10. KHAWATIR

712 152 57
                                    

Deze afbeelding leeft onze inhoudsrichtlijnen niet na. Verwijder de afbeelding of upload een andere om verder te gaan met publiceren.


Mentari menggeram kesal dengan kedua tangan terkepal erat, kebenciannya pada Satria semakin bertambah karena laki-laki itu sudah berani memaksa Mentari pulang tadi.

"Mentari! Masuk kamar sekarang!" Bima membentak ke arah gadis itu, tetapi Mentari masih di tempatnya menatap Satria dengan sorot kebencian lebih tajam dari sebelumnya.

"Kalau ada apa-apa sama Chandra gue bakal buat peritungan sama lo!" Mentari menunjuk dengan murka pada Satria, saat diperjalanan tadi ia baru teringat sesuatu, bagaimana bisa Mentari meninggalkan Chandra sendirian di gelapnya malam seperti ini ketika laki-laki itu sangat takut dengan gelap.

Apalagi perjalanan menuju pantai tadi harus melewati pemukiman yang minim pencahayaan dan yang lebih parahnya lagi Chandra itu takut setan.

Ah, Mentari rasanya ingin berteriak, ia frustasi sekarang.

"Mentari! Jaga bicara kamu, Satria itu kakak kamu!" Bima menatap tajam putrinya itu, semakin hari Mentari semakin melewati batasannya.

"Mentari nggak peduli Pa!" Mentari berteriak dengan kesal, semenjak Mamanya tiada, bagi Mentari hanya Chandra yang penting dalam hidupnya. Laki-laki itu yang selama ini menghiburnya, menemaninya, hingga membuatnya merasa tidak membutuhkan orang lain lagi selain laki-laki itu.

Tanpa Mentari sadari, Mentari sudah terlalu bergantung pada Chandra selama ini.

Bersamaan dengan itu Chandra sekarang sedang berada di salah satu bengkel, ia duduk sambil menunggu tukang bengkel itu memperbaiki motornya.

Angin malam berhembus kencang hingga membuat bulu kuduknya merinding, ia melirik jam tangannya yang sekarang menunjukkan pukul tujuh malam. Entah kenapa ia merasa menyesal karena membiarkan Mentari pulang bersama Satria tadi, sendirian di tempat seperti ini tak hayal membuat dirinya merinding ketakutan.

"Mas, belum ya?" tanya Chandra entah sudah ke berapa kali, tukang bengkel itu hanya menggeleng menjawabnya. Chandra menjadi parno sendiri, sedari tadi Chandra berusaha mengajak bicara tukang bengkel itu, tetapi tukang bengkel itu hanya menjawabnya dengan gelengan atau anggukan.

Dia sedang berada di bengkel beneran kan? Bukan di bengkel ... ah seharusnya Chandra jangan berfikir seperti itu. Tetapi tempat bengkel ini sangat aneh, berada di antara sawah dengan pencahayaan minim di sekitarnya, apa tukang bengkel itu tidak ketakutan apalagi bekerja sendirian.

Chandra mengetuk-ngetuk layar ponselnya yang mati. Karena ingin segera menghubungi teman-temannya, ia pun dengan ragu mencoba mengajak ngobrol tukang bengkel itu lagi.

"Mas ada stop kontak nggak?" tanya Chandra, tukang bengkel itu menoleh ke arahnya. Rambutnya yang kribo, kulitnya yang hitam dan matanya yang juling membuat keringat dingin sekarang membasahi dahi Chandra. Tangan tukang bengkel itu menunjuk mengarah ke stop kontak yang berada di sampingnya, tentunya tanpa bicara sedikit pun.

CHANDRA MENTARI [TERBIT]Waar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu