13

33.3K 2.5K 19
                                    

Pandangan Ivona sejak tadi tertuju ke wajah damai yang terlelap di atas pahanya. Sesekali dia melirik tangannya yang digenggam Devian. Tangan Ivona terasa hangat merasakan genggaman dan dada Devian yang hangat. Sayangnya, tubuhnya masih terasa panas dingin.

"Huh...." Ivona mengembuskan napas pelan. Dia menatap depan, melihat langit yang semakin gelap. Entah, sudah berapa lama dia berada di posisi ini. Sebenarnya pahanya terasa kebas, tapi tidak mungkin dia membangunkan Devian.

Ivona menunduk, melihat Devian dan tidak ada tanda-tanda bangun itu. Tanpa sadar dia tersenyum saat memperhatikan wajah tampan itu. Dia pernah bilang jika Devian saat tertidurpun sangat tampan. Malam ini ketampanan lelaki itu bertambah karena ruangan yang sedikit gelap. Suasana seperti itu semakin memperlihatkan bentuk wajah Devian yang proporsional dan sedikit membentuk siluet.

Tiba-tiba pikiran Ivona berkelana ke kejadian beberapa jam yang lalu. Dia melihat ada aura permusuhan antara kakek dan cucu. Entah karakter mereka yang sama-sama keras atau memang itulah yang sebenarnya terjadi. Ivona menatap depan saat tenggorokannya tercekat. Dia saja yang bukan siapa-siapa sakit hati diperlakukan seperti itu, apalagi Devian. Ah, tapi bisa pula lelaki itu sudah kebal. Namun, di awal dia yakin Devian pasti sakit hati.

"Ehm...." Devian menggeliat merasakan tenggorokannya terasa kering. Dia mengucek mata dan menggerakkan kepala. Barulah setelah itu dia membuka mata. Hal pertama yang dia lihat adalah wajah Ivona yang tersenyum. Refleks, Devian bangkit dan menatap ke sekeliling.

Ivona menunduk sambil menggerakkan kaki yang terasa kebas. Setelah itu dia melirik Devian yang duduk memunggunginya. "Bapak baik-baik saja?" tanyanya bingung. "Emm... Kita pulang sekarang?" Dia menelan ludah saat suaranya terdengar gugup.

Devian mengembuskan napas kasar. Dia mengambil botol di atas meja dan menegaknya beberapa kali. Dia berdiri, memakai sepatunya tanpa menatap lawan bicaranya. Setelah itu berjalan keluar.

"Ck! Malah ditinggal!" Ivona menggerutu sambil menyampirkan tas di pundak. Dia berjalan dengan lebar, berusaha mengejar. "Pak...."

Devian masuk mobil tanpa menjawab. Saat wanita itu duduk di sampingnya, barulah dia menoleh. "Apa kamu nggak bisa naik taksi?"

Ivona refleks menunjukkan arloji ke Devian. "Jam dua. Saya nggak berani."

"Huh...." Devian mengembuskan napas sebal. "Saya malas antar kamu."

"Tapi, motor saya ada di rumah Bapak!" jawab Ivona cepat. "Kalau nggak mau nyetir biar saya yang nyetir."

Devian menarik tangan Ivona, menghentikan gerakan wanita itu. "Saya antar kamu pulang. Biar motormu diantar ke kantor." Setelah mengucapkan itu dia menarik tangannya dan mulai mengemudi.

Ivona tampak puas. Meski sebenarnya canggung, dia tidak mungkin menjauh dari Devian. Waktu telah begitu larut dan tidak mungkin dia naik angkutan umum. Dia tidak ingin mengalami kejadian yang tidak-tidak. Untuk membunuh rasa canggung, Ivona memilih memejamkan mata.

"Jangan tidur!" geram Devian saat Ivona bergerak mencari posisi nyaman.

"Tidak, Pak!" Ivona membuka mata lebar-lebar. Dia belum tidur dan sekarang kantuk itu mulai datang. Perlahan, matanya tertutup, tapi kemudian terbuka lagi. Ivona menutup mulut saat menguap.

Devian mengembuskan napas. Dia melirik Ivona yang terus menguap itu. Wajah wanita itu juga sudah terlihat kucel. "Kamu boleh tidur, tapi jangan sampai susah dibangunin."

Ivona tersenyum puas. "Saya orangnya siaga, Pak!" Setelah mengucapkan itu dia mencari posisi nyaman. Dia sengaja sedikit memunggungi, agar lelaki itu tidak tahu wajahnya saat tertidur. Dia yakin, wajahnya tidak secantik itu.

All Words To YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang