Ch. 7: Sometimes the little things matter the most

Beginne am Anfang
                                    

Pun ketika mendapatkan informasi dari Lisa, aku mengatupkan bibirku rapat-rapat untuk mencegah diriku menanyakan ribuan pertanyaan lain mengenai Aksa. I'm afraid Lisa will realize that I sort of have a crush on her bestfriend if I talk too much. Dengan konsep gila yang diusungkan kepadaku sejak kami masuk SD yaitu twins have no privacy, aku takut liburanku ini tidak akan berjalan dengan tenang karena kembaranku yang satu itu akan spying too much terhadap apapun yang kulakukan dengan Aksa.

Dan satu-satunya yang kuinginkan saat ini adalah menikmati momen singkatku bersama Aksa tanpa gangguan atau ketidaknyamanan.

Aku, Lisa, dan Adam mempercepat langkah untuk menyusul rombongan ketika mereka berhenti di sebuah toko kecil yang menjual berbagai macam snack.

"Mau es krim?" Aksa menawarkan saat aku berdiri di sampingnya yang sedang membuka freezer berisi berbagai macam jenis es krim.

Sebenarnya, aku tidak terlalu suka menyantap es krim, tetapi cuaca yang panas membuatku tergoda untuk membelinya. Aksa menetapkan pilihannya pada es krim cone cokelat kacang. Kepalaku terjulur ke depan untuk melihat berbagai macam jenis es krim yang berada di dalam freezer. Ketika melihat es krim cone rasa pisang campur cokelat, aku meraihnya tanpa ragu.

"Pisang cokelat?" tanya Aksa. "Emang enak?"

Aku menyengir polos. "Nggak tahu. Jarang makan es krim."

Kami melangkah menuju kasir dan perdebatan kecil mengenai siapa yang harus membayar pun hadir. Pada akhirnya, aku mengalah dan membiarkan Aksa membayar es krim kami karena antrian bayar yang mengular karena kami terlalu lama menyelesaikan pembayaran.

"Serius mau makan es krim cone, Lun?" Lisa langsung berkomentar ketika kami semua selesai membayar. Dia menatapku ngeri dan aku tahu apa alasannya. "Gue nggak bawa tisu, lho!"

Aku melengos. Rasanya aku ingin merekatkan mulutnya dengan selotip agar tidak perlu banyak berbicara dan mengatakan hal-hal yang tidak perlu dikatakan.

"Gue bawa tisu basah, kok," sahutku, sedikit kesal.

"Mending tukeran sama coca-cola punya gue aja."

"Ya ampun, Lisa!" gerutuku. "It's just an ice cream!"

Perdebatan kecilku dan Lisa tentunya mengundang perhatian yang lainnya. Mata-mata yang menatap kami penuh penasaran membuatku mendengus pelan lantas memilih untuk membuka bungkus es krim.

Lisa menatapku galak. "It's not just an ice cream kalau lo makannya kayak siput. Lagian kalau ada bucket ice cream kenapa harus pilih cone?"

"Gue yang makan, jadi gue bebas pilih yang mana."

"Girls!" Adam menengahi kami dengan suara yang agak meninggi. Dia menatapku dan Lisa bergantian. "Sebelum pertumpahan darah ini berlanjut, gimana kalau kita nggak usah berdebat soal es krim?"

"Kenapa, sih?" Dinda bertanya bingung. "Es krim doang."

"Luna nggak bisa makan es krim cone. Selalu meleleh duluan es krimnya gara-gara dia kelamaan makannya," keluh Lisa tanpa merasa berdosa.

Andaikan kami tidak sedang berada di tengah keramaian, aku tidak akan ragu untuk melayangkan tanganku ke kepalanya. Supaya Lisa sadar kalau dia baru saja membongkar aibku di depan para sahabatnya. Untungnya aku masih bisa menahan diri sehingga aku hanya memberikan tatapan sinis.

Sifat Lisa yang dari dulu sampai sekarang masih tidak bisa kutolerir adalah she always meddling too much in anyone's business and she clearly doesn't understandor doesn't want to understandthe real meaning of 'secret' and 'privacy'. Akibatnya, aku selalu merasa diriku terekspos ketika sedang bersamanya.

Love: The Butterfly Effect [COMPLETED]Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt