Ch. 9: Before sunrise

Beginne am Anfang
                                    

"Nggak kedinginan, kok," elakku begitu melihat mereka langsung panik, tapi ternyata upayaku untuk meredakan kekhawatiran mereka tidak berhasil karena suaraku terdengar sangat bergetar. Semua orang yang ada di sekitarku kini menatapku skeptis apalagi tubuhku sekarang semakin menggigil. "Fine," aku menghela napas, menyerah. "Dingin banget. Kalian nggak kedinginan?"

"Dingin, Lun, tapi nggak yang sampai menggigil kayak lo," sahut Lisa. Dia menghampiriku kemudian memeluk tubuhku dari samping sehingga rangkulan Aksa di pundakku terlepas begitu saja.

Tidak lama kemudian, Dinda juga melakukan hal yang sama di sisi lain tubuhku. "Gue takut lo hipotermia deh, Lun."

"Nggak, lah! Jangan sampai hipotermia!" tuturku dengan nada suara yang agak meninggi. Aku tidak ingin merepotkan mereka kalau sampai terjadi apa-apa pada diriku. Dengan kekehan pelan, aku berkata, "Kalian peluk gue aja terus sampai sunrise."

Lisa tiba-tiba menjitak kepalaku, membuatku menjerit kesakitan. "Gue harusnya pelukan sama Adam bukannya pelukan sama lo."

"Mau gue laporin ke Mama?" serangku. Tega sekali dia kalau rela meninggalkanku supaya bisa bermesraan dengan Adam. "Lagian lo ini nggak bertanggung jawab banget, sih, jadi saudara kembar! Demi lo, nih, gue sampai rela kedinginan begini. Kalau gue nggak ikut, Mama nggak akan izinin lo pergi."

Lisa mendengus, tetapi dia tidak dapat berkutik karena tahu apa yang kukatakan sepenuhnya benar. "Bawel!" makinya. "Ini kita naik aja ke atas buat cari tempat duduk sebelum penuh sama orang-orang."

"Ada yang jual minuman hangat nggak, sih?" tanyaku.

"Mau minuman hangat?" tanya Aksa dengan sigap sebelum yang lain sempat berbicara. Aku mengangguk samar seraya melemparkan senyum tipis kepadanya. "Nanti gue beliin. Sekalian gue beliin sarung tangan supaya tangan lo nggak kedinginan."

"Thanks, Sa," kataku tulus. Walaupun ujung kepala sampai ujung kakiku membeku kedinginan, perhatian yang Aksa tunjukkan tanpa ragu itu menghantarkan kehangatan yang tak bisa kujelaskan. "Nanti uangnya gue ganti."

Aksa mengibaskan tangannya. "Nggak usah, lah," tolaknya. Dia melihat Haris. "Lo mau ikut, nggak?"

"Boleh," tukas Haris.

Aksa mengalihkan pandangannya kepadaku. "Lo duluan aja ke atas sama yang lain, Lun. Nanti gue nyusul."

Selepas kepergian Aksa dan Haris, tidak ada yang bergerak sedikit pun. Alih-alih melangkah ke atas untuk mencari tempat duduk sambil menunggu sunrise, setiap pasang mata justru tertuju kepadaku.

Bingung dengan sikap mereka, aku refleks bertanya. "Apa?"

"Gue ketinggalan sesuatu atau gimana?" tanya Adam heran.

Aku melongo. "Apanya yang ketinggalan?"

Adam memutar kedua bola mata. "Lo dan Aksa. Ada apa?"

"Ada apa apanya?" Aku bertanya balik tanpa menghindari tatapan matanya supaya dia tidak tahu jika aku sedang berpura-pura bodoh terhadap pertanyaannya. Mereka tidak tahu saja kalau jantungku sudah berdetak kencang karena pertanyaan Adam yang tidak ada basa-basinya itu. "Gue sama Aksa nggak ada apa-apa."

"Masa?"

Kali ini, Lisa yang bertanya kepadaku. Dia menciptakan sedikit jarak di antara kami. Sorot matanya menajam seakan berusaha mengintimidasiku, tetapi percuma selama ini aku menghabiskan waktu berjam-jam berlatih untuk MUN kalau aku dengan mudah menciut di hadapannya. Maka, aku menatapnya lurus dengan wajah yang datar.

"Emangnya ada yang aneh?" tanyaku, berlagak tidak mengerti ke mana arah pembicaraan mereka.

"Aneh banget," komentar Dinda tidak mau kalah.

Love: The Butterfly Effect [COMPLETED]Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt