Dark

1.5K 210 40
                                    

Rasanya sudah sangat lama aku menutup mata, seperti menjalani tidur panjang. Kepalaku pusing dan sakit, mungkin karena itu, saat aku membuka mata, penglihatanku gelap. Aku mengerjap, berusaha menormalkan penglihatan, tapi masih saja gelap yang tampak. Apa lampunya mati?

Penasaran, aku hendak bangkit, karena meski gelap, aku tahu posisiku kini sedang berbaring. Niatku gagal ketika mencoba duduk, punggung dan dadaku nyeri. Bukan hanya itu, aku juga mulai merasakan sakit pada bagian tubuh yang lain, termasuk lengan kananku.

Kuangkat kedua tangan untuk mengusap wajah, sekali lagi aku menemukan keanehan. Ada sesuatu di salah satu tanganku. Apa ini? Selang? Selang apa? Kepalaku juga sepertinya dibalut perban. Dan lengan kananku sakit sekali, astaga.

Aku menutup mata, lalu teringat sesuatu. Aku bermimpi tentang hubunganku dan Reinard selesai karena dia ternyata adalah laki-laki bejat. Mimpi itu juga berisi kecelakaan parah ketika aku mengemudi di tol. Aku meloncat dari mobil agar tidak terjebak di dalamnya dan terus-terusan berguling.

Tunggu ... kalau itu hanya mimpi, kenapa tubuhku bisa sakit semua?

Dadaku mulai penuh, memikirkan kemungkinan terburuk bahwa aku memang benar-benar mengalami kecelakaan itu. Aku membuka mata cepat, tapi lagi-lagi hanya ada kegelapan. Kali ini aku memaksa untuk duduk meski nyeri punggung membuatku agak meringis.

Tidak diragukan lagi, aku memang mengalami kecelakaan. Yang di tanganku pasti selang infus. Aku mungkin ada di rumah sakit. Tapi ada apa dengan mataku? Kenapa aku hanya mendapati gelap? Tidak mungkin di rumah sakit terjadi mati listrik. Mereka pasti punya sumber daya cadangan. Tapi kenapa aku tidak bisa melihat apa pun?!

Peningku bertambah. Ini tidak mungkin seperti yang aku bayangkan. Mataku pasti baik-baik saja. Tidak ada hal buruk perihal mataku.

Astaga, aku tidak bisa mengendalikan pikiran dan kepanikan. Aku berteriak tidak percaya setelah gagal merangkai banyak kalimat positif bahwa aku baik-baik saja. Aku histeris ketika yakin bahwa mataku kini bermasalah.

“Dok, pasien siuman dan histeris!”

Suara seorang perempuan terdengar. Kemudian, kedua tanganku dipegangi dan beberapa kalimat menenangkan diucapkan untukku. Dari kalimatnya aku bisa menduga bahwa dua orang ini adalah perawat. Tapi siapa yang mau mendengar ucapan mereka saat aku sadar bahwa kondisiku sangat buruk?

Aku meronta, berniat turun dari pembaringan. Usahaku gagal. Tenagaku kalah oleh genggaman mereka, terlebih ketika sesuatu yang tajam menusuk kulitku. Jarum, mereka memberiku jarum suntik. Apa yang mereka lakukan? Kenapa tubuhku perlahan-lahan lemas dan kesadaranku diambil alih?

Aku membuka mata, masih sama seperti sebelumnya. Hanya kegelapan yang mengisi pandanganku. Ya Tuhan, sebenarnya apa yang terjadi dengan mataku? Apakah aku buta? Ini lebih buruk dari pekat malam yang akan berakhir ketika fajar datang. Malam akan berlalu, berganti terang menyilaukan. Tapi jika aku buta permanen, bukankah tak ada lagi cahaya yang kulihat?

“Kamu akhirnya sadar, Lyra. Papa bersyukur sekali.”

Suara Papa. Sentuhannya juga langsung menyapa kulitku. Aku ingin menepis karena hati yang masih kecewa. Sayangnya, keterkejutan akan kondisiku kini membelengguku sangat erat. Semua tindakan untuk menjauhkan diri dari Papa, urung aku lakukan.

Usapan Papa di telapak tangan, kubiarkan. Tenagaku hilang untuk memberontak. Yang kini ada hanyalah kesedihan menggunung atas gelap tanpa tahu kapan lagi sinar menyapa penglihatanku.

“Berapa lama aku nggak sadar? Apa yang sebenarnya terjadi sama mataku?”

Cemas dan panikku bergumul, menyesakkan dada, mengaduk-aduk perut sampai-sampai aku mual dan ingin muntah.

Conquering Lyra (Sudah Terbit)Where stories live. Discover now