1. Siapa yang Dungu?

38 5 10
                                    

Penulis: DyRobyn

Prompt: Sewaktu kamu masih kecil, Oma pernah berbicara kepadamu. Jika ada kupu-kupu yang terbang mengitari seseorang, maka akan ada orang yang ingin menemui orang tersebut. Suatu ketika, kamu melihat Aaron dikelilingi oleh seekor kupu-kupu biru. Saat itu juga kamu teringat dengan ucapan Oma, dan kamu menyampaikan hal itu pada Aaron. Ia sangat bahagia mendengarnya. Akan tetapi, saat ia pulang dari tempat itu, dia diusir dari rumah. Apakah benar ia akan menemukan orang yang ingin menemuinya?


Siapa yang Dungu?

"Omamu berbicara seperti itu?" tanya Aaron.

Kau mengangguk penuh antusias. Matamu bahkan berbinar, sebab hal serupa pernah terjadi padamu. Maka dari itu, yang kau inginkan sekarang adalah membuat Aaron percaya dan bahagia sepertimu.

"Benar. Oma memang berkata kalau ada kupu-kupu yang mengitari seseorang, maka akan ada orang yang ingin menemui orang tersebut." Kau mengulang kalimatmu sebelumnya untuk mempertegas.

"Kalau begitu, aku akan pulang," ujar Aaron bersemangat.

Kau bertepuk tangan untuk menyalurkan semangat yang juga meletup di dadamu. Sementara itu, Aaron sudah berlari. Seiring langkahnya yang meninggalkan halaman toko kelontong, kau berdoa banyak. Begimu, sudah sepantasnya kehidupan Aaron yang menyedihkan berakhir. Meski seorang laki-laki dan sudah masuk usia remaja, Aaron tetap terlihat dungu akibat perlakuan keluarga pamannya. Badannya bahkan lebih buruk dari buah mangga yang menghitam di sana-sini karena terlalu sering dipencet untuk memastikan kematangannya.

Sayang sekali, harapanmu hanya milikmu. Pengabulan harapan bukan dalam kuasamu. Matamu yang mengintip di balik pepohonan milik tetangga, harus menyaksikan hal menyeramkan yang sedang terjadi pada Aaron.

Aahhh!

Suara pekikan Aaron terdengar sepuluh kali lipat lebih keras di telingamu. Ujung suaranya menyayat hatimu. Hingga kau mencengkram bagian depan pakaian. Rahangmu terkatup kuat, sampai-sampai tubuhmu turut bergetar. Dan lagi, air mata turun terus-menerus membasahi pipimu. Aku pikir, memang sudah sepantasnya kau marah sekaligus menyesal. Sebab kau sadari bahwa kau yang meletupkan harap dalam dada remaja itu.

"Oma salah," gumammu.

Kau perhatikan lagi Aaron yang sudah tergeletak di atas tanah. Tadi, paman Aaron yang tubuhnya sebesar pegulat Jepang, melemparkan tubuh kurus Aaron ke atas tanah yang sedang sepanas muka tungku menyala. Sinar matahari seakan memperparah keadaan. Tubuh tak berdaya Aaron disengatnya habis-habisan, tampak lebih menyedihkan dari rerumputan kering di sekitarnya. Maka dari itu, kau terus memperhatikan tubuh itu. Kau cari-cari gerakan sekecil apa pun untuk memastikan bahwa Aaron masih hidup. Tapi, tak ada yang bisa kau temukan selain kekakuan. Bagimu, Aaron sudah tampak seperti batu.

"Kalau Oma salah, lantas siapa yang bertanggung jawab?" gumammu lagi dengan keringat dingin menderas di sepanjang punggung.

Di luar dugaan, Aaron yang kau kira sudah mati, tiba-tiba bangkit. Remaja itu memperhatikan pintu kayu yang tertutup rapat selama beberapa menit. Dia tidak peduli dengan sinar matahari yang sedang membakar kulitnya. Setelah puas, dia berdiri dan berjalan pelan meninggalkan halaman rumah pamannya yang sudah ditinggali selama lebih dari tiga belas tahun. Kepalanya menatap bebatuan di jalanan aspal yang telah lama kerusakannya diabaikan. Mungkin seperti wajahmu dulu, kala masih terjajah jerawat masa awal remaja.

"Aaron!"

Pada akhirnya kau kejar Aaron yang sudah mengecil dari pandangan matamu. Teriakanmu kau ulang-ulang sampai jarakmu dan remaja itu kurang dari dua meter. Kau berhenti berlari saat Aaron membalikkan badan dengan wajah sedih luar biasa dan tak pernah bisa kau deskripsikan dengan jenis kata apa pun.

"Ikutlah denganku," ajakmu. Maka Aaron menatapmu dengan mata terbelalak.

Angin berhembus pelan membawa hawa panas. Namun, suaranya terkalahkan oleh detak jantung kalian yang bergemuruh. Diiringi pula suara napasmu yang mulai teratur.

"Ucapan Omamu salah." Aaron mengalihkan tatapan matanya darimu.

"Aku minta maaf. Mungkin bukan di tempat ini kau bertemu orang itu." Kau masih mencoba menyelamatkan harga diri Omamu. Walaupun kecewa dan ragu itu lebih bergumpal di hatimu.

"Benarkah?" tanya Aaron. Rona wajahnya terlihat lebih baik menurutmu.

Maka sekali lagi, kau mengangguk penuh semangat, seperti di halaman toko kelontong sebelum kejadian buruk ini terjadi. Aaron pun akhirnya ikut tersenyum sama lebarnya denganmu. Lalu kalian berjalan beriringan menuju rumahmu di ujung desa.

Aku hanya memperhatikan kalian dengan senyum penuh ejekan. Kau benar-benar jadi seorang gadis yang bodoh. Dua telingamu itu sepertinya memang betul-betul hanya pajangan. Mungkin sesekali berfungsi, tapi hanya untuk mendengarkan suara Aaron, bagaimana pun keadaannya. Padahal dalam kejadian tadi, ada suara lain yang juga patut kau dengar. Suara marah, sesal dan putus asa milik paman Aaron.

"Anak kurang ajar!" begitu teriakan paman Aaron saat akhirnya memutuskan untuk melempar keponakan kandungnya itu.

"Saat kecil, kau sengaja mencelakakan Adikku dan istrinya. Kau buat mereka mati sia-sia. Bagaimana bisa mereka berdua makan racun tikus, kalau bukan kau pelakunya?"

Dada Paman naik turun, sauara napasnya berat. Kemerahan merambati hampir seluruh kulitnya. Dia melangkah mendekati Aaron yang tergeletak di atas tanah.

"Saat kubawa kemari, kau buat istriku jadi lumpuh dengan mendorongnya dari ujung tangga." Paman menarik napas lagi. Beban ingatan terburuk membuatnya tak kuat menyanggah tubuh besarnya sendiri. Dia terhuyung, meski tak sampai jatuh. "Lalu, kau perkosa kedua putriku hingga hamil? Sungguh anak tak beradab! Anak setan! Pergi kau dari keluargaku!"

Kau melewatkan kalimat-kalimat penting itu, amarah serta kesedihan yang jauh lebih dalam dari apa yang kau sangkakan pada Aaron. Sekarang, kau buat dirimu sendiri sebagai korban Aaron berikutnya.

Aku masih memperhatikan punggung kalian, saat Aaron tiba-tiba menoleh ke belakang. Dia tepat menatap ke arahku. Ujung bibir kirinya terangkat tinggi. Seringainya itu mengiringi tatapan licik pada matanya. Maka dari itu aku sadar benar bahwa dungu itu bukan milik Aaron seperti dugaanmu, tapi milikmu.

Kuputuskan untuk terbang menjauh, sambil merenungi apa yang sudah kulakukan hari ini.

Oma tidak salah. Orang yang ingin bertemu itu, bukan milik Aaron, melainkan milikmu. 

Kisah Lima MingguTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang