Wound from the Past

2.8K 341 29
                                    

Mungkin dulu aku terlalu egois. Mungkin aku dulu tidak dewasa. Mungkin juga dulu aku enggan membuka mata lebih lebar pada sekitar. Ya, kemungkinan-kemungkinan itu baru aku sadari setelah terlibat obrolan penuh perasaan dengan Tante Shila kemarin. Aku tidak pernah menyangka bahwa dia akan setenang itu menjawab pertanyaanku. Juga tidak mengira, kalau dari kata-katanya aku sama sekali tidak mendapatkan cela.

Ibu yang cukup baik, ya sekarang aku mulai memikirkan itu. Terlebih karena kini tahu dengan jelas bahwa Tante Shila tidak mengincar harta Papa. Itu terbukti setelah dia membeberkan fakta mendapat warisan yang cukup banyak dari mendiang suaminya. Harta itu cukup untuk dia pakai selama hidup bertahun-tahun meski tanpa bekerja.

Pagiku sangat luar biasa saat ini, karena terbangun di kamar yang begitu aku rindukan. Semua furnitur tidak ada yang berubah. Barang-barangku masih ada di tempatnya seperti terakhir kali aku lihat. Tidak ada debu yang menempel, menandakan bahwa meski aku tidak tinggal di sini, tapi kamarku tetap dirawat. Dan ya, asisten rumah tangga bilang, itu karena titah Tante Shila yang menyuruhnya rutin untuk bersih-bersih. Karena Tante Shila mengatakan kalau aku mendadak kembali, tidak perlu grasak-grusuk untuk merapikannya.

"Non Lyra, sarapan sudah siap. Tuan dan Nyonya sudah di bawah." Suara asisten rumah tangga dari luar pintu membuatku melangkah. Ketika kubuka, senyum ramah itu langsung menyambut. "Semoga Non Lyra tidur nyenyak semalam," tambahnya ketika kuucapkan selamat pagi.

"Nyenyak, Bik. Makasih udah rawat kamarku."

Wanita paruh baya itu mengangguk, lalu mempersilakanku untuk turun.


Setibanya di ruang makan, aku mendapati tiga orang tengah bercakap. Lalu mataku jatuh pada ... sosok tampan itu. Ya, tampan, bahkan sangat tampan. Ah, tapi siapa dia?

"Pagi," sapaku. Seketika tiga orang tadi menoleh dan membalas secara bersamaan. Langsung saja kutarik salah satu kursi dan mendudukinya. "Apa kita kedatangan tamu?" tanyaku sembari menatap laki-laki yang duduk di seberangku.

"Oh, Tante lupa kenalin, Sayang. Dia Alex, anak Tante. Kemarin kalian nggak sempat ketemu karena Alex pulang malam."

Aku mengangguk paham, lalu menyunggingkan senyum karena Alex juga tersenyum. Ternyata dia saudara tiriku. Ck! Kukira tadi malaikat yang tiba-tiba nyasar datang kemari.

"Kamu mau ngapain hari ini, Lyra?" Papa bertanya.

"Nggak ada, sih, Pa. Belum kepikiran aja."

"Nanti malam kita dinner di luar, gimana? Sebelum Papa pulang dari kantor, kamu bisa belanja dulu sama Tante Shila dan Alex."

Mataku terarah pada Tante Shila yang tersenyum, lalu beralih pada Alex yang sedang sibuk mengunyah roti. Tidak ada penolakan dari mereka berdua, yang mana artinya mereka tidak keberatan. Sementara aku? Masih sedikit ragu dan canggung sebenarnya. Ingin menolak, jelas segan. Karena aku sendiri yang setuju untuk memperbaiki hubungan. Jadi ... aku pun menyanggupi usulan Papa.

Selepas sarapan, aku sengaja duduk di taman samping rumah. Kuhirup udara dalam-dalam, lalu mengembuskan perlahan. Ponsel yang berdenting di tangan membuatku tersenyum ketika tahu siapa yang mengirimkan pesan.

Reinard:


Morning, Baby. Udah selesai sarapan?

Udah. Kamu gimana?

Udah juga. Aku lagi di kantor. Kamu ada acara apa hari ini?

Papa ngajakin aku dinner nanti. Tapi sebelumnya aku sama Tante Shila dan anaknya mau belanja.

Oke. Jangan lupa sharlok nanti. See u there, Baby. Have a nice day.

See you there? Maksudnya bagaimana?

"Hai, sibuk banget sama HP."

Aku menoleh ke sisi kanan, ternyata Alex sudah duduk di sampingku. Entah kapan dia datang, aku tidak sadar. Pasti karena sibuk berbalas pesan dengan Reinard.

"Chat sama teman aja, kok."

"Teman apa teman?" godanya, yang berhasil membuatku tersenyum. "Kita belum kenalan resmi. Gue Alex."

Seketika aku membalas jabat tangannya. Lalu berkata, "Gue Lyra."

"Akhirnya kita bisa ketemu, ya. Papa hampir tiap hari selalu bilang pengen banget bisa kumpul bareng lo lagi." Untuk sepersekian detik, aku terpana atas kata-kata lelaki di sebelahku ini. Apa katanya tadi? Papa? Yang benar saja dia bisa menyebut kata itu. "Kenapa bengong?" sambungnya.

"Ah, nggak! Gue cuma heran, lo bisa manggil bokap gue Papa."

Alex tersenyum ramah, lalu mengacak rambutku yang langsung saja kuhentikan. Enak saja membuat rambutku berantakan.

"Gue dari dulu pengen banget punya adik perempuan. Biar bisa ngacak rambutnya kayak gini." Dan dia sungguh melakukannya lagi, hingga aku berdecak kesal dia baru berhenti.

"Ishh! Kayak lo lebih tua aja dari gue."

"Emang. Gue tiga puluh tahun dan lo di bawah gue."

"Wah, beneran tua. Salam hormat untuk kakak tua gue." Alex tertawa ringan. "Lo belum nanggapi ucapan gue tadi."

"Tentang panggilan papa?" Aku mengangguk. "Nggak ada yang salah. Karena kenyataannya dia papa gue sekarang. Dengan mengakui statusnya kayak gitu, otomatis nyokap gue bakal bahagia. Dalam hidup gue, nggak ada yang lebih penting selain dari lihat nyokap senyum."

Hatiku mendadak tersentuh, mengingat bagaimana egoisnya aku selama ini. Melarikan diri sebagai bentuk penolakan atas keputusan Papa pasti sebenarnya sangat menyakiti Papa. Apalagi setelah Mama meninggal, Papa memang selalu berusaha meluangkan waktu untukku di sela-sela kesibukannya.

"Gue tahu lo belum bisa terima nyokap gue sepenuhnya. Tapi lo balik ke sini aja udah cukup. Setidaknya nyokap gue nggak akan terus merasa bersalah karena jadi alasan renggangnya hubungan bapak dan anak."

Sekali lagi Alex mengacak rambutku diiringi senyum menenangkan. Aku ... seperti menemukan sosok kakak dalam dirinya meski baru pertama kali mengobrol. Alex juga menyadarkanku kalau selama ini aku terlalu memojokkan Tante Shila. Padahal, wanita itu tidak buruk untuk bersanding dengan Papa.

🌷🌷🌷

Seperti rencana di awal, aku, Tante Shila, dan Alex pergi berbelanja. Kami membeli beberapa potong baju juga keperluan rumah untuk sebulan. Rasanya menyenangkan, seperti sebuah keluarga yang utuh. Kami mengobrol dan tertawa selayaknya orang bahagia.

"Jadi lo masih single?" tanyaku pada Alex. Kami bertiga sekarang sedang duduk di sebuah kafe sambil menunggu Papa datang.

"Iya. Lo mau bantu cariin jodoh?"

"Bantu Alex cariin pacar, Ra. Kasihan, masa' jadi bujang lapuk terus," sela Tante Shila. Mau tak mau aku tertawa, apalagi melihat ekspresi Alex yang muram. "Lyra aja udah ada jodohnya. Gih, cepetan susul, Lex."

Eh? Jadi malu!

"Jadi adikku bakal nikah duluan, Ma?" Alex terdengar menggoda.

"Ya, tergantung calon suaminya bisa luluhin papa kalian atau nggak."

"Emang-"

"Udah, deh, ngomongin aku. Malu, tahu."

Aku memotong ucapan Alex. Tante Shila tertawa pelan, ditambah Alex yang tersenyum penuh arti.

Ponselku yang berdering cukup membuat mereka kembali fokus menatapku. Mendadak jadi bertambah malu saat tahu Reinard yang menghubungi.

"Nah, udah dicariin aja. Angkat dulu, sebelum ngamuk," suruh Alex.

"Ish! Dia nggak suka ngamuk, ya."

"Cieee yang belain pacarnya."

Aku mendelik kesal, lalu cepat-cepat bangkit dan sedikit menjauh untuk mengangkat panggilan Reinard. Tapi, sebelum aku pergi barusan, aku jadi berpikir sesuatu. Ternyata seperti itu ya rasanya berdebat atau diejek oleh kakak. Sebagai anak tunggal, jelas aku tidak pernah merasakan hubungan hangat kakak adik. Mungkin ini saatnya aku mendapatkan apa yang belum pernah kumiliki sebelumnya.

"Ya, Rei," kataku setelah mengangkat panggilan.

"Masih di mal? Sorry ya nggak bisa nyusul. Papa mendadak ngajak aku meeting malam ini."

Aku tahu ini adalah sesuatu yang sangat sederhana dan mendengar kesungguhan Reinard itu nyatanya memang menyenangkan. Tidak ada yang memintanya untuk menyusulku, tapi dia malah minta maaf karena tidak bisa datang.

"Aku udah di kafe, nunggu Papa datang. Santai aja, sih. Aku juga nggak nyuruh kamu datang, Rei."

"Besok weekend. Can I ask you to spend a day with me?"

"Apa ini sebuah ajakan kencan?"

"Yes, Lyra."

"Oke. See you tomorrow, Rei."

Panggilan lantas terputus. Senyumku tidak bisa ditahan lagi, pipiku bahkan sampai sakit karena tersenyum lebar. Ponsel juga kugenggam erat sebab terlalu senang. Karena ajakan Reinard kali ini berbeda.

Jika dulu kami pergi bersama sebab status majikan dan bawahan, kini kami pergi dengan status baru. Hemmm. Ya, kekasih mungkin, meski hubungan kami belum resmi.

Aku kembali ke meja. Papa ternyata sudah datang. Seorang pelayan mencatat pesanan kami. Tapi sebuah suara yang menyapa Papa berhasil membuat ekspresi priaku berubah.

"Brian? Ini beneran kamu? Apa kabar?"

Pandanganku jatuh pada sosok pria berpakaian formal yang tengah berdiri di dekat kursi Papa. Mereka bertatapan, tapi terlihat jelas kalau Papa tidak senang akan kehadiran pria itu. Sangat kontras dengan sang penyapa yang tampak semringah.

"Sangat baik dari terakhir kita ketemu," jawab Papa datar.

Keadaan sangat canggung. Aku menatap Tante Shila dan Alex bergantian. Mereka juga tampak bingung dengan keadaan ini. Sampai akhirnya sebuah suara kembali terdengar.

"Pa, kok, di sini? Meja kita di sana."

Seketika aku mendongak, lalu mendapati Reinard dengan pakaian formalnya berdiri di sisi pria tadi. Papa semakin terlihat tidak suka. Tangannya di meja bahkan mengepal, seperti siap untuk melayangkan pukulan.

"Ketemu teman lama, Rei."

Teman? Jadi Papa dan pria ini berteman?

"Loh, Ra? Kamu di sini juga? Ada Om juga."

Aku mengangguk samar. Reinard sepertinya juga bingung dengan semua orang yang masih membisu.

"Alasan Papa melarang hubungan kalian adalah karena dia!" Papa menunjuk pria tadi. Aku terkesiap, tidak mengerti dengan keadaan sesungguhnya. "Karena Reinard adalah anak dari laki-laki yang pernah mencoba memperkosa mamamu, Lyra!"

Tunggu ... tunggu ... ini membingungkan. Bahkan Reinard juga terlihat terkejut, sedangkan si pria yang Reinard panggil papa itu terdiam di tempatnya. Dia tidak menyangkal tuduhan Papa sedikit pun. Mendadak kepalaku berdenyut, kenyataan ini ... menyakitkan.

Tbc

Protes part pendek? Gih bikin sendiri aja lanjutannya 😜

Conquering Lyra (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang