Ch. 10: I can explain

Start from the beginning
                                    

"Maaf," kataku lirih begitu menyadari aku mengganggu obrolannya.

"Lagi sama siapa, Bang?" tanya wanita paruh baya itu penasaran. "Beneran ketemu cewek di sana, ya?"

Aksa menghela napas. Tanpa aba-aba, dia mengarahkan ponselnya kepadaku sehingga wajahku mungkin saja sudah memenuhi layar ponsel ibunya Aksa. Dengan sedikit gelagapan, aku menarik sudut bibirku lalu melambaikan tangan ke kamera.

"Halo, Tante" Aku menatap Aksa, bertanya tanpa suara siapa nama ibunya dan laki-laki itu menjawab dengan lirih. "Halo, Tante Erna."

"Halo," Tante Erna membalas lambaian tanganku dengan ramah. Raut wajahnya tampak berseri. "Siapa ini namanya? Teman kuliahnya Aksa? Atau beneran nggak sengaja ketemu di Malang?"

Aku melirik Aksa dari ekor mata, meminta bantuan kepada laki-laki itu karena takut salah menjawab pertanyaan ibunya. Namun, dia hanya mengedikkan dagu seolah menyerahkan jawaban seutuhnya kepadaku.

"Namaku Luna, Tante." Aku menyengir kecil seraya memperkenalkan diri. "Bukan teman kuliah, Tan."

Tante Erna melotot. "Ketemu di Malang?"

Aku terkekeh menghadapi kehebohan wanita itu. Diikuti gelengan pelan, aku berucap, "Nggak juga, Tan. Saudara kembarku teman kuliahnya Aksa dan aku diajak liburan juga. Makanya bisa ketemu."

"Luna kuliah di mana?"

"Di ITB, Tante."

"Oh, ya?" Tante Erna terlihat antusias. "Teman Tante ada yang mengajar di ITB. Kamu jurusan apa?"

"Teknik Lingkungan, Tan."

"Wah," sahut Tante Erna terkesiap. "Jarang banget Tante ketemu anak perempuan yang kuliah di teknik. Semua anak Tante ujung-ujungnya masuk ke bisnis. Anak tante yang terakhir juga sekarang mau ikut-ikutan jejak kakak-kakaknya."

Belum sempat aku menyahuti perkataan Tante Erna, Aksa mengarahkan layar ponselnya kembali ke dirinya.

"Jojo nggak bilang apa-apa ke aku kalau dia mau masuk FEB," protes Aksa dengan alis yang tertaut. "Dia mau masuk jurusan apa?"

Aku menggigit bagian dalam pipiku. Merasa gemas sendiri mendengar Aksa sedikit merajuk kepada ibunya.

Tante Erna terdiam, seperti sedang berpikir. "Kalau Mama nggak salah ingat, antara mau ikut Kakak masuk jurusan Akuntansi atau ikut Abang masuk jurusan Manajemen."

"Sebelum aku pergi dia bilangnya mau masuk hukum? Kok nyerongnya jauh banget dari FH ke FEB?"

"Nanti pas kamu balik coba kamu tanya sendiri ke Dedek," ucap Tante Erna seakan tidak ingin menanggapi cercaan Aksa. "Abang jadi berangkat ke Australia sesuai jadwal, kan? Jangan dibatalin lagi kayak awal bulan lho, Bang. Nanti Papa marah-marah."

Aku mengerjap beberapa kali. Aksa sempat membatalkan jadwal keberangkatannya ke Australia? Kenapa? Sejak pembicaraan di tengah malam itu, kami memang tidak pernah membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan kuliah lagi. Aksa juga tidak menyinggung mengenai pembatalan kepergiannya yang seharusnya lebih awal itu.

Aksa menoleh kepadaku sebelum memusatkan perhatiannya lagi kepada Tante Erna. Mendadak senyum di wajahnya lenyap. Dia berdeham pelan lalu berkata, "Jadi, Ma."

"Ya udah. Hati-hati selama di Malang," pesan Tante Erna dengan senyum hangat. "Pulang hari Minggu, kan? Kereta jam berapa?"

"Pagi jam lima."

"Mau dijemput di stasiun?"

"Nggak usah," tolak Aksa halus. "Aku sampai di Jakarta jam delapan malam. Masih keburu kalau naik kereta sampai rumah."

Love: The Butterfly Effect [COMPLETED]Where stories live. Discover now