Happy Day

5.6K 382 13
                                    

Pertemuan tidak terduga tadi memang tidak berlanjut, tapi Hadi malah terus menghubungi ponselku. Banyak pertanyaan yang dia lontarkan, salah satunya bagaimana bisa aku memiliki calon suami sedangkan kami baru putus dua bulan lalu. Kalau kujawab terus terus terang, jelas dia akan punya kesempatan untuk mengganggu lagi. Seperti ini saja sudah bagus. Pertolongan Reinard cukup bermanfaat, karena berhasil membuat Hadi syok.

“Maaf, ya, kamu jadi ngaku-ngaku demi bantuin aku.”

Reinard hanya menarik satu sudut bibirnya setelah melepas tautan jemari kami. Sekarang dia sedang membayar pakaian di kasir. Katanya, tak mau lagi belanja di sini, lebih baik cari toko lain agar tidak berdekatan dengan mantanku.

Aku menunggu dengan sabar. Lalu kami keluar dari toko, tapi baru beberapa langkah, mendadak keseimbanganku hilang sebab kaki yang tidak bisa dipijak sempurna. Reinard yang sadar langsung memegang lenganku agar tak benar-benar jatuh. Tapi, aku baru menyadari sesuatu ketika berusaha berdiri normal, hak sepatuku patah. Astaga, ini bencana! Aku berdecak kesal sekaligus kecewa, memikirkan bagaimana cara untuk berjalan setelah ini.

“Patah?” tanya Reinard sembari menatap ke kaki kananku.

“Iya. Kayaknya kita pulang aja, deh. Nggak bisa keliling mall kalau kayak gini.”

“Mall ini nggak kekurangan sepatu buat kamu.”

Tanpa terduga setelah dia bicara, tubuhku berada dalam kendalinya. Dia membopongku ala bridal style. Sontak aku mendelik dan hendak memekik, tapi tertahan mengingat kami ada di keramaian. Jantungku berdetak cepat, takut kalau-kalau dia tidak kuat sampai tujuan.

“Rei, malu dilihatin banyak orang. Lagian aku juga nggak mau cari sepatu, harus irit abis bayar uang wisuda.”

Mulutku memang sejujur itu. Siapa yang peduli dia mau berpikir apa?

“Apa kamu pikir aku semiskin itu sampai nggak bisa beliin sepatu?”

Aku terdiam, menatap dirinya ragu. Sesekali mataku beralih pada orang-orang yang tersenyum atau tertawa melihat kami. Memalukan, tapi juga termasuk romantis, bukan?

Melewati beberapa toko, kami akhirnya sampai di tujuan. Seorang penjaga toko menyapa ramah sesaat setelah aku duduk di sofa beludru berwarna cokelat tua. Reinard juga ikut duduk di sebelahku, tidak kentara kalau dia tengah lelah. Sepertinya tubuhku ringan baginya.

“Bawakan yang sejenis ini sebanyaknya, ukuran 37,” perintah Reinard dengan telunjuk menunjuk pada sepatu hak 5 sentimeter milikku.

Wow! Tebakannya tepat!

“Seorang Reinard Obelix ternyata punya waktu buat merhatiin ukuran sepatu perempuan.”

“Punya, buat perempuan khusus kayak kamu.”

Aku mendengkus dan menatap malas padanya. Dia terus saja mengucapkan kata-kata manis tanpa berpikir bagaimana kalau pada akhirnya aku jatuh hati sungguhan. Aku tidak terlalu bodoh untuk menutup mata dari pergaulan kehidupan laki-laki macam Reinard. Kesetiaan baginya adalah omong kosong, sedangkan kesenangan semulah yang menjadi prioritas. Kalau seperti itu, yang akan terjadi padaku adalah terkapar dengan menggenggam hati retak.

“Silakan dicoba, Mbak.”

Seorang perempuan datang dengan senyum ramah. Di tangannya ada empat kotak sepatu yang kini telah dia letakkan di lantai. Di sebelahnya seorang laki-laki muda juga baru saja menurunkan lima kotak sepatu. Aku mengerjap tak percaya melihat semua ini, bukan karena aku tak pernah membeli lebih dari sepasang sepatu dalam sekali belanja. Tapi, mustahil jika Reinard mau membayar sebanyak ini untukku.

“Kalian boleh pergi.”

Dua orang tadi langsung menuruti perintah Reinard. Selanjutnya laki-laki itu berlutut dan membantuku mencoba sepatu pertama. Aku sudah protes, tapi seperti biasa, Reinard juga tidak akan menerimanya. Jadi, aku menyerah saja sembari memperhatikan sepatu hitam mengilap dengan hak tidak terlalu tinggi yang kini tengah Reinard pegang. Asyik berkhayal tentang padu-padan pakaian yang cocok dengan sepatu ini, mataku serasa melebar saat merasakan sentuhan lembut pada telapak kaki. Reinard mendongak, menatap wajahku yang mendadak tegang. Lalu dia kembali melanjutkan tugasnya tadi.

Conquering Lyra (Sudah Terbit)Where stories live. Discover now