25

31.6K 2.7K 255
                                    

"Saya kesepian."

Ivona semakin mengeratkan pelukan. Tadi samar-samar dia mendengar pertengkaran yang terjadi antara Devian dan mamanya. Lelaki itu terdengar protes karena mamanya terkesan dingin dan tidak peduli. Sedangkan mamanya sendiri justru sibuk dengan urusan lain.

Sebenarnya, Ivona tidak tahu hubungan awal mereka seperti apa. Namun, dari ucapan itu dia merasa, jika Devian tengah mengungkapkan apa yang harusnya didapatkan. Dia butuh untuk diperhatikan. Bahkan, Devian seperti menjadi tameng jika Delina mengalami masalah.

Permintaan Pak Terino yang meminta Devian segera menikah memang terkesan memaksa. Ivona tahu, yang namanya jodoh itu tidak tahu datangnya kapan. Mungkin memang takdirnya Delina menikah terlebih dahulu. Entah, Pak Terino memiliki alasan lain atau apa, tapi tetap saja memaksa Devian agar menikah juga salah.

Ivona merasa dibalik kehidupan Devian yang serba ada, lelaki itu juga memiliki kekurangan. Hubungan keluarga Devian kurang baik. Mana ada saat ibu dan anak bertemu justru saling bertengkar? Sepertinya hubungan itu sudah berlangsung lama dan salah satu tidak mau mengalah. Ivona tidak membela Devian yang terkesan acuh tak acuh ke mamanya, tapi dia juga tidak bisa memarahi sikap Devian. Dia hanya tahu sekilas.

"Bapak baik-baik saja?" tanya Ivona setelah tidak mendengar suara Devian. Dia hendak mengurai pelukan, tapi Devian memeluknya semakin erat.

Devian belum enggan melepaskan pelukan. Dia masih butuh memeluk seseorang dan membuat keadaannya sedikit tenang. Dia butuh kehangatan. Meski dia masih memakai setelan kantor dengan jas, tetap saja dia merasa kedinginan. Sebuah rasa dingin yang timbul dari hatinya.

Ivona menepuk punggung Devian menenangkan. Dia menyandarkan kepala di dada lelaki itu, merasakan dadanya bergerak naik turun. Lelaki itu belum sepenuhnya tenang. Ivona terus menepuk punggung Devian pelan. "Kata ibuku, dipeluk sambil ditepuk kayak gini, bantu beban itu keluar."

"Hmm...." Devian tidak banyak merespons. Dia hanya menyandarkan kepala di atas puncak kepala Ivona. Sekarang yang dia rasakan dadanya masih bergemuruh. Dia belum bisa sepenuhnya tenang.

"Maaf, saya tadi dengar." Ivona memilih jujur. "Pak Devian boleh memarahi saya."

Perlahan Devian melepaskan pelukan. Dia mendapati mata Ivona memerah. Pipi wanita itu terlihat basah oleh air mata. Namun, senyum Ivona terlihat begitu tulus. Senyum yang tidak pernah dia dapat dari keluarganya. "Mungkin memang rahasia itu harus diketahui orang-orang." Setelah mengucapkan itu Devian berjalan menjauh.

Ivona berbalik, melihat Devian yang berjalan sambil melepas jas itu. "Pak Devian!" Dia hendak berlari, tapi kaki kirinya terasa semakin sakit. "Ah, sial!" Ivona menggerutu sambil berjongkok.

Devian menoleh, keningnya mengernyit melihat wanita itu menunduk sambil menggerakkan kaki. "Kenapa?"

"Enggak...." Ivona perlahan berdiri dan menyeret kaki.

"Kenapa?" Devian bertolak pinggang sambil memperhatikan kaki kiri Ivona yang sedikit diseret.

Ivona menepuk lengan Devian meminta melanjutkan langkah. Namun, tangannya tiba-tiba ditarik. "Apa?"

Devian berjongkok. Dia menarik kaki Ivona yang terlihat memerah. Dia mendongak, melihat Ivona yang merintih kesakitan. "Kamu nggak nyakitin kakimu sendiri, kan?"

"Ya menurut, Pak Devian?" geram Ivona. Dia kembali memakai flat shoes-nya dan melanjutkan langkah. "Ini terbentur waktu Pak Devian tiba-tiba nyetir tadi."

Saat itu Devian tidak sadar. Satu yang ada di pikirannya, pergi untuk meluapkan emosi. Pandangan Devian lalu tertuju ke Ivona yang berjalan sambil menyeret kaki itu. Dia mendekat, menarik tangan Ivona hingga langkahnya terhenti.

All Words To YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang