3

41.2K 3.4K 61
                                    

"Kamu benar-benar mencintai saya, Ivona?"

Langkah Ivona seketika terhenti. Dia berbalik, mendapati bosnya yang menatap dengan tajam. Dasar sok kepedean!

Ivona mengembuskan napas kasar. Tangannya perlahan terangkat kemudian menunjukkan jari tengah. Setelah itu dia berbalik dan menjauh.

"Nggak sopan!" Devian berteriak setelah mendapati jari tengah dari anak buahnya. Seumur-umur hanya Ivona yang berani bertingkah seperti itu. Wanita itu benar-benar tidak tahu sopan santun.

"Sial! Sial! Sial!" Ivona menghentakkan kaki. Dia menendang ban motornya setelah itu bertolak pinggang. Napasnya memburu akibat gejolak emosi yang sejak tadi siang dipendam. "Bos, Sialan!"

Ivona memakai helm dan memakainya dengan kasar. Setelah itu dia mengemudikan motor menuju apartemen. Sambil mengendarai dia berpikir, apa ini keputusan yang tepat? Mencari pekerjaan di zaman sekarang susah. Apakah Ivona tidak akan menyesal?

"Enggak! Gue nggak nyesel!" Ivona berteriak sambil menarik gas lebih kencang.

Beberapa saat kemudian, Ivona sampai di apartemen yang sudah dia tinggali sejak delapan tahun yang lalu. Dia membuka pintu, menendang kaki hingga sepatunya terlepas. Setelah itu dia berjalan gontai menuju kamar.

"Kerjaan lo banyak?"

Pertanyaan itu membuat langkah Ivona terhenti. Dia berbalik, mendapati seorang wanita yang duduk menghadap laptop dengan earphone menyumpal di telinga. "Gue berhenti kerja."

"Lo udah sering ngomong gitu. Hari ini apa lagi ulah bos lo?"

Ivona memperhatikan Keriska—sepupu yang usianya sama dengannya—dengan tatapan sendu. "Gue beneran berhenti kerja."

"Ck!" Keriska melepaskan earphone lalu menyatukan jemari di bawah dagu. "Hampir tiap hari lo ngomong pengen berhenti kerja. Tapi, kontrak kerja lo kurang tiga tahun."

"Gue beneran berhenti kerja!" Ivona menjerit sambil menggerakkan tubuh dengan sebal. "Gue berhenti kerja! Jelas?" sentaknya sebelum masuk kamar.

Keriska terdiam melihat Ivona yang marah-marah. Sebenarnya itu bukan hal baru. Setiap pulang kerja, Ivona selalu marah. Sumber kemarahannyapun selalu sama, bosnya.

"Gue beneran berhenti kerja!"

Tubuh Keriska tersentak mendengar teriakan itu. Dia meloncat turun dan berlari ke  kamar sebelah. Dia mendapati sepupunya itu tengkurap di ranjang dengan kedua kaki yang bergerak menendang. "Lo beneran berhenti?"

Ivona membuka mata. Dia berbalik, mendapati Keriska yang menatapnya penasaran. "Gue beneran berhenti kerja! Gue udah nggak sanggup."

"Sumpah?" Keriska seketika mendekat. Dia menarik tangan sepupunya itu hingga terduduk. "Apa yang bikin lo mutusin berhenti? Lo lagi nggak bercanda, kan?"

"Menurut lo?" Ivona memajukan tubuh, menunjukkan wajah frustrasinya. "Apa gue kelihatan lagi bercanda? Bahkan sejak kerja di sana gue hampir lupa sama yang namanya bercanda! Hidup gue isinya ketegangan doang."

Keriska geleng-geleng. Kali ini dia melihat puncak kefrustrasian Ivona. "Mulai besok, lo pengangguran, dong? Bos lo udah izinin emang?"

Ivona mengangkat bahu pelan. Dia menunduk, mengingat rentetan kejadian hari ini. "Gue tiba-tiba aja minta berhenti terus gue tinggalin."

"Bahkan tanpa ada pesan kesan?" tanya Keriska heran.

Sudut bibir Ivona tertarik ke atas. "Gue kasih jari tengah. Itu udah cukup jadi pesan kesan selama gue kerja di sana."

"Wah! Gila lo!" Keriska seketika berdiri. "Lo terlalu nekat, tahu nggak? Gimana kalau bos lo nuntut? Lo udah persiapin semuanya emang?"

"Bodoh amatlah!" Ivona kembali berbaring. Dia menutup wajah dengan bantal lalu kedua tangannya terlipat di atas perut. "Jangan ganggu. Gue butuh waktu tenang."

All Words To YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang