaz yang Papa impi-impikan sejak lama kian tidak bisa terbendung, terpaksa Papa setuju dan terkontrak dengan pekerjaan tersebut.

"Nindi mereun," sahut Adel.

"Jadi namanya Nindi Mereun?!" tanya Mama sambil melotot ke arah Papa.

"Hush, Adel! Kamu ke kamar sana. Jangan malah memperkeruh suasana, dong, Del,"

Adel cekikikan sendiri melihat Papanya yang semakin memucat. "Iya udah Adel ke kamar. Papa sama Mama kalau mau drama jangan kencang-kencang ngomongnya. Kalau didenger tetangga jadinya gak enak juga."

Mama melengos tidak peduli.

"Udah sana, buruan!" suruh Papa sambil mendorong pundak Adel pelan agar anak gadisnya itu cepat beranjak dari situ.

"Udahlah Ma, jangan ngambek gitu. Papa jadi sedih kalau Mama ngambek terus," kata Papa sambil memangkas jaraknya dengan Mama. Mama masih tetap diam tidak menggubris perkataan Papa.

"Sejak jadi selebgram Papa jadi banyak endorse. Papa sadar nggak, sih, kalau selama ini waktu Papa buat ngobrol sama kita bertiga itu mulai renggang? Bahkan yang lebih parah, Papa lebih milih nerima endorse-an yang nggak seberapa itu daripada nemenin istrinya belanja kebutuhan. Rasanya nyesek banget tahu, Pa." Mama berkata lirih sambil memunggungi sang Papa.

Papa menarik napas dalam-dalam, lalu mengatakan, "Oke, Papa akui Papa memang salah. Tapi, itu juga Papa lakukan agar tabungan kita semakin banyak, Ma. Masa Mama nggak mau kita sekeluarga segera berangkat ke tanah suci bareng-bareng?"

Mama menoleh pelan-pelan ke arah Papa. "Papa beneran, kan? Papa nggak lagi nyelingkuhin atau bohongin Mama, kan?"

Papa menggelengkan kepala.

"Papa setia sama Mama. Sesuai janji pernikahan kita dulu," kata Papa kemudian mengecup punggung tangan kanan Mama.

"So sweet...."

Papa dan Mama lantas melepaskan genggaman tangan mereka dan menoleh ke arah sumber suara. Ternyata Aaravlah yang berdiri di samping tangga dengan berkacak pinggang sambil tersenyum geli.

"Sejak kapan kamu di situ, bocah?" seru Papa kemudian bangkit menghampiri Aarav.

Mama yang salah tingkah pun tiba-tiba berdiri dan berjalan keluar rumah sambil sesekali bertepuk tangan.

"Nggak lama, kok. Papa sama Mama kenapa sampai salah tingkah kayak gitu coba?" timpal Aarav dengan nada jenaka.

Papa menggaruk telinganya sambil memasang muka bingung. "Ya- ya gak tahu! Kamu tanya aja sama Mama sana!"

"Kalau tahu bakal seromantis ini, Aarav juga pengen nikah cepet, Pa." Aarav tertawa setelahnya.

Papa geleng-geleng kepala mendengar kalimat yang baru saja Aarav katakan.

"Ada-ada aja anak sultan."

"Iya, untung aja Aarav anak sultan. Kalau aja Aarav anak orang miskin, pasti Aarav bakalan kabur dari rumah terus nyari orangtua baru."

"Ter-se-rah!" sahut Papa sebelum meninggalkan Aarav sendirian.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 25, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Keluarga Salah ServerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang